
Dari Nu’aim bin Hammad, ia berkata:
‘Ibnu Mubarak menceritakan kepada kami. Ia berkata: ‘Muhammad bin Mutharrif
menceritakan kepada kami. Ia berkata: ‘Abu Hazim menceritakan kepada kami. Dari
Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’, dari Malik ad-Daar[2] bahwa
Umar radhiyallahu ‘anhu mengambil empat ratus dinar lalu berkata kepada
gulam (pegawainya): ‘Pergilah dengannya kepada Abu Ubaidah, kemudian engkau
tunggu beberapa saat di rumah sehingga engkau melihat apa yang dia lakukan. Ia
berkata: ‘Maka ghulam itu pergi dengannya seraya berkata: ‘Amirul Mukminin
berkata kepadamu, ambilah ini. Ia (Abu
Ubaidah) berkata: ‘Semoga Allah Shubhanahu
wa ta’alla menyambung dan memberi rahmat kepadanya.’ Kemudian ia berkata:
‘Wahai jariyah, pergilah dengan tujuh (dinar) ini dan berikan kepada fulan,
lima (dinar) ini kepada fulan, sehingga ia menghabiskannya. Lalu ghulam itu
kembali kepada Umar radhiyallahu ‘anhu dan mengabarkan kepadanya.
Ternyata ia mendapatinya sudah menyiapkan hal serupa untuk Mu’adz bin Jabal radhiyallahu
‘anhu, lalu ia mengutusnya pergi
kepadanya. Mu’adz radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Semoga Allah Shubhanahu
wa ta’ala menyambungnya. Wahai jariyah, pergilah ke rumah fulan dengan ini,
rumah fulan seperti ini. Lalu muncul istri Muadzh radhiyallahu ‘anhu
seraya berkata: ‘Demi Allah, kita adalah orang miskin maka berikanlah untuk
kami.’ Dan tidak tersisa lagi di kain selain dua dinar maka dinar tersebut ia
berikan kepadanya. Ghulam pun pulang dan mengabarkan kepada Umar radhiyallahu
‘anhu. Maka ia merasa senang dengan hal itu dan berkata: ‘Sesungguhnya
mereka adalah bersaudara satu sama lain.’[3]
Dari Abu Ismail at-Tirmidzy rahimahullah,
ia berkata: Sulaiman bin Ayyub bin Isa bin Musa menceritakan kepada kami.
Bapakku menceritakan kepadaku, dari kakekku, dari Musa, dari Thalhah, dari
bapaknya bahwa datang kepadanya harta dari Hadhramaut
sebanyak tujuh ratus ribu, maka ia gelisah semalam suntuk. Istrinya
bertanya kepadanya: ‘Ada apa denganmu? Ia menjawab: ‘Aku berpikir sejak tadi
malam, aku bertanya: Apa yang diduga seorang laki-laki terhadap Rabb-nya
semalaman sedangkan harta ini ada di rumahnya? Ia (istrinya) berkata: ‘Di
manakah engkau dari teman-temanmu apabila sudah tiba waktu subuh, letakkanlah
di mangkok besar lalu bagilah.’ Ia berkata kepadanya: ‘Engkau seorang yang
diberi taufiq, putri seseorang yang diberi taufik.’ Ia adalah Ummu Kultrum
binti ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Di pagi harinya ia meminta mangkok
besar lalu membaginya di antara kalangan Muhajirin dan Anshar. Ia mengirim
kepada Ali radhiyallahu ‘anhu satu mangkok. Istrinya berkata kepadanya: ‘Wahai Abu Muhammad, apakah ada bagian
untuk kita dari harta ini? Ia menjawab: ‘Di manakah engkau sejak hari ini?
Bagianmu adalah yang masih tersisa. Ia (istrinya) berkata: ‘Masih ada satu
bungkusan yang isinya sekitar seribu dirham.’[4]
Dari ats-Tsaury rahimahullah,
dari Abu Qais, dari Huzail bin Syurahbil, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, ia berkata: ‘Siapa yang menghendaki akhirat ia merugikan dunia, dan
siapa yang menghendaki dunia ia merugikan akhirat, wahai kaum, rugikanlah yang
fana untuk yang kekal.’[5]
Dari Abdullah bin Yazid, dari Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata: ‘Kalian lebih lama shalat dan lebih banyak ijtihad dari pada sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, dan mereka lebih utama dari
kalian.’ Ada yang bertanya: Dengan apa? Ia menjawab: ‘Mereka lebih zuhud di
dunia dan lebih mengharap akhirat dari kalian.’[6]
Dari
Auza’i, dari Bilal bin Sa’ad, bahwa Abu Darda` radhiyallahu ‘anhu
berkata: ‘Aku berlindung kepada Allah Shubhanahu wa ta’ala dari tercerai
berainya hati.’ Ada yang bertanya: ‘Apa yang dimaksud tercerai berainya hati?
Ia menjawab: ‘Bahwa dijadikan untukku harta di setiap lembah.’[7] Dari
Abu Abidah bin Ma’n, dari A’masy, dari Abu Bukhtary, ia berkata: Asy’ats bin
Qais dan Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma datang dan berkunjung
kepada Salman radhiyallahu ‘anhu di Khush, keduanya memberi salam dan
berkata kepadanya: ‘Apakah engkau adalah sahabat Rasulullah Shallallahu
‘alahi wa sallam? Ia berkata: ‘Tidak tahu.’ Maka kedua nya menjadi ragu.’
Ia berkata: ‘Sesungguhnya sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam
adalah yang masuk surga bersamanya.’ Keduanya berkata: ‘Kami datang dari sisi
Abu Darda` radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata: ‘Mana hadiahnya? Keduanya
berkata: ‘Kami tidak membawa hadiah.’ Ia berkata: ‘Bertaqwalah kamu kepada
Allah Shubhanahu wa ta’ala dan tunaikanlah amanah. Tidak ada seorang pun
yang datang dari sisinya kecuali dengan membawa hadiah.’ Keduanya berkata:
‘Janganlah engkau mengangkat hal ini terhadap kami, sesungguhnya kami mempunyai
harta maka gunakanlah.’ Ia berkata: ‘Aku tidak menghendaki kecuali hadiah.’
Keduanya berkata: ‘Demi Allah, ia tidak mengirim sesuatu bersama kami kecuali
ia berkata: ‘Sesungguhnya padamu ada seorang laki laki yang apabila Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam bersamanya tidak ada orang lain yang mendengarnya, apabila
kalian berkunjung kepadanya maka sampaikanlah salamku kepadanya.’ Ia berkata:
‘Hadiah apakah yang kuinginkan dari kalian selain ini? Hadiah apakah yang lebih
utama darinya?[8]
Qatadah berkata: ‘Tatkala ‘Amir[9] hampir
wafat, ia menangis. Ia (Qatadah) bertanya: ‘Apa yang menyebabkan engkau
menangis.’ Ia menjawab: ‘Aku menangis bukan karena khawatir terhadap kematian
dan bukan pula karena sayang terhadap dunia, akan tetapi aku menangis terhadap
kehausan di panas terik (puasa) dan shalat malam.’[10]
Musa at-Taimy berkata (dalam
menggambarkan sifat Abdurrahman bin Aban bin Utsman bin Affan rahimahullah):
‘Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih mengumpulkan agama dan kekuasaan
serta kemuliaan darinya.’ Ada yang berkata: ‘Ia pernah membeli satu keluarga,
memberi pakaian kepada mereka dan memerdekakan mereka, ia berkata: ‘Aku memohon
pertolongan (kepada Allah Shubhanahu wa ta’ala) dengan memerdekakan
mereka terhadap kematian.’ Ia meninggal dunia di masjidnya. Dikatakan: Ia
banyak ibadah dan mengadu kepada Allah Shubhanahu wa ta’ala. Ali bin
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah melihatnya dan merasa kagum
terhadap ibadahnya, maka ia mencontohnya dalam kebaikan.’[11]
Dari Abu Abbas as-Sarraj, ia berkata:
Aku mendengar Ibrahim bin Basysyar, ia berkata: Ali bin Fudhail menceritakan
kepadaku. Ia berkata: Aku mendengar bapakku berkata kepada Ibnu Mubarak:
‘Engkau menyuruh kami bersikap zuhud dan sedikit dari dunia dan kami melihat
engkau datang dengan berbagai macam barang, bagaimana hal ini? Ia berkata:
‘Wahai Abu Ali, sesungguhnya aku melakukan hal ini untuk menjaga mukaku,
memuliakan kehormatanku dan meminta pertolongan dengannya untuk taat kepada
Rabb -ku.’ Ia berkata: ‘Wahai Ibnu Mubarak alangkah
sempurnanya hal ini.’[12],
Dari Ziyad bin Mahik, ia berkata:
‘Syaddad bin Aus berkata: ‘Sesungguhnya kalian tidak akan melihat dari dunia
kecuali sebab-sebabnya dan kalian tidak akan melihat keburukan kecuali
sebab-sebabnya. Semua kebaikan ada di surga dan semua keburukan ada di neraka.
Sesungguhnya dunia adalah benda yang sudah siap, disantap oleh setiap orang
yang baik dan jahat, dan akhirat adalah janji yang
benar dan diputuskan padanya oleh Raja Yang Maha Perkasa. Dan bagi
semuanya ada anak anak, maka jadilah kalian dari anak anak akhirat dan
janganlah kalian menjadi anak anak dunia.’[13]
Dari Abdullah bin ukhti (saudari) Muslim
bin Sa’ad, ia berkata: ‘Aku ingin menunaikan ibadah haji, pamanku (Muslim)
menyerahkan kepadaku sepuluh ribu dirham dan berkata kepadaku: ‘Jika engkau
sampai di Madinah maka perhatikanlah keluarga yang lebih fakir di Madinah maka
berikanlah kepada mereka.’ Ketika aku masuk kota Madinah, aku bertanya tentang keluarga
yang paling miskin di Madinah, lalu aku ditunjukkan kepada satu keluarga. Aku
mengetuk pintu dan dijawab oleh seorang wanita: ‘Siapa engkau? Aku menjawab:
‘Saya seorang laki-laki dari Baghdad dan aku dititipi uang sepuluh ribu dan aku
diminta untuk memberikannya kepada keluarga paling fakir di Madinah, dan
orang-orang menunjuk kalian maka ambillah.’ Ia berkata: ‘Wahai hamba Allah,
sesungguhnya temanmu memberi syarat ‘keluarga paling fakir’, dan mereka yang
berada di samping kami lebih fakir dari kami.’ Maka aku meninggalkan mereka dan
datang kepada mereka (keluarga yang ditunjuk). Lalu aku mengetuk pintu dan
dijawab oleh seorang wanita, lalu aku mengatakan kepadanya seperti yang
kukatakan kepada wanita sebelumnya. Ia menjawab: ‘Wahai hamba Allah, kami dan
tetangga kami sama sama fakir maka bagilah di antara kami dan mereka.’[14]
Dari Ibrahim bin Syabib bin Syaibah, ia
berkata: ‘Kami sedang duduk duduk di hari Jum’at, lalu datang seorang laki-laki
yang memakai satu pakaian dan berselimut, kemudian bertanya, sementara kami terus berbicara dalam masalah
fiqih hingga kami berpaling (pulang). Kemudian ia datang kepada kami pada
Jum’at berikutnya, kami jadi menyukainya dan bertanya kepadanya tentang tempat
tinggalnya, ia menjawab: ‘Saya tinggal di Harbiyyah.’ Kami bertanya kepadanya
tentang kunyahnya (nama panggilannya), ia menjawab: ‘Abu Abdillah.’ Kami merasa
senang duduk bersamanya dan kami melihat bahwa majelis kami adalah majelis
fiqih. Kami melakukan hal itu dalam waktu yang lama, kemudian ia terputus dari
kami, sebagian dari kami berkata kepada yang lain: ‘Ada apa dengannya? Majelis
kita menjadi makmur dengan Abu Abdillah dan sekarang menjadi terasa hambar.
Sebagian dari kami berjanji di pagi hari akan datang ke Harbiyyah lalu bertanya
tentang dia. Kami datang ke Harbiyyah, karena kami merasa malu bertanya tentang
Abu Abdillah. Lalu kami melihat anak-anak yang baru pulang dari belajar
mengaji, kami berkata: ‘Tahukah kalian Abu Abdillah.’ Mereka menjawab: ‘Mungkin
yang kalian maksudkan adalah pemburu? Kami menjawab:
‘Ya.’ Mereka berkata: ‘sebentar lagi dia datang.’ Lalu kami duduk
menunggunya, tiba-tiba ia datang memakai sarung dengan satu kain dan di
pundaknya satu kain, dan dibawanya beberapa burung yang sudah disembelih dan
yang masih hidup. Tatkala ia melihat kami, ia tersenyum kepada kami dan
bertanya: ‘Apakah gerangan yang membuat kalian datang? Kami menjawab: ‘Kami kehilangan engkau,
engkau telah memakmurkan majelis kami, apa yang membuat engkau menghilang dari
majelis kami? Ia berkata: ‘Saya mempunyai tetangga yang saya meminjam pakaian
darinya setiap hari kemudian saya datang kepadamu dengan mengenakannya. Ia
adalah seorang pendatang lalu ia kembali ke negerinya, maka saya tidak
mempunyai baju untuk datang kepada kalian. Maukah kalian masuk ke rumah lalu
menikmati rizqi yang diberikan Allah Shubhanahu wa ta’ala? Sebagian dari
kami berkata: ‘Masuklah ke rumahnya.’ Ia datang ke pintu, lalu memberi salam,
kemudian masuk. Ia memberi ijin kepada kami lalu kami masuk, ia datang dengan
sepotong tikar, membukanya lalu kami duduk. Ia masuk menemui
seorang wanita lalu menyerahkan kepadanya burung-burung yang sudah
disembelih dan mengambil burung-burung yang masih hidup. Kemudian ia berkata:
‘Insya Allah, saya datang kepada kalian sebentar lagi.’ Ia datang ke pasar lalu
menjualnya dan membeli roti, sementara istrinya sudah memasak burung tadi dan
menyiapkannya. Lalu ia menghidangkan kepada kami roti dan daging burung. Lalu
kami memakannya, ia berdiri dan mendatangkan garam dan air. Sebagian dari kami
berkata kepada yang lain: ‘Apakah kalian pernah melihat seperti ini? Maukah
kalian merubah kondisinya, sedang kalian adalah para pemuka di kota Basrah?
Sebagian dari mereka berkata: ‘Saya lima ratus. Yang lain berkata: Saya delapan
ratus. Dan berkata ini dan berkata ini. Dan sebagian dari mereka menjamin akan
mengambil dari yang lain untuknya. Maka jumlah yang dikumpulkan mencapai lima
ribu dirham. Mereka berkata: ‘Ayo pergi bersama kami lalu kita datang kepadanya
dengan ini dan meminta kepadanya agar merubah sebagian kondisinya.
Lalu kami berdiri pulang sambil
berboncengan, kami melewati Marbad[15]
ternyata ada Muhammad bin Sulaiman, Gubernur Bashrah, sedang duduk di bangunan
tinggi miliknya, ia berkata: ‘Wahai ghulam, bawa ke sini Ibrahim bin Syabib bin
Syaibah di antara rombongan tersebut.’ Maka aku datang, masuk kepadanya, lalu
ia bertanya kepadaku tentang cerita kami, dari mana kami datang, maka sangat
kebetulan aku menceritakan. Ia berkata: ‘Aku akan mendahului kalian untuk
berbuat baik kepadanya, wahai ghulam (pegawainya), bawalah ke sini bungkusan
dirham.’ Maka ia datang dengannya. Ia berkata: ‘Bawa ke sini ghulam ahli karpet. Lalu
ia datang. Ia berkata: ‘Bawalah bungkusan ini bersama laki-laki ini hingga
engkau menyerahkannya kepada orang yang kami perintahkan.’
Maka aku berdiri dan bersegera pergi.
Tatkala aku sampai di pintu, aku memberi salam. Lalu Abu Abdillah menjawab,
kemudian ia keluar menemuiku. Tatkala ia melihat tukang tikar dan bungkusan di
lehernya, seolah olah aku menghamburkan bara api di wajahnya, ia menghadapiku
dengan wajah bukan seperti wajah yang pertama seraya berkata: ‘Apakah hubungannya aku dan engkau? Aku berkata: ‘Wahai Abu
Abdillah, duduklah sehingga aku bisa mengabarkan ceritanya, dan dialah
yang engkau ketahui salah seorang yang jabbar (yang kejam) maksudnya Muhammad
bin Sulaiman. Jikalau ia menyuruh aku menyerahkannya menurut pendapatku niscaya
aku kembali kepadanya lalu kukabarkan bahwa aku telah menyerahkannya. Maka
jagalah Allah Shubhanahu wa ta’alla,
jagalah Allah pada dirimu.’ Ia menjadi bertambah marah, berdiri lalu masuk
rumah dan menutup pintu. Maka aku mondar-mandir kebingungan, tidak tahu apa
yang akan kukatakan kepada gubernur. Kemudian aku tidak mendapat jalan lain
selain berkata jujur. Aku datang dan menceritakan kisahnya. Ia berkata: ‘Demi
Allah, dia seorang Harury (Khawarij), wahai ghulam, bawa pedang ke sini.’ Lalu
ia datang membawa pedang. Ia berkata kepadanya: ‘Peganglah tangan laki-laki ini
sehingga pergi denganmu kepada laki laki itu. Bila ia keluar menemuimu maka
potonglah lehernya dan bawa kepalanya kepadaku.’
Ibrahim berkata: ‘Aku berkata: ‘Semoga
Allah Shubhanahu wa ta’alla memperbaiki
sang gubernur. Demi Allah, kami telah melihat seorang laki-laki, dia bukanlah
seorang Khawarij, akan tetapi aku pergi lalu aku datang kepadamu dengannya dan
aku tidak menghendaki hal itu kecuali menebus darinya. Ia berkata: Maka aku
memberi jaminan kepadanya. Lalu aku berlalu hingga mendatangi pintu lalu
memberi salam. Ternyata seorang wanita sedang menangis, kemudian ia membuka
pintu, berlindung dan memberi ijin masuk kepadaku, maka aku masuk. Ia berkata:
‘Apa masalahnya di antara kalian dan Abu Abdillah? Aku bertanya: ‘Ada apa
dengannya? Ia berkata: ‘Ia masuk menuju ember, mengambil air darinya lalu
berwudhu, kemudian aku mendengarnya berdoa: ‘Ya Allah, ambillah aku kepada -Mu
dan janganlah Engkau memberi cobaan kepada ku,’ kemudian ia merebahkan badannya
dan ia terus mengatakan hal itu. Maka aku menyusulnya dan ternyata ia telah
wafat.
Aku berkata: Wahai fulanah, sesungguhnya
bagi kami ini merupakan cerita agung, maka janganlah engkau melakukan sesuatu
padanya.’ Aku datang kepada Muhammad bin Sulaiman dan menceritakan kisahnya
kepadanya. Ia berkata: ‘Aku akan pergi untuk shalat kepada orang ini. Ia
berkata: ‘Tersebarlah beritanya di Bashrah, maka gubernur dan mayoritas
penduduk Bashrah menghadirinya. Semoga Allah Shubhanahu wa ta’ala memberi
rahmat kepadanya.[16]
[2] Malik ad-Daar: Budak yang dimerdekakan oleh Umar radhiyallahu
‘anhu. Ia meriwayatkan darinya dan dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.
Lihat biografinya dalam Thabaqat 5/7
[9] Abu Abdillah Amir bin Abdu Qais at-Tamimy al-Bashry,
tabi’in ahli ibadah. Ka’bul Ahbar pernah melihatnya dan berkata: ‘Ini adalah
rahib (ahli ibadah) umat ini. Siyar 4/15.
Zuhud Abdullah Ibn Mubarok
Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi
on
October 09, 2015
Rating:

No comments:
Komentar