Pendahuluan
Peradaban[1]
dalam Islam, dapat ditelusuri dari sejarah kehidupan Rasulullah, para sahabat
(Khulafaur Rasyidin), dan sejarah kekhalifahan Islam hingga kehidupan umat
Islam dewasa ini. Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad telah membawa
bangsa Arab yang semula terbelakang, bodoh, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa
lain, menjadi bangsa yang maju. Bahkan, kemajuan Barat pada mulanya bersumber
pada peradaban Islam yang masuk ke Eropa melalui Spanyol.
Islam
memang berbeda dari agama-agama lain, sebagaimana pernah diungkapkan oleh
H.A.R. Gibb dalam bukunya Whither Islam
kemudian dikutip M.Natsir, bahwa, “Islam
is andeed much more than a system of theology, it is a complete civilization”
(Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban
yang sempurna). Landasan “peradaban Islam” adalah “kebudayaan Islam” terutama
wujud idealnya, sementara landasan “kebudayaan Islam” adalah agama. Jadi, dalam
Islam, tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama “bumi” (non-samawi),
agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan
merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu
dari Tuhan.
Maju
mundurnya peradaban Islam tergantung dari sejauh mana dinamika umat Islam itu
sendiri. Dalam sejarah Islam tercatat, bahwa salah satu dinamika umat Islam itu
dicirikan oleh kehadiran kerajaan-kerajaan Islam, diantaranya Dinasti Umayah
dan Dinasti Abbasiyah. Terlebih lagi Dinasti Abbasiyah, karena memiliki
peradaban yang tinggi. Salah satu indikasinya adalah munculnya ilmuwan-ilmuwan
dan para pemikir muslim.
Atas
dasar itulah, kami merasa penting untuk mengusung pembahasan mengenai bani
Abbasiyah, demi memenuhi tugas makalah kuliah “Sejarah Peradaban Islam”. Adapun
topik bahasan yang kami ketengahkan adalah latar belakang berdirinya
kekhalifahan Abbasiyah, pemerintahan dinasti Abbasiyah, dan kemajuan dan
kemunduran pada masa ini, baik dari aspek ekonomi, politik, dan sosial.
Latar Belakang Berdirinya Abbasiyah
(132 – 656 H/ 750-1258 M)
Dinasti
Abbasiyah didirikan secara revolusioner, yakni dengan menggulingkan kekuasaan
dinasti Umayyah. Maka, bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian
Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan
ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan
suatu revolusi.
Menurut Crane Brinton dalam
Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang
menjadi identitas revolusi yaitu :
1. Bahwa
pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari
masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang disebabkan ketimpangan-ketimpangan
dari ideologi yang berkuasa itu.
2. Mekanisme
pemerintahannya tidak efisien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial
yang ada dengan
perkembangan keadaan dan
tuntutan zaman.
3. Terjadinya
penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada
wawasan baru yang ditawarkan oleh para
kritikus.
4. Revolusi
itu pada umumnya bukan hanya dipelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah
dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa oleh karena hal-hal
tertentu yang merasa tidak puas dengan syistem yang ada .
Terdapat beberapa
faktor yang mendukung keberhasilan pembentukan dinasti ini diantaranya adalah
meningkatnya kekecewaan kelompok Mawalli[2]
terhadap Bani Umayyah, pecahnya persatuan antar suku bangsa Arab, dan timbulnya
kekecewaan masyarakat agamis dan keinginan mereka memiliki pemimpin
kharismatik.[3]
Kekuatan baru ini
muncul pada masa pemerintahan khalifah Hisyam ibn Abd al-Malik, yang pada akhirnya
menjadi tantangan berat bagi pemerintahan bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari
kalangan bani Hasyim yang dipelopori keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini menghimpun beberapa kelompok,
diantaranya adalah:
a.
Bani Alawiyah pemimpinnya Abu Salamah
b.
Bani Abbasiyah pemimpinnya Ibrahim al-Aiman
c. Keturunan bangsa Persia
pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany, mereka memusatkan kegiatannya di khurasan.
d.
Golongan Syi’ah
Sebelum daulah Bani
Abbasiyah berdiri, terdapat
3 tempat yang
menjadi pusat kegiatan
kelompok Bani Abbas, antara
satu dengan yang lain
mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk
menegakkan kekuasaan keluarga besar
paman nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari namanya Dinasti itu
disandarkan). Tiga tempat itu adalah
Humaimah, Kufah dan Khurasan.
Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim
bermukim, baik dari kalangan pendukung
Ali maupun pendukung
keluarga Abbas. Humaimah
terletak berdekatan dengan
Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah
pendukung Ali bin
Abi Tholib. Ia
bermusuhan secara terang-terangan dengan
golongan Bani Umayyah.
Demikian pula dengan
Khurasan, kota yang
penduduknya mendukung Bani
Hasyim. Ia mempunyai
warga yang bertemperamen pemberani,
kuat fisiknya, tegap tinggi,teguh
pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung
dengan kepercayaan
yang menyimpang. Disinilah
diharapkan dakwah kaum
Abbassiyah mendapatkan dukungan.
Di bawah pimpinan
Muhammad bin Ali al-Abbasy,
gerakan Bani Abbas dilakukan
dalam dua fase yaitu : 1) fase
sangat rahasia; dan 2) fase terang-terangan dan pertempuran (Hasjmy, 1993:2 11).
Selama Imam Muhammad
masih hidup gerakan
dilakukan sangat rahasia.
Propaganda dikirim keseluruh
pelosok negara, dan
mendapat pengikut yang
banyak, terutama dari
golongan yang merasa tertindas,
bahkan juga dari golongan yang
pada mulanya mendukung Bani
Umayyah.
Pada abad ketujuh
terjadi pemberontakan di seluruh
negeri. Gerakan-gerakan
perlawanan untuk melawan kekuasaan dinasti Bani Umayyah sebenarnya sudah
dilakukan sejak masa-masa awal pemerintahan dinasti Bani Umayyah, hanya saja
gerakan tersebut selalu digagalkan oleh kekuatan militer Bani Umayyah, sehingga
gerakan-gerakan kelompok penentang tidak dapat melancarkan serangannya secara
kuat. Tapi, dimasa-masa akhir pemerintahan dinasti Bani Umayyah gerakan
tersebut semakin menguat seiring banyaknya protes dari masyarakat yang merasa
tidak puas atas kinerja dan berbagai kebijakan pemerinatah dinasti Bani
Umayyah. Gerakan ini menemukan momentumnya ketika para tokoh dari Bani Hasyim
melancarkan serangannya.
Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali, salah
seorang keluarga Abbas yang menjadikan kota Khufa sebagai pusat kegiatan
perlawanan. Gerakan Muhammad bin Ali mendapat dukungan dari kelompok Mawali
yang selalu ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu, juga dukungan
kuat dari kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah
dirampas oleh dinasti Banui UmayyahPemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari
segala pemberontakan, yakni perang antara
pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani
Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh
pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti
Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah.
Akhirnya, pada tahun 132 H (750 M) tumbanglah daulah Umayyah dengan
terbunuhnya khalifah terakhir yaitu Marwan bin Muhammad. Pada tahun inilah
berdirilah kekuasaan dinasti bani abbas atau khalifah abbasiyah karena para
pendiri dan penguasa dinasti ini keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw.,
dinasti abbasiyah didirikan oleh Abdullah ibn al-Abbas (Abul Abbas al- Saffah).
Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang dari tahun 132 H sampai
dengan 656 H. selama berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, social dan budaya.
Pemerintahan Dinasti
Abbasiyah
Pada zaman Abbasiyah
konsep kekhalifahan berkembang
sebagai sistem politik.
Menurut pandangan para
pemimpin Bani Abbasiyah,
kedaulatan yang ada
pada pemerintahan (Khalifah)
adalah berasal dari
Allah, bukan dari
rakyat sebagaimana diaplikasikan
oleh Abu Bakar dan
Umar pada zaman khalifahurrasyidin. Hal
ini dapat dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur
“Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya “.
Pada zaman
Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda- beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik
yang dijalankan oleh Daulah Bani
Abbasiyah I antara lain :
a. Para
Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima,
Gubernur dan para pegawai lainnya
dipilih dari keturunan Persia dan mawali.
b. Kota
Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik,
ekonomi sosial dan kebudayaan.
c. Ilmu
pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.
d. Kebebasan
berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya.
e. Para
menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam
pemerintah (Hasjmy, 1993:213-214).
Selanjutnya periode
II, III, IV,
kekuasaan Politik Abbasiyah
sudah mengalami penurunan,
terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara
bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah
tidak menghiraukan pemerintah pusat, kecuali pengakuan politik
saja. Panglima di daerah
sudah berkuasa di
daerahnya, dan mereka telah
mendirikan atau membentuk
pemerintahan sendiri misalnya
saja munculnya Daulah- Daulah kecil, contoh; daulah Bani
Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah.
Pada masa awal berdirinya Daulah
Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh
para Khalifah Daulah
Bani Abbasiyah untuk mengamankan dan
mempertahankan dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya
pemberontakan yaitu : pertama, tindakan keras
terhadap Bani Umayah dan kedua, pengutamaan orang-orang keturunan Persia.
Dalam menjalankan pemerintahan,
Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu
oleh seorang wazir
(perdana mentri) atau
yang jabatanya disebut
dengan wizaraat. Sedangkan wizaraat
itu dibagi lagi
menjadi 2 yaitu:
1) Wizaraat Tanfiz
(sistem pemerintahan presidentil)
yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah. 2)
Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabinet). Wazirnya berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan. Sedangkan, Khalifah
sebagai lambang saja. Pada kasus lainnya
fungsi Khalifah sebagai
pengukuh Dinasti-Dinasti lokal
sebagai gubernurnya Khalifah
(Lapidus,1999:180).
Selain itu, untuk membantu Khalifah
dalam menjalankan tata usaha negara diadakan
sebuah dewan yang bernama
diwanul kitaabah (sekretariat
negara) yang dipimpin oleh
seorang raisul kuttab (sekretaris negara). Dan dalam
menjalankan pemerintahan negara, wazir
dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha
negara bersifat sentralistik yang
dinamakan an-nidhamul idary al-markazy.
Lalu, dalam zaman daulah Abbassiyah
juga didirikan angkatan perang, amirul
umara, baitul maal,
organisasi kehakiman. Selama
Dinasti ini berkuasa,
pola pemerintahan yang
diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik,
sosial, ekonomi dan budaya.
Berdasarkan
perubahan tersebut, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah
menjadi 3 periode, yaitu :
1. Periode Pertama (750-847 M)
Pada
periode ini, seluruh kerajaan Islam berada di bawah kekuasaan para
Khalifah kecuali di Andalusia. Adapun
para Khalifah yang memimpin pada ini sebagai berikut:
a.
Abul Abbas as-saah (750-754 M)
b.
Abu Ja’far al mansyur (754 –
775 M)
c.
Abu Abdullah M. Al-Mahdi bin Al Mansyur (775-785 M)
d.
Abu Musa Al-Hadi (785—786 M)
e.
Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid (786-809 M)
f.
Abu Musa Muh. Al Amin (809-813 M)
g.
Abu Ja’far Abdullah Al Ma’mun (813-833 M)
h.
Abu Ishak M. Al Muta’shim (833-842 M)
i.
Abu Ja’far Harun Al Watsiq (842-847 M)
j.
Abul Fadhl Ja’far Al Mutawakkil (847-861)
2. Periode kedua (232 H/847 M - 59 H/1194 M)
Pada periode
ini, kekuasaan bergeser
dari sistem sentralistik pada
sistem desentralisasi, yaitu ke
dalam tiga negara otonom:
a.
Kaum Turki (232-590 H)
b.
Golongan Kaum Bani Buwaih (334-447 H)
c.
Golongan Bani Saljuq (447-590 H)
Dinasti-Dinasti
di atas pada akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa Khalifah Abbassiyah.
3. Periode ketiga (590 H/1194 M - 656 H/1258 M)
Pada periode
ini, kekuasaan berada
kembali ditangan Khalifah,
tetapi hanya di Baghdad
dan kawasan-kawasan sekitarnya.
Sedangkan
para ahli kebudayaan Islam membagi masa kebudayaan Islam di zaman daulah
Abbasiyah kepada 4 masa, yaitu :
1. Masa
Abbasy I, yaitu semenjak lahirnya Daulah
Bani Abbasiyah tahun 750
M, sampai meninggalnya Khalifah
al-Wasiq (847 M).
2. Masa
Abbasy II, yaitu mulai Khalifah al-Mutawakkal
(847 M), sampai berdirinya daulah Buwaihiyah di Baghdad (946 M).
3. Masa
Abbasy III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun (946 M) sampai masuk kaum Seljuk ke Baghdad (1055 M).
4. Masa
Abbasy IV, yaitu masuknya orang-orang Seljuk ke Baghdad (1055 M), sampai
jatuhnya Baghdad ke tangan Tartar di bawah pimpinan Hulako (1268 M).
Dalam versi yang lain
yang, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi
lima periode:
1. Periode pertama (750–847 M)
Pada
periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul
tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan
politik dan agama
sekaligus. Di sisi
lain, kemakmuran masyarakat
mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan dalam Islam.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas,
pendiri Dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina
sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu
Ja’far al-Mansur (754–775 M).
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan
menjaga stabilitas negara yang baru berdiri
itu, al-Mansur memindahkan
ibu kota negara
ke kota yang baru
dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat
bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M.
Dengan demikian, pusat
pemerintahan Dinasti bani Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia.
Di
ibu kota yang
baru ini al-Mansur
melakukan konsolidasi dan
penertiban pemerintahannya. Dia
mengangkat sejumlah personal
untuk menduduki jabatan
di lembaga eksekuti
dan yudikatif. Di bidang
pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan
mengangkat wazir sebagai koordinator
departemen. Jabatan wazir
yang menggabungkan sebagian
fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga
terpandang berasal dari Balkh, Persia (Iran).
Wazir yang pertama adalah Khalid
bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian
mengangkat anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi
wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi
Gubernur Persia Barat dan kemudian
Khurasan. Pada masa
tersebut persoalan-persoalan administrasi
negara lebih banyak ditangani
keluarga Persia itu. Masuknya keluaraga non Arab ini ke dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara
Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang
berorientasi ke Arab.
Khalifah
al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan
kepolisian
negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga
kehakiman negara. Jawatan pos yang
sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur,
jawatan pos ditugaskan
untuk menghimpun seluruh
informasi di daerah-daerah sehingga
administrasi kenegaraan dapat
berjalan lancar. Para
direktur jawatan pos
bertugas melaporkan tingkah laku
Gubernur setempat kepada Khalifah.
Khalifah al-Mansur
juga berusaha menaklukan
kembali daerah-daerah yang
sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan
keamanan di daerah perbatasan. Di pihak
lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium
membayar upeti tahunan.
Pada
masa al-Mansur pengertian Khalifah kembali berubah. Konsep khilafah dalampandangannya
——dan berlanjut ke
generasi sesudahnya—— merupakan
mandat dari Allah, bukan dari
manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al Khulafa’ al-Rasyidin.
Popularitas
Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya
di zaman Khalifah
Harun al- Rasyid (786-809
M) dan putranya
al-Ma’mun (813-833 M).
Kekayaan yang banyak, dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk
keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter
dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran
paling tinggi terwujud pada zaman
Khalifah ini. Kesejahteraan sosial,
kesehatan, pendidikan, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan
serta kesusasteraan berada
pada zaman keemasannya.
Pada masa inilah
negara Islam menempatkan
dirinya sebagai negara
terkuat dan tak
tertandingi (Yatim, 2003:52-53).
Dengan demikian telah terlihat bahwa
pada masa Khalifah Harun al-Rasyid lebih
menekankan pembinaan peradaban
dan kebudayaan Islam
dari pada perluasan
wilayah yang memang
sudah luas. Orientasi
kepada pembangunan peradaban
dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti
Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
Selanjutnya, Al-Makmun, pengganti
al-Rasyid, dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan
buku-buku asing digalakkan. Ia juga
mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah
pembangunan Bait al-Hikmah, pusat
penerjemahan yang berfungsi
sebagai perguruan tinggi
dengan perpustakaan yang besar.
Pada masa al-Makmun
inilah Baghdad mulai
menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Muktasim, Khalifah berikutnya
(833-842 M) memberi peluang besar kepada orang- orang Turki
untuk masuk dalam
pemerintahan. Demikian ini
di latar belakangi
oleh adanya persaingan
antara golongan Arab
dan Persia pada
masa al-Ma’mun dan
sebelumnya. Keterlibatan mereka
dimulai sebagai tentara
pengawal. Tidak seperti pada masa
Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah
mengadakan perubahan sistem ketentaraan.
Praktek orang-orang Muslim
mengikuti perang sudah
terhenti. Tentara dibina
secara khusus menjadi
prajurit-prajurit pro esional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Dalam periode ini, sebenarnya banyak
gerakan politik yang mengganggu stabilitas,
baik dari kalangan Bani Abbas
sendiri maupun dari
luar. Gerakan-gerakan itu
seperti gerakan sisa-sisa
Dinasti Umayyah dan
kalangan intern Bani
Abbas dan lain-lain
semuanya dapat dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para Khalifah
mempunyai prinsip kuat sebagai
pusat politik dan
agama sekaligus. Apabila
tidak, seperti pada periode sesudahnya,
stabilitas tidak lagi
dapat dikontrol, bahkan
para Khalifah sendiri
berada di bawah pengaruh
kekuasaan yang lain.
2. Periode kedua (847-945 M)
Perkembangan peradaban dan
kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup
mewah, bahkan cenderung
mencolok. Kehidupan mewah
para Khalifah ini
ditiru oleh para
hartawan dan anak-anak
pejabat. Demikian ini
menyebabkan roda pemerintahan
terganggu dan rakyat
menjadi miskin. Kondisi
ini memberi peluang
kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat
oleh Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil
alih kendali pemerintahan.
Usaha mereka berhasil,
sehingga kekuasaan
sesungguhnya berada di tangan
mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah yang
didirikannya mulai pudar,
dan ini merupakan
awal dari keruntuhan
Dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat
bertahan lebih dari empat ratus tahun.
Khalifah Mutawakkil
(847-861 M) yang merupakan
awal dari periode
ini adalah seorang
Khalifah yang lemah.
Pada masa pemerintahannya orang-orang
Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah
Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang
memilih dan mengangkat
Khalifah. Dengan demikian
kekuasaan tidak lagi
berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap
memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada
usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu
gagal. Dari dua belas Khalifah pada
periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari
tahtanya dengan paksa. Wibawa Khalifah
merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya, di
daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat
yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan Dinasti-Dinasti
kecil. Inilah permulaan masa disintregasi dalam sejarah politik Islam.
Adapun faktor-faktor penting
yang menyebabkan kemunduran
Bani Abbas pada
periode ini adalah sebagai berikut:
a. Luasnya
wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara
komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan
para penguasa dan pelaksana pemerintahan
sangat rendah.
b. Dengan
profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi.
c. Kesulitan
keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah Khalifah merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa
pengiriman pajak ke Baghdad.
3. Periode ketiga (945 -1055 M)
Pada periode
ini, Daulah Abbasiyah
berada di bawah
kekuasaan Bani Buwaih.
Khalifah pada masa ini tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan
diberi gaji. Bani Buwaih membagi kekuasaannya
kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah
bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah Al- Ahwaz, Wasit
dan Baghdad. Dengan
demikian Baghdad pada
periode ini tidak
lagi merupakan pusat pemerintahn
Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali
bin
Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.
Meskipun demikian,
dalam bidang ilmu
pengetahuan Daulah Abbasiyah
terus mengalami kemajuan pada
periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar
seperti
al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan as-Shafa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan
juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini
juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit. Pada masa Bani Buwaih berkuasa
di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara Ahlussunnah danSyi’ah,
pemberontakan tentara dan sebagainya.
4. Periode keempat (1055-1199 M)
Periode
ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani
Seljuk ini adalah
atas undangan Khalifah
untuk melumpuhkan kekuatan
Bani Buwaih di
Baghdad. Keadaan Khalifah
memang membaik, paling
tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali
setelah beberapa lama dikuasai oleh orang- orang Syi’ah.
Sebagaimana pada
periode sebelumnya, ilmu pengetahuan
juga berkembang pada
periode ini. Nizam
al-Mulk, perdana menteri
pada masa Alp
Arselan dan Malikhsyah,
mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan madrasah Hanafiyah di
Baghdad. Cabang- cabang Madrasah Nizamiyah
didirikan hampir di
setiap kota di
Irak dan Khurasan.
Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari
madrasah ini telah lahir banyak
cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan Islam yang
dilahirkan dan berkembang pada
periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din
(teologi), Al-Qusyairi dalam bidang
tafsir, al-Ghazali dalam bidang
ilmu kalam dan
tasawwuf, dan Umar
Khayyam dalam bidang
ilmu perbintangan.
Dalam bidang politik, pusat
kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa
propinsi dengan seorang Gubernur untuk
mengepalai masing-masing propinsi
tersebut. Pada masa
pusat kekuasaan melemah,
masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan
peperangan yang terjadi di antara mereka
melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama
untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut
berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.
5. Periode kelima (1199-1258 M)
Berakhirnya kekuasaan
Dinasti Seljuk atas
Baghdad atau khilafah
Abbasiyah merupakan awal dari
periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan Dinasti tertentu,
walaupun banyak sekali Dinasti Islam
berdiri. Ada di antaranya yang cukup
besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil. Para Khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali,
tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya.
Wilayah kekuasaan Khalifah
yang sempit ini menunjukkan
kelemahan politiknya. Pada
masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat
direbut dan dihancur luluhkan tanpa
perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam
sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat
dalam periodisasi khilafah
Abbasiyah, masa kemunduran
dimulai sejak periode kedua. Namun
demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran ini tidak datang secara tiba-tiba.
Benih-benihnya sudah terlihat pada
periode pertama, hanya karena Khalifah
pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat
bahwa apabila Khalifah kuat, para menteri
cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah
lemah, mereka akan berkuasa mengatur
roda pemerintahan.
Kemajuan Dinasti
Abbasiyah
Setiap dinasti atau rezim mengalami fase-fase yang
dikenal dengan fase pendirian, fase pembangunan dan kemajuan, fase kemunduran
dan kehancuran. Akan tetapi durasi dari masing-masing fase itu berbeda-beda
karena bergantung pada kemampuan penyelenggara pemerintahan yang bersangkutan.
Pada masa pemerintahan, masing-masing memiliki berbagai kemajuan dari beberapa
bidang, diantaranya bidang politik, bidang ekonomi, bidang social-budaya. Pada
masing-masing bidang memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kemajuan dalam Bidang Sosial Budaya
Sebagai sebuah dinasti, kekhalifahan Bani Abbasiyah yang
berkuasa lebih dari lima abad, telah banyak memberikan sumbangan positif bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Dari sekitar 37 orang khalifah yang
pernah berkuasa, terdapat beberapa orang khalifah yang benar-benar memliki
kepedulian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, serta
berbagai bidang lainnya, seperti bidang-bidang sosial dan budaya.
Di antara kemajuan dalam bidang sosial-budaya adalah
terjadinya proses akulturasi dan asimilasi masyarakat. Keadaan sosial
masyarakat yang majemuk itu membawa dampak positif dalam perkembangan dan
kemajuan peradaban Islam pada masa ini. Hal itu terjadi karena dengan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki, dapat dipergunakan untuk
memajukan bidang-bidang sosial budaya lainnya yang kemudian menjadi lambang
bagi kemajuan bidang sosial budaya dan ilmu pengetahuan lainnya. Diantara
kemajuan ilmu pengetahuan sosial budaya yang ada pada masa Khalifah Dinasi
Abbasiyah adalah seni bangunan dan arsitektur, baik untuk bangunan istana,
masjid, bangunan kota dan sebagainya. Seni asitektur yang dipakai dalam pembangunan
istana dan kota-kota, seperti pada istana Qashrul dzahabi, dan Qashrul Khuldi,
sementara bangunan kota seperti pembangunan kota Baghdad, Samarra dan
sebagainya.
Kemajuan juga terjadi pada bidang sastra bahasa dan seni
musik. Pada masa inilah lahir seorang sastrawan dan budayawan terkenal, seperti
Abu Nawas, Abu Athahiyah, Al Mutanabby, Abdullah bin Muqaffa dan lain-lainnya.
Karya buah pikiran mereka masih dapat dibaca hingga kini, seperti kitab Kalilah
wa Dimna. Sementara tokoh terkenan dalam bidang musik yang kini karyanya juga
masih dipakai adalah Yunus bin Sulaiman, Khalil bin Ahmad, pencipta teori musik
Islam, Al farabi dan lain-lainnya.
Selain bidang–bidang tersebut di atas, terjadi juga
kemajuan dalam bidang pendidikan. Pada masa awal pemerintah Dinasti Abbasiyah,
telah banyak diushakan oleh para khalifah untuk mengembangkan dan memajukan
pendidikan. Oleh karena itu, mereka kemudian mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi.
Di masa Bani Abbassiyah berkembang corak kebudayaan,
yang berasal dari beberapa bangsa. Apa
yang terjadi dalam unsur bangsa, terjadi
pula dalam unsur kebudayaan. Dalam masa
sekarang ini berkembang empat unsur kebudayaan yang mempengaruhi
kehidupan akal/rasio yaitu
Kebudayaan Persia, Kebudayaan
Yunani, Kebudayaan Hindi dan
Kebudayaan Arab dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
1.
Kebudayaan Persia, Pesatnya perkembangan kebudayaan Persia di zaman ini
karena 2 faktor, yaitu :
a.
Pembentukan lembaga wizarah
b. Pemindahan ibukota
2.
Kebudayaan Hindi, Peranan orang India dalam membentuk kebudayaan Islam
terjadi dengan dua cara:
a.
Secara langsung, Kaum muslimin berhubungan langsung dengan orang-orang India
seperti
lewat perdagangan dan penaklukan.
b. Secara
tak langsung,penyaluran kebudayaan
India ke dalam
kebudayaan Islam
lewat kebudayaan Persia.
3.
Kebudayaan Yunani
Sebelum dan sesudah Islam, terkenallah di
Timur beberapa kota yang menjadi pusat kehidupan kebudayaan Yunani. Yang paling
termasyur diantaranya adalah :
a) Jundaisabur,
Terletak di Khuzistan, dibangun oleh
Sabur yang dijadikan tempat
pembuangan para tawanan
Romawi. Setelah jatuh di
bawah kekuasaan Islam.
Sekolah-sekolah tinggi kedokteran yang asalnya diajar berbagai ilmu
Yunani dan bahasa Persia, diadakan perubahan-perubahan
dan pembaharuan.
b) Harran,
Kota yang dibangun di utara Iraq yang menjadi
pusat pertemuan segala macam
kebudayaan. Warga kota Harran merupakan
pengembangan kebudayaan Yunani
terpenting di zaman Islam, terutama dimasa Daulah Abbassiyah.
c) Iskandariyyah, Ibukota
Mesir waktu menjadi
jajahan Yunani. Dalam
kota
Iskandariyyah ini lahir aliran falsafah
terbesar yang dikenal “Filsafat Baru Plato”
(Neo
Platonisme). Dalam masa
Bani Abbassiyah hubungan alam
pemikiran Neo
Platonisme bertambah erat dengan alam
pikiran kaum muslimin.
4.
Kebudayaan Arab
Masuknya
kebudayaan Arab ke dalam kebudayaan Islam terjadi dengan dua jalan utama, yaitu :
a.
Jalan Agama, Mengharuskan mempelajari
Qur’an, Hadist, Fiqh yang
semuanya
dalam bahasa Arab.
b.
Jalan Bahasa, Jazirah Arabia adalah sumber bahasa Arab, bahasa terkaya
diantara
rumpun bahasa samy dan tempat lahirnya
Islam.
Kemajuan dalam Bidang Politik dan Militer
Di antara perbedaan karakteristik yang sangat mencolok
antara pemerintah Dinasti Bani Umayyah dengan Dinasti Bani Abbasiyah, terletak
pada orientasi kebijakan yang dikeluarkannya. Pemerintah Dinasti Bani Umayyah,
yaitu orientasi kebijakan yang dikeluarkannya selalu pada upaya perluasan
wilayah kekuasaanya. Sementara, pemerintah Dinasti Bani Abbasiyah, lebih
menfokuskan diri pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam,
sehingga masa pemerintahan ini dikenal sebagai masa keemasan peradaban Islam.
Meskipun begitu, usaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan tetap merupakan
hal penting yang harus dilakukan. Untuk itu, pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah
memperbaharui sistem politik pemerintahan dan tatanan kemiliteran.
Agar semua kebijakan militer terkoordinasi dan berjalan
dengan baik, maka pemerintah Dinasti Abbasiyah membentuk departemen pertahanan
dan keamanan, yang disebut diwanul jundi. Departemen inilah yamg
mengatur semua yang berkaiatan dengan kemiliteran dan pertahanan keamanan.
Pembentukan lembaga ini berdasarkan pada kenyataan politik-militer bahwa pada
masa pemertintahan Dinasti Abbasiyah, banyak terjadi pemebrontakan dan bahkan
beberapa wilayah berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Kemajuan dalam Bidang Ilmu Pengetahuan
Keberhasilan umat Islam pada masa pemerintahan Dinasti
Abbasiyah dalam pengembangan ilmu pengetahuan, sains, dan peradaban Islam
secara menyeluruh, tidak terlepas dari berbagai faktor yang mendukung. Di
antaranya adalah kebijakan politik pemerintah Bani Abbasiyah terhadap
masyarakat non Arab (Mawali), yang memiliki tradisi intelektual dan budaya
riset yang sudah lama melingkupi kehidupan mereka. Mereka diberikan fasilitas
berupa materi atau finansial dan tempat untuk terus melakukan berbagai kajian
ilmu pengetahuan melalui bahan-bahan rujukan yang pernah ditulis atau dikaji
oleh masyarakat sebelumnya. Kebijakan tersebut ternyata membawa dampak yang
sangat positif bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sains yang
membawa harum dinasti ini.
Perkembangan
Ilmu pengetahuan dan
teknologi mencapai puncak
kejayaan pada masa pemerintahhan Harun ar-Rasyid , kemajuan intelektual pada waktu
itu setidaknya dipengaruhi oleh dua hal
yaitu:
1. Terjadinya
Asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu
pengetahuan. Pengaruh Persia pada saat
itu sangat penting
dibidang pemerintahan. selain
itu mereka banyak
berjasa dalam perkembangan ilmu
filsafat dan sastra. Sedangkan pengaruh
Yunani masuk melalui terjemah-terjemah dalam banyak bidang ilmu, terutama
Filsafat.
2. Gerakan
Terjemah
Pada masa daulah ini usaha penerjemahan
kitab-kitab asing dilakukan dengan giat sekali. Pengaruh gerakan terjemahan
terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum terutama di bidang
astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah.
Dari gerakan ini muncullah tokoh-tokoh Islam dalam ilmu pengetahuan,
antara lain :
a. Bidang filsafat:
al-Kindi, al-Farabi, Ibnu
Bajah, Ibnu Tufail,
Ibnu Sina, al-Ghazali,Ibnu Rusyd.
b. Bidang
kedokteran: Jabir ibnu Hayan , Hunain bin Ishaq, Tabib bin Qurra ,Ar-Razi.
c. Bidang
Matematika: Umar al-Farukhan, al-Khawarizmi.
d. Bidang
astronomi: al-Fazari, al-Battani, Abul watak, al-Farghoni dan sebagainya.
Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli
pengetahuan, para alim ulama, berhasil
menemukan berbagai keahlian
berupa penemuan berbagai
bidang-bidang ilmu pengetahuan, antara
lain :
1. Ilmu Umum
a.Ilmu Filsafat
1) Al-Kindi (809-873 M) buku karangannya sebanyak
236 judul.
2) Al Farabi (wafat tahun 916 M) dalam usia 80
tahun.
3) Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H)
4) Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H)
5) Ibnu
Shina (980-1037 M).
Karangan-karangan yang terkenal
antara lain: Shafa, Najat, Qoman,
Saddiya dan lain-lain.
6) Al
Ghazali (1085-1101 M).
Dikenal sebagai Hujjatul
Islam, karangannya: Al Munqizh Minadl-Dlalal,Tahafutul
Falasifah,Mizanul Amal,Ihya Ulumuddin dan lain- lain.
7) Ibnu Rusd
(1126-1198 M). Karangannya :
Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah dan lain-lain
b. Bidang Kedokteran
1) Jabir
bin Hayyan (wafat 778 M). Dikenal sebagai bapak Kimia.
2) Hurain bin
Ishaq (810-878 M).
Ahli mata yang
terkenal disamping sebagai
penterjemah bahasa asing.
3) Thabib
bin Qurra (836-901 M)
4) Ar Razi
atau Razes (809-873
M). Karangan yang terkenal
mengenai cacar dan campak yang diterjemahkan dalam bahasa
latin.
c. Bidang Matematika
1) Umar
Al Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad.
2) Al
Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu angka (0).
d.
Bidang Astronomi
Berkembang
subur di kalangan umat Islam, sehingga banyak para ahli yang terkenal dalam perbintangan
ini seperti :
1) Al Farazi : pencipta Astro lobe
2)
Al Gattani/Al Betagnius
3)
Abul wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan
4)
Al Farghoni atau Al Fragenius
e. Bidang Seni Ukir
Beberapa
seniman ukir terkenal: Badr dan Tari (961-976 M) dan ada seni musik,
seni
tari, seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan.
2. Ilmu Naqli
a. Ilmu Tafsir, Para mufassirin yang
termasyur: Ibnu Jarir ath Tabary, Ibnu Athiyah al
Andalusy (wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin Sulaiman
(wafat 150 H), Muhammad bin
Ishak dan lain-lain.
b. Ilmu Hadist, Muncullah ahli-ahli hadist
ternama seperti: Imam Bukhori (194-256 H),
Imam Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah (wafat 273 H),Abu Daud (wafat 275 H), At
Tarmidzi, dan lain-lain.
c. Ilmu Kalam, Dalam kenyataannya kaum
Mu’tazilah berjasa besar dalam menciptakan
ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu
adalah: Wasil bin Atha’, Abu Huzail al Allaf,
Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, Hujjatul
Islam Imam Ghazali.
d.
Ilmu Tasawuf, Ahli-ahli dan
ulama-ulamanya adalah : Al Qusyairy (wafat 465
H).
Karangannya : ar Risalatul Qusyairiyah,
Syahabuddin (wafat 632 H). Karangannya :
Awariful Ma’arif, Imam Ghazali :
Karangannya al Bashut, al Wajiz dan lain-lain.
e. Para Imam Fuqaha, Lahirlah para Fuqaha
yang sampai sekarang aliran mereka masih
mendapat
tempat yang luas
dalam masyarakat Islam.
Yang mengembangkan
faham/mazhabnya dalam zaman ini adalah:
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan
Para Imam Syi’ah (Hasjmy,
1995:276-278).
Perkembangan Peradaban di Bidang
Fisik
Perkembangan peradaban pada masa
daulah Bani Abbasiyah sangat maju pesat, karena upaya- upaya dilakukan oleh
para Khalifah di bidang fisik. Hal ini dapat kita lihat dari bangunan -bangunan
yang berupa:
a. Kuttab,
yaitu tempat belajar dalam tingkatan pendidikan rendah dan menengah.
b. Majlis Muhadharah, yaitu tempat
pertemuan para ulama,
sarjana, ahli pikir dan
pujangga untuk membahas masalah-masalah ilmiah.
c. Darul Hikmah,
adalah perpustakaan yang
didirikan oleh Harun
Ar-Rasyid. Ini merupakan perpustakaan terbesar yang di dalamnya juga
disediakan tempat ruangan belajar.
d. Madrasah,
Perdana menteri Nidhomul Mulk adalah orang yang mula-mula mendirikan sekolah
dalam bentuk yang ada sampai sekarang ini, dengan nama Madrasah.
e. Masjid,
Biasanya dipakai untuk pendidikan tinggi dan tahassus.
Pada masa
Daulah Bani Abbassiyah, peradaban
di bidang fisik
seperti kehidupan
ekonomi: pertanian,
perindustrian, perdagangan berhasil
dikembangkan oleh Khalifah Mansyur.
Kehidupan Perekonomian Daulah Bani Abbasiyah
Permulaan masa kepemimpinan Bani
Abbassiyah, perbendaharaan negara penuh dan
berlimpah-limpah, uang masuk lebih banyak daripada pengeluaran. Yang
menjadi Khalifah adalah Mansyur. Dia betul-betul telah meletakkan dasar-dasar
yang kuat bagi ekonomi dan keuangan negara. Dia mencontohkan Khalifah Umar bin
Khattab dalam menguatkan Islam. Dan keberhasilan kehidupan ekonomi maka
berhasil pula dalam :
1. Pertanian,
Khalifah membela dan menghormati kaum tani, bahkan meringankan pajak hasil bumi
mereka, dan ada beberapa yang dihapuskan sama sekali.
2. Perindustrian, Khalifah
menganjurkan untuk beramai-ramai
membangun berbagai industri, sehingga terkenallah beberapa kota
dan industri-industrinya.
3. Perdagangan,
Segala usaha ditempuh untuk memajukan perdagangan seperti:
a) Membangun
sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati kafilah dagang.
b) Membangun
armada-armada dagang.
c) Membangun armada
: untuk melindungi parta-partai negara dari serangan bajak laut.
Usaha-usaha
tersebut sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan perdagangan dalam dan luar
negeri. Akibatnya kafilah-kafilah dagang kaum muslimin melintasi segala negeri
dan kapal-kapal dagangnya mengarungi tujuh lautan.
Selain ketiga
hal tersebut, juga
terdapat
peninggalan-peninggalan
yang memperlihatkan kemajuan
pesat Bani Abbassiyah.
1.
Istana Qarruzzabad di Baghdad
2.
Istana di kota Samarra
3.
Bangunan-bangunan sekolah
4.
Kuttab
5.
Masjid
6.
Majlis Muhadharah
7.
Darul Hikmah
8.
Masjid Raya Kordova (786 M)
9.
Masjid Ibnu Taulon di Kairo (876 M)
10. Istana Al Hamra di Kordova
11. Istana Al Cazar, dan lain-lain
(Ma’ruf,1996:39-40).
Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Berakhirnya
kekuasaan dinasti Seljuk atas Baghdad atau khalifah Abbsiyah merupakan awal dari
periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada dibawah
kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri.
Ada diantaranya dinasti yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti
kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi
hanya di Baghdad sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini
menunjukan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan tatar
menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancurluluhkan tanpa perlawanan
yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini adalah awal
babak baru dalam sejarah islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana
dalam periodisasi khalifah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode
kedua, namun demikian factor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara
tiba-tiba, benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya khalifah
pada saat periode ini sangat kuat, benih-benih ini tidak sempat berkembang.
Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila kalifah kuat, para
menteri cenderung berperan sebagai pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah,
mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Di samping kelemahan khalifah, banyak factor yang menyebabkan khalifah
Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing factor tersebut saling berkaitan satu
sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Persaingan Antarbangsa
Khilafah
Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia.
Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa
Bani Umayyah berkuasa, keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah
Abbasiyyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu.
Menurut Stryzewska, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia
daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan
Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua,
orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya Ashabiyyah kesukuan.
Dengan demikian, khilafah Abbasiyyah tidak ditegakkan di atas `ashabiyyah
tradisional.
Meskipun
demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah
dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu, bangsa Arab
beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras)
istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.
Selain
itu, wilayah kekuasaan Abbasiyyah pada periode pertama sangat luas, meliputi
berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki
dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu
tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut
dengan kuat. Akibatnya, disamping Fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme
bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu`ubiyah.
Kecenderungan
masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal
khalifah Abbasiyyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang
kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat
terjaga. Setelah Al-Mutawakkil, seorang khilafah yang lemah, naik tahta,
dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas
sebenarnya telah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi
ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia pada periode ketiga dan
selanjutnya beralih kepada dinasti Saljuk pada periode keempat.
2.
Kemerosotan Ekonomi
Khalifah
Abbasiyyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan
kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas
merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar,
sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh
dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah
khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan Negara menurun, sementara
pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan Negara itu disebabkan
oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang
mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan banyaknya
dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti.
Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para
khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam, dan para
pejabat melakukan korupsi.
3.
Konflik Keagamaan
Fanatisme
keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang
Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Gerakan ini
dikenal dengan gerakan Zindiq yang menyebabkan menurut para khalifah dan
orang-orang yang beriman harus diberantas, sehingga menyebabkan konflik
diantara keduanya, mulai polemik tentang ajaran hingga berlanjut kepada konflik
bersenjata yang menumpahkan darah dari kedua belah pihak.
Pada
saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung dibalik ajaran
Syi`ah, sehingga banyak aliran syi`ah yang dipandang ghulat (ekstrem) dan
dianggap menyimpang oleh penganut Syi`ah sendiri. Aliran Syi`ah memang dikenal
sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan faham Ahlussunnah wal
Jama`ah.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim
dan zindik atau ahlussunnah dengan syi`ah saja, tetapi juga antaraliran dalam
Islam. Mu`tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bidah oleh
golongan salaf.
Berkenaan
dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:
“Agama Muhammad Saw. seperti juga Agama Isa as., terkeping-keping oleh
perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal
abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang
mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan
yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam
lingkungan pengetahuan manusia…soal kehendak bebas manusia …telah menyebabkan
kekacauan yang rumit dalam Islam…pendapat bahwa rakyat dan kepala agama
mustahil berbuat salah mustahil berbuat salah…menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa
berharga”.
4.
Ancaman dari luar
Apa
yang disebutkan di atas adalah factor-faktor internal. Di samping itu, ada pula
factor-faktor eksternal yang menyebabkan khalifah Abbasiyah lemah dan akhirnya
hancur. Pertama, perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode
dan menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan
Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk
ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya.
Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang
berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen
Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan dengan Perang
Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu.
Pengaruh
Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu
Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak
dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen
berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti-Islam itu dan diperkeras di
kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan
pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.
Berbagai
faktor yang telah menyokong tegaknya imperium Abbasiyah, yakni kalangan elite
imperium dan bentuk-bentuk kulturnya, sekaligus juga menyokong kehancuran dan
transformasi imperium tersebut. Bahkan kemerosotan Abbasiyah telah berlangsung
disaat berlangsung konsolidasi. Ketika rezim ini sedang memperkuat militernya
dan institusi pemerintahan, dan sedang mendorong sebuah kemajuan ekonomi dan
kultur, terjadi beberapa peristiwa yang pada akhirnya mengharubirukan nasib
imperium Abbasiyah.
Semenjak
awal pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) problem suksesi menjadi sangat
kritis. Harun telah mewasiatkan tahta kekhalifahan kepada putra mertuanya,
al-Amin, dan kepada putranya yang lebih muda yang bernama al-Makmun, seorang
gubernur Khurasan dan orang yang berhak menjabat tahta khilafah sepeninggal
kakaknya. Setelah kematian Harun, al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan
menunjuk anak laki-lakinya sebagai penggantinya kelak. Akibatnya pecahlah perang
sipil. Al-amin didukung oleh militer Abbasiyah di Baghdad, sementara al-Makmun
harus berjuang untuk memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan
dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-makmun berhasil mengalahkan saudara
tuanya, al-Amin , dan mengklaim khilafah pada tahun 813.
Namun,
peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah
melainkan juga melemahkan warga iraq dan sejumlah propinsi lainnya.
Al-Makmun berusaha menghadapi musuh-musuhnya dan sejumlah warga yang tidak mau
berdamai dengan sebuah kebijakan ganda. Satu sisi kebijakan tersebut bertujuan
untuk mempertahankan legitimasi kekhilafan dengan menguasai seluruh urusan
keagamaan. Kebijakan ini, sebagaimana yang telah kita lihat, tidak membawa
hasil dan gagal. Kebijakan ini justru menghilangkan dukungan masyarakat umum
terhadap sang khalifah.Al-Makmun juga mengambil sebuah kebijakan politik, untuk
menguasai kekhilafahan secara mutlak, al-Makmun menggantungkan dukungan seorang
panglima khurasan, yang bernama Thahir, yang diberikan imbalan sebagai gubernur
khurasan (820-822) dan menjadi jenderal militer Abbasiyah diseluruh imperium
dan disertai janji bahwa jabatan-jabatan tersebut dapat diwariskan kepada
keturunannya, selain mendatangkan manfaat yang bersifat sementara konsesi atas
sebuah jabatan gubernur yang dapat diwariskan menggagalkan tujuan Abbasiyah
untuk menyatukan sebuah wilayah propinsi besar menjadi sebuah system
pemerintahan politik yang memusat ditangan pemerintahan pusat. Upaya untuk
menyatukan kalangan elit di bawah arahan khalifah tidak akan terwujud dan
sebagai gantinya imperium dikuasai oleh sebuah persekutuan khalifah dengan
kuasa gubernuran besar.
Kesimpulan
Daulah Abbasiyah
merupakan lanjutan dari
pemerintahan Daulah Umayyah.
Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendirinya adalah keturunan
Abbas, paman Nabi. Daulah Abbasiyah didirikan oleh Abdullah as-Safah.
Kekuasaannya berlansung dari tahun 750-1258
M. Di dalam Daulah Bani Abbasiyah terdapat ciri-ciri yang menonjol yang tidak terdapat
di zaman bani Umayyah, antara lain :
1.
Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi
jauh
dari pengaruh Arab. Sedangkan
Dinasti Bani Umayyah
sangat berorientasi kepada
Arab.
2.
Dalam penyelenggaraan negara,
pada masa bani
Abbas ada jabatan Wazir,
yang
membawahi kepala-kepala departemen.
Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan
Bani Umayyah.
3.
Ketentaraan profesional baru
terbentuk pada masa
pemerintahan Bani Abbas.
Sebelumnya belum ada tentara Khusus yang
pro esional.
Islam mengalami zaman keemasan pada
masa Bani Abbasiyyah. Hal ini merupakan
sumbangsih Dinasti Abbasiyah yang termaktub dalam Sejarah Peradaban
Islam. Pada masa ini, kegiatan pendidikan dan pengajaran mencapai kemajuan yang
signifikan. Mayoritas Khalifah dari Bani Abbasiyah merupakan orang yang
berpendidikan. Selain itu, masa pemerintahan dinasti Abbasiyah membuka era baru
dalam bidang ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Pada masa awal era Abbasiyah
telah tercipta karya-karya kebudayaan yang sangat berpengaruh dalam mendorong
lahirnya ilmu dan peradaban muslim.
Kontribusi umat Islam pada masa ini
sangat besar dalam bidang kedokteran, filsafat, kimia, matematika, geografi,
hukum, teologi, dan filologi. Sesungguhnya, dalam hal ini, peradaban Barat
berhutang budi kepada umat Islam, sama halnya seperti Islam yang berhutang budi
terhadap peradaban Yunani.
Namun, sangat disayangkan Khalifah
Abbasiyah periode akhir lebih mementingkan urusan pribadi dan melalaikan tugas
dan kewajiban mereka terhadap Negara. Mereka menjalani kehidupan dengan
bermegah-megahan dan bermewah-mewahan. Selain itu, supremasi bangsa Turki pada
periode akhir Abbasiyah menyebabkan jatuhnya Dinasti Abbasiyah. Hal itu karena
kelompok Arab dan Persia menaruh kecemburuan atas ketinggian posisi mereka.
Sikap anti Turki ini pada akhirnya melatarbelakangi timbulnya gerakan
penglepasan diri sejumlah dinasti yang membawa akibat fatal pada keutuhan
Imperium Abbasiyah.
Lampiran
Berikut ini
silsilah Bani Abbasiyah yang berkuasa pada masa pemerintahan Daulah Bani
Abbasiyah di Bagdad, yaitu:
1. Khalifah Abu Abbas As-Safah (750-754 M)
2. Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M)
3. Khalifah Al-Mahdi (775-785 M)
4. Khalifah Al-Hadi (785-786 M)
5. Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M)
6. Khalifah Al-Amin (809-813 M)
7. Khalifah Al-Makmun (813-833 M)
8. Khalifah Al-Muktasim (833-842 M)
9. Khalifah Al-Wasiq (842-847 M)
10. Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M)
11. Khalifah Al-Muntasir (861-862 M)
12. Khalifah Al-Mustain (862-866 M)
13. Khalifah Al-Muktazz (866-869 M)
14. Khalifah Al-Muhtadi (869-870 M)
15. Khalifah Al-Muktamid (870-892 M)
16. Khalifah Al-Muktadid (892-902 M)
17. Khalifah Al-Muktafi (902-908 M)
18. Khalifah Al-Muktadir (908-932 M)
19. Khalifah Al-Kahir (932-934 M)
20. Khalifah Ar-Radi (934-940 M)
21. Khalifah Al-Mustaqi (940-944 M)
22. Khalifah Al-Muktakfi (944-946 M)
23. Khalifah Al-Mufi (946-974 M)
24. Khalifah At-Tai (974-991 M)
25. Khalifah Al-Kadir (991-1031 M)
26. Khalifah Al-Kasim (1031-1075 M)
27. Khalifah Al-Muqtadi (1075-1084 M)
28. Khalifah Al-Mustazhir (1074-1118 M)
29. Khalifah Al-Mustasid (1118-1135 M)
30. Khalifah Ar-Rasyid (1135-1136 M)
31. Khalifah Al-Mustafi (1136-1160 M)
32. Khalifah Al-Mustanjid (1160-1170 M)
33. Khalifah Al-Mustadi (1170-1180 M)
34. Khalifah An-Nasir (1180-1224 M)
35. Khalifah Az-Zahir (1224-1226 M)
36. Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M)
37. Khalifah Al-Muktasim (1242-1258 M)
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Maududi, Abul a ‘la, Khilafah dan Kerajaan : Evaluasi Kritis Atas
Sejarah Pemerintahan
Islam, Bandung : Mizan, 1998.
Ali, K, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003. Esposito, John L. (ed), The
Oxford History of Islam, New York, Oxford University Press,
1999.
Hitti, Philip K., History of The Arabs, London : Mac
Millan, 1970.
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan,
Gramedia : Jakarta, 1985.
Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1999.
Mubarok, Jaih, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, Cet. 1,
2004.
Murodi, Sejarah
Kebudayaan Islam, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2009.
Musyrifah, Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada
Media, 2004.
Nasution, Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung : Mizan, 1995.
Watt, W. Montgomery, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah,
Jakarta : P3M, 1988.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT.
Grafindo
Persada, 2006.
[1] Istilah
“peradaban Islam” merupakan terjemahan dari kata Arab, yaitu al-Hadharah
al-Islamiyyah. Istilah Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan “kebudayaan Islam”. Padahal, istilah kebudayaan dalam bahasa
arab adalah al-Tsaqafah. Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat,
masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata : “kebudayaan” (Arab/al-tsaqafah
dan culture/Inggris) dengan “peradaban” (civilization/Inggris dan
al-hadharah/Arab) sebagai istilah baku kebudayaan. Dalam perkembangan ilmu
antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk
ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan,
manifestasi-manifestasi kemajuan tekhnis dan teknologis lebih berkaitan dengan
peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak di reflesikan dalam seni, sastra,
religi (agama) dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan
teknologi.
Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1)
wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu
wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia
dalam masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai
benda-benda hasil karya.
[2]
Kelompok Mawalli adalah orang-orang non Arab yang telah memeluk agama Islam.
Mereka diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara itu bangsa Arab
menduduki kelas bangsawan. Mereka tersingkir dalam urusan pemerintahan dan
dalam kehidupan sosial, bahkan para penguasa Arab selalu memperlihatkan
permusuhan dengan mereka.
[3]
Prof. K..Ali, Sejarah Islam (Tarikh
Pramodern), hlm. 347.
Dinasti Abbasyiah
Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi
on
October 23, 2015
Rating:
No comments:
Komentar