BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nasikh dan Mansukh dalam ulumul quran adalah salah satu dari beberapa cabang ilmu yang perlu dipahami dalam menggali makna yang tersirat dalam ayat al-Quran yang setidaknya ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Quran ada yang ‘Aam (Umum/general), ada yang Khosh (special/khusus), ada yang Mutlaq (Absolut) ada yang Muqayyad (Terikat) dan sebagainya. Sehingga, selain mengetahui bentuk ayat, asbab an-Nuzul, Muhkamat dan Mutasabih, maka nasikh dan mansukh juga membantu seseorang dalam menggali makna ayat-ayat Al-Quran.
Secara umum Maqasid Al-Tasri’ adalah untuk kemaslahatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesiuai dengan tuntutan realitas Zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia. Proses serupa ini, disebut dengan nasikh mansukh.
Dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al-qur’an.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas berkaitan dengan nasikh mansukhadalah sebagai berikut
A. Pengertian nasikh dan mansukh
B. Dalil Tentang Nasikh Mansukh dalam Syari'at
C. Pendapat ulama tentang nasikh dan mansukh
B. Dalil Tentang Nasikh Mansukh dalam Syari'at
C. Pendapat ulama tentang nasikh dan mansukh
D. Macam-Macam Nasikh Mansukh
E. Pengertian takhshish
E. Pengertian takhshish
F. Urgensi mempelajari konsep nasikh dan mansukh
BAB. II
NASIKH DAN MANSUKH
A. PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH
Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan; menghapuskan; memindahkan; menulis. Adapun secara istilah, maka ada dua macam:
Pertama. Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda.
Al-Baidhowi rahimahullah (wafat th 685 H) mendefinisikan dengan: “Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya”. [1]
Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan: “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya”. [2]
Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, yaitu: “menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah”. [3]
Kedua : Naskh menurut istilah Salafush Sholih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.
Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang: Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an; atau amir (pemimpin) yang harus (berfatwa); atau orang dungu yang memaksakan diri”. [4]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) naasikh dan mansukh terkadang adalah: menghapuskan hukum sekaligus, dan ini merupakan istilah muta-akhirin, dan terkadang adalah: menghapus penunjukkan dalil ‘am, [5] mutlaq, [6] zhahir, [7] dan lainnya, kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyiid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta tanbiih (mengingatkan). Sehingga mereka (Salaf) menamakan istitsna’ (pengecualian), syarath, dan sifat dengan naskh, karena hal itu menghapus penunjukkan zhahir dan menjelaskan yang dimaksudkan. Maka naskh, menurut mereka (Salaf) dan bahasa mereka adalah: menjelaskan yang dimaksudkan dengan bukan lafazh itu, tetapi dengan perkara yang di luarnya. Barangsiapa memperhatikan perkataan mereka, akan melihat padanya dari hal itu apa-apa yang tidak dapat dihitung, dan dengan sebab itu akan hilang darinya kesulitan-kesulitan yang diakibatkan karena membawa perkataan mereka pada istilah baru yang akhir”. [8]
Nasikh artinya : yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakekatnya naasikh (yang menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.
Mansukh artinya : yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan.
Secara etimologi Nasakh dapat diartikan menghapus, menghilangkan (izalah), yang memindahkan (naql), mengubah (tahwil) dan menggganti (tabdil). Sejalan dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali mengartikan Nasakh dengan 2 macam yaitu : pertama الازلة:yang berarti hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang sering berkata نسحت الشمس الظل(Cahaya Matahari menghilangkan bayang-bayang). Kedua نقل الشيئ الى موضع.yaitu memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya.
Sedangkan secara istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain:
a. Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (12) أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (13) [المجادلة/12، 13]
12. Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
13. Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum Mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
b. Nasakh adalah Allah SWT. Artinya otoritas menghapus dan menggantikan hukum syara’ hakikatnya adalah Allah SWT. Definisi ini didasarkan pada Al-Baqoroh : 106
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
106. Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
[81] Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.
c. رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي شرحياعنهartinya mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah atau khitab Allah yang datang kemudian dari padanya.
Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya Nasakh tidak lain sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam al-Qur’an. Selain itu kedatangan ayat yang menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di hapus.
Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan denganالحكم المرتفع Hukum yang diangkat. Contoh QS. Al-Nisa : 11 Menasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang wasiat
Al-Nisa : 11
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا [النساء/11]
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[272] Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
[273] Lebih dari dua Maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.
Al- Baqarah : 180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ [البقرة/180]
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
[112] Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.
Sedangkan secara istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
Sementara itu, Quraish Shihab menyatakan bahwa ulama-ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin tidak sepakat dalam memberikan pengertian nasikh secara terminologi. Hal ini terlihat dari kontroversi yang muncul diantara mereka dalam menetapkan adanya nasikh dalam Al-Qur’an. Ulama-ulama mutaqaddimin bahkan memperluas arti nasikh hingga mencakup :
1. Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
2. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian.
3. Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius.
4. Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum terdahulu.
Dengan demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa al-Mansukh di atas baik secara bahasa maupun istilah pada dasarnya secara eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh mensyaratkan beberapa hal antara lain :
a. Hukum yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum akal atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah)
b. Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’: 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا [النساء/59]
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
c. Dalil/ayat yang di Mansukh harus datang setelah dalil yang di hapus.
d. Terdapat kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua sehingga tidak bisa dikompromikan
Setelah memahami pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh diatas pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya. Menjawab pertanyaan ini al-Qattan memberikan rumusan bahwa Al-Nasakh Wa al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat.
Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
b. Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan ayat yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.
c. Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.
B. DALIL TENTANG NASIKH DAN MANSUKH DALAM SYARI'AT
Perlu diketahui bahwa
adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh (dihapus
hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits),
dalil akal, dan ijma’.
Dalil Naql
Firman Allah Azza wa Jalla.
Firman Allah Azza wa Jalla.
مَا نَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ
Apa saja ayat yang kami
nasakhkan (hapuskan)… [Al Baqarah:106]
Makna kata “ayat” di
dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran Salafush
Sholih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid,
sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi,
Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir
[Lihat Taffsir Ibnu Katsir, surat Al-Baqarah: 106]
Adapun manafsirkan kata
“ayat” pada firman Allah di atas dengan “mu’jizat”, sebagaimana dalam Tafsir
Qur’an Al-Furqan, karya A.Hassan rahimahullah, maka kami khawatir itu merupakan
tafsir bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan
ijma’ ahli tafsir sebagaimana di atas. Wallohu a’lam.
Firman Allah Azza wa
Jalla.
وَإِذَا بَدَّلْنَآ
ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍ
Dan apabila Kami
mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain. [An Nahl:101]
Demikian juga ayat ini
juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan mansukh, bukan
hanya nasikh saja! Ayat yang Alloh jadikan pengganti adalah naasikh, ayat
yangdigantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita
lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di
bawah insya Alloh. Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.
Dalil Akal.
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Naskh boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) miliknya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Maalik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hambanya apa yang dituntut oleh hikmahNya dan rahmatNya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki? Kemudian bahwa kandungan hikmah Allah dan rahmatNya terhadap hamba-hambaNya adalah Dia mensyari’atkan untuk mereka apa-apa yang Allah mengetahui bahwa padanya terdapat mashlahat-mashlahat agama dan dunia mereka. Sedangkan mashlahat-mashlahat berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan zaman. Terkadang suatu hukum lebih mashlahat bagi para hamba pada satu waktu atau satu keadaan. Dan terkadang hukum lainnya pada waktu dan keadaan yang lain lebih mashlahat. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. [Ushul Fiqih, hal: 45, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin]
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Naskh boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) miliknya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Maalik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hambanya apa yang dituntut oleh hikmahNya dan rahmatNya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki? Kemudian bahwa kandungan hikmah Allah dan rahmatNya terhadap hamba-hambaNya adalah Dia mensyari’atkan untuk mereka apa-apa yang Allah mengetahui bahwa padanya terdapat mashlahat-mashlahat agama dan dunia mereka. Sedangkan mashlahat-mashlahat berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan zaman. Terkadang suatu hukum lebih mashlahat bagi para hamba pada satu waktu atau satu keadaan. Dan terkadang hukum lainnya pada waktu dan keadaan yang lain lebih mashlahat. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. [Ushul Fiqih, hal: 45, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin]
Dalil Ijma’.
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Baji rahimahullah
berkata: “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at
menurut akal dan syara’”. [9]
Al-Kamal Ibnul Humam
rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya
(naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at)”. [10]
Syaikh Muhammad Al-Amin
Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa tiga bentuk ini (yaitu
naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; naskh Sunnah Mutawatir dengan Sunnah
Mutawatir; dan naskh Sunnah Ahad dengan Ahad) tidak ada perselisihan padanya di
antara ulama yang dipercaya, sebagaimana banyak ulama telah menukilkan adanya
ijma’ padanya. Maka penyelisihan orang yang menyelisihi dalam hal ini tidak
dihitung dan tidak ada dalil untuknya”. [hal: 148]
Dr. Ali berkata: “Mereka
(para ulama) mengatakan: Sesungguhnya para sahabat Radhiyallahu ‘anhum dan
seluruh Salaf telah ijma’ (sepakat) bahwa syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menghapus seluruh syari’at yang telah lalu. Sebagaimana mereka juga
telah ijma’ bahwa naskh telah terjadi pada banyak hukum-hukum syari’at Islam.
Dan terjadinya hal itu cukup sebagai dalil untuk menetapkan bolehnya/mungkinnya
(naskh menurut akal-red)”. [Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 425, Syeikh
Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi]
Syaikh Tsanaulloh
Az-Zahidi berkata: “Ahli fiqih dan ushul telah sepakat atas
kebolehan/kemungkinan adanya naskh menurut akal, dan atas terjadinya menurut
syara’. Kecuali apa yang dinukilkan dari Abu Muslim Muhammad bin Bahr
Al-Ashfahani seorang Mu’tazilah yang mati tahun 322 H”. [11]
C. PENDAPAT ULAMA TENTANG NASIKH DAN MANSUKH
Keberadaan Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai mana yang telah diungkap dalam awal pembicaraan di atas, menunjukkan bahwa Nasakh dan Mansukh sangat penting dalam kajian hukum Islam, sebab ia bukan hanya terkait dengan aspek hukum syara’ melainkan juga tak jarang berkaitan dengan teologi. Oleh karena itu Al-Nasakh Wa al-Mansukh dalam pandangan para ulama tentunya beraneka ragam. Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah
1. Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara sam’I telah terjadi. Pendapat pertama ini merupakan pendapat dari kalangan Jumhur ulama’. Dasar hukum yang mereka pakai adalah : Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak prerogativeNya untuk menghapus ataupun tidak. Adanya Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :
a. Dalam Qur’an surat an-Nahl : 101
وَإِذَا بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ [النحل/101]
101. Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
b. QS. Al-Baqarah:106
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
106. Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
[81] Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.
2. Nasakh secara akal mungkin terjadi namun secara syara’ tidak. Pendapat ini di motori oleh abu Muslim al-Asfihani. Ia berpendapat Nasakh mungkin terjadi secara logika namun secara syara’ tidak. Sebab ia berpedoman pada QS. Fushilat:42
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ [فصلت/42]
42. Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Menurut al-Asfihani, bertolak dari ayat di atas, Al-Qur’an tidak mungkin disentuh oleh pembatalan. Sudah tentu mayoritas ulama keberatan terhadap pandangan Al-Asfihani tersebut., sebab menurut mereka ayat di atas tidak bicara tentang pembatalan, tetapi kebatilan yang berarti lawan dari kebenaran. Menurut mereka, hukum Tuhan yang dibatalkan tidak mengandung keharusan bahwa hukum itu batil. Hal ini karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya ketika terdapat perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu, bukan berarti hukum itu menjadi tidak benar.
3. Nasakh tidak mungkin terjadi baik secara akal maupun pandangan. Pendapat ini berasal dari kaum Nasrani. Menurut pandangan kaum Nasrani Nasakh mengandung konsep al-Ba’da yang hal itu mustahil bagi Allah SWT. Dengan demikian adalah mustahil Allah menghapus apa yang telah di FirmankanNya.
Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'iyang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukumyang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakberakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebuttidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga mencakuppengertian pembatasan (qaid) bagi suatu pengertian bebas(muthlaq). juga dapat mencakup pengertian pengkhususan(makhasshish) terhadap suatu pengertian umum ('am). bahkanjuga pengertian pengecualian (istitsna). demikian pulapengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasanpengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antaranasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya,sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuanhukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakanberakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yangterdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialahketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikanketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian, dan di lain pihak -dalam perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu pengertian. Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti, sejauh mana jangkauan naskh itu? Apakah semua ketentuan hukum didalam syari'at ada kemungkinannya terjangkau naskh? Dalam hal ini Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban tugas keagamaan) sebagai suatu kebulatan tidak mungkin terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena mustahil Allah berdusta. Sejalan dengan ini Imam Thabari mempertegas, nasikh-mansukh yang terjadi antara ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi haram, atau sebaliknya, itu semua hanya menyangkut perintah dan larangan, sedangkan dalam berita tidak terjadi nasikh-mansukh.
Ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir mengenai apa saja yang dinasakh dari ayat-ayat Al Qur’an, maupun ayat-ayat yang mansukh. Di dalam ilmu tafsir ada istilah Annasikh dan Almansukh. Annaasikh adalah ayat-ayat yang menghapus, sedangkan al Mansukh adalah ayat-ayat yang dihapus.
Kelompok pendapat pertama dari kalangan ahli tafsir (jumhur ulama) meyakini ada ayat-ayat yang menghapus (naasikh) dan ada ayat-ayat yang dihapus (mansukh), tetapi dari segi hukumnya saja, bukan redaksi atau lafal ayat. Jadi redaksi ayat masih tetap tidak dihapus.
Sebagai contoh pertama adalah ayat 219 Surat Al Baqarah :
Yas aluunaka ‘anil khomri wal maisir…Qul fiihima itsmun kabiirun wa maanaafi’u linnas wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa…
“ Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS Al Baqarah : 219)
Bagi kelompok yang meyakini ada nasikh mansukh dari segi hukum, ayat ini dinasikh atau dihapus hukumnya oleh S. Al Maidah ayat 90. Innamal khomru wal maisiru wal anshobu wal azlaamu rijsumin ‘amalisysyaithoon fajtanibuuhu…
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maidah : 90)
Begitu juga S. An Nisa’ ayat 43 juga di nasikh oleh ayat ini tadi.
Walaa taqrobushsholaata wa antum sukaaro. hattaa ta’lamu maa taquuluuna….
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”.(QS An Nisa’:43)
Sedangkan kelompok pendapat kedua dari kalangan ulama’meyakini ada juga ayat-ayat yang dihapus dari redaksi ayatnya. Contohnya adalah ayat tentang rajam (hukuman bagi pezina muhson). Di dalam surat AnNur tentang sangsi atau had (hukuman) bagi pezina itu Allah nyatakan AzZaaniyatu wazzaanii fajliduu kulla waahidin minhumaa mi-ata jaldah… (Pezina perempuan dan pezina laki-laki cambuklah tiap dari mereka itu seratus kali cambukan…)
Tetapi dalam hadits hukuman itu masih ada, hanya saja redaksi ayat tentang rajam ini sudah tidak ada. Jadi sudah dihapus dengan Azzaaniyatu wazzaani fajliduu dan seterusnya. Jadi Allah menggunakan kata-kata yang umum. Jadi tidak dibedakan antara pezina muhson (yang sudah kawin) atau pezina yang ghoiru muhson (pezina yang belum kawin.)
Kemudian kelompok pendapat ulama yang ketiga adalah menolak faham tentang adanya ayat nasikh dan mansukh. Contohnya imam Abu Muslim Al Isfihani. Ia berpendapat tidak mungkin di dalam Al Qur’an ada nasikh dan mansukh. Apalagi nasikh mansukh yang berkaitan dengan redaksi. Jadi menurut beliau istilahnya bukan nasikh mansukh, tetapi hanya pengecualian atau ketentuan lain. Sedangkan redaksinya tetap. Jadi (misalnya) kalau kita ingin membina atau mengingatkan orang-orang yang mabuk tadi ada istilah tadrij. Jadi redaksi maupun hukumnya tidak dimansukh, tetapi tetap dan memang harus demikian. Itu merupakan teknik atau sistim tadrij yang dipakai Al Qur’an untuk mengingatkan manusia. . Baik itu hukumnya maupun redaksinya tidak dihapus, hanya itu merupakan pengecualian atau pengkhususan …Atau itu sebenarnya merupakan suatu teknik tadrij .
Sebagai contoh untuk mencegah orang yang minum minuman keras tidak mungkin dihentikan sekaligus, tetapi melalui tiga tahapan tadi. Istilahnya tadrij dari sedikit demi sedikit. Pertama penyadaran dulu dengan diajak berpikir : Yas aluunaka ‘anil khomri wal maisir…Qul fiihima itsmun kabiirun wa maanaafi’u linnas wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa… Dalam mengajak berpikir ini sudah diarahkan. Jadi ini obyektif: O, memang khomr itu minuman keras ada manfaatnya, juga ada madhorotnya. O, manfaatnya memanaskan badan, tetapi ada madhorotnya: merusak hati, pikiran, dan sebagainya. Dalam mengajak berpikir tersebut sudah diarahkan: wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa… Dan dosa atau madhorotnya lebih besar dibandingkan manfaatnya. Setelah itu tahap kedua: Walaa taqrobushsholaata wa antum sukaaro hattaa ta’lamu maa taquuluuna…. janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, Ketika ayat ini turun orang masih boleh minum khomr, tetapi diingatkan : jangan menjalankan sholat ! Kemudian baru tahap yang ketiga, secara tegas dinyatakan keharomannya dalam Surat Al Maidah ayat 90: Innamal khomru wal maisiru wal anshoobu wal azlaamu rijsumin ‘amalisysyaithoon fajtanibuuhu… Jadi ini merupakan suatu teknik tadrij, sebagaimana dipahami Abu Muslim al Isfihani tadi bahwa tidak ada nasikh mansukh, apalagi redaksinya. Kalau ada ayat yang turun dianggap sebagai nasikh, maka menurut al Isfihani itu adalah ayat yang berfungsi untuk memberi pengecualian atau pengkhususan atau sebagai teknik tadrij, yakni dalam menyelesaikan permasalahan tidak melarang sekaligus, tetapi melalui tahapan seperti contoh masalah khomr tadi.
Sedangkan pendapat yang keempat adalah sebagaimana pemahaman Imam al Alusi yang meyakini bahwa ayat yang dihapus atau Nabi dilupakan itu bukanlah ayat-ayat Qur’aniyah (Al Qur’an), melainkan ayat-ayat Qolbiyah atau Kauniyah.
a. Nasakh syarih yaitu ayat-ayat yang secara tegas menghapuskan hukum ang terdapat dalam ayat terdahulu. Misalnay surat Al-Anfal :65-66, Ayat tentang perang yang mengharuskanperbandingan antara muslim dan kafir adalah : 1:10 dinasakh dan ayat yang mengharuskan hanya 1:2 dalam masalah yang sama. Sebagai mana firman Allah yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ (65) الْآَنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (66) [الأنفال/65، 66]
“Hai Nabi, kabarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang, jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaa mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu dari pada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti (65). Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui ada kelemahan pada dirimu. maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar niscaya mereka mengalahkan dua ratus orang dan jika ada diantaramu seribu (orang yang sabar), niscaa mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Qs. Al-Anfal : 65-66).
b. Nasakh dhimni yaitu bila ada ketentuan hukum ayat yang terdahulu tidak bisa dikompromikan dengan ketentuan hukum ayat yang datang kemudian, ia menasakh ayat yang terdahulu. Misalnya, ayat tentang wasiat kepada ahli waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris.
c. Nasakh kulli yaitu masalah hukum yang datang kemudian ia menasakh hukum yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Misalna ketentuan hukum iddah satu tahun bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang dinasakh dengan iddah 4 bulan 10 hari. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-baqarah : 240 dinusakh oleh surat Al-Baqoroh : 234
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [البقرة/240]
240. Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ [البقرة/234]
234. Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
[147] Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan.
d. Nasakh juz’i yaitu menasakh hukum yang mencakup seluruh individu dengan hukum yang mencakup sebagian individu atau menasakh hukum yang bersifat mutlak dengan hukum yang bersifat muqayyad (terbatas). Contohnya hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur : 4 dihapus oleh ketentuan li’an yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, bagi si penuduh pada ayat 6 dalam surat yang sama.
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [النور/4]
4. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
[1029] Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil balig dan muslimah.
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ [النور/6]
6. Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
D. MACAM-MACAM NASIKH
Pertama : Macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga
bagian: [12]
1. Nash Yang Mansukh
Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap.
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap.
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap.
Hikmah naskh jenis ini
adalah: tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat tentang
hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan.
Contohnya firman Allah
Azza wa Jalla.
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ
حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ
يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَّكُن مِّنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِّنَ
الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَفْقَهُونَ
Hai Nabi, kobarkanlah
semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar
diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika
ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu
daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak
mengerti. [Al Anfal :65]
Ayat ini menunjukkan
kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orang-orang kafir.
Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1000 orang-orang kafir.
Kemudian hukum ini
dihapus dengan firman Allah selanjutnya.
الْئَانَ خَفَّفَ اللهُ
عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِن يَكُن مِّنكُم مِّائَةٌ صَابِرَةٌ
يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَكُنْ مِّنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ
بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Sekarang Allah telah
meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka
jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan
dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang
sabar. [Al Anfal :66]
Abdullah bin Abbas
berkata:
لَمَّا نَزَلَتْ ( إِنْ
يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ) شَقَّ ذَلِكَ
عَلَى الْمُسْلِمِينَ حِينَ فُرِضَ عَلَيْهِمْ أَنْ لَا يَفِرَّ وَاحِدٌ مِنْ
عَشَرَةٍ فَجَاءَ التَّخْفِيفُ فَقَالَ ( الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ
وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضُعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ
يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ) قَالَ فَلَمَّا خَفَّفَ اللَّهُ عَنْهُمْ مِنَ
الْعِدَّةِ نَقَصَ مِنَ الصَّبْرِ بِقَدْرِ مَا خُفِّفَ عَنْهُمْ
Ketika turun (firman
Allah): “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh” (Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat
Islam, yaitu ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari
menghadapi 10 (musuh). Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman:
“Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu
bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (Al-Anfal: 66) Ketika Allah telah meringankan
dari mereka jumlah (musuh yang wajib dihadapi-red), kesabaranpun berkurang
seukuran apa yang Allah telah meringankan dari mereka”. [HR. Bukhari, no: 4653]
Inilah contoh hukum yang
mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum dalam ayat 65 surat
Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid,
Atho’, ‘Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani,
Adh-Dhohhak, dan lainnya. [13] Orang yang menolak adanya mansukh dalam
Al-Qur’an telah menyelisihi penafsiran mereka.
2. Nash Yang Mansukh
Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap.
Al-Aamidi rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Mu’tazilah. [14]
Al-Aamidi rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Mu’tazilah. [14]
Hikmah naskh jenis ini
adalah: agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam
bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat),
yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu
Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissallam bersegera akan melaksanakan
penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Isma’il, dengan sumber mimpi, sedangkan
mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi. Wallahu a’lam.
[15]
Selain itu, di antara
hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata: “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh)
hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di
dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan.
Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rajm di dalam
Taurat”. [16]
Contoh jenis naskh ini
adalah ayat rajm [17] Umar bin Al-Khathab berkata:
لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ
يَطُولَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ حَتَّى يَقُولَ قَائِلٌ لَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِي
كِتَابِ اللَّهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ أَلَا
وَإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى وَقَدْ أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ
الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوِ الِاعْتِرَافُ قَالَ سُفْيَانُ كَذَا
حَفِظْتُ أَلَا وَقَدْ رَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ
Sesungguhnya aku
khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata:
“Kita tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat
dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah.
Ingatlah, sesungguhnya rajm adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah
menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan”.
Sufyan berkata: “Demikianalh yang aku ingat”. “Ingatlah, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah melakukan rajm, dan kita telah melakukan rajm setelah
beliau”. [HR. Bukhari, no: 6829; Muslim, no: 1691; dan lainnya]
Adapun lafazh ayat rajm,
disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ
إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ
حَكِيْمٌ
Laki-laki yang tua
(maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya : yang sudah
menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman
yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.
[Lihat Fathul Bari, 12/169, Darul Hadits, Kairo, cet: 1, th: 1419 H / 1998 M,
syarh hadits no: 6829]
3. Nash Yang Mansukh
Hukumnya Dan Lafazhnya.
Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata:
Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata:
كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ
مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ
بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ
Dahulu di dalam apa yang
telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang
diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali
penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]
Makna perkataan ‘Aisyah
“dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu : Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau : Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya. [18]
• Yaitu : Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau : Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya. [18]
Kedua : Macam-macam
naskh dilihat dari nash yang naasikh (menghapus) –secara ringkas- ada empat
bagian:
1. Al-Qur’an Dimansukh
Dengan Al-Qur’an.
Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama’, adapun orang yang beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. [19]
Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama’, adapun orang yang beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. [19]
Contohnya adalah ayat
65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal, sebagaimana telah kami
sampaikan di atas. Contoh lain: firman Allah Azza wa Jalla.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ
صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللهَ
غَفُورُُ رَّحِيمٌ
Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu
mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada
memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. [Al Mujadilah :12]
Ayat ini menunjukkan
kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang
menghapuskan kewajiban tersebut. Lihat hal ini dalam Tafsir Ibnu Katsir. Allah
Azza wa Jalla firmanNya:
ءَأَشْفَقْتُمْ أَن
تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ
اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللهَ
وَرَسُولَهُ وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Apakah kamu takut akan
(menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan
Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat
kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Mujadilah:13]
2. Al-Qur’an Dimansukh
Dengan As-Sunnah.
Pada jenis ini ada dua bagian:
Pada jenis ini ada dua bagian:
a). Al-Qur’an dimansukh
dengan Sunnah (hadits) Mutawatir.
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau menyatakan: “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…”. Namun Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya”. [20]
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau menyatakan: “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…”. Namun Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya”. [20]
b). Al-Qur’an dimansukh
dengan Sunnah (hadits) Ahad.
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih –wallohu a’lam- hal ini ada dan terjadi. Contohnya:
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih –wallohu a’lam- hal ini ada dan terjadi. Contohnya:
Firman Allah Azza wa
Jalla.
قُل لآ أَجِدُ فِي مَآ
أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَّكُونَ
مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ
فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ
Katakanlah:”Aku tidak
mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan
bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor –
atau binatang disembelih atas nama selain Allah. [Al An’am :145]
Ayat ini menunjukkan
bahwa makanan yang diharamkan -di saat ayat ini diturunkan- hanyalah empat
jenis di atas. Ini berarti, di saat itu, daging keledai jinak boleh dimakan,
berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh
hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang mengharamkan daging keledai
jinak. Karena ayat di atas termasuk surat Al-An’am, yang merupakan surat
Makiyyah, yang turun sebelum hijroh, dengan kesepakatan ulama. Adapun
pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah itu di Khoibar.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتِ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتِ
الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُفْنِيَتِ الْحُمُرُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا
فَنَادَى فِي النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ
الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ فَأُكْفِئَتِ الْقُدُورُ وَإِنَّهَا
لَتَفُورُ بِاللَّحْمِ
Dari Anas bin Malik,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh seseorang yang
datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian datang lagi
kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah
dimakan”. Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu
mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian beliau memerintahkan
seorang penyeru, lalu dia menyeru di kalangan orang banyak: “Sesungguhnya Alloh
dan RasulNya melarang kamu dari daging keledai jinak, sesungguhnya ia
kotor/najis”. Maka periuk-periuk dibalikkan, sedangkan periuk-periuk itu
mendidih (berisi) daging (keledai jinak). [21]
Antara ayat di atas
dengan hadits yang mengharamkan daging keledai jinak tidak bertentangan, karena
waktu keduanya berbeda. Di saat ayat di atas turun, daging keledai jinak halal,
karena yang diharamkan hanyalah empat jenis makanan. Kemudian setelah itu
datang pengharaman daging keledai jinak. [Mudzakiroh, hal: 153-155]
3. As-Sunnah Dimansukh
Dengan Al-Qur’an.
Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskannya dengan firman Allah Azza wa Jalla.
Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskannya dengan firman Allah Azza wa Jalla.
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ
وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ
شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ
شَطْرَهُ
Sungguh Kami (sering)
melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke
kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana
saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. [Al Baqarah :144]
4. As-Sunnah Dimansukh
Dengan As-Sunnah.
Contoh: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Contoh: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
نَهَيْتُكُمْ عَنْ
زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
Dahulu aku melarang kamu
dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur). [HR.
Muslim, no: 977]
Dengan penjelasan di
atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang menghapus hukum
yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya atau
lafazhnya.
E. PENGERTIAN TAKHSHISH
Al-Asfihani menegaskan pendapatnya bahwa tidak ada nasikh dalam Al-Qur’an. Kalaupun di dalam Al-Qur’an itu terdapat cakupan hukum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pengkhususan (takhshish). Dengan demikian, takhshish menurutnya dapat diartikan sebagai “mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafazh ‘amm.”
Bertolak dari pengertian nasikh dan takhshish tersebut di atas, maka perbedaan prinsipil antara keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Satuan yang terdapat dalam nasikh bukan merupakan bagian satuan yang terdapat dalam mansukh.
2. Nasikh adalah menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
3. Nasikh hanya terjadi dengan dalil yang dating kemudian.
4. Nasikh menghapuskan hubungan mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas.
5. Setelah terjadi nasikh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hukum yang terdapat dalam mansukh. 6. Satuan yang terdapat dalam takhshish merupakan bagian dari satuan yang terdapat dalam lafazh ‘amm.
7. Takhshish merupakan hukum dari sebsgian satuan yang tercakup dalam dalil ‘amm.
8. Takhshish dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.
9. Takhshish tidak menghapuskan hukum ‘amm sama sekali. Hukum ‘amm tetap berlaku meskipun sudah dikhususkan.
10. Setelah terjadi takhshish, sisa satuan yang terdapat pada ‘amm tetap terikat oleh dalil ‘amm.
a. Tampaknya, nasakh itu seolah-olah sama seperti takhshis, karena sama-sama membatasi suatu ketentuan hukum dengan batasan waktu, sedang takhshis dengan batasan materi.
Misalnya, dalam cdontoh penghapusan kewajiban berdekah sebelum menghadap rasul. Seolah-olah masalah disitu hanya pembatasan ketentuan itu dengan waktu saja, sehingga sepertinya dapat diungkapkan sebagai berikut:
“kalau akan menghadapa rasul itu, harus memberikan sedekah lebih dahulu, kecuali setelah turun ayat yang meniadakan kewajiban itu”.
Ungkapan itu sepertinya hampir sama dengan kalimat:
“wanita yang ditalak suaminya itu wajib beribadah tiga kali suci, kecuali bagi wanita yang ditalak sebelum dikumpuli”. Oleh karana itu tampak adanya kesamaan antara keduanya itu sah, maka ada perbedaan paham diantara para ulama’. Ada sebagian ulama’ yang mengakui ada dan terjadinya nasakh itu, dan ada pula yan mengingkarinya, dan menganggap nasakh itu sama saja dengan takhshis itu.
b. Nasakh sama dengan takhshis dalam hal sama sama membatasi berlakunya suatu ketentuan hukum syara’. Nasakh mengahapus dan mengganti ketentuan hukum-hukum syara’ sedang takhshis membatasi keumuman jangkauan hukum syara’.
c. Dalil yang menasikh sama dengan dalil yang menakhshis, yaitu sama sama berupa dalil syara’.
F. URGENSI MEMPELAJARI KONSEP NASIKH MANSUKH
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan, [17] khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat universal.
Demikianlah Sunnah al-Khaliq diberlakukan terhadap perorangan dan bangsa-bangsa dengan sama. Jika engkau melayangkan pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau pasti akan mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-undang alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma dan telur kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa, kemudian orang tua dan seterusnya. Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam ini selalu berjalan proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari terjadinya, mengapa kita mempersoalkan adanya penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke yang lebih tinggi? Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung membenahi bangsa Arab yang masih dalam proses permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah mencapai kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan hukum, memberikan beban kepada suatu bangsa yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan oleh suatu bangsa yang telah menaiki jenjang kedewasaannya? Lalu, manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita yang menurut sunnah Allah ditentukan hukum-hukumnya sendiri, kemudian di-nasakh-kan karena dipandang perlu atau disempurnakan hal-hal yang dipandang tidak mampu dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan? Ataukah syari'at-syari'at agama lain yang diubah sendiri oleh para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali?
Demikianlah Sunnah al-Khaliq diberlakukan terhadap perorangan dan bangsa-bangsa dengan sama. Jika engkau melayangkan pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau pasti akan mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-undang alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma dan telur kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa, kemudian orang tua dan seterusnya. Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam ini selalu berjalan proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari terjadinya, mengapa kita mempersoalkan adanya penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke yang lebih tinggi? Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung membenahi bangsa Arab yang masih dalam proses permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah mencapai kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan hukum, memberikan beban kepada suatu bangsa yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan oleh suatu bangsa yang telah menaiki jenjang kedewasaannya? Lalu, manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita yang menurut sunnah Allah ditentukan hukum-hukumnya sendiri, kemudian di-nasakh-kan karena dipandang perlu atau disempurnakan hal-hal yang dipandang tidak mampu dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan? Ataukah syari'at-syari'at agama lain yang diubah sendiri oleh para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali?
Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
Hikmah nasikh :
a. Untuk menunjukkan bahwa syariat islam adalah syariat yang paling sempurna.
b. Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan disepanjang zaman.
c. Untuk menjaga agar perkembangan hukum islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ketingkat yang sempurna.
d. Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamlkan hukum-hukm allah, atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang.
e. Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah kepada yang sukar.
f. Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi ummat islam, sebab dalam beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati kebijakansanaan dan kemurahan allah swt. Yang maha pengasih lagi maha penyayang.
BAB III
PENUTUP
Naskh adalah hal yang diperbolehkan keberadaannya dalam agama Islam. Hal ini sesuai dengan dalil yang telah datang dari Alqur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
1. Demi menjaga kemashlahatan hamba-Nya, Allah telah menghapus sebagian hukum dalam syari’at Islam. Bila ternyata hukum penggantinya itu lebih ringan, maka itu adalah kemudahan yang diberikan oleh Allah di dunia ini secara langsung, namun apabila ternyata penggantinya lebih berat, maka tidak lain hal ini akan melipat gandakan pahala pelaksananya sebagai balasan atas ketaatannya pada aturan Allah Ta’ala.
2. Bahwa Allah Ta’ala adalah raja segala raja yang hanya Dia-lah yang berkuasa membuat peraturan bagi hamba-hamba-Nya. Maka dari itu hendaknya kita selalu tunduk pada aturan-aturan yang datang dari-Nya, yang berupa perintah maupun larangan.
.....................................................................
.....................................................................
[1]. Lihat: Al-Minhaj Bi
Syarhil Ibhaaj 2/247; dinukil dari Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal:
412-413, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi
[2]. Idem, hal: 413
[3]. Ushulul Fiqh, hal: 45, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
[4]. [I’lamul Muwaqqi’in 1/36, Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 M
[5]. ‘Am adalah: lafazh yang meliputi seluruh apa yang pantas baginya sekaligus dan sesuai dengan bentuknya dengan tanpa pembatasan”. Lihat: Taisirul Ushul, hal: 95, Syaikh Hafizh Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H
[6]. Muthlaq adalah: lafazh yang mengenai satu yang tidak tertentu dalam kedudukan hakekat yang mencakup terhadap jenisnya. Lihat: Taisirul Ushul, hal: 90
[7]. Zhahir adalah: lafazh yang mengandung dua makna atau lebih, namun lebih nampak pada salah satunya, mungkin dari sisi syara’ atau bahasa atau ‘urf (kebiasaan). Lihat: Taisirul Ushul, hal: 32
[8]. Idem
[9]. Ihkamul Fushul, hal: 391, dinukil dari 421
[10]. At-Tahrir bi Syarhit Taisir 3/181, dinukil dari Aroul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 421, karya Syaikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi
[11]. Taisirul Ushul, hal: 216
[12]. Lihat: Mudzakirah Ushulul Fiqh ‘Ala Raudhatun Nazhir, hal: 127, karya Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi, tahqiq: Abu Hafsh Sami Al-‘Arabi, Darul Yaqin,; Ushulul Fiqh, hal: 47-48, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin; Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170-173, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan; Taisirul Ushul, hal: 214-216, Syeikh Hafizh Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H
[13]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Anfal 65-66
[14]. Al-Ihkaam 3/154, karya Al-Amidi ; dinukil dari Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[15]. Lihat: Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 171, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[16]. Ushul Fiqh, hal: 48, karya Syeikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin
[17]. Yaitu had (hukuman) bagi pezina yang sudah menikah dengan dilempari batu sampai mati
[18]. Lihat: Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[19]. Lihat: Mudzakirah ‘Ala Ushul Fiqh, hal: 148, karya Syeikh Muhammad Al-Amin Syinqithi
[20]. Mudzakiroh Ushul Fiqih, hal: 150
[21]. HR. Bukhari, no: 5528; Muslim, no: 1940 (35)
[2]. Idem, hal: 413
[3]. Ushulul Fiqh, hal: 45, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
[4]. [I’lamul Muwaqqi’in 1/36, Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 M
[5]. ‘Am adalah: lafazh yang meliputi seluruh apa yang pantas baginya sekaligus dan sesuai dengan bentuknya dengan tanpa pembatasan”. Lihat: Taisirul Ushul, hal: 95, Syaikh Hafizh Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H
[6]. Muthlaq adalah: lafazh yang mengenai satu yang tidak tertentu dalam kedudukan hakekat yang mencakup terhadap jenisnya. Lihat: Taisirul Ushul, hal: 90
[7]. Zhahir adalah: lafazh yang mengandung dua makna atau lebih, namun lebih nampak pada salah satunya, mungkin dari sisi syara’ atau bahasa atau ‘urf (kebiasaan). Lihat: Taisirul Ushul, hal: 32
[8]. Idem
[9]. Ihkamul Fushul, hal: 391, dinukil dari 421
[10]. At-Tahrir bi Syarhit Taisir 3/181, dinukil dari Aroul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 421, karya Syaikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi
[11]. Taisirul Ushul, hal: 216
[12]. Lihat: Mudzakirah Ushulul Fiqh ‘Ala Raudhatun Nazhir, hal: 127, karya Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi, tahqiq: Abu Hafsh Sami Al-‘Arabi, Darul Yaqin,; Ushulul Fiqh, hal: 47-48, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin; Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170-173, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan; Taisirul Ushul, hal: 214-216, Syeikh Hafizh Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H
[13]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Anfal 65-66
[14]. Al-Ihkaam 3/154, karya Al-Amidi ; dinukil dari Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[15]. Lihat: Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 171, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[16]. Ushul Fiqh, hal: 48, karya Syeikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin
[17]. Yaitu had (hukuman) bagi pezina yang sudah menikah dengan dilempari batu sampai mati
[18]. Lihat: Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[19]. Lihat: Mudzakirah ‘Ala Ushul Fiqh, hal: 148, karya Syeikh Muhammad Al-Amin Syinqithi
[20]. Mudzakiroh Ushul Fiqih, hal: 150
[21]. HR. Bukhari, no: 5528; Muslim, no: 1940 (35)
NASIKH MANSUKH DAN URGENSINYA
Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi
on
March 09, 2018
Rating:
No comments:
Komentar