PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dewasa
ini, bergulir perbincangan hangat mengenai relevansi al-Qur’an pada tataran scholar dan agamawan. Mereka berbeda
pandangan mengenai ‘apakah al-Qur’an masih relevan untuk konteks kekinian atau
perlu dilakukan kontekstualisasi al-Qur’an karena sudah tidak sesuai dengan
perkembangan zaman’. Hingga kini perdebatan di antara keduanya masih berlanjut.
Timbul pertanyaan besar dari wacana tersebut, apakah al-Qur’an memang masih
relevan dalam era modern dewasa ini? Jika memang relevan, dapatkah al-Qur’an
menyelesaikan problem-problem kekinian?
Al-Qur’an
adalah kalam Allah (verbum dei)[1]
yang menunjukkan mukjizat, Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya. Kitab suci
tersebut sampai kepada umat manusia dengan cara al-tawâtur (langsung
dari Rasul kepada umatnya), yang kemudian termaktub dalam mushaf.
Kandungan pesan Ilahi tersebut disampaikan Nabi pada permulaan abad ke-7;
al-Qur’an telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial bagi umat
Islam dalam segala aspek. Al-Qur’an merupakan sumber ilmu bagi kaum muslimin
yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah,
etika, mu’amalah dan sebagainya. Dengan kata lain, Al-Qur’an
adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang
mencakup segala hal. Hal itu sebagaimana termaktub dalam Q.S. An-Nahl : 89 :
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَـبَ تِبْيَانًا
لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهَدَى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِين
“Kami turunkan kepadamu Al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
(Q.S. An-Nahl : 89).
Apabila kita
mempelajari isi Al-Qur’an, maka itu akan menambah perbendaharaan baru,
memperluas pandangan dan pengetahuan, meningkatkan perspektif baru dan selalu
menemui hal-hal yang baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan
isinya yang menunjukkan Maha Besarnya Allah sebagai penciptanya. Itu sebagaimana termaktub dalam Firman
Allah :
وَلَقَدْ جِئْنَـهُمْ
بِكِتَـبٍ فَصَّلْنَـهُ عَلَى عِلْمٍ هُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Dan sesungguhnya Kami
telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada mereka yang Kami telah
menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman.” (Q.S.Al-A’raf 52)
Untuk memahami kandungan ayat Al-Qur’an yang
menjelaskan tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan di dunia,
maupun akhirat, maka kita membutuhkan suatu ilmu yang membahas hal itu. Selain
memahami bahasa Arab, untuk memperoleh pemahaman yang mendalam, kita harus
mengetahui keterkaitan ayat yang satu dan lainnya, sebab-sebat turunnya suatu
ayat, dan sebagainya. Pada perkembangan keilmuan Islam, muncul suatu Ilmu
sistematis yang mempelajari bagaimana tata cara menafsirkan Al-Qur’an dan
hal-hal yang berkenaan dengan al-Qur’an, yakni Ulumul Qur’an.
Atas dasar pemaparan di atas,
maka untuk menjadikan al-Qur’an relevan untuk menyelesaikan problem-problem
kekinian, maka kita harus mengetahui kandungan al-Qur’an secara mendalam. Oleh
karena itu, mengkaji Ulumul Qur’an merupakan langkah terbaik yang harus
dilakukan. Setelah membedah ‘al-Qur’an’ menggunakan pisau analisa ‘Ulumul
Qur’an’, maka kita dapat menempatkan al-Qur’an sebagai jawaban (solusi) atas
permasalahan yang sedang dihadapi umat manusia dewasa ini. Dalam makalah ini,
penulis berusaha membahas hal tersebut, walaupun tidak mendalam karena
keterbatasan keilmuan penulis.
1.2.
Perumusan Masalah
Sesuai
dengan pokok masalah yang dibicarakan tentang, “Relevansi Ulumul Qur’an,
Al-Qur’an dalam Penyelesaian Problem-problem Kekinian” maka rumusan
masalah ini difokuskan pada :
- Bagaimana
kehadiran dan posisi Al-Qur’an?
- Apa yang dimaksud dengan Ulumul Qur’an dan kaitannya
dengan al-Qur’an?
- Apa
Relevansi Al-Qur’an dalam Penyelesaian Problem-problem Kekinian?
1.3.
Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah :
- Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an (Ujian Komprehensif)
- Menganalisa
relevansi Al-Qur’an dalam upaya menyelesaikan problem-problem kekinian.
1.4.
Metode
Metode penulisan yang digunakan adalah dengan metode
kepustakaan yakni mencari bahan dari buku (literatur). Selanjutnya, buah
pikiran yang didapatkan dituangkan di dalam makalah ini secara ringkas.
2.
PEMBAHASAN
2.1
Kehadiran dan
Posisi Al-Qur’an
Kondisi bangsa Arab sebelum kedatangan Islam kacau balau,
baik dari segi pemerintahan, maupun sosial-budaya dan moralitas. Salah satu
contoh adalah kekacauan dari segi pemerintahan, misalnya, ada banyak qabilah
(suku/ etnis) yang tidak bersatu padu. Pada akhirnya, Qabilah yang
terbesar dan terkuatlah yang akan menguasai qabilah yang lebih kecil
sekaligus pemegang tampuk kekuasaan tertinggi di daerah Arab.
Kerusakan moral masyarakat Arab dikenal dengan istilah
jahiliyah. Hal itu diindikasikan dengan kemusyrikan dan penyimpangan nilai-nilai
moralitas. Misalnya, free sex (seks bebas), kekejaman rumah tangga
(termasuk penganiyan terhadap budak), pembunuhan dengan sebab yang sepele,
pencurian, mabuk-mabukan dsb.
Dengan kehadiran Al-Quran di muka bumi, hal itu merupakan pusaka
berharga yang mampu membenahi kejahiliyahan, terutama masyarakat Arab. Jika
kita mengamati secara seksama, justru salah satu kemukzijatan Al-Quran adalah
keterkaitan pesan-pesan teks dalam memproduksi hukum baru untuk menyelesaikan
persoalan di masyarakat. Di mana pun dan kapan pun. Al-Quran adalah kitab yang
dapat menyesuaikan, yang dijadikan untuk memecahkan suatu masalah.
Jadi, Al-Quran merupakan petunjuk bagi kehidupan manusia,
sebagaimana Allah SWT mengenalkan Al-Quran kepada manusia sebagai petunjuk bagi
orang–orang yang bertaqwa. Sebagaimana tersirat dalam ayat al-Qur’an :
“Apakah
belum tiba waktunya bagi orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat
Allah dan mengingat kebenaran apa yang diturunkan-Nya (al-Qur'an) dan janganlah
mereka seperti ahli kitab sebelum mereka, telah lama mereka berpisah dari
ajaran Nabinya, sehingga hati mereka menjadi kasar (tidak tembus cahaya kebenaran), dan
kebanyakan mereka menjadi orang fasik.” (QS Al-Hadid: 16).
Sebagai pedoman hidup umat Islam, Al-Quran akan selalu
menjawabnya. Kemampuannya menjawab berbagai persoalan memang harus didukung
dengan ilmu-ilmu lainnya (‘ulumul-quran) sebagai alat untuk
menafsirkannya. Jadi, jelaslah bahwa kedinamisan Al-Quran adalah salah satu
bukti keunggulannya atau mukjizat tak terhingga.
Al-Quran sebagai mukjizat tidak akan bisa dikalahkan oleh
kitab mana pun.Sebagaimana termaktub dalam QS Thaha: 1-8, yakni :
“Kami bukan menurunkan al-Qur'an kepadamu untuk menyusahkan dirimu.
Melainkan menjadi peringatan bagi orang yang takut Tuhannya. Dia turun dari
dzat yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi Ar-Rahman (Allah) itu
bersemayam di atas singgasana 'arsy. Kepunyaan-Nya
segala apa yang ada di antara keduanya, dan apa-apa yang ada di bawah petala
(lapisan) bumi. Jika engkau keraskan perkataan, Dia mengetahui apa yang
dirahasiakan dan apa yang lebih tersembunyi. Allah, tidak ada tuhan kecuali
Dia. Bagi-Nya ada beberapa nama yang indah.”
Jadi, Al-Quran merupakan pedoman hidup umat Islam sepanjang zaman, pusaka tersakti
yang dimiliki kaum Muslimin. Di dalamnya ada semangat hidup yang terus
mengarungi ruang dan waktu. Maka berpegang teguhlah kepada kitab Allah yang
mulia, agar hidupmu sejalan dengan Islam sampai pada tujuan akhir, yakni
bahagia dunia dan akhirat.
2.2.
Ulumul
Qur’an dan Kaitannya dengan al-Qur’an
2.2.1.
Pengertian
Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an
berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “Ulum” dan
“Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jamak dari kata “ilmu” yang berarti
ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan pada kata Al-Qur’an telah memberikan
pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan
dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari
segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya. Untuk lebih
memahami pengertian ilmu secara jelas, mari kita simak pendapat-pendapat di
bawah ini :
- Menurut
para ahli filsafat, kata ilmu sebagai gambaran sesuatu yang terdapat dalam
akal.
- Menurut
Abu Musa Al-Asy’ari, ilmu ialah sifat yang mewajibkan pemiliknya mampu
membedakan dengan panca indranya.
- Menurut
Imam Ghazali, secara umum arti ilmu dalam istilah syara’ adalah ma’rifat
Allah terhadap tanda-tanda kekuasaan, perbuatan, hamba-hamba dan
makhluk-Nya.
- Menurut
Muhammad Abdul ‘Adzhim, ilmu menurut istilah adalah ma’lumat-ma’lumat yang
dirumuskan dalam satu kesatuan judul atau tujuan.
Dari beberapa pengertian di atas, menurut
terminologi dapat disimpulkan bahwa kata “ulum / ilmu” adalah masalah-masalah
yang telah dirumuskan dalam satu disiplin pengetahuan yang terdapat dalam akal
pikiran.
Sementara itu, menurut bahasa, kata
“Al-Qur’an” merupakan bentuk mashdar yang maknanya sama dengan kata “qira’ah”
yaitu bacaan. Bentuk mashdar ini berasal dari fi’il madli “qoro’a” yang artinya membaca. Sedangkan menurut istilah,
“Al-Qur’an” adalah firman Allah yang bersifat mu’jizat yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad, yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang dinukil dengan jalan
mutawatir dan yang membacanya merupakan ibadah. Untuk lebih memahami pengertian
Al-Qur’an secara jelas, mari kita simak pendapat-pendapat di bawah ini :
- Menurut Manna’ Al-Qathkan, Al-Qur’an adalah
kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan orang yang membaca akan
memperoleh pahala.
- Menurut Al-Jurjani, Al-Qur’an adalah wahyu yang
diturunkan kepada Rasulullah yang ditulis dalam mushaf dan diriwayatkan
secara mutawatir (berangsur-angsur).
- Menurut kalangan pakar ushul fiqih, fiqih, dan
bahasa Arab, Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya,
lafadz-lafadznya mengandung mu’jizat, membacanya bernilai ibadah,
diturunkan secara mutawatir dan ditulis dari surat Al-Fatihah sampai akhir
surat yaitu An-Nas.
Dari beberapa
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kata “Al-Qur’an” adalah firman
Allah yang bersifat mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan
perantara malaikat Jibril yang tertulis dalam mushaf-mushaf yang dinukil kepada
kita secara mutawatir, membacanya bernilai ibadah, yang diawali dengan surat
Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.
Setelah membahas
kata “ulum” dan “Al-Qur’an” yang terdapat dalam kalimat “Ulumul Qur’an”, perlu
kita ketahui bahwa tersusunnya kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa adanya
bermacam-macam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Al-Qur’an atau
pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek
keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandungannya sebagai pedoman
dan petunjuk bagi manusia.
Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa ulumul qur’an
adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari
aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai
pedoman dan petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
berbagai aspek yang terkait dengan keperluan, membahas al-Qur’an.
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang
lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an meliputi semua ilmu yang ada
kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir
maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu I’rab al-Qur’an.
Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam
kitab Al- Itqan, Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap
cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu
Bakar Ibnu al-Araby yang mengatakan bahwa ulumul qur’an terdiri dari 77450
ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-qur’an
dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna
Dzohir, batin, terbatas, dan tidak terbatas.
2.2.2.
Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an
Sebagai ilmu yang terdiri
dari berbagai cabang dan macamnya, ulumul Qur’an tidak lahir sekaligus. Ulumul
Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin ilmu melalui proses pertumbuhan dan
perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an
dari segi keberadaanya dan segi pemahamanya. Di masa Rasul SAW dan para
sahabat, ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri
dan tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan
struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul,
dan bila menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat
menanyakan langsung kepada Rasul SAW.
Di zaman Khulafa’u
Rasyiddin sampai dinasti umayyah wilayah islam bertambah luas sehingga terjadi
pembauran antara orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa
Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan tercemarnya
keistimewaan bahasa arab, bahkan dikhawatirkan tentang baca’an Al-Qur’an yang
menjadi sebuah standar bacaan mereka. Untuk mencegah kekhawatiran itu,
disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah al-qur’an yang disebut mushaf
imam. Dan dari salinan inilah suatu dasar ulumul Qur’an yang disebut Al rasm
Al-Utsmani.
Kemudian, Ulumul Qur’an
memasuki masa pembukuanya pada abad ke-2 H. Para ulama memberikan prioritas
perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai umm al ulum
alQur’aniyyah. Para penulis pertama dalam tafsir adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj
(160 H), Sufyan Ibn Uyaynah (198 H), dan Wali Ibn al-Jarrah (197 H). dan pada
abad ke-3 muncul tokoh tafsir yang merupakan mufassir pertama yang
membentangkan berbagai pendapat dan mentarjih sebagianya. Beliau adalah Ibn
jarir atThabari (310 H).
Selanjutnya sampai abad
ke-13 ulumul Qur’an terus berkembang pesat dengan lahirnya tokoh-tokoh yang
selalu melahirkan buah karyanya untuk terus melengkapi pembahasan-pembahasan
yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Diantara sekian banyak tokoh-tokoh
tersebut, Jalaluddin al-bulqini (824 H) pengarang kitab Mawaqi’ Al-ulum min
Mawaqi’ al-Nujum dipandang Assuyuthi sebagai ulama yang mempelopori penyusunan
Ulumul Qur’an yang lengkap. Sebab, dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu
Al-Qur’an. Jalaluddin al-Syuyuthi (991 H) menulis kitab Al-Tahhir fi Ulum
al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun 873 H. kitab ini memuat 102
macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab ini
dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an paling lengkap.namun, Al-Syuyuthi belum
merasa puas dengan karya monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab
Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an. Didalamnya dibahas 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an
secara padat dan sistematis. Menurut Al-Zarqani, kitab ini merupakan pegangan
bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Sampai saat ini bersamaan dengan
masa kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama masih
memperhatikan akan ilmu Qur’an ini. Sehingga tokoh-tokoh ahli Qur’an masih
banyak hingga saat ini di seluruh dunia.
2.2.3.
Ruang
Lingkup Pembahasan Ulumul Qur’an
Secara garis
besar, Ulumul Qur’an terbagi menjadi 2 pokok bahasan, yaitu :
- Ilmu
yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas
tentang macam-macam bacaan, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu
turunnya dan sebab-sebabnya.
- Ilmu
yang berhubungan dengan dirayah, yaitu ilmu yang diperoleh dengan jalan
penelaahan secara mendalam, seperti memahami lafadz yang ghorib (asing)
serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
Segala macam pembahasan Ulumul
Qur’an itu kembali pada beberapa pokok pembahasan saja, seperti :
- Nuzul
Pembahasan ini
menyangkut dengan ayat-ayat yang menunjukkan tempat dan waktu turunnya ayat
AlQur’an, misalnya : Makkiyah, Madaniyah, Hadhariyah, Safariyah, Nahariyah,
Lailiyah, Syita’iyah, Shaifiyah, Firasyiyah dan meliputi hal-hal yang
menyangkut asbabun nuzul dan sebagainya.
2.
Sanad
Pembahasan ini
meliputi hal-hal yang menyangkut dengan sanad yang mutawatir, ahad, syadz,
bentuk-bentuk qira’at Nabi, para periwayat dan penghafal Al-Qur’an dan cara
tahammul (penerimaan riwayat).
3.
Ada’ Al-Qira’ah
Pembahasan ini
menyangkut tentang Waqaf, Ibtida’, Imalah, Mad, Takhfif hamzah dan Idghom.
4.
Lafadz
Pembahasan ini
menyangkut tentang Gharib, Mu’rab, Majaz, Musytarak, Muradif, Isti’arah dan
Tasybih.
5.
Makna
·
Pemabahasan makna Al-Qur’an yang
berhubungan dengan hukum, yaitu ayat yang bermakna ‘Amm dan tetap dalam
keumumannya, ‘Amm yang dimaksudkan khusus, ‘Amm yang dikhususkan oleh sunnah,
Nash, Dzhahir, Mujmal, Mufashal, Manthuq, Mafhum, Mutlaq, Muqayyad, Muhkam,
Mutasyabih, Musykil, Nasikh Mansukh, Muqaddam, Mu’akhar, Ma’mul pada waktu
tertentu dan Ma’mul oleh seorang saja.
·
Pembahasan makna Al-Qur’an yang
berhubungan dengan lafadz, yaitu Fashl, Washl, Ijaz, Ithnab, Musawah dan
Qashar.
2.2.4.
Manfaat
Mempelajari Ulumul Qur’an
Ilmu-ilmu al-Qur’an (‘Ulum al-Qur’an) merupakan sebuah rumpun ilmu-ilmu yang terkait
dengan usaha kaum Muslim untuk memahami pesan-pesan Tuhan yang termaktub dalam
Kitab Suci al-Qur’an. Di samping menjadi sumber utama segala corak pemikiran
Islam, al-Qur’an juga telah mendorong kaum Muslim untuk menelaah dan
mengembangkan metodologi bagaimana memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
sebagaimana yang dititahkan Allah dan diajarkan oleh Nabi Muhammad. Dilihat
dari perspektif filsafat Ilmu, pengembangan metodologi merupakan sebuah bentuk
pertanggungjawaban ilmiah dalam suatu disiplin ilmu; dan tradisi ini cukup kuat
dalam ilmu tafsir dan ta’wil al-Qur’an.[2]
Adapun manfaat mempelajari Ulumul
Qur’an antara lain :
- Mampu
menguasai berbagai ilmu pendukung dalam rangka memahami makna yang
terkandung dalam Al-Qur’an.
- Membekali
diri dengan persenjataan ilmu pengetahuan yang lengkap dalam rangka
membela Al-Qur’an dari berbagai tuduhan dan fitnah yang muncul dari pihak
lain.
- Seorang
penafsir (mufassir) akan lebih mudah dalam mengartikan Al-Qur’an dan mengimplementasikan
dalam kehidupan nyata.
- Membentuk
kepribadian muslim yang seimbang.
- Menanamkan
iman yang kuat
- Memberi
arahan untuk dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki dan sumber-sumber
kebaikan yang ada di dunia.
- Menetapkan
undang-undang agar setiap muslim mampu memberikan sumbangsih dan kreatif
untuk mencapai kemajuan.
- Membentuk
masyarakat muslim yang betul-betul Qur’ani.
- Membimbing
umat dalam memerangi kejahiliyahan.
2.3.
Relevansi Al-Qur’an
dalam Penyelesaian Problem-problem Kekinian
Seiring dengan laju dinamika zaman, Islam
telah menunjukkan perkembangan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan
terutama dalam bidang pengetahuan. Hukum-hukum Islam pun turut andil andil
dalam perkembangan tersebut. Hal ini terlihat dari banyaknya masalah-masalah kontemporer
yang banyak mencuat.
Keseluruhan
teks dalam al-Qur’an, sebagaimana juga telah disinggung di muka, merupakan
kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait. Keseluruhan teks
al-Qur’an menghasilkan weltanschauung (pandangan dunia) yang pasti. Dari
sinilah umat Islam dapat memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan)
yang betul-betul mencerahkan (enlighten) dan mencerdaskan (educate).
Akan tetapi Fazlur Rahman menengarai adanya kesalahan umum di kalangan umat
Islam dalam memahami pokok-pokok keterpaduan al-Qur’an, dan kesalahan ini terus
dipelihara, sehingga dalam praksisnya umat Islam dengan kokohnya berpegang pada
ayat-ayat secara terpisah-pisah. Fazlur Rahman mencatat, akibat pendekatan
“atomistik” ini adalah, seringkali umat terjebak pada penetapan hukum yang
diambil atau didasarkan dari ayat-ayat yang tidak dimaksudkan sebagai hukum.
Fazlur
Rahman nampaknya dipengaruhi oleh al-Syatubi (w. 1388) seorang yuris Maliki
yang terkenal, dalam bukunya al-muwafiqat, tentang betapa mendesak dan amsuk
akalnya untuk memahami al-Qur’an sebagai suatu ajaran yang padu dan kohesif.[13] Dari sisi ini, maka yang bernilai
mutlak dalam al-Qur’an adalah “prinsip-prinsip umumnya” (ushul al-kulliyah)
bukan bagian-bagiannya secara ad hoc. Bagian-bagian ad hoc al-Qur’an
adalah respon spontanitasnya atas realitas historis yang tidak bisa langsung
diambil sebagai problem solving atas masalah-masalah kekinian. Tetapi
bagian-bagian itu harus direkonstruksi kembali dengan mempertautkan antara satu
dengan yang lain, lalu diambil inti syar’inya (hikmah at-tasyri’)
sebagai pedoman normatif (idea moral), dan idea moral al-Qur’an kemudian
dikontektualisasikan untuk menjawab problem-problem kekinian.
Tentu
untuk melakukan pembacaan holistik terhadap al-Qur’an tersebut membutuhkan
metodologi dan pendekatan yang memadai. Metodologi dan pendekatan yang telah
dipakai oleh para mufassir klasik menyisakan masalah penafsiran, yaitu belum
bisa menyuguhkan pemahaman utuh, komprehensif, dan holistik. ‘Ilm munâsabah
sebenarnya memberi langkah strategis untuk melakukan pembacaan dengan cara baru
(al-qira’ah al-muashirah) asalkan metode yang digunakan untuk melakukan
“perajutan” antar surat dan antar ayat adalah tepat. Untuk itu perlu dipikirkan
penggunaan metode dan pendekatan hermeneutika dan antropologi filologis dalam ‘ilm
munâsabah. ‘Ilm Munasabah termasuk
dalam pembahasan Ulumul Qur’an.
Al-Qur’an sebagai
sumber utama hukum Islam tidak berdiri sendiri dalam memecahkan
persoalan-persoalan kehidupan. Al-Sunnah dan Ijtihad adalah rujukan yang siap
menyokong Al-Qur’an dalam menentukan hukum. Kedudukan Al-Sunnah dan Ijtihad
adalah berada di bawah Al-Qur’an dalam tugasnya sebagai acuan rujukan hukum.
Seperti dinyatakan oleh M Quraish
Shihab bahwa al-Qur’an memuat jawaban atas masalah yang terjadi saat diturunkan
di negeri Arab. Namun, meski telah berusia seribu empat ratus tahun lebih, Al-Quran masih bisa dijadikan panduan untuk
menjawab persoalan-persoalan kekinian.
Selain dapat menjadi rujukan untuk
menyelesaikan problem pada konteks kekinian, Al-Qur’an juga merupakan sumber
inspirasi yang menjadi penggerak luar biasa bagi para pemikir dan filosof Islam
dalam mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan yang mencerahkan peradaban dunia.
Wahyu (kalam Ilahi) diturunkan kepada manusia melalu Nabi Muhammad. Posisi
al-Qur’an sebagai kalam Ilahi yang berbentuk teks memiliki dua dimensi, yakni
dimensi spiritual dan intelektual. Dalam dimensi spiritual, ‘membaca’ al-Qur’an
sudah merupakan ibadah karena berkomunikasi dengan Allah. Sementara itu,
‘membaca’ juga merupakan aktivitas penting dalam dunia keilmuan.
Dari pemaparan di atas
mengindikasikan bahwa perintah membaca al-Qur’an sebagai ibadah sesungguhnya
adalah sebuah dorongan religius kepada kaum Muslim untuk mengaktifkan
pendayagunaan akal pikiran guna memahami dan menggali teks-teks al-Qur’an.[3]
Atas dasar itulah, perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam sangat pesat.
Selain itu, penggalian terhadap
kandungan ayat suci al-Qur’an dapat menyelesaikan problem-problem kekinian
karena di dalam al-Qur’an mencakup seluruh pembahasan, baik duniawi maupun
ukhrawi. Menurut Allamah Thabathaba’i, penulis kitab Tafsir al-Mizan, al-Qur’an mengajak kita untuk mempelajari
ilmu-ilmu kealaman, matematika, filsafat, sastra dan semua ilmu pengetahuan
yang dapat dicapai oleh pemikiran manusia. Al-Qur’an menyeru kita untuk
mempelajari ilmu-ilmu tersebut sebagai jalan untuk mengetahui al-Haqq dan Realitas, serta sebagai
cermin untuk mengetahui alam, di sampung juga adanya manfaat praktis dari
ilmu-ilmu itu untuk kesejahteraan umat manusia.[4]
Filsuf Muhammad Iqbal menjelaskan
mengapa al-Qur’an memberi inspirasi sarjana Muslim awal untuk mengembangkan
pelbagai disiplin ilmu. Iqbal menyatakan bahwa nilai-nilai al-Qur’an
berkarakter dinamis, konkret, nyata yang mendorong kaum Muslim melakukan
eksperimen dan berpikir induktif. Hal itulah yang membedakan sarjana Muslim
dengan sarjana Yunani sedemikian rupa, sehingga tradisi keilmuan yang mereka
warisi dari peradaban-peradaban sebelumnya (Yunani, Mesir, Persia, India dan
Cina) dikembangkan dengan spirit dan paradigma ilmu yang berbeda.[5]
3.
PENUTUP
Al-Qur’an
adalah pedoman hidup bagi manusia yang disajikan dengan status sastra yang
tinggi. Kitab suci ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia semenjak
Al-Qur’an diturunkan, terutama terhadap ilmu pengetahuan, peradaban serta
akhlak manusia. Untuk memahami kandungan al-Qur’an, dibutuhkan Ilmu yang
berkenaan dengan al-Qur’an, yakni Ulumul Qur’an. Ulumul Qur’an adalah kumpulan
sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an yang mempunyai ruang lingkup
pembahasan yang luas. Pertumbuhan dan perkembangan Ulumul Qur’an menjelma
menjadi suatu disiplin ilmu melalui proses secara bertahap dan sesuai dengan
kebutuhan dan kesempatan untuk menyesuaikan Al-Qur’an dari segi keberadaan dan
pemahamannya dengan konteks kekinian.
Untuk
menyelesaikan problem-problem pada konteks kekinian, kita terlebih dahulu
memahami al-Qur’an dengan menggundakan kaca mata Ulumul Qur’an. Setelah itu,
kita harus mampu menangkap substansi suatu persoalan yang sedang dihadapi.
Setelah itu kita berupaya untuk mensintesakan antara kandungan dalam al-Qur’an
dan rasio ---yang sesungguhnya sudah selaras--- agar kita bisa mengasah dan
mempertajam penalaran. Sehingga, diharapkan dapat terhindar dari kejumudan
berpikir dalam menginterpretasi al-Qur’an.
Korelasi antara
wahyu dan akal bagaikan mata kunci yang membuka hijab formalism dan
irasionalisme untuk menyelesaikan permasalahan dalam era modern ini. Pada
konteks kekinian, manusia harus berpikir secara holistic, sistemik, dan
refleksif untuk memahami realitas, sehingga bisa menyelesaikan problem yang
ada. Terlebih lagi di era modernisasi ini, manusia modern mengalami kehampaan
spiritual, krisis makna, dan legitimasi hidup, dan keterasingan (alienasi)
terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itu, manusia modern ---yang mengagungkan
akal--- harus menilik kandungan di dalam al-Qur’an agar melihat permasalahan
secara bijak.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan. Ulumul Qur’an. Bandung : Pustaka Setia. 2006.
Heriyanto, Husain. Menggali Nalar
Saintifik Peradaban Islam. Bandung : Mizan, 2011.
Nata, Abuddin. Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta : Raja Grafindo
Persada. 1992.
Ramli, Abdul Wahid.Ulumul Qur’an. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
2002.
Shaleh, K.H. Asbabun Nuzul. Bandung : C.V Diponegoro. 1992.
Zuhdi, Masfuk. Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya : Karya Abditama.
1997.
[1] Istilah verbum dei, penulis
dapatkan dari buku karya Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an,
Yogyakarta : Forum Kajian Agama dan Budaya, 2001.
[2]
Husain Heriyanto, Menggali Nalar
Saintifik Peradaban Islam, hlm. 46. Bandung : Mizan, 2011, Selanjutnya,
disebut sebagai Husain Heriyanto, Menggali
Nalar Saintifik Peradaban Islam.
[3]
Husain Heriyanto, Menggali Nalar
Saintifik Peradaban Islam, hlm. 38.
[4]
Husain Heriyanto, Menggali Nalar
Saintifik Peradaban Islam, hlm. 39.
[5]
Husain Heriyanto, Menggali Nalar
Saintifik Peradaban Islam, hlm. 40.
Relevansi Ulumul Qur’an, Al-Qur’an, dan Upaya Penyelesaian Problem-problem Kekinian
Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi
on
October 24, 2015
Rating:
No comments:
Komentar