Konsep Kecerdasan Emosi dalam Pandangan Daniel Goleman



1.      Pengertian Kecerdasan Emosi
Akar kata emosi adalah:  movere  kata kerja bahasa Latin  yang berarti “menggerakkan, bergerak”  ditambah awalan  “e”  untuk memberi arti “bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak  merupakan hal mutlak dalam emosi. Semua emosi, pada dasarnya adalah  dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur (evolusi), dan emosi  juga sebagai  perasaan dan fikiran-fikiran khas, suatu keadaan biologis  dan psikologis serta serangkaian  kecenderungan untuk bertindak. Emosi dapat dikelompokkan pada rasa amarah, kesedihan, takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel dan malu.[1]
Kecerdasan emosi adalah kemampuan memahami perasaan  diri sendiri, kemampuan memahami perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan  kemampuan mengelola emosi dengan  baik pada diri sendiri, dan dalam hubungan dengan orang lain.[2]
Adapun dalam buku yang lain Daniel Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengandalkan dorongan hati dan tidak berlebih-lebihan dalam kesenangan, mengatur suasana hati  dan menjaga agar bebas dari stres, tidak melumpuhkan kemampuan berfikir,  berempati, dan berdoa.[3] Dengan demikian yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk memahami serta mengatur suasana hati agar tidak melumpuhkan  kejernihan berfikir otak rasional, tetapi mampu menampilkan beberapa kecakapan, baik kecakapan pribadi maupun kecakapan antar pribadi.
2.      Unsur-Unsur Kecerdasan Emosi Menurut Daniel Goleman
Daniel Goleman berpendapat ada dua macam kerangka kerja kecakapan emosi yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan sosial. Masing-masing dari kecakapan tersebut memiliki ciri-ciri tertentu yang digabung menjadi lima ciri. Adapun kelima ciri-ciri tersebut adalah:
a.      Kesadaran Diri
Para ahli psikologi menggunakan metakognisi untuk menyebutkan proses berfikir dan metamod untuk menyebut kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Adapun Daniel Goleman  lebih menyukai istilah kesadaran diri untuk menyebut dua kesadaran di atas.[4]
Kesadaran diri menurut Daniel Goleman bukanlah perhatian yang larut ke dalam emosi akan tetapi lebih merupakan modus netral yang mempertahankan refleksi diri di tengah badai emosi.[5]
Kesadaran diri yaitu mengetahui apa yang ia rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri, dan kepercayaan diri yang kuat.[6]
Dalam buku Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman memaparkan contoh kesadaran diri yaitu :
“Alkisah, di Jepang ada seorang Samurai yang suka bertarung. Samurai ini menantang seorang guru Zen untuk menjelaskan konsep surga dan neraka. Tetapi pendeta menjawab dengan nada menghina, ”Kau hanyalah orang bodoh, aku tidak mau menyia-nyiakan waktu untuk orang macam kamu.” Merasa harga diri direndahkan, Samurai itu naik darah. Sambil menghunus pedang, ia berteriak, ”Aku dapat membunuhmu karena kekurangajaranmu.” “Nah,” jawab pendeta itu dengan tenang, ”Itulah neraka.” Takjub melihat kebenaran yang ditunjukkan oleh sang guru, amarah yang menguasai diri samurai itu menjadi tenang, menyarungkan pedangnya, dan membungkuk sambil mengucapkan terima kasih pada sang pendeta itu atas penjelasannya. ”Dan” kata sang pendeta, ”Itulah surga.”[7]
Kesadaran mendadak Samurai terhadap gejolak perasaannya adalah  inti dari kecerdasan emosional, yaitu kesadaran akan perasaan diri sendiri waktu perasaan itu timbul.

Kesadaran diri tidak terbatas pada mengamati diri dan mengenali perasaan akan tetapi juga menghimpun kosa kata untuk perasaan dan mengetahui hubungan antara  fikiran, perasaan, dan reaksi.[8]
Menurut Daniel Goleman kesadaran seseorang terhadap titik lemah serta kemampuan pribadi seseorang juga merupakan bagian dari kesadaran diri. Adapun ciri orang yang mampu mengukur diri secara  akurat adalah:
1)      Sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya.
2)      Menyempatkan diri untuk merenung, belajar dari pengalaman.
3)      Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima perspektif  baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri sendiri.
4)      Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan perspektif yang luas.[9]
Kesadaran diri memang penting apabila seseorang  ceroboh, tidak memperhatikan dirinya secara akurat, maka hal itu akan merugikan dirinya dan berdampak negatif  bagi oarang lain.  Oleh sebab itu, manusia harus pandai-pandai mencari tahu siapa dirinya. Kesadaran diri juga tidak lepas dari rasa percaya diri. Percaya diri memberikan asuransi mutlak  untuk terus maju. Walaupun demikian, percaya diri bukan berarti nekad.  Menurut Daniel Goleman  rasa percaya diri erat kaitannya dengan  “efektivitas diri”,  penilaian positif  tentang kemampuan kerja diri sendiri. Efektifitas diri cenderung pada keyakinan seseorang mengenai apa yang ia kerjakan dengan menggunakan ketrampilan yang ia miliki.[10]
Percaya diri memberi kekuatan untuk membuat keputusan yang sulit atau menjalankan tindakan yang diyakini kebenarannya. Tidak adanya percaya diri dapat menjadikan rasa putus asa, rasa tidak berdaya, dan meningkatnya keraguan pada diri sendiri.
Adapun ciri  dari orang yang memiliki rasa percaya diri adalah:
1)      Berani tampil dengan keyakinan diri, berani menyatakan keberadaannya.
2)      Berani menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia berkorban demi kebenaran.
3)      Tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan tidak pasti dan tertekan.[11]
Adanya kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi pemahaman diri. Adapun  ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat manusia berada dalam kekuasaan perasaan. Orang yang memiliki keyakinan yang lebih baik tentang perasaannya adalah pilot yang handal bagi kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan. Keputusan masalah pribadi maupun profesi. Kesadaran diri  tidak lain adalah kemampuan untuk mengetahui keadaan internal. Kesadaran diri sangat penting dalam pembentukan konsep diri yang positif. Konsep diri adalah pandangan pribadi terhadap diri sendiri, yang mencakup tiga aspek yaitu :
1)      Kesadaran emosi,  yaitu tahu tentang bagaimana pengaruhnya emosi terhadap kinerja, dan kemampuan menggunakan nilai-nilai untuk memandu pembuatan keputusan.
2)      Penilaian diri secara akurat, yaitu perasaan yang tulus tentang kekuatan-kekuatan dan batas-batas pribadi, visi yang jelas tentang mana yang perlu diperbaiki, dan kemampuan untuk belajar dari pengalaman orang lain.
3)      Percaya diri  yaitu keyakinan tentang harga diri dan kemampuan diri.
b.      Pengaturan Diri
Menurut Daniel Goleman pengaturan diri adalah  pengelolaan impuls dan perasaan yang menekan. Dalam kata Yunani kuno, kemampuan ini disebut sophrosyne, “hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan, dan kebijaksanaan yang terkendali” sebagaimana yang diterjemahkan oleh Page Dubois, seorang pakar bahasa Yunani.[12]
Menurut Daniel Goleman, lima kemampuan pengaturan diri yang umumnya dimiliki  oleh staf performer adalah pengendalian diri, dapat dipercaya, kehati-hatian, adaptabilitas, dan inovasi.[13]
1)      Pengendalian Diri
Pengendalian diri adalah mengelola dan menjaga agar emosi dan impuls yang merusak tetap terkendali. Orang-orang yang memiliki  kecakapan pengendalian diri ini adalah sebagai berikut :
a)      Mengelola dengan baik perasaan-perasaan  impulsif dan emosi-emosi yang menekan.
b)      Tetap teguh, berpikir positif, dan tidak goyah bahkan dalam situasi yang paling berat.
c)      Berpikir dengan jernih dan tetap terfokus kendali dalam tekanan.[14]
2)       Dapat dipercaya dan kehati-hatian yaitu memelihara norma kejujuran dan integritas. Orang dengan kecakapan ini:
a)      Bertindak menurut etika dan tidak pernah mempermalukan orang.
b)      Membangun kepercayaan lewat keandalan diri dan otentisitas.
c)      Mengakui kesalahan sendiri dan berani menegur perbuatan tidak etis orang lain.
d)     Berpegang kepada prinsip secara teguh bahkan bila akibatnya adalah menjadi tidak disukai.[15]
3)      Kehati-hatian, yaitu dapat diandalkan dan bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban. Orang dengan kecakapan ini:
a)      Memenuhi komitmen dan mematuhi janji.
b)      Bertanggung jawab sendiri untuk memperjuangkan tujuan mereka.
c)      Terorganisasi dan cermat dalam bekerja.
4)      Adaptabilitas
Adaptabilitas yaitu keluwesan dalam menanggapi perubahan dan tantangan. Orang dengan kecakapan ini:
a)      Terampil menangani beragamnya kebutuhan, bergesernya prioritas, dan pesatnya perubahan.
b)      Siap mengubah tanggapan dan taktik  untuk menyesuaikan diri dengan keadaan.
c)      Luwes dalam memandang situasi.[16]
Adaptabilitas menurut keluwesan dalam mempertimbangkan bermacam-macam perspektif untuk suatu situasi  pada gilirannya. Keluwesan ini tergantung pada ketanggguhan emosi atau kemampuan untuk tetap merasa nyaman dalam ambiguitas dan tetap tenang dalam menghadapi sesuatu yang tidak terduga. Orang yang  kemampuannya kurang dalam menyesuaikan diri akan dihantui ketakutan, kecemasan, ketidaknyamanan yang mendalam akibat perubahan. Adapun berubahnya realitas merupakan bagian dari kehidupan yang  tidak terelakkan, terutama dalam dunia bisnis. Kecakapan lain yang mendukung adaptabilitas adalah  rasa percaya diri, khususnya kepastian yang  memungkinkan seseorang dengan cepat  mengatur tanggapan yang sesuai, dan melepaskan apa saja tanpa pertimbangan terlalu banyak. Adapun kecakapan lain yang berhubungan dengan adaptabilitas adalah inovasi. [17]
5)      Inovasi yaitu bersikap terbuka terhadap gagasan-gagasan dan pendekatan-pendekatan baru, serta informasi terkini. Orang dengan kecakapan ini :
a)      Selalu mencari gagasan baru dari berbagai sumber.
b)      Mendahulukan solusi-solusi yang orisinal pemecahan masalah.
c)      Menciptakan gagasan-gagasan baru.
d)     Berani mengubah wawasan dan mengambil resiko akibat pemikiran baru mereka.[18]
Tindakan inovatif  memerlukan unsur kognitif dan emosi. Bisa mempunyai wawasan kreatif merupakan unsur kognitif. Adapun untuk merasakannya memerlukan kecakapan  emosi, seperti percaya diri dan ketekunan.
Berkaitan dengan adanya unsur emosi dalam proses inovasi, Daniel Goleman menambahkan  bahwa landasan emosi  seorang inovator adalah senang menikmati orisinalitas. Pada saat orang lain sibuk berkutat dengan hal-hal remeh, dan merasa ketakutan yang luar biasa terhadap resiko gagasan barunya, seorang inovator dapat dengan cepat mengidentifikasi isu-isu penting  dan menyederhanakan masalah yang  semula tampak  sangat rumit. [19]
Secara sederhana, Daniel Goleman membagi tahapan penting dalam inovasi ini. Dalam dua tahapan  pertama inisiasi yaitu munculnya gagasan cemerlang. Kedua, implementasi yaitu mewujudkan gagasan tersebut. [20]
c.       Motivasi
Yaitu menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun  menuju sasaran, membantu untuk mengambil inisiatif untuk bertindak secara efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan atau frustasi.[21] Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting yang berkaitan dengan memberi perhatian, memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri, dan berkreasi.
Untuk menumbuhkan motivasi seseorang perlu adanya kondisi flow pada diri orang tersebut. Flow adalah keadaan lupa sekitar, lawan dari lamunan dan kekhawatiran, bukannya tenggelam dalam kesibukan yang tak tentu arah. Momen flow tidak lagi bermuatan ego. Orang yang dalam keadaan flow menampilkan penguasaan hebat terhadap apa yang mereka kerjakan, respon mereka sempurna  senada dengan  tuntutan yang selalu berubah dalam tugas itu, dan meskipun  orang menampilkan  puncak kinerja saat sedang flow, mereka tidak lagi peduli pada bagaimana mereka bekerja, pada fikiran sukses atau gagal.  Kenikmatan  tindakan itu sendiri yang  memotivasi mereka.[22]
Flow merupakan puncak kecerdasan emosional. Dalam flow emosi tidak hanya ditampung dan disalurkan, akan tetapi juga bersifat mendukung, memberi tenaga, dan selaras dengan tugas yang dihadapi. Terperangkap dalam kebosanan, depresi, atau kemeranaan kecemasan menghalangi tercapainya keadaan flow.
Menurut Daniel Goleman, salah satu cara untuk mencapai flow adalah  dengan sengaja memusatkan perhatian sepenuhnya pada tugas yang sedang dihadapi. Keadaan konsentrasi tinggi merupakan  inti flow.
Flow merupakan keadaan yang bebas dari gangguan emosional, jauh dari paksaan, perasaan penuh motivasi yang ditimbulkan oleh ekstase ringan. Ekstase itu tampaknya merupakan  hasil samping dari fokus perhatian yang merupakan hasil prasyarat keadaan flow.
Mengamati seseorang yang dalam keadaan flow memberi kesan bahwa yang sulit itu mudah, puncak performa tampak alamiah dan lumrah. Ketika dalam keadaan flow otak berada pada keadaan  “dingin”.
Adapun selain itu yang berkaitan dengan motivasi adalah optimisme. Menurut Daniel Goleman optimisme seperti harapan berarti memiliki pengharapan yang kuat bahwa secara umum, segala sesuatu dalam kehidupan akan sukses kendati ditimpa kemunduran dan frustasi. Dari titik pandang kecerdasan emosional, optimisme merupakan sikap yang menyangga orang agar  jangan sampai jatuh dalam kemasabodohan, keputusasaan atau depresi bila dihadang kesulitan, karena optimisme membawa keberuntungan dalam kehidupan asalkan optimisme itu realistis. Karena optimisme yang naif membawa malapetaka.[23]
Orang yang optimis memandang kemunduran sebagai akibat  sejumlah faktor yang bisa diubah, bukan kelemahan atau kekurangan pada diri sendiri. Berbeda dengan orang pesimis yang memandang kegagalan sebagai penegasan  atas sejumlah kekurangan fatal dalam diri sendiri yang tidak dapat diubah. Menurut Daniel Goleman, ciri-ciri dari orang yang memiliki  kecakapan optimis adalah sebagai berikut: 
1)      Tekun dalam mengejar sasaran kendati banyak halangan dan kegagalan.
2)      Bekerja dengan harapan untuk sukses bukannya takut gagal.
3)      Memandang kegagalan atau kemunduran sebagai situasi yang dapat dikendalikan  ketimbang sebagai kekurangan pribadi.[24]
Kerabat dekat optimisme adalah harapan. Harapan yaitu  mengetahui langkah-langkah yang diperlukan untuk meraih sasaran dan memiliki semangat serta energi untuk menyelesaikan tingkah-tingkah tersebut, harapan merupakan daya pemotivasi utama, maka ketidakhadirannya membuat orang tak berdaya.
Menurut Daniel Goleman, ada empat kemampuan motivasi yang harus dimiliki, yaitu:
1)      Dorongan prestasi yaitu dorongan untuk meningkatkan atau memenuhi standar keunggulan. Orang dengan kecakapan ini:
a)      Berorientasi pada hasil, dengan semangat juang tinggi untuk meraih tujuan dan memenuhi standar.
b)      Menciptakan sasaran yang menantang dan berani mengambil resiko yang telah diperhitungkan.
c)      Mencari informasi sebanyak-banyaknya guna mengurangi ketidakpastian dan mencari cara yang lebih baik.
d)     Terus belajar untuk meningkatkan kinerja yang lebih  baik.
2)      Komitmen, yaitu menyelaraskan diri dengan sasaran kelompok atau lembaga. Orang dengan kecakapan ini:
a)      Siap berkorban demi sasaran lembaga yang lebih penting.
b)      Merasakan dorongan semangat dalam misi yang lebih besar.
c)      Menggunakan nilai-nilai kelompok dalam pengambilan keputusan dan penjabaran pilihan-pilihan.
d)     Aktif mencari peluang guna memenuhi misi kelompok
3)      Inisiatif (initiative), yaitu kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan. Orang dengan kecakapan ini:
a)      Siap memanfaatkan peluang.
b)      Mengejar sasaran lebih dari yang dipersyaratkan atau diharapkan dari mereka.
c)      Berani melanggar batas-batas dan aturan-aturan yang tidak prinsip bila perlu, agar tugas dapat dilaksanakan.
d)     Mengajak orang lain melakukan sesuatu yang tidak lazim dan bernuansa petualangan.
4)      Optimisme, yaitu kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan kegagalan. Orang dengan kecakapan ini:
a)      Tekun dalam mengejar sasaran kendati banyak halangan dan kegagalan.
b)      Bekerja dengan harapan untuk sukses bukannya takut gagal.
c)      Memandang kegagalan atau kemunduran sebagai situasi yang dapat dikendalikan  ketimbang sebagai kekurangan pribadi.[25]
d.      Empati
Menurut Daniel Goleman, empati adalah memahami perasaan dan masalah orang lain dan berfikir dengan sudut pandang mereka, menghargai perbedaan perasaan orang mengenai berbagai hal.[26] Menurut Daniel, kemampuan mengindera perasaan seseorang sebelum yang bersangkutan mengatakannya merupakan intisari empati. Orang sering mengungkapkan perasaan mereka lewat kata-kata, sebaliknya mereka memberi tahu orang lewat nada suara, ekspresi wajah, atau cara komunikasi nonverbal lainnya. Kemampuan memahami cara-cara komunikasi yang sementara ini dibangun di atas kecakapan-kecakapan yang lebih mendasar, khususnya kesadaran diri (self awareness)  dan kendali diri (self control). Tanpa kemampuan mengindra perasaan individu  atau menjaga perasaan itu tidak mengombang-ambingkan seseorang, manusia tidak akan peka terhadap perasaan orang lain.[27]
Empati menekankan pentingnya mengindra perasaan dari perspektif orang lain sebagai dasar untuk  membangun hubungan interpersonal yang sehat. Bila kesadaran diri terfokus pada pengenalan emosi sendiri, dalam empati perhatiannya diraihkan pada pengenalan emosi orang lain. Seseorang semakin mengetahui emosi sendiri, maka ia akan semakin terampil membaca emosi orang. Dengan demikian, empati dapat difahami sebagai kemampuan mengindra perasaan dan perspektif orang lain.
Tingkat empati tiap individu berbeda-beda. Menurut Daniel Goleman, pada tingkat yang paling rendah, empati mempersyaratkan kemampuan  membaca  emosi orang lain, pada tataran yang lebih tinggi, empati mengharuskan seseorang mengindra sekaligus menanggapi  kebutuhan atau perasaan seseorang yang tidak diungkapkan lewat kata-kata. Di antara yang paling tinggi, empati adalah menghayati masalah  atau kebutuhan-kebutuhan yang tersirat di balik perasaan seseorang.[28]  Adapun kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan  nonverbal  seperti ekspresi wajah, gerak-gerik dan nada bicara. Hal ini terbukti dalam  tes terhadap lebih dari  tujuh ribu orang di Amerika Serikat serta delapan belas negara lainnya. Dari hasil tes ini diketahui bahwa orang yang mampu membaca pesan orang lain dari isyarat nonverbal ternyata lebih pandai menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka dibandingkan dengan orang yang tidak mampu membaca isyarat nonverbal.[29] Namun ada kalanya seseorang tidak memiliki kemampuan  berempati. Menurut Daniel Goleman, empati tidak ditemukan kepada orang yang melakukan kejahatan-kejahatan sadis. Suatu cacat psikologis yang ada umumnya ditemukan pada pemerkosa, pemerkosa anak-anak, dan para pelaku tindak kejahatan rumah tangga. Orang-orang ini tidak mampu berempati, ketidakmampuan untuk merasakan penderitaan korbannya memungkinkan mereka melontarkan kebohongan kepada diri mereka sendiri sebagai pembenaran atas kejahatannya. Hilangnya empati sewaktu orang-orang melakukan kejahatan pada korbannya hampir senantiasa merupakan bagian dari siklus emosional yang mempercepat tindakan kejamnya.[30] Selain itu, empati tidak ditemukan pada penderita eleksitimia (ketidakmampuan mengungkapkan emosi). Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan  mereka untuk mengetahui apa yang sedang mereka rasakan. Selain bingung dengan perasaannya sendiri, penderita eleksitimia juga bingung apabila ada orang lain yang mengungkapkan perasaannya kepadanya. Secara emosional, penderita ini tuli nada, tidak bisa mendeteksi kata atau tindakan yang bersifat emosional.
Empati yang berlebihan dapat mendatangkan stres, kondisi ini disebut “empathy distruss”, stres akibat empati. Menurut Daniel Goleman, stres akibat empati ini sangat lazim terjadi  bila seseorang merasakan kesusahan yang  mendalam, karena seseorang sangat empatik berhadapan dengan seseorang yang sedang dalam suasana hati negatif, dan kemampuan pengaturan dirinya tidak mampu  untuk menenangkan stres akibat simpati mereka sendiri. Untuk menghindari stres ini, diperlukan suatu seni mengelola emosi, sehingga manusia tidak terbebani oleh rasa tertekan yang menular dari orang yang sedang  dihadapi.[31] 
Menurut Daniel Goleman, ada lima kemampuan empati, yaitu :
1)      Memahami orang lain, yaitu mengindera perasaan-perasaan orang lain, serta mewujudkan minat-minat aktif terhadap kepentingan-kepentingan mereka. Orang dengan kecakapan ini:
a)      Memperhatikan isyarat-isyarat emosi dan mendengarkannya dengan baik
b)      Menunjukkan kepekaan dan pemahaman terhadap perspektif orang lain.
c)      Membantu berdasarkan pemahaman terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain.
2)      Mengembangkan orang lain yaitu, mengindera kebutuhan orang lain untuk berkembang dan meningkatkan kemampuan mereka. Orang lain dengan kecakapan ini:
a)      Mengakui dan menghargai kekuatan, keberhasilan dan perkembangan orang lain.
b)      Menawarkan umpan balik yang bermanfaat dan mengidentifikasi kebutuhan orang lain untuk berkembang.
c)      Menjadi mentor, memberikan pelatihan pada waktu yang tepat, dan penugasan-penugasan yang menantang serta memaksa dikerahkannya ketrampilan seseorang.
3)      Orientasi pelayanan  yaitu mengantisipasi, mengakui, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelanggan. Orang yang memiliki kecakapan ini:
a)      Memenuhi kebutuhan pelanggan dan menyesuaikan semua itu dengan pelayanan atau produksi yang tersedia.
b)      Dengan senang hati menawarkan bantuan yang sesuai.
c)      Mencari berbagai cara untuk meningkatkan kepuasan dan kesetiaan pelanggan.
d)     Menghayati perspektif pelanggan, bertindak sebagai penasehat yang dipercaya.
4)      Memanfaatkan keragaman yaitu menumbuhkan kesempatan (peluang) melalui pergaulan dengan bermacam-macam orang. Orang dengan kecakapan ini:
a)      Hormat dan mau dengan orang-orang dari berbagai macam latar belakang.
b)      Memahami beragamnya pandangan dan peka terhadap perbedaan antar kelompok.
c)      Memandang keberagaman sebagai peluang menciptakan lingkungan yang memungkinkan semua orang sama-sama maju kendati berbeda-beda.
d)     Berani menentang sikap membeda-bedakan dan intoleransi.
5)      Kesadaran politik  yaitu mampu membaca kecenderungan sosial dan politik yang sedang berkembang. Orang dengan kecakapan ini:
a)      Membaca dengan cermat hubungan kekuasaan yang paling tinggi
b)      Mengenal dengan baik semua jaringan sosial yang penting.
c)      Memahami kekuatan-kekuatan yang membentuk pandangan-pandangan serta tindakan-tindakan klien, pelanggan, atau pesaing.
d)     Membaca dengan cermat realitas lembaga maupun realitas di luar.[32]
e.       Keterampilan Sosial
Ketrampilan sosial (social skills), adalah kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan untuk bekerjasama dalam tim.
Dalam memanifestasikan kemampuan ini dimulai dengan mengelola emosi sendiri yang pada akhirnya manusia harus mampu menangani emosi orang lain. Menurut Goleman, menangani emosi orang lain adalah seni yang mantap untuk menjalin hubungan, membutuhkan kematangan dua ketrampilan emosional lain, yaitu manajemen diri dan empati. Dengan landasan keduanya, ketrampilan berhubungan dengan orang lain akan matang. Ini merupakan kecakapan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tidak dimilikinya kecakapan ini akan membawa pada ketidakcakapan dalam dunia sosial atau berulangnya bencana antar pribadi. Sesungguhnya karena tidak dimilikinya ketrampilan-ketrampilan inilah yang menyebabkan orang-orang yang otaknya encer pun gagal dalam membina hubungannya.[33]
Dalam berhubungan dengan orang lain, manusia menularkan emosinya kepada orang lain atau sebaliknya semakin trampil seseorang secara sosial, semakin baik mengendalikan sinyal yang dikirimkan.
Kesadaran sosial juga didasarkan pada kemampuan perasaan sendiri, sehingga mampu menyetarakan dirinya terhadap bagaimana orang lain beraksi. Menurut Daniel Goleman, apabila kemampuan antar  pribadi ini tidak diimbangi dengan kepekaan perasaan terhadap kebutuhan dan perasaan diri sendiri serta bagaimana cara memenuhinya, maka ia akan termasuk dalam golongan bunglon-bunglon sosial yang tidak peduli sama sekali bila harus berkata ini dan berbuat itu.
Secara lebih luas, Daniel Goleman menjelaskan bahwa ketrampilan sosial, yang makna intinya adalah seni menangani emosi orang lain, merupakan dasar bagi beberapa kecakapan :
1)      Pengaruh yaitu terampil menggunakan perangkat persuasi secara efektif. Orang dengan kecakapan ini:
a)      Trampil dalam persuasi.
b)      Menyesuaikan prestasi untuk menarik hati pendengar.
c)      Menggunakan strategi yang rumit seperti memberi pengaruh tidak langsung untuk membangun konsensus dan dukungan.
d)     Memadukan dan menyelaraskan peristiwa-peristiwa dramatis agar menghasilkan sesuatu yang efektif.
2)      Komunikasi, yaitu mendengarkan serta terbuka dan mengirimkan pesan serta meyakinkan. Orang dengan kecakapan ini:
a)      Efektif dalam memberi dan menerima, menyertakan isyarat emosi dalam pesan-pesan.
b)      Menghadapi masalah-masalah sulit tanpa ditunda.
c)      Mendengarkan dengan baik, berusaha untuk saling memahami, dan bersedia berbagi informasi secara utuh.
d)     Menggalakkan komunikasi terbuka dan tetap bersedia menerima kabar buruk sebagai kabar baik.
3)      Manajemen konflik, yaitu merundingkan dan menyelesaikan ketidaksepakatan. Orang dengan kecakapan ini:
a)      Menangani orang-orang sulit dan situasi tegang dengan diplomasi dan taktik.
b)      Mengidentifikasi hal-hal yang berpotensi menjadi konflik, menyelesaikan perbedaan pendapat secara terbuka, dan membantu mendinginkan situasi.
c)      Menganjurkan debat dan diskusi secara terbuka.
d)     Mengantar ke solusi menang-menang.
4)      Kepemimpinan, yaitu mengilhami dan membimbing individu atau kelompok. Orang dengan kecakapan:
a)      Mengartikulasikan (kata-kata jelas) dan membangkitkan semangat untuk meraih visi serta misi bersama.
b)      Melangkah di depan untuk memimpin bila diperlukan, tidak peduli sedang di mana.
c)      Memadu kinerja orang lain namun tetap memberikan tanggung jawab kepada mereka.
d)     Memimpin kuat teladan.
5)      Katalisator perubahan, yaitu mengawali atau mengelola perubahan. Orang dengan kecakapan ini:
a)      Menyadari perlunya perubahan dan dihilangkannya hambatan.
b)      Menantang status quo untuk mengatakan perlunya perubahan.
c)      Menjadi pelopor perubahan dan mengajak orang lain ke dalam perjuangan itu.
d)     Membuat model perubahan seperti yang diharapkan oleh orang lain.
6)      Membangun hubungan, yaitu menumbuhkan hubungan yang bermanfaat. Orang dengan kecakapan ini:
a)      Menumbuhkan dan memelihara jaringan tidak formal yang meluas.
b)      Mencari hubungan-hubungan yang saling menguntungkan.
c)      Membangun dan memelihara persahabatan pribadi di antara sesama mitra kerja.
7)      Kolaborasi dan kooperasi,  yaitu kerja sama dengan orang lain demi tujuan bersama.
a)      Menyeimbangkan pemusatan perhatian kepada tugas dengan perhatian kepada hubungan.
b)      Kolaborasi berbagai rencana, informasi, dan sumber daya.
c)      Mempromosikan iklim kerja sama yang bersahabat.
d)     Mendeteksi dan menumbuhkan peluang-peluang untuk kolaborasi.
8)      Kemampuan tim, yaitu menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama. Orang dengan kecakapan ini:
a)      Menjadi teladan dalam kualitas tim seperti respek, kesediaan membantu orang lain, dan kooperasi.
b)      Mendorong setiap anggota tim berpartisipasi secara aktif dan penuh antusiasme.
c)      Membangun identitas tim, semangat kebersamaan dan komitmen.[34]
Seluruh ciri-ciri manusia yang memiliki EQ tinggi sebagaimana dirumuskan Daniel Goleman merupakan ciri yang harus dimiliki oleh para star performer, tetapi juga dapat diterapkan pada segala aktivitas termasuk dalam berdakwah. Dalam hal ini Goleman menyatakan bahwa aturan kerja ini telah berubah, manusia dinilai berdasarkan tolak ukur baru, tidak hanya berdasarkan tingkat kepandaian, atau berdasarkan pelatihan dan pengalaman, tetapi juga berdasarkan sikap baik mengelola diri sendiri dan berhubungan dengan orang lain. Aturan hampir tidak berhubungan dengan yang dahulu dianggap penting saat menuntut ilmu. Kemampuan akademik hampir tidak berkaitan dengan standar ini. Alat ukur baru ini sudah dengan teknik yang memadai untuk mengerjakan tugas-tugas, namun berbeda dengan yang lama, alat ukur baru ini memusatkan perhatian pada kualitas pribadi.  Hal ini dapat dilihat dengan adanya ciri-ciri EQ yang dikemukan Daniel Goleman, seperti kesadaran diri, pengaturan diri, dan motivasi dibandingkan dengan kecakapan sosial (empati dan ketrampilan sosial).
Adanya ciri-ciri tersebut di atas, juga telah memperlihatkan hubungan antara kelima dimensi kecerdasan emosi dan dua puluh lima kecakapan emosi. Dan menurut penulis skala yang ditetapkan Daniel Goleman di atas tidak seorangpun yang sempurna melaksanakan mempunyai profil kekuatan dan batas-batas sendiri. Untuk itu yang harus dilakukan adalah bagaimana belajar untuk terus berbenah diri menjadi profil ideal tersebut.




                [1] Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 7

                [2] Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, terj. Alex Tri Kantjono (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 512
                [3]Daniel Goleman, Emotional…, hlm. 45

                [4] Daniel Goleman, Emotional Intelligence, hlm. 63
                [5] Ibid., hlm. 64

                [6] Forum Kajian Budaya dan Agama (FkBA),” Kecerdasan Emosi dan Quantum Learning”, (Yogyakarta: FkBA, 2000), hlm. 3

                [7] Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional,   hlm. 62
                [8] Ibid., hlm. 428

                [9] Ibid., hlm. 97
                [10] Ibid., hlm. 110-111

                [11] Ibid., hlm. 107
                [12] Ibid., hlm. 111-112
                [13] Ibid., hlm. 77

[14] Daniel Goleman, Kecerdasan..., hlm. 130-131
[15] Daniel Goleman, Kecerdasan..., hlm. 142-144

[16] Ibid., hlm. 151
[17] Ibid., hlm. 157-158

[18]Ibid., hlm. 151
[19] Ibid., hlm. 150

[20] Ibid., hlm. 165

[21] Ibid., hlm. 514
[22] Daniel Goleman, Emotional…, hlm. 128
[23] Ibid., hlm. 123
[24] Ibid., hlm. 196
[25] Daniel Goleman, Kecerdasan.., hlm. 181-196 & 214
[26] Daniel Goleman, Emotional.., hlm. 428

[27] Forum kajian Budaya dan Agama, Kecerdasan Emosi Quantum Learning, hlm. 34
[28]  Ibid., hlm. 215

[29] Daniel Goleman, Emotional..., hlm. 136
[30] Ibid., hlm. 149-150

[31] Ibid., hlm. 230
[32] Daniel Goleman, Kecerdasan..., hlm. 219
[33] Daniel  Goleman, Emotional..., hlm. 158-159
[34] Goleman, Kecerdasan…, hlm. 271-350 
Konsep Kecerdasan Emosi dalam Pandangan Daniel Goleman Konsep Kecerdasan Emosi dalam Pandangan Daniel Goleman Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi on October 08, 2015 Rating: 5

No comments:

Komentar