Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia

Judul Buku      : Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik  Epistemologi Islam atas      Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia
Penulis             : Murtadha Muthahhari
Penerbit           : Shadra Press, Jakarta
Cetakan           : I, 2010
Tebal               : xviii + 318 halaman

Rekonstruksi Epistemologi Islam: Sebuah Paradigma Kritis Buah Perenungan Filosofis Murtadha Muthahhari
 Kajian epistemologi dewasa ini kembali merajai kancah filsafat. Fenomena ini merupakan reaksi dari menyulutnya api pertikaian antar ideologi dan isme yang tak kunjung padam. Pertarungan dahsyat antar mazhab pemikiran didasarkan pada basis epistemologis yang mereka anut. Oleh karena itu, kajian epistemologi yang menjunjung tinggi kebenaran (realitas) dengan jalan damai merupakan angin surga bagi perkembangan filsafat.
Namun, hal tersebut tidak hanya membawa dampak positif bagi dunia filsafat an sich, tetapi juga merupakan pemuas dahaga bagi umat manusia yang haus dengan kebenaran. Itu merupakan konsekuensi logis karena akal manusia melalui perenungan filosofis lambat laun berontak atas belenggu ideologi dan isme yang berkiblat pada bangunan epistemologi yang kering kebenaran. Padahal, hakikat manusia adalah makhluk berakal yang senantiasa melakukan perjalanan menuju kebenaran. Lalu, apa sebenarnya bangunan epistemologi yang dapat dijadikan jembatan untuk menuju kebenaran hakiki?
Dalam hal ini, Murtadha Muthahhari,seorang Ulama agung sekaligus Filosof,menyuguhkan kembali bangunan “Epistemologi Islam” dengan bernuansa kritis dan dialogis. Bangunan epistemologi yang ditawarkan oleh Muthahhari dapat menjadi pemuas dahaga bagi manusia yang haus air “kebenaran”. Selain itu, latar belakang Muthahhari menghidangkan santapan epistemologi (nazhariah al-ma’rifah) dalam meja “filsafat” adalah sebagai respon dalam menghadapi gempuran berbagai paradigma yang menggrogoti bangunan epistemologi.
Kekhawatiran tersebut sangat beralasan karena epistemologi seharusnya dapat mengantarakan manusia pada pengetahuan mengenai realitas (kebenaran). Namun, pada kenyataanya, perkembangan filsafat sosial, fakultas, ideologi, danisme, sebagai landasan dalam kehidupan manusia, justru menimbulkan dampak negatif bagi manusia itu sendiri.(Lihat hal. 1) Hal itu karena pengusung pelbagai paradigma pikir tersebut saling berbertikai atas nama kebenaran “epistemologi”. Perselisihan tersebut sebenarnya hanya membuat mereka jatuh pada lubang “spekulasi filosofis” demi mendapatkan pengikut.
Muthahhari mengejawantahkan hasil perenungan filosofisnya terhadap fenomena gempuran berbagai ideologi dengan berceramah ala Socrates. Upaya penyadaran ini merupakan buah dari keresahan Muthahhari dalam menghadapi belenggu Marxisme yang telah menaklukkan pemikiran bangsa Iran pada masa itu.  Beliau sadar bahwa perubahan revolusioner harus dimulai dari paradigma berpikir. Oleh karena itu, Syahid Muthahhari menghidangkan sajian mengenai epistemologi yang berjudul Mas’ale-ye Syenokh(Masalah Epistemologi).
Kita patut bersyukur karena saat ini kumpulan dari ceramah beliau telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Ceramah Muthahhari termaktub dalam sebuah karyafilosofis yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia.
Buku yang hadir di tengah kita merupakan kajian yang sangat relevan dan signifikan. Hal itu mengingat telah menjangkitnyanya “kanker epistemologis” dalam dunia filsafat. Kanker ini dapat melumpuhkan kemampuan menilai (critical power), serta berdampak pada kegagalan akal (intellectual failure). Sehingga, kelanjutan dari mata rantai tersebut adalah tercerabutnya akar keyakinan dan keimanan. Adapun gejala yang dialami oleh seseorang yang mengidap kanker epistemologis adalah menafikkan Kebenaran Absolut. Penyakit inilah yang sedang mewabah karena matrealisme telah bertahta dalam singgasana kerajaan manusia modern. Oleh karena itu, karya Muthahhari ini merupakan sebuah obat yang dapat menyembuhkan manusia dari penyakit kanker tersebut menuju Kebenaran Absolut.

Selayang Pandang Singgasana Epistemologi dalam Kerajaan Filsafat
Epistemologi merupakan salah satu sistematika filsafat, di samping ontologi dan aksiologi. Apabila ontologi membahas mengenai “ada” atau hakikat segala sesuatu, sementara epistemologi mengupas persoalan pengetahuan. Pembahasan tersebut meliputi mungkinkah mengetahui, apa itu pengetahuan, bagaimana memperoleh pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, instrumen pengetahuan, dasar-dasar pengetahuan, bagaimana proses mengetahui, dan sebagainya.
Apabila ditilik akar katanya, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episçmç yang bermakna knowledge (pengetahuan), dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1854 oleh J.F. Ferrier yang membuat garis demarkasi antara dua cabang filsafat, yaitu ontologi dan epistemologi.
Namun, sesungguhnya sebelum kelahiran “epistemologi” sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri, pembahasan mengenai nilai pengetahuan telah muncul ke permukaan. Fakta itu dimulai sejak periode awal perkembangan sejarah filsafat Yunani. Setelah berabad-abad kejayaan Filsafat Yunani, pemindahan singgasana terjadi. Filsafat Barat yang digawangi oleh matrealisme menduduki tahta agung. Tidak dapat dipungkiri bahwa kekuasaan Filsafat Barat dalam epistemologi masih berada pada puncaknya. Namun, ada secercah harapan untuk menggulingkan tampuk kekuasaannya. Hal itu karena telah lahir sebuah epistemologi yang mengafirmasi Kebenaran Absolut, yakni Epistemologi Islam.
Sebenarnya, Epistemologi Barat telah tumbang dengan sendirinya. Hal itu karena landasan yang dibangun oleh pengusungnya sangat rapuh. Sehingga, lambat laun, bangunan epistemologi tersebut luluh lantah sebelum menggapai kebenaran, sebagai tujuan ideal dari pengetahuan. Sementara itu, Epistemologi Islam, di bawah bendera Filsafat Islam,memiliki nasib yang bertolak belakang dengan Epistemologi Barat. Eksistensi epistemologi Islam tidak tergoyahkan dengan gempuran dari bangunan epistemologi lain. Hal itu karena epistemologi Islam berlandaskan pada keyakinan atas Kebenaran Absolut. Sehingga, setiap waktu pohon epistemologi Islam terus tumbuh dan berbuah menjadi pohon yang kokoh.

Menumbangkan Epistemologi Barat, Mengukuhkan Epistemologi Islam?
Buah pemikiran dari Sayyid Muthahhari ini memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan karya lain mengenai epistemologi. Hal itu karena Muthhahari menyuguhkan sebuah pendekatan pengetahuan berbasis “akal-rasional” yang bermuara pada pencapaian “pengetahuan teoritis”.  Ini diperkuat oleh pembuktian Muthahhari terhadap rapuhnya pemikiran Filsafat Barat yang mengindikasikan kokohnya pemikiran Islam. Kritik Muthahari terhadap paradigma Barat ini mengantarkannya pada sebuah rumusan bangunan epistemologi Islam yang kuat. Hal tersebut berimplikasi pada penetapan cara pandang Islam yang lebih holistik, antara kecenderungan “teknis-pragmatis” dan “arif-teoritis”.
Dengan kata lain, Muthahhari mengukuhkan epistemologi Islam dengan jalan mengkritisi epistemologi Barat yang sesungguhnya sudah rapuh. Hal itu tercermin dari isi pembahasan beliau pada setiap bab yang berawal dari kritik terhadap epistemologi Barat, kemudian mengajukan epistemologi Islam sebagai sebuah jawaban. Selain itu, warna dari epistemologi Islam yang beliau bangun disandarkan pada kandungan al-Qur’an. Dalam hal ini, terlihat adanya keinginan Muthahhari untuk mengupayakan integrasi antara Filsafat dan Agama. Integrasi di antara kedunya diharapkan dapat memperkaya wacana epistemologi Islam yang senantiasa bertransformasi untuk menemukan jati diri.
Rumusan Epistemologi Islam yang dihidangkan oleh Muthahhari dalam meja kuliah epistemologi, diantaranya adalah Epistemologi menurut Pandangan al-Qur’an, Instrumen Pengetahuan, Tahapan dan Peringkat Pengetahuan, Mekanisme Generalisasi Pengetahuan Indrawi, Pengetahuan Melalui Tanda, Alam Bawah Sadar dan Pengetahuan Melalui Tanda, Pengetahuan Hakiki, Kajian terhadap Pelbagai Definisi Kebenaran dan Eksperimen, dan Kritik Tepat terhadap Eksperimen.Semua pembahasan tersebut telah termaktub dalam buku Pengantar Epistemologi Islam.

Hidangan Epistemologi Islam ala Muthahhari dalam Meja Makan Filsafat
Hidangan pembuka yang disuguhkan oleh Muthahhari dalam buku ini adalah berkenaan dengan “hubungan ideologi dan pandangan dunia”. Muthahhari mengemukakan bahwa kemajemukan ideologi dalam percaturan filsafat ialah suatu fenomena yang tidak dapat dipungkiri eksistensinya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kehadiran akal dalam diri manusia. Setiap ideologi berlandaskan pada suatu “pandangan dunia”. Kemudian, pandangan dunia berpijak pada “epistemologi”. Lebih lanjut, Muthahhari mengungkapkan bahwa sandaran dan dasar dari berbagai ideologi adalah pandangan dunianya. Jadi, setiap ideologi berlandaskan pada suatu “pandangan dunia”. Kemudian, pandangan dunia berpijak pada “epistemologi”. Dalam hal ini,pandangan dunia ialah bentuk dari sebuah kesimpulan penafsiran, hasil kajian, yang ada pada seseorang berkenaan dengan alam semesta, manusia, masyarakat dan sejarah. (hal. 2) Jadi, apabila pandangan dunia saling berbeda, maka ideologi pun akan saling berbeda pula. Hal ini menurut Muthahhari berakar pada perbedaan manusia dalam memandang alam ini.
Pembahasan selanjutnya yang digulirkan oleh Muthahhari adalah berkenaan dengan “kemungkinan manusia memiliki pengetahuan? Hal ini menjadi penting karena munculnya berbagai pemikiran yang menafikkan potensi manusia untuk memiliki pengetahuan. Pemikiran tersebut dianut oleh Pyrho, kaum Sophis yang  menyajikan 10 argumen ketidakmungkinan manusia memiliki pengetahuan. Keraguan tersebut pernah menghinggap pada filsafat al-Ghazali yang berangkat dari keraguan. Al-Ghazali mengatakan, “sekalipun saya ragu terhadap berbagai hal, tetapi saya tidak ragu terhadap keraguan saya. Hal itu sejalan dengan Descartes yang menemukan kebenaran dengan meragukan segala sesuatu.
Dalam hal ini, Muthahhari mengambil posisi tegas sebagai seorang filosof yang mengakui bahwa manusia “mungkin” atau memiliki potenis untuk memiliki pengetahuan. Pandangannya ini merupakan konsekuensi logis dari keyakinannya terhadap al-Qur’an yang mengakui adanya kemungkinan manusia untuk memperoleh pengetahuan. Atas dasar itulah, maka Muthahhari mengafirmasi fungsi logika sebagai sebuah ilmu yang digunakan untuk mencari neraca timbangan. Dengan kata lain, logika digunakan sebagai pisau analisa untuk menentukan pengetahuan yang benar dan salah.
Lebih lanjut, Muthahhari mengungkap penyimpangan sejarah yang paling merugikan manusia dalam kitab Taurat. Hal itu berkaitan dengan peristiwa turunnya Adam ke muka bumi setelah Allah mengajarkan kepadanya seluruh hakikat. Di dalam kitab ini disebutkan bahwa pohon yang didekati oleh Adam adalah berhubungan dengan sisi kemanusiaan Adam dan bukan berhubungan dengan sisi kebinatangan. Bagi Adam terdapat dua bentuk kesempurnaan, sementara Allah tidak menginginkan kedua kesempurnaan sekaligus; pertama, kesempurnaan pengetahuan dan yang kedua kekekalan di surga. (hal. 23) Penyelewengan ini mengakibatkan adanya garis demarkasi antara agama dan pengetahuan. Dengan kata lain,terkesan adanya kontradiksi di antara keduanya.
Dalam logika Islam, sebab Adam as dikeluarkan dari surga adalah karena ia tidak mengamalkan peringkat ke empat dari pengetahuannya. Peringkat pertama adalah epistemologi, kemudian pandangan dunia, selanjutnya ideologi. Oleh karena itu, terdapat makna tersingkap di balik turunnya Adam ke muka bumi yaitu ideologi mengharuskan dirinya untuk melaksanakan suatu amal perbuatan. Dengan kata lain, Adam harus mengoptimalisasikan potensi yang ada pada dirinnya sebagai manusia yang berpengetahuan.Hikmah di balik turunnya termaktub dalam al-Qur’an, yakni ajakan kepada anak keturunan Adam as pada pengetahuan dengan merenungkan apa yang ada di langit dan bumi.
Pada bab kedua, Muthahhari mengupas tuntas mengenai instrumen pengetahuan. Hal ini merupakan pembahasan esensial dalam pengetahuan karena berkenaan dengan alat yang digunakan manusia untuk memperoleh pengetahuan. Instrumen pertama yang dibahas oleh Muthahhari adalah indera. Ada sebuah ungkapan yang dilontarakan oleh Aristoteles yang mengindikasikan bahwa indera sangat diperlukan untuk memperoleh pengetahuan, yaitu “Barangsiapa yang kehilangan satu indera, maka ia kehilangan satu ilmu”.
Walaupun dibutuhkan untuk pengetahuan, akan tetapi indera belum memenuhi syarat untuk pengetahuan. Hal itu berdasar pada fakta bahwa manusia juga membutuhkan bentuk pemilahan (tajziah) dan penguraian (talil). Dalam hal ini, manusia membutuhkan akal (rasio) yang berfungsi untuk melakukan pemilahan dan penguraian untuk mengklasifikasikan objek-objek tertentu dalam kategori yang berbeda-beda. (hal. 40) Jika tidak ada pengkategorian pada masing-masing perkara rasional, maka kita tidak dapat mengetahui hal tersebut secara mendalam. Selain itu, di antara aktivitas rasio manusia yang luar biasa adalah proses tajrid (melepas), yakni dalam rasio kita tengah berlangsung proses melepas dua perkara dimana dalam alam riil (objektif) berupa satu perkara yang tidak dapat dipisahkan. (hal.42) Oleh karena itu, instrumen manusia untuk memperoleh pengetahuan tidak berhenti pada indera, tapi memerlukan instrumen lain yang disebut rasio (akal).
Di dalam al-Qur’an termaktub instrumen yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Islam meyakini bahwa rasio, mata, telinga, dan hati dapat dipergunakan sebagai alat epistemologi. (hal.53)Dengan kata lain, keyakinan terhadap hati sebagai instrumen pengetahuan merupakan ciri khas  epistemologi Islam. Adapun cara kerja hati untuk menggapai pengetahuan adalah dengan melakukan penyucian jiwa (penyucian hati).
Salah satu pembahasan yang disajikan oleh Muthahhari dalam karyanya adalah “sumber-sumber pengetahuan”. Dalam hal ini, Muthahhari meyakini bahwa alam semesta merupakan salah satu sumber pengetahuan. Adapun yang dimaksud dengan alam menurutnya ialah alam materi, alam ruang dan waktu, alam gerakan, dan alam yang kini kita hidup di dalamnya. (hal. 72) Muthahhari menyayangkan beberapa filosof yang tidak mengakui alam sebagai sumber pengetahuan, seperti Plato dan Descartes. Namun, Muthahhari tetap bersikukuh pada hipotesa bahwa alam ini merupakan salah satu “sumber eksternal” bagi pengetahuan.
Selain itu, Muthahhari mengemukakan bahwa manusia juga memiliki “sumber internal” bagi pengetahuan. Sumber internal pengetahuan meliputi rasio, indera, dan hati (jiwa). Lebih lanjut Muthahhari menyatakan bahwa rasio, indera, dan hati tidak hanya sebagai instrumen pengetahuan ---seperti yang telah dipaparkan oleh pembahasan sebelumnya--- tetapi juga dapat menjadi sumber pengetahuan. Indera merupakan sumber yang digunakan manusia untuk memperoleh pengetahuan dari alam materi. Sementara itu, rasio digunakan sebagai sumber untuk memperoleh pengetahuan dari berbagai argument logis (rasional). Lalu, hati atau jiwa manusia merupakan sumber pengetahuan yang akan digapai melalui penyucian hati (tazkiyah an-nafs). (hal. 77-79)
Selanjutnya, sumber lain yang diyakini oleh Muthahhari dapat mengantarkan manusia pada pengetahuan adalah Sejarah. Pendapat ini dilandaskan pada pandangan al-Qur’an yang mengusung alam, rasio, hati, dan sejarah sebagai sumber pengetahuan. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa sejarah merupakan bahan kajian. Dengan demikian sejarah merupakan salah satu sumber pengetahuan. Hal ini termaktub dalam berbagai ayat al-Qur’an, yaitu Al-An’am: 11, an-Naml: 69, al-‘Ankabut: 20, dan ar-Rum: 42. (hal. 97-99) Sejarah merupakan suatu pelajaran karena manusia dapat terlibat di dalamnya, jadi sunah sejarah bukanlah kepastian murni.
Pembahasan lain yang diketengahkan oleh Muthahhari adalah Tahapan dan Tingkatan Pengetahuan. Hal ini berdasarkan pada pertanyaan, apakah dalam upaya memperoleh pengetahuan hanya melalui satu tahap, atau beberapa tahap, dan jika beberapa tahap, mana sajakah tahap-tahap pengetahuan itu? (hal. 103) Ada yang berpandangan bahwa pengetahuan hanya melalui satu tahap saja, yakni tahap rasional seperti yang dikemukakan oleh Descartes. Sedangkan, ada juga yang berpandangan bahwa pengetahuan hanya melalui tahapan inderawi seperti yang dianut oleh kaum empiris.
Sementara itu, dalam irfan dikenal berbagai tahapan perjalanan manusia menuju pengetahuan hakiki. Perjalanan dari manzil (rumah) yang satu kemanzil yang lain melintasi sepuluh tahapan. Tahapan tersebut melalui penyucian jiwa dengan bersumber pada hati. Pendukung Matrealisme Dialektika berpendapat bahwa pengetahuan itu ada tiga tahapan, yaitu ihsas (inderawi), ta’aqqul (penggunaan rasio) dan ‘amal (praktik). Lalu, para filosof Muslim meyakini dua tahapan pengetahuan, yakni inderawi dan penggunaan rasio. Jenis pengetahuan ini berawal dari indera dan berakhir dengan penggunaan rasio, serta tidak perlu melalui tahapan praktik dan uji coba.
Pembahasan selanjutnya adalah Mekanisme Generalisasi Pengetahuan Inderawi. Pengetahuan Logikal Manusia memiliki suatu hubungan langsung dengan alam obyektif yang merupakan  hubungan inderawi. Setelah melewati tahap inderawi, maka rasio dan akal yang ada dalam jiwanya mengantarkan inderawi menuju rasional, dan mengangkat pengetahuan inderawi hingga mencapai pengetahuan logikal (mantiqi) dan pengetahuan mendalam (‘umqi). (hal. 142)
Dalam pandangan Ibn Sina dan Khajah Nashiruddin ath-Thusi mengungkapkan bahwa pada setiap tajribah (eksperimen) terdapat satu qiyas tersembunyi. Dengan kata lain, terdapat suatu bentuk penggunaan rasio (ta’aqqul) dan penyimpukan langsung yang sama sekali tidak berlandaskan pada indera dan eksperimen. Hal itu merupakan dasar pertama yang jelas (badihi, aksioma) serta kekal yang terdapat pada rasio manusia, disebut dengan bil fitrah (secara fitrah). Dengan kata lain, pada saat berlangsungnya aktivitas rasio, di mana rasio mengambil energi dari indera, lalu dasar yang ada dalam diri manusia ini menjadi tumbuh dan berkembang. (hal. 155)
Kemudian pada pembahasan berikutnya, Muthahhari mengusung Pengetahuan Melalui Tanda. Dalam filsafat, rasio manusia diumpamakan seperti cermin. Adapun tujuan analogi antara rasio manusia dengan cermin merupakan suatu perumpamaan yang menarik bahwasanya manusia dalam usaha  memperoleh pengetahuan diperlukan kebersihan pemikiran dan jiwa dari warna negatif apa pun. Adapun perbedaan cermin dengan alam mental (rasio) adalah rasio dapat memantulkan ma’ani (berbagai makna), mengetahui kesalahan, pengetahuan tentang diri sendiri, luas dan tidak terbatas, dan pendalaman (ta’miq).  (hal. 173-178). Jenis epistemologi logikal ini seiiring yang diungkapkan oleh al-Qur’an dengan ayat (tanda) pada Surat ar-Rum: 21- 22. Dalam ayat tersebut, al-Qur’an mengungkapkan bahwa alam semesta ini sebagai tanda untuk memperoleh pengetahuan ilmiah dan metafisika. 
Pada bab selanjutnya, Muthahhari memaparkan mengenai Alam Bawah Sadar dan Pengetahuan melalui Tanda. Pada akhir abadini, berkaitan dengan roh dan jiwa manusia, muncul sebuah ilmu yang merupakan suatu jenis psikoanalisa. Psikoanalisa adalah sebuah disiplin ilmu jiwa yang berhubungan dengan “alam bawah sadar” manusia. Alam bawah sadar memiliki dua ciri khusus, yaitu menguasai “jiwa sadar” dan bertugas sebagai pemberi perintah. Keberadaan alam bawah sadar pada diri manusia merupakan bukti bagi keberadaan jiwa (roh). Dengan kata lain, alam bawah sadar merupakan bagian yang ghaib dalam diri manusia. Dengan melihat tanda-tanda dan berbagai petunjuk yang ada dalam jiwa sadar, sedikit demi sedikit kita akan mampu menyingkap keberadaan alam bawah sadar. Jenis pengetahuan ini dikenal dengan “pengetahuan melalui tanda”.
Pada akhirnya, Muthahhari memasuki pembahasan landasan dan neraca pengetahuan. Pembahasan ini terkait erat dengan pertanyaan yaitu Apa definisi “benar” yang lawan katanya adalah “salah”? dan Neraca apa yang digunakan untuk mengukur pengetahuan tersebut benar atau salah? Para Ulama dan filosof klasik mendefinisikan kebenaran adalah pengetahuan yang bersesuaian dengan realitas. Sementara itu, hakikat (pengetahuan yang benar) adalah pengetahuan yang ada di pikiran orang itu yang sesuai dengan pengetahuan lainnya. (hal. 213-220). Dalam hal ini, Islam tidak mengakui eksperimentasi sebagai satu-satunya alat uji dan neraca untuk menimbang kebenaran suatu pengetahuan.
Selanjutnya, Muthahhari membahas mengenai Kajian terhadap Pelbagai Definisi Hakikat dan Eksperimen. Adapun kajian yang diketengahkan oleh Muthahhari diantaranya adalah persamaaan antara ijma’ menurut pandangan Ahlusunah dan August Comte, kritik terhadap pandangan August Comte, kritik terhadap teori relativisme kebenaran dan sebab-sebab kesalahan. Kemudian, Muthahhari juga membahas tentang perbedaan landasan pengetahuan dengan neraca pengetahuan karena pengetahuan adalah neraca, teori Aristoteles dalam bab eksperimen, neraca pengetahuan menurut logika modern. Lalu, Muthahhari mengkritisi pengaruh eksperimen terhadap keyakinan agama, kritik terhadap eksperimen itu sendiri, dan menyuguhkan ungkapan Russel tentang eksperimen.
Bab terakhir dalam buku ini membahas mengenai Kritik Tepat terhadap Eksperimen. Muthahhari menegaskan bahwa eksperimen tidak dapat dijadikan sebagai neraca pengetahuan. Adapun salah satu argumentasi Muthahhari berkenaan dengan hal itu adalah terdapat pelbagai perkara yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, yang sekalipun kita yakini kebenarannya dengan jelas tetapi perkara itu tidak dapat diuji melalui eksperimen. Sebagaimana dasar yang ada pada semua ilmu pengetahuan dan filsafat, misalnya “dawr itu mustahil”. Oleh karena itu, epistemologi Islam lebih menekankan pada manusia Fitrawi, daripada manusia eksperimen.

Perspektif Baru dalam Wacana Epistemologi Islam
            Buku Pengantar Epistemologi Islam karya Muthahhari merupakan sebuah perspektif baru yang segar dalam wacana epistemologi Islam. Hal itu karena nuansa yang disuguhkan oleh Muthahhari merupakan ramuan yangi kritis dan filosofis. Jadi, tersirat adanya upaya Muthahhari untuk mengukuhkan epistemologi Islam dengan menumbangkan epistemologi Barat.
            Karya ini layak dijadikan rujukan bagi para pelajar dan akademisi yang ingin mengetahui secara mendalam pertarungan epistemologi Islam dengan epistemologi. Terutama berkaitan dengan argumentasi-argumentasi filosofis yang digunakan untuk menjawab kesalahan epistemologis dari Filsafat Barat.
            Namun, buku yang ada di hadapan kita belum bias disebut Pengantar Epistemologi Islam. Hal itu disebabkan oleh pembahasan di dalamnya yang sangat sulit dipahami oleh pemula. Terlebih lagi bagi mereka yang belum memahami istilah-istilah dalam epistemologi. Tapi, hal itu tidak mengurangi esensi dari buku ini yang sangat komprehensif membahas persoalan-persoalan epistemologis dalam dunia Filsafat.Selamat membaca!


Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik  Epistemologi Islam atas  Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi on October 22, 2015 Rating: 5

No comments:

Komentar