“Aku
banyak membaca sendiri, khususnya di dalam bidang filsafat dan
Hermeneutika.Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, telah membuka cakrawala
dunia baru kepadaku.” (Nasr Hamid
Abu Zaid)
1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Diskursus
tentang penafsiran teks al-Qur’an merupakan pembahasan yang tak lekang oleh
waktu.Menurut hemat penulis, terdapat dua kubu yang bertentengan (tanpa
berpretensi untuk menafikkan pandangan lainnya) dalam memandang teks
al-Qur’an.Bergulir pandangan yang meyakini bahwa teks al-Qur’an merupakan wahyu
Allah yang tidak bisa diganggu gugat secara harfiah.Di satu sisi, ada pandangan
yang menyatakan bahwa teks al-Qur’an dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan
zaman.Hal itu berdasarkankan pada perbedaan dalam memandang al-Qur’an; al-Quran
itu menyatu dengan Tuhan atau ciptaan (makhluk)?
Adapun titik
temu di antara kedua pemikiran tersebut, yaitu penafsiran teks merupakan keniscayaan.Pendekatan
yang lazim dilakukan oleh para ahli tafsir dalam melakukan studi interpretasi
teks al-Qur’an adalah “bahasa”.Pendekatan ini sejalan dengan ruh dari studi
ilmu tafsir al-Qur’an yang merupakan bagian dari Ulumul Qur’an.Al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan kepada Nabi Muhammad
SAW yang mengejawantah dalam bentuk teks.Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya
penafsiran untuk memahami kandungan dari ayat al-Qur’an.
Pada makalah
ini, penulis bermaksud mengetengahkan salah satu pemikir kontemporer dalam
dunia Islam yang bergelut dalam diskursus penafsiran teks al-Qur’an, yaitu Nasr
Hamid Abu Zaid.Beliau berpandangan bahwa Al-Qur’an adalah hasil proses
metamorfosis dari teks oral menjadi teks tertulis. Proses ini menunjukkan bahwa
Al-Qur’an merupakan teks bahasa, yang menggunakan bahasa sebagai medium. Teks (apa
pun) merupakan bagian dari sejarah yang berkesesuaian dengan konteks, termasuk
teks Al-Qur’an. Terlebih lagi, kitab ini bertujuan sebagai pedoman bagi manusia
agar lebih manusiawi.Dalam hal ini, Al-Qur’an tidak lahir dalam ruang hampa
budaya, tapi lahir dalam konteks ruang-waktu yang sarat budaya.
Pada diskursus
penafsiran al-Qur’an, berkembang wacana “hermeneutika” sebagai salah satu
metode dan pendekatan yang relevan dalam menafsirkan teks al-Qur’an.Nasr Hamid menyatakan
bahwa hermeneutika pada saat yang sama merupakan persoalan klasik sekaligus
modern. Dalam konsentrasinya pada hubungan penafsir dengan teks, Hermeneutika
bukan persoalan spesifik pemikiran barat, tetapi juga persoalan yang eksistensinya
serius dalam khazanah (turats) Arab klasik dan modern sekaligus.[1]Oleh
karena itu, penulis berpandangan bahwa pemikiran Hermeneutika Nasr Hamid dapat
menjelma menjadi seteguk air yang memuaskan dahaga bagi orang-orang yang
berusaha mencari metode relevan dan signifikan dengan konteks kekiniaan dalam
menafsirkan teks al-Qur’an.
1.2.
Perumusan
Masalah
Pertanyaan yang akan dijawab dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
·
Bagaimana
pandangan Nasr Hamid Abu Zaid terkait dengan penafsiran teks al-Qur’an?
·
Bagaimana
konsep Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid?
1.3.
Tujuan
dan Manfaat
Tujuan dari makalah ini adalah:
·
Mengetahui pandangan Nasr Hamid Abu Zaid
terkait dengan penafisiran teks Al-Qur’an.
·
Menelusuri
pemikiran Hermeneutika
Nasr Hamid Abu Zaid.
Adapun manfaat makalah ini adalah:
·
Memberikan pemahaman
mendalam, khususnya bagi diri pribadi penulis dan pembaca pada umumnya, terkait dengan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid.
1.4.
Metodologi
Metode
yang digunakan penulis dalam pembuatan makalah ini adalah “metode kualitatif”
yang berdasarkan pada penelitian kepustakaan (library research).Setelah data terkumpul, proses penyusunan makalah
ini menggunakan metode deskriptif-analitis dengan menggunakan pendekatan
filsafat.
2.
ISI
2.1.
Biografi
al-Farabi
Nasr Hamid Abu Zaid dilahirkan di desa Qahafah, Mesir pada
tanggal 19 Juli 1943.[2]Sejak
kecil, Nasr dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang sangat religius.Beliauhidup
di Mesir dimana atmosfer kebebasan berpikir berkembang pesat.Negeri tersebut
juga merupakan pusat sumber khazanah Islam.Kondisi tersebut tidak dipungkiri secara
dinamis berpengaruh pada pertumbuhan intelektualitas Nasr.
Pemikiran brilian Nasr sangat dipengaruhi oleh latar belakang
pendidikannya. Padausia delapan tahun Nasr mampu menghafal Al-Qur’an 30 juz, di
luar pendidikan formal.[3]Nasr
menempuh pendidikan Madrasah Ibtidaiyah di kampung halaman pada tahun 1951.Kemudian,
beliau melanjutkan pendidikan di Sekolah Tekhnologi di distrik Kafru Zayyad,
propinsi Gharbiyah.[4]Sesungguhnya
sejak muda, ia sangat tertarik dengan kajian bahasa dan filsafat. Nasr bahkan
fokus pada perangkat metodologi analisa wacana dan dinamika teori teks dalam
semiotika.Jelas, pikirannya menginduk ke Prancis dengan tokoh besar Derrida,
Arkoun dan pengagum Hasan Hanafi. Tak heran, untuk memperkuat minatnya itu, ia
masuk ke Fakultas Sastra Universitas Kairo, dan kemudian mengabdi di sana. Ia
menyelesaikan S1 pada tahun 1972 pada Studi Bahasa Arab (Arabic Studies), dankemudian
S2 pada tahun 1977. Pada tahun1978 sampai 1980, ia melanjutkan studi S3-nya di
Universitas Pennsylvania, Philadelphia. Nasr menyelesaikan disertasi pada tahun
1980/1981 dalam konsentrasi Islamic Studies.[5]
Selain latar belakang pendidikan, pemikiran Nasr juga tidak
terlepas dari kondisi sosio-politik di Mesir pada.Pada masa kanak-kanak Nasr,
kondisi Mesir bergejolak.Seteleh terlepas secara formal dari jajahan
pemerintahan kolonial, Mesir segera dihadapkan pada upaya mewujudkan
pemerintahan yang berdaulat dan penentuan format kenegaraan.Pada momentum inilah
muncul berbagai macam ideologi-pemikiran yang saling berkompetisi, baik
bercorak keagamaan maupun yang sekuler.Adapun pemikiran yang dominan kala itu
adalah ideologi nasionalisme Arab yang bercorak sekuler.Pemikiran ini merupakan
ideologi resmi rezim penguasa, Gamal Abdul Nasser.
Di satu sisi, muncul gerakan gerakan kalangan Islamis yang
terhimpun dalam al-Ikhwanul Muslimun sebagai tandingan ideologi Negara.Mereka
berjuang untuk mewujudkan suatu sistem pemerintahan yang bisa memenuhi standar
pemerintahan Islami (dalam kaca mata mereka), baik dalam format maupun
cita-cita ideologis.Ketikaal-Ikhwan al-Muslimun kian menguat, tercermin dari
lahirnya berbagai cabang di seantero pelosok Mesir, Nasr Hamid turut pula
bergabung dalam gerakan ini. Bahkan dalam usianya yang masih belia (12 Tahun)
iamerasakan berada dalam jeruji penjara ketika pihak keamanan melakukan
serangkaian penangkapan terhadap para aktivis Ikhwan.
Nasr Hamid merupakan pemikir Mesir yang sangat kontroversial
karena karya-karyanya telah mengundang perdebatan di dunia Islam sejak tahun
1970-an. Di satu sisi, banyak kalangan mengapresiasi karya-karyanya yang
mempromosikan pencerahan dalam studi Islam. Namun, di sisi lain, ia dikafirkan
kaum konservatif dan pengadilan Mesir (tahun 1995) karena pemikirannya dituduh
menyeleweng.Vonis pengkafiran ini memaksa Nasr hijrah ke Leiden kemudian
menjadi guru besar studi Islam di Universitas Leiden dan profesor pada Universitas
for Humanistics di Utrecth.
Beliau adalah penulis yang telah menyumbangkan karya-karya
kritis seperti Mafhûm al-Nash: Dirâsah fi `Ulûm al-Qur’ân (Konsep Teks:
Studi Ilmu-ilmu Alqur’an), Isykâliyyât al-Qirâ’ah wa Aliyât al-Ta’wîl
(Problem Pembacaan dan Metode Interpretasi), Falsafah al-Ta’wîl: Dirâsah fi
Ta’wîl al-Qur’ân `inda Ibn `Arabî (Filsafat Hermeneutika: Studi
Hermeneutika Alqur’an menurut Ibn Arabi), al-Imâm al-Syâfi’i wa Ta`sîs
al-Aidiulujiyyah al-Wasathiyyah (Imam Syafi’i dan Pembasisan Ideologi
Moderatisme), al-Ittijâh al-`Aqli fi at-Tafsîr (Rasionalisme dalam
Tafsir), Naqd al-Khithâb al-Dînî (Kritik Wacana Agama), dan
lain-lain.Karya-karyanya juga terbit dalam bahasa Inggris seperti Reformation
of Islamic Thought: a Critical Historical Analysis; Rethinking the Qur’an:
Towards a Humanistic Hermeneutics; dan Voice of an Exile: Reflections on
Islam.
Ada beberapa aspek yang bisa dilihat dari sketsa biografi
dan kehidupan intelektual Nasr.Pertama, karir akademis di Universitas Kairo;
Kedua aplikasi sosial politik dari pemikirannya; Ketiga koreksi dan tuduhan
ulama Mesir serta pembelaan Nars; Keempat adalah pembacaan terhadap tradisi
keagamaan.Poin terakhir ini berkaitan dengan asumsi dan persepsi Nasr tentang
tradisi Islam.Pada akhirnya, pemikiran tersebut berpengaruh terhadap
persepektif Nasr dalam mengkaji teks al- Qur’an.
2.2.
Penafsiran Teks Al-Quran dalam Perspektif Zaid
Dalam pandangan Nasr Hamid, Al-Qur’an telah melukiskan
dirinya sebagai risalah(pesan).Risalah merepresentasikan hubungan
komunikasi antara pengirim dan penerima melalui kode(baca: sistem bahasa).
Namun, karena Sang Pengirim ---dalam konteks Al-Qur’an adalah Tuhan---mustahil dijadikan
objek kajian ilmiah, maka pintu masuk yang relevan bagi kajian teks Al-Qur’an
adalah realitas dan budaya. Dalam hal
ini, realitas mengatur gerak manusia sebagai sasaran teks, serta
mengatur penerima pertama teks, yaitu Rasul Saw.Sementara itu, budaya menjelma
dalam bahasa.[6]
Berlandaskan pada hal tersebut, Nasr mengawali kajian teks
Al-Qur’an.Beliau menempatkan teks Al-Qur’an sebagai produk budaya (muntaj al-tsaqafat),
sekaligus memproduksi budaya (muntij li al-tsaqafat). Hal ini menurutnya
terjadi dalam dua fase, 1) fase keterbentukan (marhalah al-tasyakkul) dalam
kurun waktu lebih dari 20 tahun, yaitu ketika Al-Qur’an membentuk dan
mengkonstruksikan diri secara struktural dalam sistem budaya yang melatarinya,
di mana sistem bahasa merupakan salah satu bagiannya, dan 2) fase pembentukan
budaya “baru” (marhalah al-tasykil), ketikateks Al-Qur’an membentuk dan
mengkonstruksikan ulang sistem budayanya.[7]Nasr
Hamid menegaskan lebih lanjut bahwa keimanan terhadap sumber Ilahi teks Al-Qur’an
tidak bertentangan dengan upaya menganalisanya melalui pendekatan kultural
dimana teks tersebut muncul.
Dengan demikian, Abu Zayd berkeyakinan bahwa metode analisis
paling tepat untuk memahami Al-Qur’an sebagai teks yang tidak terpisahkan dari
sistem bahasa yang berfungsi informatif dan komunikatif, adalah metode analisis
bahasa (minhaj al-tahlil al-lughawi).Namun, teks al-Qur’an turun terikat
oleh dimensi ruang dan waktu. Oleh karena itu, teks tidak dapat ditafsirkan
secara harfiah; bahasa an sich.
Tetapi, harus memperhatikan aspek sosio-kultural yang melatarinya.
Perspektif Nasr ini berdasarkan pada konsep ke-azalian
Al-Qur’an dalam Lauh al-Mahfudz;sebagaimana perdebatan antara kelompok
Asy’ariyah dan Mu’tazilah. Pandangannya tentang hal ini, tertuang dalam
artikelnya: “Historitas Teks: Konsep yang Rancu” dalam buku: “Al-Nash wa
al-Sulthah wa al-Haqiqah” (Teks, Otoritas, Kebenaran). Dalam buku ini, ia
lebih setuju dengan pandangan Mu’tazilah Menurutnya, Lauh al-Mahfudztidak
bersifat qadim-azali, namun sama dengan al-Arsy dan al-Kursyi
yang diciptakan Tuhan. Karena jika Lauh al-Mahfudz bersifat qadim-azali,
maka akan ada anggapan tentang keberagaman Dzat yang qadim, dan ini
tidak mungkin. Lebih lanjut, jika memang Lauh al-Mahfudz bersifat hadits
(tercipta), maka Al-Qur’an yang tertulis di dalamnya tidak mungkin bersifat qadim.[8]
Implikasi dari pandangan tersebut adalah Al-Qur’an bersifat hadits
dan makhluk karena al-Qur’an tidak termasuk sifat-sifat Dzat Tuhan yang azali,
melainkan sifat-sifat tindakan Tuhan.Dengan demikian, maka menurut Nasr,
firman Tuhan yang berupa sifat-sifat tindakan Tuhan, merupakan fenomena
sejarah. Sebab, semua tindakan Tuhan adalah tindakan “di dunia” yang tercipta
dan hadits, dengan kata lain bersifat historis. Demikian pula, Al-Qur’an
merupakan fenomena sejarah karena merupakan salah satu manifestasi firman Tuhan.Namun,
tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Qur’an merupakan manifestasi yang paling komprehensif.Oleh
sebab itu, menurutnya Al-Qur’an adalah teks historis (a historical text).
Historisitas teks, realitas dan budaya sekaligus bahasa, menunjukkan bahwa
Al-Qur’an adalah teks manusiawi (nash insani).[9]
Charles Hirschkind dalam Heresy or Hermeneutics: the Case
of Nashr Hamid Abu Zayd menyatakan, “Titik tolak argumentasi Abu Zayd
adalah gagasan bahwa setelah diturunkan kepada Muhammad, Al-Qur’an masuk ke
dalam dimensi sejarah dan menjadi tunduk pada hukum-hukum yang bersifat historis
dan sosiologis. Teks Al-Qur’an kemudian menjadi manusiawi (humanized/muta’annas),
memasukkan relung-relung budaya yang partikular, kondisi politik, dan
unsur-unsur ideologis masyarakat Arab abad ketujuh”. Dikatakan manusiawi sebab
Al-Qur’an turun melalui media bahasa manusia agar dapat dipahami
penerimanya.Selain itu, karena Al-Qur’an telah bermetamorfosis dari “teks
Ilahi” menjadi “teks yang ditafsiri secara manusiawi”.Konsepsi Abu Zayd ini
senada dengan QS. Yusuf: 2, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an
dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”.
Lebih lanjut, Nasr menegaskan bahwa teks
tak bisa dilepaskan dari gerak peradaban umat Islam.Namun sangat disayangkan
banyak kalangan yang memaknai teks secara literal. Dalam hal ini, teksyang merupakan
produk sejarah (baca: profan) dalam praktek penafsiran acap kali dipandang sakral
dan melampaui sejarah. Maka, hal itu memicu kesenjangan antara teks dan
realitas kemanusiaan.Dalam hal inilah penafsiran ulang (rethinking) terhadap
teks menjadi relevan.
Atas dasar
itulah, maka persinggungan antara pemikiran “manusia” dengan “teks” sebagai
objek kajian dalam bingkai penafsiran akan menghasilkan “peradaban”. Hal inilah
yang penulis tangkap dari pemikiran Nasr terkait dengan penafsiran teks
al-Qur’an.Bahkan, Nasr dengan tegas menyatakan bahwa “Peradaban Islam adalah
peradaban teks”.Apabila sintesa antara khazanah Islam (baca: teks al-Qur’an)
dan rasionalitas (baca: pemikiran manusia), maka kejayaan peradaban Islam akan
terwujud kembali. Adapun tantangan yang dihadapi dewasa ini dalam pandangan
Nasr adalah bagaimana memproduksi kesadaran terhadap penafsiran teks yang
rasional.Selain itu, bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung
dalam Al-Qur’an disesuaikan dengan konteks kekinian. Oleh karena itu, pada
perkembangannya, Nasr menelurkan gagasan hermeneutika inklusif(akan dipaparkan
dalam pembahasan selanjutnya) sebagai sebuah metode dalam penafsiran teks
al-Qur’an.
Sesungguhnya, segala
upaya yang dilakukan oleh Nasr sebagai wujud kritiknya terhadap penafsiran Al-Qur’an oleh kaum Muslimin pada
masa itu.Terlebih lagi, Al-Qur’an cenderung dimaknai secara harfiah demi
kepentingan ideologis dan politis.Baginya, Al-Qur’an harus dipahami secara
objektif dan kontekstual. MenurutNasr, Al-Qur’an adalah kitab yang menganjurkan
perdamaian, kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dengan demikian Alqur’an tak boleh dibajak guna melegalkan kekerasan,
diskriminasi, kedzaliman dan aksi-aksi lain yang bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan.
2.3.
Hermeneutika Inklusif Zaid
Dalam mengkaji
teks al-Qur’an, Nasr Hamidmenegaskan agar kita dapat mengambil posisi yang
benar. Sebagai pembaca, kita mesti sadar akan subyektifitas diri kita sendiri, sehingga
tidak terjerumus pada sikap pemutlakan. Pembaca tidak dibenarkan bertindak
sewenang-wenang dalam memaknai sebuah teks, umpamanya dengan mensubordinasi
teks ke dalam kehendak pembaca.Dalam hal ini, hubungan antara teks dan pembaca
tak terpisahkan.Senantiasa ada jalinan yang dialektis antara teks dan pembaca.
Bagi Nasr, relasi antara teks dan pembaca bersifat dialektis, bukan penundukan.
Dengan cara ini, subyektivisme dalam proses pemaknaan diharapkan dapat
diminimalisasi.
Hal tersebut
mengindikasikan bahwa Nasr Hamid masih meyakini adanya makna obyektif di balik
suatu teks. Baginya, makna obyektif yang bersembunyi di balik teks Al-Qur’an ditemukan
setelah proses obyektifikasi melalui piranti hermeneutika. Dia mengusulkan agar
hermeneutika berpijak pada pemilahan yang tegas antara makna kesejarahan suatu
teks dan pengertian atau interpretasi baru yang ditarik dari makna
kesejarahan-obyektif tersebut.Menurutnya, makna historis itulah yang
pertama-tama harus diungkap seorang penafsir, dengan pembacaan pada struktur
internal dan dimensi historis teks tersebut.Setelah itu, dilakukan penafsiran
yang diharapkan dapat menjawab problem-problem kehidupan dalam konteks kekinian.Metode
tafsir ini memungkinkan Al-Qur’an terbuka untuk makna-makna yang baru.
Nasr Hamid mengenalkan
diskursus hermeneutika melalui tulisannya yang berjudul al-Hirminiyutiqa wa
Mu’dilat Tafsîr al-Nash (Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks). Namun,
tawaran ini ditolak secara massif oleh kalangan konservatif dengan alasan
hermeneutika adalah metode penafsiran Bibel yang tidak relevan diaplikasikan
dalam penafsiran Al-Qur’an.Pandangan konservatif yang simplistik ini
diklarifikasi olehNasr Hamid dengan pernyataan, “hermeneutika adalah diskursus
lama sekaligus baru.Pokok pembahasannya adalah tentang relasi penafsir dengan
teks.Hermeneutika bukan hanya semata diskursus pemikiran Barat, akan tetapi
diskursus yang wujudnya juga telah ada dalam turâts Arab, baik Arab klasik
maupun modern.”
Dalam rangka
membuktikan bahwa hermeneutika bukan hanya diskursus Barat, Nasr menulis
Isykâliyyât al-Qirâ’ah wa Aliyât al-Ta’wîl (Problem Pembacaan dan Metode
Interpretasi) dan Falsafah al-Ta’wîl: Dirâsah fi Ta’wîl al-Quran ‘Inda Ibn
`Arabi (Filsafat Hermeneutik: Studi Hermeneutika Al-Qur’an menurut Ibn
Arabi).Melalui karya tersebut, Nasr Hamid mencoba mengkomparasikan hermeneutika
Barat dan hermeneutika Islam.Beliau menyimpulkan bahwa khazanah Islam klasik
telah memiliki konsep hermeneutika yang sejajar dengan hermeneutika Barat.
Dengan demikian, wacana studi Al-Qur’an sepatutnya membuka diri untuk berdialog
dengan wacana interpretasi teks dari peradaban Barat untuk saling mengkayakan
satu sama lain.
Adapun Tujuan Proyek Hermeneutika Inklusif Nasr Hamid adalah
sebagai berikut:
1) Untuk
menemukan makna asal, dari sebuah teks, dengan menempatkannya dari sebuah
konteks sosio-historisnya.
2) Untuk
mengklasifikasi kerangka sosio-kultural kontemporer dan tujuan-tujuan praktis
yang mendorong dan mengarahkan penafsiran.
Terkait dengan Hermeneutika,
Nasr Hamid menelurkan teori tentang tingkatan- tingkatan konteks, yaitu terdiri
dari tiga teori:
1)
Teori Konteks Sosio Kultural
Teori
kontesk sosio kultural,telaah Nasr Hamid terhadap konteks terbatas kepada teks
yang bersifat kebahasaan, maksudnya kedudukan teks bahasa secara umum.Kontek
kultural pada teks-teks kebahasaan adalah setiap parkara yang melalui otoritas
epistimologis memungkinkan terjadinya interaksi yang bersifat kebahasaan.
Menurut
Nasr Hamid, ketika proses interaksi berlangsung antara penutur dan penerima
tidaklah cukup hanya mengetahui kaidah-kaidah bahasa untuk menjamin suksesnya
proses interaksi, di antara keduanya mesti ada kerangka berpikir yang
menggambarkan bahwa masing-maing bisa saling memahami dan berhubungan. Adapun rujukan
epistimologis yang dimaksud di sini adalah kebudayan dengan segala aspeknya
termasuk kebiasaan dan tradisi- tradisinya, yang itu tercermin dalam bahasa dan
aturan–aturannya.
2)
Teori Kontek Narasi
Teori konteks narasi ialah usaha menyingkap makna yang tersembunyi
dalam suatu wacana.Selain itu, makna yang tersembunyi tersebut tidak
sebagaimana yang dipahami para ulama fiqih dengan indikasi signifikan atau
gramatika wacana tetapi diartikan oleh Nasr Hamid dalam level yang lebih luas
untuk menyingkap konteks yang berkaitan dengan beberapa faktor eksternalbersamaan
dengan makna konteks narasi.
3)
Teori Konteks Pembacaan
Teori Konteks Pembacaan menurut Nasr Hamid merupakan bagian
dari keseluruhan sistem konteks, serta bagian dari stuktur teks,tetapi
pembacaan itusendiri terbentuk sebagai stuktur tersendiri dari tingkatan
pembacaan.Nasr Hamid membaginya pada dua hal. (1) kondisi pembaca itu sendiri
dan (2) beragamnya pembacaan ,yang muncul disebabkan perbedaan pada aspek
pemikiran dan ideologi. Dalam hal ini, interpretasi sangat tergantung dengan
temporalitas sang pembaca atau penafsir. Adapun problem lain yang terdapat
dalam konteks pembacaan ini adalah sang pembaca harus melakukan trasformasi
wacana dari suatu fase peradaban tertentu kepada peradaban lain, juga melakukan
suatu transformasi makna dari bahasa yang asli kepada bahasa lain.
3. PENUTUP
Saya sepakat dengan
Nasr Hamid bahwa bahwa Al-Qur’an adalah teks yang komprehensif dan menjadi
rujukan bagi teks yang lain; sehingga teks Al-Qur’an menjadi hegemoni. Dengan
kata lain, realitas dan budaya tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Keterkaitan
realitas, budaya, dan bahasa, menjadikan Al-Qur’an sebagai teks historis
sekaligus teks manusiawi.Sekalipun Al-Qur’an bersumber dari Ilahi, namun
hakikatnya Al-Qur’an termanusiawikan karena terikat oleh dimensi ruang dan
waktu.
Walaupun saya
mengafirmasi pandangan tersebut, tapi saya meyakini bahwa al-Qur’an adalah
kitab yang sakral.Menurut saya problematis ketika Nasr Hamid menyatakan bahwa
Al-Qur’an adalah produk budaya sekaligus produsen budaya sejak awal wahyu
diturunkan.Hal itu menjadi kontradiktif karena menggabungkan sebab (produsen)
dan akibat (produk) pada suatu situasi tertentu.
Al-Qur’an
disampaikan oleh Rasulullah saw kepada ummatnya pada abad ke-7 Masehi, namun
ini tak serta merta mengindikasikan bahwa Al-Qur’an terbentuk dalam situasi dan
budaya yang ada pada abad ke-7 Masehi.Walaupun tidak bisa dipungkiri jika
al-Qur’an turun terikat oleh dimensi ruang dan waktu, tapi tidak meniscayakan
al-Qur’an merupakan produk budaya.Kesesuaian ayat al-Qur’an dengan konteks
budaya saat itu (turun) merupakan bukti bahwa Tuhan Maha Tahu, serta Maha
Pengasih dan Penyayang.Jadi, kebenaran Al-Qur’an itu universal dan berlaku
sepanjang zaman.
Ditambah lagi,
Al-Qur’an bukan teks manusiawi karena ia bukan kata-kata Muhammad. Allah
berfirman yang artinya: “Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian
perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya,
kemudia benar-benar Kami potong urat tali jantungnya” (QS al-Haqqah 44-46).
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (QS al-Najm
3-4).
Apabila
Hermeneutika dijadikan sebagai sebuah metode interpretasi yang relevan dipakai
dalam memahami pesan Al-Qur’an saya setuju.Terlebih lagi jika dimaksudkan untuk
ketepatan pemahaman dan penjabaran dari pesan Allah bisa ditelusuri secara
komprehensif.Maksudnya, pesan Allah yang diturunkan pada teks al-Qur’an melalui
Nabi Muhammad itu tidak hanya kita pahami secara tekstual, juga bisa kita
pahami secara kontekstual dan menyeluruh dengan tidak membatasi diri pada teks
dan konteks ketika Al-Qur’an turun.Maka, teks Al-Qur’an beserta yang melingkupinya
dapat digunakan agar selaras dan cocok dengan kondisi ruang, waktu, dan tempat
di mana kita berada dan hidup.Namun, jika hermeneutika justru menodai
kesakralan al-Qur’an sebagai wahyu, maka saya tidak setuju, Jadi, tergantung
pada teori hermeneutika mana yang digunakan oleh penafsir al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Zayd, Nashr Hamid. al-Nash wa al-Sulthah wa al-Haqiqah.Edisi terjemahan
Indonesia
oleh Sunarwoto Dema. LkiS: Yogyakarta. 2003.
Abu
Zayd,Nashr Hamid.Isykaliyyat al-Qira’at wa Alliyat al-Ta’wil. Edisi terjemahan
Indonesia oleh Muhammad Manshur. Yogyakarta: LkiS. 2004.
Abu
Zayd, Nashr Hamid. Mafhum al-Nash.Edisi terjemahan Indonesia oleh
Khoiron
Nahdliyin. Yogyakarta: LKiS. 2002.
Abu Zaid, Nasr Hamid. Teks
Otoritas Kebenaran. Yogyakarta: LKiS. 2003.
Armas, Adnin. Metodologi Bibel
dalam Studi Al-Qur’an.Jakarta:Gema
Insani. 2005.
Harb, Ali. Kritik
Nalar al-Qur’an. Yogyakarta: LKiS. 2003.
Sucipto,Hery.Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi.
Jakarta:
PT Mizan Publika. 2003.
[1]Nashr Hamid Abu Zayd, Isykaliyyat al-Qira’at wa Alliyat
al-Ta’wil, edisi terjemahan Indonesia oleh Muhammad Manshur, Yogyakarta: LkiS,,
2004, hlm.4.
[2]Hery Sucipto,
Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi. Jakarta: PT
Mizan Publika, 2003, hlm. 348.
[3]Ibid, Hery Sucipto, hlm. 348-349
[4]Dia
masuk ke sekolah kejuruan ini untuk memenuhi keinginan Ayahnya, meskipun Nasr
sangat ingin sekali melanjutkan studi di Al-Azhar.
[5]Adnin
Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, 2005,
Subbab: Nashr Hamid dan Hermeneutika
Al-Qur’an.
[6]Nashr
Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash, edisi terjemahan Indonesia oleh Khoiron
Nahdliyin, Yogyakarta: LKiS, 2002, hlm. 19-20.
[8]Nashr Hamid Abu Zayd, al-Nash wa al-Sulthah wa
al-Haqiqah, edisi terjemahan Indonesia oleh Sunarwoto Dema, LkiS,
Yogyakarta, 2003, hlm. 92.
[9]Adnin
Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, 2005,
subbab: Nashr Hamid dan Hermeneutika Al-Qur’an.
MENGKONTEKSTUALISASIKAN AL-QUR’AN, Proyek Hermeneutis Nasr Hamid Abu Zaid
Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi
on
October 25, 2015
Rating:
No comments:
Komentar