Posmodernisme dan Hegemoni Media: Relasi Islam Barat


PENDAHULUAN

Era posmodernisme berkembang seiring dengan pertumbuhan media yang begitu pesat. Hal itulah yang membuat banyak kalangan menyatakan bahwa media merupakan anak kandung dari posmodernisme. Media pada dasarnya merupakan suatu wadah yang netral. Namun, begitu malangnya nasib media, sehigga dijadikan alat oleh orang yang berkuasa untuk meng’gol’kan kepentingannya.
Di era posmodernisme, kekuasaan jatuh pada Barat. Jadi, merupakan konsekuensi logis apabila media dikuasai oleh mereka. Media dijadikan alat untuk membuat citra negatif pada Islam, yang dianggap sebagai pengancam kekuatan Barat. Mulailah konflik di antara keduanya dalam hegemoni media; dalam hal ini hegemoni media Barat.
Dalam makalah ini, kami mencoba memetakan hegemoni media yang bergulir di era posmodernisme. Diawali dengan pembahasan mengenai “Konflik Islam dan Barat”. Dalam pembahasan ini, kami terlebih dahulu mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ‘Islam’ dan ‘Barat’. Kemudian, kami beranjak pada pembahasan “Media dan Karakteristiknya”. Setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan ‘media’, kami melanjutkan ke pembahasan “Hegemoni Media di Era Postmodernisme”. Selanjutnya, kami berusaha menjawab pertanyaan berkenaan dengan konflik di antara keduanya yakni “Mengapa Barat Memusuhi Islam? Kemudian, diakhiri dengan pembahasan mengenai “relasi Islam-Barat”. Pada pembahasan inilah terdapat analisa kami terhadap penyelesaian konflik antara Islam dengan Barat dengan menggunakan media.

2.   KONFLIK ISLAM DAN BARAT?
            Konflik Islam dan Barat merupakan isu hangat yang digulirkan oleh media. Hal tersebut masih kontroversial karena belum diketahui secara pasti kebenarannya, “Apakah Islam berkonflik dengan Barat? Akan tetapi, diakui atau tidak, konflik dan benturan antara Islam dan Barat memang mewarnai sepanjang sejarah peradaban. Tak sedikit pula para pakar membahas mengenai wacana konflik di antara keduanya, melalui pemetaan dan sudut pandang yang berbeda-beda.
            Sebelum membahas lebih jauh mengenai konflik Islam dan Barat yang terukir sepanjang perjalanan sejarah, nampaknya penting bagi kita untuk menentukan terlebih dahulu siapa itu Islam dan siapa itu Barat. Apa Islam adalah Negara Islam atau Muslim dan Barat itu Kristen atau justru wilayah yang berada di sebelah barat bumi kita. Istilah keduanya perlu diperjelas di awal pembahasan kita ini.
            Banyak para intelektual yang berusaha menelusuri apa yang dimaksud dengan “Islam” dan “Barat” dalam konteks ini. Edward Said menuturkan pandangannya dalam Covering Islam (2002), menurutnya Islam dan Barat tak lebih hanya sebagai label-label yang sudah mengakar sejak lama dan tak terpisahkan dari sejarah kultural dari pada sebagai klasifiasi yang objektif.
            Sedangkan, Nurcholis Majid dalam karyanyanya, “Islam Agama Peradaban” (1995), menyatakan bahwa Barat itu merujuk pada Kristen barat. Dalam hal ini, dia melihat dari sisi budayanya. Hal ini terlihat dari kutipan dalam bukunya:
“Jadi, konfrontasi Islam dan Barat dapat ditafsirkan sebagai konfrontasi dua pola budaya. Maka sementara hubungan Islam dengan “Kristen timur” sepanjang sejarah berjalan cukup lancar dan penuh toleransi (karena berasal dari budaya yang relatif sama), tidaklah demikian hubungan Islam dengan Kristen barat: penuh rasa permusuhan dan kebencian”

            Setidaknya kedua pandangan di atas bisa memberikan gambaran singkat siapa Barat dan Islam itu sendiri. Islam dan Barat memang mengalami konflik dan benturan-benturan yang didasarkan berbagai macam motif, baik ideologi, politik maupun ekonomi. Dalam hal ini, Akbar S. Ahmed dalam buku “Postmodernisme” memetakan benturan atau konflik Islam dan Barat ke dalam tiga bagian.Benturan pertama diawali dengan munculnya Islam di Sicilia dan Prancis yang pada mulanya mayoritas beragama Kristen. Hingga kemudian Islam datang menguasai daerah tersebut. Benturan pertama juga selanjutnya diwarnai dengan berlangsungnya perang Salib, di mana Kristen menyerang agama Islam. Peristiwa ini kemudian berakhir pada abad ke-17 ketika pasukan Islam dihentikan di Wina.
            Selanjutnya benturan kedua diwarnai dengan kolonialisme Barat terhadap dunia Islam. Negara-negara Islam menjadi sasaran empuk kolonialisme Barat. Berbagai respon pun dilancarkan pada kolonialisme seperti lahirnya semangat kebangkitan kesukuan untuk melawan kolonialisme. Selain itu. perubahan tatanan sosial, budaya bahkan intelektual umat muslim sangat terlihat akibat kolonialisme.
             Setelah Barat menancapkan kolonialismenya di Negara Muslim, Barat terus melesat menjadi peradaban yang maju dan Islam menderita. Selanjutnya benturan tak lagi berupa serangan fisik, namun melalui bentukan citra Islam di mata dunia, dengan adanya teknologi dengan mudahnya membuat gambaran Islam seburuk mungkin, inilah yang dilakukan oleh media. Hegemoni barat melalui media telah merasuk dalam sendi-sendi terdalam dari kehidupan manusia era postmodernisme.
            Dari ketiga  benturan yang dikemukakan oleh Ahmed tersebut, sangat jelas terlihat bahwa berbagai macam konflik antara Islam dan Barat yang mewarnai sejarah panjang peradaban, hanyalah bermotif ekonomi dan politik. Di mana bisa kita lihat dari mulai perang Salib, yang jika kita menilik lebih dalam sejarahnya, itu sangat kental dengan motif ekonomi dan kekuasaan­_politik. Dan hanya berapa persen dari motif ideologi. Kemudian imprealisme juga tak terlepas dari motif ekonomi dan politik.
            Nah, konflik dan benturan antara Islam dan Barat yang mewarnai sejarah peradaban tersebut, nampaknya menuai berbagai fenomena postmodernisme. Salah satunya adalah fenomena bagaimana hegemoni media barat terhadap dunia islam. Dan masalah inilah yang akan menjadi sorotan utama dalam tulisan ini.

3.   MEDIA DAN KARAKTERISTIKNYA
            Media merupakan salah satu bagian esensial yang tak dapat dipisahkan dari era postmodernisme. Pengaruh postmodernisme yang hampir menjangkau seluruh lapisan, tidak dapat dilepaskan dari peran media. Media memiliki kekuatan untuk menenggelamkan realitas, menyederhanakan berbagai isu, dan mempengaruhi berbagai peristiwa. Sifat media dan bahaya yang ditimbulkannya tidak dapat dimengerti di era paradoksal ini. Media sewaktu-waktu dapat berganti rupa menjadi malaikat, kemudian secepat kilat berubah wujud menjadi iblis.                             Media yang dimaksud di sini tidak hanya media elektronik, seperti televisi, radio, internet, iklan, akan tetapi juga surat kabar (koran), majalah, jurnal, seminar, diskusi, bahkan barang mewah (bermerek) juga merupakan bagian dari media. Elemen-elemen tersebut memiliki peran strategis dalam peradaban global. Hal itu dikarenakan di era postmodernisme ini, dunia terus menyusut menjadi kampung teknologi global. Sehingga, barangsiapa yang menguasai media, maka dia akan kuat dan mendominasi dunia. Hal itu merupakan konsekuensi logis karena media mengindikasikan kekuatan, penegasan superioritas kultural, dan perluasan filsafat politik.
Ada beberapa karakteristik pokok media yang dipaparkan oleh Akbar S. Ahmed. Pertama, media tidak setia dan tidak ingat teman. Kedua hal tersebut merupakan salah satu karakteristik yang paling menonjol dari media. Oleh karena itu, media membuat adanya perasaan mendua.
             Kedua, media memperhatikan warna kulit, dan pada lahirnya bersifat rasis.Media Barat didominasi oleh WASPs (White Anglo-Saxon Protestans); ide-ide mereka terus dibentuk oleh DWM (Dead White Male). Pahlawan media haruslah berkulit putih, mata biru dan rambut pirang. Ras kulit putih selalu dicitrakan baik oleh media. Sementara itu, ras kulit hitam, Asia dan Timur Tengah dicitrakan dalam posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan ras kulit putih.
         Tiga, media adalah pengabdian diri dan sangat bersifat sumbang. Film-film dan cerita-cerita populer, yang memperkuat kesadaran akan warisan kultural yang unik, terus dihidupkan dengan kebangkitan terus-menerus. Media memperkuat ide, nilai, dan pendapatnya sendiri melalui karakternya yang sangat sumbang.
         Empat, media telah menaklukkan kematian. Untuk memahami fenomena ini,kita perlu memahami hal ini secara sosiologis, bukannya secara eskatologis. Kematian seorang bintang tidak berdampak pada karir di media. Kematian dipandang sebagai tindakan profesional yang bijaksana. Dalam hal ini terlihat kekeringan spiritual yang telah melanda dunia dalam era postmodern. Mereka mencoba mencari patung suci yang dapat mereka kultuskan. Pilihan mereka jatuh pada sosok selebritis legendaris seperti, Elvis Presly dan Michael Jackson.
         Lima, pada dasarnya, media bersifat demokratis dan mewakili masyarakat ’umum’. Prinsip demokratis yang merupakan jantung media merefleksikan asal-usul media dalam demokrasi Barat. Sesungguhnya, siapa pun bisa menuangkan pendapatnya dalam media. Selama media tidak dimanipulasi oleh sang pemegang kekuasaan.                                                                                  Enam, media telah membuat fakta menjadi lebih asing daripada fiksi, sehingga fiksi lebih enak dilihat dan didengar. Berita televisi disajikan dengan cara yang hampir menandingi drama dan fiksi terbaik. Media dapat mengubah situasi sehari-hari yang biasa menjadi pertunjukan. Fakta ternyata jauh lebih menarik daripada fiksi.                                                                                       Tujuh, media dengan dingin bersifat netral terhadap posisi-posisi moral dan pesan-pesan spiritual. Media bisa menayangkan gambar kemewahan pernikahan artis ternama, dan pada menit berikutnya menampilkan gambar para pengungsi bencana gempa yang kelaparan. Dengan demikian, hal ini menimbulkan problem. Bagaimana kita dapat menghubungkan gambar-gambar ini satu sama lain, dan bagaimana posisi kita dalam hubungannya dengan semua itu?                      Delapan, media kuat karena teknologi tinggi, tetapi tetap lemah karena antropologi kultural. Perang Teluk adalah contoh kasus. Sementara teknologi tinggi memaparkan kejadian dari menit ke menit di Teluk dari segi militer. Komentarnya memperlihatkan jurang yang besar dalam menginterpretasikan makna sosial dan kultural peristiwa-peristiwa tersebut.
         Terakhir, dalam dunia kita, media memainkan peran kunci dalam masalah internasional dan akan meningkatkan peran ini. Di sini ada sebuah proposisi, sebuah tesis, yang perlu ditelaah: semakin tradisional suatu kultur keagamaan dalam zaman kita, semakin besar tekanan terhadapnya, semakin besar kesulitan yang dihadapinya. Semua agama tradisional pada dasarnya menganjurkan kesalehan, perenungan dan mistisisme. Sebaliknya, serangan media adalah tuntutan akan keributan, materialisme, konsumerisme, dan blague. Iklan yang menggoda, bintang-bintang yang memikat, dan warna-warna membanjiri rumah kita, menenggelamkan pemikiran-pemikiran tentang kesalehan dan kezuhudan. Lalu, merampas mahkota manusia, yaitu martabat. Dalam ketidak sopanan dan pergolakan akal postmodern, tidak ada martabat yang dibiarkan dimiliki oleh siapa pun.
             Dari pemaparan Akbar S. Ahmed tersebut, karakteristik media yang dimaksud lebih menitikberatkan pada media Barat. Bahkan, dia sangat berani menyebut media sebagai iblis. Pemikiran tersebut merupakan hal yang wajar mengingat media di era postmodernisme ini dikuasai oleh Barat sebagai super power.
             Media Barat telah membantu mewujudkan ambisi Barat untuk menaklukkan Komunisme. Sekarang, Barat mencari musuh baru yang memiliki kekuatan yang dapat mengancam eksistensi mereka. Sasaran berikutnya adalah Islam. Media Barat pun terus berupaya mencitrakan opini publik yang negatif terhadap Islam. Hal itu menyebabkan kaum Muslim tidak mampu mempertahankan diri. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan ketidakmampuan kaum Muslim untuk memahami maksud dan tujuan serangan itu.  

4.   HEGEMONI MEDIA DI ERA POSTMODERNISME
Hegemoni media Barat di era postmodernisme sangatlah mencolok. Media di era ini mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, Azyumardi Azra pernah menunjukkan hegemoni media di era posmodernisme ini, dalam ranah politik. Dia pernah menulis berkenaan dengan hal tersebut dalam salah satu edisi Jurnal Ulumul Quran (Pasca-Modernisme, Islam dan Politik: Kecenderungan dan Relevansi).

Pasca-modernisme politik anti representatif mengambil dua bentuk; pertama pasca modernisme skeptis yang bersifat pesimis dan, bahkan, anti demokrasi; kedua, pasca modernisme afirmatif yang lebih optimistik dan pro-demokrasi. Pasca modernisme skeptis memandang representasi politik sebagai simbol modernisme politik dan demokrasi Barat yang harus ditolak karena mengacaukan aksi dan wacana politik, sebab ia begitu mudah dimanipulasi, khususnya melalui penguasaan atas media massa. Makanya, politik telah menjadi ”dagelan” populer dan image media ketimbang merupakan diskusi masyarakat umum tentang kebijakan-kebijakan politik. Sementara itu, pasca modernisme affirmatif menekankan kebebasan memilih, keterbukaan, toleransi, personalisme dan beberapa bentuk individualisme.

Tak terkecuali pandangan media terhadap Islam dan Barat. Islam digambarkan oleh media Barat begitu negatif, yang disoroti dari Islam adalah sesuatu yang berbau kekerasan, terorisme, bahkan jauh dari kemanusiaan. Begitulah citra Islam di media Barat. Banyak sekali contoh dari citra negatif Islam yang menjadi sorotan media Barat.
Misalnya saja pada tahun 1979, ketika terjadi Revolusi Islam Iran, sosok Khomaeni yang memperjuangkan revolusi Islam di Iran, yang menumbangkan Syah yang terus mengekor pada Amerika, oleh media digambarkan tak lebih dari seorang yang keras kepala, berkuasa dan sangat marah terhadap Amerika. Terlebih lagi pasca tragedi 11 september 2001­--pengeboman WTC-- di Amerika, Islam menjadi sasaran empuk dari serangan media Barat dengan citraan yang negatif.
Sejak hancurnya WTC tersebut, mulai maraklah isu mengenai terorisme. Dan ironisnya pelaku terorisme tersebut di alamatkan kepada golongan Islam radikalis dan fundamentalis. Tanpa adanya bukti-bukti yang jelas dan hanya sekedar asumsi semata. Tak hanya pengebiman WTC, pengeboman yang terjadi di berbagai daerah di tanah air juga di alamatkan pada Islam sehingga mendapatkan citraan yang buruk. Apa benar yang melakukannya Islam? Pertanyaan tersebut akan dijawab dalam pembahasan selanjutnya.
Sungguh berita-berita yang dialamatkan pada Islam tidak objektif. Media tidak dalam posisi netral karena telah menjejali konsumen dengan berita-berita yang menyesatkan. Selain itu, muncul fenomena orientalisme yaitu  semangat yang lahir dari dorongan keingintahuan orang-orang barat tentang pola-pola budaya timur, para ilmuan-ilmuan yang mengkaji masalah seputar ketimuran, termasuk mengkaji islam. Para orientalis kebanyakan mempersepsi Islam dan umat Islam itu sendiri secara negatif, dan mengkaji budaya timur termasuk Islam untuk mendapatkan cara yang terbaik mengalahkannya atau mengkonversi penduduknya ke agama mereka (kristenisasi), maka sulit sekali melepaskan orientalisme dari konotasinya yang negatif dan berbau kolonial. (Nurkholis Madjid, Islam Agama Peradaban :1995)

5.   MENGAPA BARAT MEMUSUHI ISLAM?
Begitu mengerikannya citraan media Barat terhadap Islam, yang menggambarkan Islam sebagai agama yang berbau kekerasan yang tentu saja jauh dari esensi Islam yang sebenarnya. Lantas apa motivasi dan latar belakang mereka hingga begitu bencinya dan memusuhi Islam? Tentu saja dalam hal ini banyak sekali latar belakang yang menyebabkan mereka demikian, dari mulai motif politik, ekonomi bahkan ideologi.
Pada dasarnya segala macam tuduhan yang dialamatkan pada Islam misalnya saja kasus pengeboman WTC yang dituduhkan pada fundamentalis dan radikalisme Islam, pada hakikatnya bukanlah itu yang dituju, yang dituju adalah Islam itu sendiri yang menolak modernitas, sekularitas, konsumerisme bahkan hegemoni barat.
Nah, dengan demikian Islam memang benar-benar menjadi momok yang cukup berbahaya dan pada akhirnya dimusuhi oleh Barat. Bukanlah perbedaan teologis yang menjadi landasan utama kenapa Barat begitu memusuhi Islam, namun ada bebarapa hal yang ada pada Islam dan itu benar-benar mengganggu Barat dalam melebarkan hegemoninya di seluruh dunia. Beberapa hal tersebut menurut Muhammad Imarah dalam bukunya, “Meluruskan Salah Faham Barat atas Islam", diantaranya ialah:

a)    Tauhid, prinsip ini yang membuat umat muslim menolak untuk tunduk dan patuh pada imprealisme dan kolonialisme barat. Tentu saja prinsip tersebut sangat dibenci leh barat karena menghalangi hegemoni Barat.
b)    Gagasan kebangkitan, yang ketika diaplikasikan Islam bukan hanya berarti pembebasan hati dan akal pemikiran umat Islam dari hegemoni kultural Barat, tetapi juga pembebasan atas tanah-tanah dunia Islam dari sistem militerisme Barat, samudera dan laut-lautnya dari armada laut Barat dan pembebasan berbagi kebijaksanaan pemerintahan dunia Islam dari sikap mengekor pada sentralitas Barat. Dan dari sini menempatan kembali umat Islam di tempat asalnya, di garda depan berbagai peradaban.
c)    Islam, lebih dari itu semua, ialah seruan pada pembebasan kekayaan-kekayaan dunia islam dari cengkraman kapitalisme yang buas mengganas. Kerena pada kenyataannya dunia islam memang dianugerahi Tuhan kekayaan yang sangat melimpah, misalnya saja minyaknya .
Dari ketiga hal yang disebutkan diatas tadi, nampaknya islam cukup mengkhawatiran bagi barat. Maka tidak heran jika islam dimusuhi oleh barat.

6.   RELASI ISLAM-BARAT
            Dari pemaparan di atas, terlihat adanya bentrokan antara Islam dengan Barat yang didukung oleh hegemoni media di era postmodernisme ini. Lantas, terdapat pertanyaan menggelitik, apakah “relasi” merupakan term yang tidak bisa ditujukan pada keduanya? Pertanyaan besar inilah yang berusaha kami temukan jawabannya dalam pembahasan terakhir dalam makalah ini.                                                       
            Jika media dapat digunakan sebagai alat dalam menyulut konflik antara Islam dengan Barat, berarti media juga dapat digunakan sebagai alat untuk menciptakan perdamaian di antara keduanya. Hal itu berkesesuaian dengan fungsi media yang dapat menciptakan opini publik. Ditambah lagi di era postmodernisme yang paradoksal ini. Tidak ada kebenaran mutlak, banyak hal yang terjadi saling bertentangan. Namun, itulah keunikan postmodernisme. Inilah yang seharusnya menjadi sorotan kita bersama.
            Oleh karena itu, penyelesaian konflik antara Islam-Barat menggunakan metode dialog dalam media. Hal itu dimaksudkan, agar masing-masing pihak sama-sama mengklarifikasi kekeliruan opini publik yang beredar. Kita sama-sama sepakat bahwa karakteristik media yang sesungguhnya netral, bisa terwujud tanpa adanya intervensi dari kubu yang kuat.
Ada beberapa hal yang seharusnya dilakukan oleh media, sebagai alat untuk menciptakan relasi antara Islam dan Barat. Pertama, media harus mengungkapkan kebenaran; sesuai dengan realita, tanpa mengurangkan atau menambahkan fakta. Kedua, media harus loyal kepada keduanya; dalam artian tidak berpihak. Ketiga, media harus menjunjung disiplin verifikasi; dapat diuji kevalidan dari berita (opini publik yang diangkat oleh media). Keempat, media harus bisa menjaga independensi terhadap sumber berita. Kelima, media harus bisa menjadi pemantau kekuasaan; media dapat mengkritisi sang pemilik kekuasaan baik Barat, maupun Islam. Keenam, media harus menyediakan forum publik untuk menampung aspirasi bagi kedua belah pihak, baik kritik maupun, dukungan warga. Ketujuh, media harus menjaga agar berita tetap komprehensif dan proporsional.
Sebenarnya masih banyak langkah yang harus dilakukan pihak media. Dialog antara Islam dan Barat membutuhkan waktu yang panjang, demi terciptanya relasi di antara keduanya. Akan tetapi, semuanya itu harus dilakukan sedini mungkin agar tidak menimbulkan konflik yang lebih dahsyat lagi.  Dalam hal ini, media telah menjalankan fungsinya sebagai pengarah conflict resolution. Media menjadi mediator dengan menampilkan isu dari berbagai perspektif serta mengarahkan pihak yang bertikai, dalam hal ini Islam dan Barat, pada penyelesaian konflik.
Selain itu, Islam seharusnya menyadari posisi tawarnya yang lemah terhadap Barat. Barat sebagai super power dunia di era posmodernisme ini, telah mencitrakan Islam begitu negatif. Hal itu sebagai upaya menjadikan Islam sebagai musuh bersama agar mereka semakin kuat. Poin itulah yang seharusnya menjadi kunci, dimaksudkan agar Barat tidak menjadikan Islam sebagai musuh karena dianggap kekuatan yang mengancam. Oleh karena itu, Islam jangan terlarut dengan alur permainan Barat yang difasilitasi oleh media. Akan tetapi, menjadikan Barat sebagai kawan, bukan lawan.

7.   PENUTUP
            Konflik yang terjadi antara Islam dengan Barat merupakan fakta sejarah. Hal tersebut dimulai tidak hanya pada era posmodernisme ini, akan tetapi jauh sebelum era modernisme dengan berbagai motif. Konflik di antara keduanya semakin memanas di era posmodernisme unu. Hal itu dikarenakan kehadiran media yang digunakan sebagai alat penyubur konflik.
            Dari paparan di atas, diharapkan ada sedikit gambaran mengenai hegemoni media di era posmodernisme ini. Namun, kami optimis bahwa media dapat dialihfungsikan sebagai pencipta perdamaian di antara keduanya. Hal itu dikarenakan paradoksal media. Kita harus jeli menggunakan media, karena media bisa menjadi malaikat dan juga iblis. Dalam pembahasan ini, kami menekankan bahwa media dapat menjadi malaikat.
      Kami mengakui bahwa pembahasan makalah kami masih banyak kekurangan. Tapi, diharapkan tulisan yang singkat ini mampu menemukan “relasi antara Islam dan Barat” dalam hegemoni media di era posmodernisme ini.  Semoga tulisan ini dapat membuka cakrawala kita dalam menatap masa depan yang cerah bagi penyelesaian konflik antara Islam dan Barat. 







DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Akbar. Posmodernisme Bahaya dan Harapan bagi Islam. Terj, M. Saroji. Bandung: Mizan. 1996
Azra, Azyumardi. Pasca-Modernisme, Islam dan Politik: Kecenderungan dan Relevansi. Jurnal Ulumul Qur’an.
Gelner, Ernest. Menolak Posmodernisme: Antara Fundamentalisme Rasionalis dan Fundamentalisme Religius. Bandung: Mizan. 1994. 
Huntington, Samuel P. Benturan antarPeradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Qalam.2006.
Imarah, Muhammad. Meluruskan Barat Atas Islam. Yogyakarta: Sajadah Press. 2007
Madjid, Nurkholis. Islam Agama Peradaban. Jakarta: Paramadina. 1995
Said, Edward. Covering Islam. Terj. A. Asnawi dan Supriyanto Abdullah.  Yogyakarta: Ikon Teralitera. 2002
_______. Orientalisme. Terj. Asep Hikmat. Bandung: Pustaka. 2001
Setiarti, Eni. Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan: Strategi Wartawan
Menghadapi Tugas Jurnalistik. Yogyakarta: Andi. 2005.
Sugiharto, Bambang. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat.  Yogyakarta:
Kanisius. 2003.












Posmodernisme dan Hegemoni Media: Relasi Islam Barat Posmodernisme dan Hegemoni Media: Relasi Islam Barat Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi on October 21, 2015 Rating: 5

No comments:

Komentar