Analisis kajian teologia : Salafiyyah doktrin dan historis

Dalam sejarah teologi islam muncul berbagai aliran-aliran, mapun dokrin yang mewarnai perkembangan keilmuan teologis itu. Antara lain Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Maturiddiyah, Asy‘ariyah, Wahabbi dan lain sebagainya, termasuk aliran Salaffiyah; aliran Salaf terdiri dari orang-orang Hanabilah yang muncul pada abad ke-4 Hijriyah dengan mempertalikan dirinya dengan pendapat-pendapat Imam Ahmad bin Hambal (169-241 H), yang dipandang oleh mereka telah menghidupkan dan mempertahankan pendirian ulama salaf. Karena pendapat para ulama salaf ini menjadi motif berdirinya, maka orang-orang Hanabilah menamakan dirinya “aliran Salaf” atau yang lebih familiar dengan sebutan Salafiyah. 
Terjadinya persaingan dan konflik antara orang-orang Hanabilah dengan golongan Asy’ariyah secara fisik, bahkan golongan Hanabilah memandang mereka sebagai kafir. Masing-masing melakukan truth claim bahkan dirinyalah yang lebih berhak mewarisi ulama salaf. 
 Pada abad VII Hijriayah, gerakan salaf memperoleh kekuatan baru, dengan munculnya Ibnu Taimiyah (661-728 H) di Syiria dan gerakan Wahabi (1115-1201 H) di Saudi Arabia. Menjadi suntikan semangat baru atau power injektion dalam gerakan dan doktrinal meraka yang memantapkan keyakinan mereka tentang dogma yang diusung (dibawa) golongan hanabilah sejak abad IV H silam, sebagai penyelamat dan pewaris ulama salaf yang berusaha terus menghidupkan dan mempertahankan pendirian ulama salaf. Bahkan banyak orientalis dewasa ini mengadopsi pemikiran para imam Salafiyyah, bahkan Ibn Taimiyyah belakangan disebut sebagai bapak doktrinal tajdid al-Islamy, seperti yang di utarakan oleh Nurchalis Madjid dalam disertasinya, maupun Fazlur Razi.[1] 
Aliran Salafiyyah ini menarik untuk diamati melalui semboyan kembali kepada ulama salaf atau sekarang diadopsi lewat tajdid mereka bisa berkembang hingga sekarang walaupun tidak berbentuk sebagai golongan atau ormas namun lebih pada pemikiran dan doktinalnya, yang dulu digunakan sebagai respon atas proses mihnah (iquisition) oleh muktazilah atau lebih mengrucut pada persoalan akidah yang di sebarkan muktazilah (yang terlalu rasional). Untuk itu dalam makalah ini akan dijelaskan secara mendetail mengenai karakteristik, doktrinal, dan histories singkatnya melalui sudut pandang deduktif, supaya lebih menyeluruh dalam memberikan pemahaman. 

PEMBAHASAN
2.1 Asal Usul Berdirinya Golongan Salaf 
Paham atau golongan salaf pertama kali muncul pada abad ke-4/IV H yang kesemuanya adalah pengikut mazhab Hambali (Hanabilah). Mereka beranggapan bahwa Imam Ahmad ibn Hambal (169-241 H) telah menghidupkan dan mempertahankan pendirian ulama-ulama salaf. Karena pemikiran keagamaan ulama-ulama salaf menjadi motivasi gerakannya, maka golongan Hanabilah itu menamakan gerakannya sebagai paham atau aliran salaf. 

Terjadinya persaingan dan konflik antara golongan hanabilah dengan golongan Asy’ariyah secara fisik, bahkan orang-orang Hanabilah memandang mereka sebagai kafir. Masing-masing melakukan klaim kebenaran bahwa dirinyalah yang lebih berhak mewarisi ulama salaf. Pada abad VII Hijriyah, gerakan salaf memperoleh kekuatan baru, dengan munculnya Ibnu Taimiyah (661-728 H) di syiria dan gerakan Wahabi (1115-1201 H) di Saudi Arabia. 

 Selain itu, pada masa khalifah al-Ma’mun dari bani Abbas yang dimana aliran mu’tazilah mencapai puncaknya, pada masa itu aliran mu’tazilah mengkampanyekan pemikiran “Al-Qur’an adalah makhluk”, semua rakyat dan ulama’ dipaksa untuk mengikuti pemikiran tersebut melalui Inquisition kepada mereka. Namun ada salah satu ulama’ yang menentang dengan tegas pendapat tersebut, dia adalah imam Ahmad ibn Hanbal. Akibat penentangan tersebut, beliau kerap kali disiksa dan masuk penjara. Pemikiran-pemikiran imam Ahmad Ibn Hanbal kemudian melahirkan sebuah aliran teologi baru yaitu aliran Salaf. Aliran salaf merupakan aliran yang muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal yang kemudian pemikirannya diformulasikan secara lebih lengkap oleh imam Ahmad Ibn Taimiyah. Sebagaimana aliran Asy’ariyah, aliran Salaf memberikan reaksi yang keras terhadap pemikiran-pemikiran ekstrim Mu’tazilah 
2.1.1 Pengertian Salaf Kata salaf secara etimologi dapat diterjemahkan menjadi "terdahulu" atau "leluhur". Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, Salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke-3 H.[2] Dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam (masa tabiit-tabi’in).[3] 


Sedangkan menurut terminologi terdapat banyak difinisi yang dikemukakan oleh para pakar mengenai arti salaf, diantaranya adalah: Menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasabbihat) dan tidak mempunyai faham tasybih.[4] 
Mahmud Al-Bisybisyi menyatakan bahwa salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk mengagungkan dan mensucikan Allah.[5] 
Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah sabda Nabi Muhammad S.A.W kepada putrinya Fatimah az-Zahra: فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَك Artinya: “karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagimu adalah saya”.[6]
 Pada zaman modern, kata Salaf memiliki dua makna (definisi) yang kadang kala berbeda. Seperti yang digunakan akademisi dan sejarawan, merujuk pada “aliran pemikiran yang muncul pada paruh kedua abad XIX sebagai reaksi penyebaran ide-ide dari Eropa,” dan “orang-orang yang mencoba memurnikan kembali ajaran yang telah dibawa Rasulullah serta menjauhi berbagai ke bid’ahan, khurafat, syirik dan tahayul dalam agama islam”.[7] 
 2.1.2 Karakteristik Aliran Salaf Berbeda dengan aliran mu’tazilah yang cenderung menggunakan metode pemikiran rasional, aliran salaf menggunakan metode tekstual yang mengharuskan tunduk dibawah naql dan membatasi wewenang akal pikiran dalam berbagai macam persoalan agama termasuk didalamnya akal manusia tidak memiliki hak dan kemampuan untuk menakwilkan dan menafsirkan al-Qur’an. Kalaupun akal diharuskan memiliki wewenang, hal ini tidak lain adalah hanya untuk membenarkan, menela’ah dan menjelaskan sehingga tidak terjadi ketidak-cocokan (ambiguitas) antara riwayat yang ada dengan akal sehat.[8] 
Namun dalam penerapannya di kalangan para tokoh aliran ini sendiri, metode ini tidak selalu membuahkan hasil yang sama. Hal ini disebabkan mereka tidak luput dari pengaruh situasi kultural dan struktural pada masanya. Misalnya, di kalangan aliran salaf ada golongan yang disebut al-Hasyawiyah, yang cenderung kepada anthropomorfisme dalam memformulasikan sifat-sifat Tuhan, seperti mereka berpandangan bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang bersifat mutasyabbihat harus difahami menurut pengertian harfiyahnya. Akibatnya ada kesan bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat seperti bertangan, bermuka, datang, turun, dan sebaginya.[9] 
 W. Montgomery Watt menyatakan bahwa gerakan salafiyah berkembang terutama di Bagdad pada abad ke-13. Pada masa itu terjadi gairah menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme kalangan kaum Hanbali. Sebelum akhir abad itu terdapat sekolah-sekolah Hanbali di Jerusalem dan Damaskus. Di damaskus, kaum Hanbali makin kuat dengan kedatangan para pengungsi dari Irak yang disebabkan serangan Mongol atas Irak. Diantara para pengungsi itu terdapat satu keluarga dari Harran, yaitu keluarga Ibn Taimiyah. Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama’ besar penganut imam Hanbali yang ketat.[10] 
Aliran salaf mempunyai beberapa karakteristik seperti yang dinyatakan oleh Ibrahim Madzkur sebagai berikut; 
1. Mereka lebih mendahulukan riwayat (naqli) daripada dirayah (aqli). 
2. Dalam persoalan pokok-pokok agama dan persoalan cabang-cabang agama hanya bertolak dari penjelasan al-Kitab dan as-sunnah 
 3. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (Dzat Allah) dan tidak mempunyai faham anthropomorphisme (menyerupakan Allah dengan makhluk). 
 4. Mengartikan ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan makna lahirnya dan tidak berupaya untuk mentakwilnya. Apabila melihat karakteristik yang dikemukakan Ibrahim Madzkur di atas, tokoh-tokoh berikut ini dapat dikatagorikan sebagai ulama salaf, yaitu Abdullah bin Abbas (68 H), Abdullah bin Umar (74 H), Umar bin Abdul Al-Aziz (101 H), Az-Zuhri (124 H), Ja’farAhs-Shadiq (148 H), dan para imam mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi,i, dan Ahmad bin Hanbal).[11] 
Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara sporadis.[12] 
Bila Salafiyah muncul pada abad ke-7 H, hal ini bukan berarti tercampuri masalah baru. Sebab pada hakikatnya mazhab Salafiyah ini merupakan kelanjutan dari perjuangan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal. Atau dengan redaksi lain, mazhab Hanbalilah yang menanamkan batu pertama bagi pondasi gerakan Salafiyah ini. Atas dasar inilah Ibnu Taimiyah mengingkari setiap pendapat para filosof Islam dengan segala metodenya. Pada akhir pengingkarannya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengetahui aqidah dan berbagai permasalahannya hukum baik secara global ataupun rinci, kecuali dengan Al-Qur’an dan Sunnah kemudian mengikutinya. Apa saja yang diungkapkan dan diterangkan Al-Qur’an dan Sunnah harus diterima, tidak boleh ditolak. Mengingkari hal ini berarti telah keluar dari agama.[13] 
 2.2 Tokoh-tokoh Aliran Salaf Dalam literatur ketokohan aliran Salafiyyah umumnya selalu merujuk kepada dua ulama besar beda generasi yaitu; Ahmad ibn Hanbal (169-241 H) dan Ibnu Taimiyah (661-728 H) sebelum akhirnya di teruskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1115-1201 H) dengan gerakan tajdid-nya yang dikenal gerakan Wahabi di Saudi Arabia.[14] 
Disini akan kami jelaskan riwayat singkat ke-dua ulama yang pertama disebut, karena pengaruhnya yang mendasar sehingga disebut sebagai landasan mindset-nya gerakan Salaf, bahkan Ibnu taimiyah disebut sebagai bapak doktrinal ulama dan orientalis modern.[15] 
2.2.1 Ahmad ibn Hanbal Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah satu anaknya bernama Abdillah, namun ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri madzhab Hanbali. Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah bin Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin Sya’ab bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar. Di dalam keluarga Nizar Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad Saw.[16] 
 Ilmu yang pertama beliau kuasai adalah al-Quran sehingga beliau hafal pada usia 15 tahun. Lalu beliau mulai berkonsentrasi belajar Ilmu Hadits pada awal usia 15 tahun pula. Pada usia 16 tahun ia memperluas wawasan ilmu al-Quran dan ilmu agama lainnya kepada ulama-ulama Baghdad. Lalu mengunjungi ulama-ulama terkenal di Khufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah dan Madinah.[17] 
Diantara guru-gurunya ialah Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abdur Razaq bin Humam dan Musa bin Tariq. Dari guru-gurunya Ibnu Hanbal mempelajari ilmu fiqh, hadits, tafsir, kalam, ushul dan bahasa Arab.[18] 
Ibnu Hanbal dikenal sebagai seorang yang zahid, teguh dalam pendirian, wara’ serta dermawan. Karena keteguhannya, ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan madzhab Mu’tazilah, Ibnu Hanbal menjadi korban mihnah (inquisition).[19] 
Karena tidak mengakui bahwa Al-Quran adalah makhluk. Akibatnya pada masa pemerintahan Al-Makmun, Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq ia harus mendekam dipenjara. Namun setelah Al-Mutawakkil naik tahta Ibnu Hanbal memperoleh kebebasan, penghormatan dan kemuliaan.[20]
 A. Pemikiran teologi Imam Ahmad ibn Hanbal 
1. Tentang Ayat-ayat Mutasyabihat dan status Al-Qur’an Dalam memahami ayat Al-Quran Ibnu Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil. Dengan demikian ayat Al-Quran yang mutasyabihat diartikan sebagaimana adanya, hanya saja penjelasan tentang tata cara (kaifiat) dari ayat tersebut diserahkan kepada Allah SWT. Ketika beliau ditanya tentang penafsiran surat Thaha ayat 5 berikut ini : 

Artinya: yaitu yang Maha Pengasih Yang Bersemayam di atas Arsy (Q.S. Thaha:5)[21] 

Dalam hal ini, Ibn Hambal menjawab; إِسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ كَيْفَ شَآءَ وَكَمَا شَآءَ بِلاَ حَدٍّ وَلاَصِفَةٍ يُبْلِغُهَا وَاصِفٌ Artinya: Istiwa di atas Arasy terserah kepada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.[22]
 Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali, adalah tentang status al-Qur’an, apakah diciptakan (mahluk) yang karenanya hadits (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya qodim? Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah dibawah kepemimpina khalifah Al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Watsiq, adalah faham Mu’tazilah, yakni al-Qur’an tidak bersifat qodim, tetapi baru dan diciptakan. 
Faham adanya qodim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan. Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut di atas. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah. Pandangan tentang status Al-Qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, gubernur irak: Ishaq bertanya: Bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an? Ahmad ibn Hanbal : Ia adalah kalam Allah. Ishaq : Apakah ia makhluk? Ibn Hanbal : Ia dalah kalam Allah, aku tidak menambahnya lebih dari itu. Ishaq : Apakah arti bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat? Ibn Hanbal : Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya. Ishaq : Apakah maksudnya? Ibn Hanbal : Aku tidak tahu, Dia seperti apa yang dia sifatkan kepada diri-Nya.[23]
Ibn Hanbal, berdasarkan dialog diatas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Ia hanya mengatakan Al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan Rasul-Nya.[24]
 Bagi Ahmad bin Hanbal, iman adalah perkataan dan perbuatan yang dapat berkurang dan bertambah, dengan kata lain iman itu meliputi perkataan dan perbuatan, iman bertambah dengan melakukan perbuatan yang baik dan akan berkurang bila mengerjakan kemaksiatan.[25] 
2.2.2 Ibnu Taimiyah Nama lengkap beliau adalah Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi Qasim Al Khadar bin Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah, Nama Taimiyah dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang bernama Muhammad bin Al-Khadar melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’.[26]
lahir di Haman, wilayah Irak, 10 Rabiul Awal 661 H/22 Januari 1263 M dan meninggal pada 20 Dzul Qa’dah 728 H/26 September 1328 M. Dia dibesarkan oleh keluarga yang taat beragama dan berguru kepada Syaikh Ali Abd. Al-Qawi, ulama terkenal pada zamannya. Beliau mempelajari Al-Qur’an, al-Hadist, bahasa dan sastra arab, matematika, sejarah kebudayaan, logika, filsafat dan hukum. Keluarga dan leluhurnya merupakan tokoh terkemuka dalam mazhab Hambali. Ibn Taimiyah hidup di era kemunduran Islam, ketika Baghdad dihancurkan oleh tentara Mongolia dibawah panglima Hulako (1258 M). Pada saat berusia tujuh belas tahun , kegiatan ilmiahnya sudah mulai tampak, dan ketika berusia 21 tahun ia mulai mengarang dan mengajar. Karena keberanian mengeluarkan pendapat-pendapatnya, serta terkenal oleh ilmu dan amal, sifat-sifatnya yang baik, pada tahun 691 H beliau di beri gelar “Muhyis sunnah” (Pembangun/penghidup as-Sunnah), padahal umurnya belum genap 30 tahun.[27] 
Pemikiran-pemikiran ibnu Taimiyah memang terkesan radikal dalam karya-karya yang ia tulis dengan tujuan berusaha membersihkan masyarakat dari akidah dan kepercayaan yang sesat, memperbaiki kehidupan sosial masyarakat, dan memurnikan kehidupan beragama. Yang mana pada masanya pemikira Ibnu taimiyah seringkali bersebrangan mazhab resmi pemerintah, pada waktu itu yang berkuasa adalah Bani Buwaihi yang terkenal bermazhab Syafi’i dalam fiqh dan Asy’ariyah dalam lapangan kalam. 
A. Pemikiran teologis ibn Taimiyah Pemikiran Ibn Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah sebagai berikut: 
1. Sangat berpegang teguh pada Nash (Al-Qur’an dan Al-Hadits). 
 2. Tidak memberi ruang gerak kepada Akal (Ra’y). 
3. Berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung semua ilmu agama. 
 4. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). 
5. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya. Ibnu Taimiyah mengkritik Imam Hanbali yang mengatakan bahwa kalamullah itu qadim, menurut Ibnu Taimiyah jika kalamullah qadim maka kalamnya juga qadim. Ibnu Taimiyah adalah seorang tekstualis oleh sebab itu pandangannya oleh Al-Khatib Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim Allah (antropomorpisme) yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh Karena itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan ibn Taimiyah sebagai Salaf perlu ditinjau kembali.[28] 
 Berikut ini merupakan pandangan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah :[29] 
1. Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Allah sendiri atau rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah: 
 a. Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa’, mukhalafatul lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyyat. 
 b. Sifat Ma’ani, yaitu : qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam. 
 c. Sifat khabariah (sifat yang diterangkan Al-Qur’an dan Al-Hadits walaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah ada di langit; Allah di Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang yang beriman di surga kelak; wajah tangan, dan mata Allah. 
d. Sifat Idhafiah, yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan) kepada makhluk seperti rabbul ‘alamin, khaliqul kaun dan lain-lain. 
2. Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan rasul-Nya sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain. 
3. Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan: 
a. Tidak merubah maknanya kepada makna yang tidak dikehendaki lafadz (min ghoiri tashrif [tekstual]). 
 b. Tidak menghilangkan pengertian lafadz (min ghoiri ta’thil). 
 c. Tidak mengingkarinya (min ghoiri illhad) 
 d. tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam fikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif). 
 e. tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb ‘alal ‘alamin).[30]
Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat. Menututnya, ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya dengan Makhluk., dan tidak bertanya-tanya tentangnya. Dalam masalah perbuatan manusia Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal: 
1. Allah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia. 
2. Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemaun serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. 
3. Allah meridhai perbuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk. Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn Taimiyah mencapai klimaksnya dalam masalah sosiologi politik yang mempunyai dasal teologi. Masalah pokoknya terletak pada upayanya untuk membedakan antara manusia dengan Tuhan yang mutlak, oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil.[31] 
 2.3 Pemikiran dan Doktrin Aliran Salaf Pokok ajaran dari ideologi dasar Salafi adalah bahwa Islam telah sempurna dan selesai pada waktu masa Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya, oleh karena itu tidak dikehendaki inovasi yang telah ditambahkan pada abad nanti karena material dan pengaruh budaya. Paham ideologi Salafi berusaha untuk menghidupkan kembali praktik Islam yang lebih mirip agama Muhammad selama ini.[32] 
 Salafi sangat berhati-hati dalam agama, apalagi urusan aqidah dan fiqh. Salafi sangat berpatokan kepada as salafus sholeh. Bukan hanya masalah agama saja mereka perhatikan, tetapi masalah berpakaian, salafi sangat suka mengikuti gaya berpakaian seperti zaman as salafus sholeh seperti memakai sorban atau gamis bagi laki-laki atau memakai celana-celana menggantung, dan juga memakai cadar bagi kebanyakan wanita salafi. Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Minhaj as-sunnah dengan tegas menolak metode rasional Mu’tazilah yang menetapkan adanya harmoni (kesesuaian) naql (transferensi) dengan ‘aql (nalar). Apabila terjadi kontroversi antara keduanya, maka yang digunakan adalah nalar dengan melakukan interpretasi alegoris (ta’wil) terhadap naql (transferensi). Ibnu Taimiyyah menawarkan metode alternatif, yaitu harmonitas rasional yang jelas dengan periwayatan yang valid. Maka, jika terjadi kontraversi diantara nalar dan naql, ia menyerahkan (penyelesaian) pada naql karena yang mengetahuinya hanyalah Allah semata. Epistemologi Ibnu Taimiyyah tidak mengizinkan terlalu banyak intelektualisasi, termasuk menolak interpretasi (ta’wil), sebab baginya dasar ilmu pengetahuan manusia terutama ialah fitrahnya. Dengan fitrah-nya itu manusia mengetahui tentang baik dan buruk, dan tentang benar dan salah. Fitrah yang merupakan asal kejadian manusia, yang menjadi satu dengan dirinya melalui intuisi, hati kecil, hati nurani, dan lain-lain, diperkuat oleh agama yang disebut sebagai fitrah yang diturunkan, maka metodologi kaum kalam baginya adalah sesat. Adapun 3 pokok Ajaran Salaf seperti yang di jelaskan berbagai sumber sebagai berikut: 
 1. Keesaan dzat dan sifat Allah, Salaf menegaskan bahwa sifat-sifat, nama-nama, perbuatan dan keadaan Allah adalah seperti yang tersebut dalam Al-qur’an dan hadis dimaknai sebagaimana arti lahiriyahnya (tapi menghindari penafsiran secara indrawi) dengan batasan, keadaan-Nya berbeda dengan makhluk-Nya (mukhalafatu lil khawaditsi ), karena Tuhan itu suci dari sesuatu yang ada pada makhluknya. Dengan arti lain, bahwa pemahaman yang digunakan ialah diantara “ta’thil” (peniadaan sifat) sama sekali dan “tasybih” (penyerupaan Tuhan dengan makhluknya). 
2. Keesaan penciptaan oleh Allah, bermakna bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah itu merupakan karya Allah mutlak, tanpa sekutu dalam penciptaannya, tiada yang merecoki kekuasaannya, segala sesuatu datang dari pada-Nya, dan segala sesuatu kembali kepada-Nya. Dari kajian ini, maka timbul persoalan baru apakah perbuatan manusia itu “jabbar” (determinasi) yang merupakan produk naql dan menolak atas praksis akal, atau “ikhtiari” (liberasi) yang merupakan produk akal dan interpretasi alegotis-metaforis terhadap naql (wahyu). Mereka mengambil sikap dan pemahaman antara paham mu’tazilah dan asy’ariyah . 
3. Keesaan ibadah kepada Allah, dimaksudkan adalah bahwa ibadah tidak dihadapkan serta dilaksanakan kecuali kepada Allah, dengan secara ketat mengikuti ketentuan syara’ dan tidak didorong oleh tujuan lain, kecuali untuk dan sebagai sikap taat serta pernyataan syukur kepada-Nya. Kajian ibadah tidak dimasudkan untuk melihat sah-batalnya dan tidak pula dalam tinjauan rukun dan syaratnya, tetapi yang dikehendaki adalah ada tidaknya jiwa tauhid didalam ibadah (ritual) itu. Konsekwensi dimasukkan ibadah dalam kajian teologi kaum salaf melahirkan tindakan praksis yaitu: pelarangan mengangkat manusia (hidup atau mati) sebagai perantara (wasilah) kepada Tuhan atau dengan kata lain dilarang bertawassul, larangan memberi nazar kepada kuburan atau penghuninya atau penjaganya, dan larangan ziarah kubur orang saleh dan para nabi.[33] 
2.4 Perkembangan Salafiyyah di Indonesia Perkembangan salafiyah di Indonesia di awali oleh gerakan-gerakan persatuan Islam (persis), atau Muhammadiyah. Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga dianggap sebagai gerakan ulama salaf, tetapi teologinya sudah di pengaruhi oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan diri mereka sebagai ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan). Dalam perkembangan berikutnya, sejarah mencatat bahwa salafiyah tumbuh dan berkembang pula menjadi aliran (mazhab) atau paham golongan, sebagaimana Khawarrij, Mu’tazilah, Maturidiyah, dan kelompok-kelompok Islam klasik lainnya. Salafiyah bahkan sering dilekatkan dengan ahl-sunnah wal jama’ah, di luar kelompok syiah.[34]
Selain itu, Salafi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di kawasan Jazirah Arabia. Menurut Abu Abdirrahman al-Thalibi, ide pembaruan ibn ‘Abd al-Wahhab diduga pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa ulama asal Sumatra Barat pada awal abad ke-19. Inilah gerakan salafiyah pertama di tanah air yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan padiri. Yang salah satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini sendiri berlangsung dalam kurun waktu 1803 hingga sekitar 1832.
Tapi, Ja’far Umar Thalib mengklaim, dalam salah satu tulisannya, bahwa gerakan ini sebenarnya telah mulai muncul bibitnya pada masa Sultan Aceh Iskandar Muda (1603-1673). Ditahuan 80-an, dengan maraknya gerakan kembali kepada islam di berbagai kampus di Tanah air- mungkin dapat dikatakan sebagai tonggak awal kemunculan gerakan Salafi di Indonesia. Adalah Ja’far Umar Thalib salah satu tokoh utama yang berperan dalam hal ini. Disamping Ja’far Thalib, terdapat beberapa tokoh lain yang dapat dikatakan sebagai penggerak awal gerakan salfi di Indonesia, seperti: Yazid Abdul Qadir Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat (Jakarta), Muhammad Umar As-Sewed (Solo), Ahmad Fais Asifuddin (solo), dan Abu Nida (Yogyakarta). Nama-nama ini bahkan kemudian tergabung dalam dewan redaksi Majalah As-Sunnah majalah gerakan Salafi Modern pertama di Indonesia, sebelum mereka kemudian mereka berpecah beberapa tahun kemudian. 
 KESIMPULAN 
 Dalam perkembangan teologi Islam Salafiyyah termasuk aliran yang mempunyai andil besar dalam sejarah kalamiyyah juga sebagai tonggak pemisah antara ulama ra’y (menempatkan rasio lebih dulu, walaupun tidak meninggalkan nas secara menyeluruh) dengan ulama tekstual yang mereka sebut Salafiyyah ini, walaupun pada saat yang sama juga ada aliran yang lebih moderat (As’ariyyah). Berdirinya salafiyyah karena para pengikut mazhab Hanabilah atau pengikut imam Ahmad ibn Hanbal mengembalikan pemikiran salaf dalam hal ini sebagai respon terhadap perkembangan aliran rasional yang digawangi Muktazilah. Perkembangan selanjutnya, aliran salaf lebih berkiblat pada pemikiran Ahmad Taqiyuddin bin Abbas (Ibn Taimiyyah) 661 H-728 H dan seterusnya di Arab Saudi oleh Muhammad ibn Abdul Wahab (1115-1201 H). Paham ideologi Salafi berusaha untuk menghidupkan kembali praktik Islam yang lebih mirip agama Muhammad selama ini. Dalam mindset paham salafi doktrinal mereka dapat di rumuskan sebagai berikut: 
 1. Kemutlakan akidah dan wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw, dan menganggap metode ahli filsafat yang mengedepankan logika sebagai hal yang salah dan sesat. 
 2. Apa yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Sunnah Nabi harus diterima dan tidak boleh ditolak. 
 3. Akal pikiran tidak mempunyai kekuasaan untuk menakwilkan Al-Qur’an atau menafsirkannya ataupun menguraikannya, kecuali dalam batasan-batasan yang diizinkan oleh kata-kata (bahasa) dan dikuatkan pula oleh hadits-hadits. Selain itu, salafiyyah juga melarang ziarah kubur bilamana dengan tujuan untuk meminta berkah atau mendekatkan diri kepada Allah, yang boleh dan bahkan dianjurkan bila dengan tujuan mencari keteladanan (al-‘idhah) dan nasihat (i’tibar), yang terakhir mereka mengharamkan tawassul.

RUJUKAN
[1] Ahmad baso, “NU Studies”, (Jakarta: PENERBIT ERLANGGA, 2006) hal. 176-180.
 [2] http://id.wikipedia.org/wiki/Salaf, di akses tanggal 13 April 2014
 [3] Thablawy mahmud Saad, At-Tashawwuf fi Turasts Ibn Taimiyah, (Mesir: Al-hai Al-Hadis Al-Mishriyah Al-Ammah li Al-Kitab, 1984), hal. 11-38
 [4] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, hal. 109
 [5] Ibid
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Salaf, diakses pada tanggal 13 April 2014
 [7] http://id.wikipedia.org/wiki/Salafiyah#cite_note-KepelJihad-7, diakses pada tanggal 13 April 2014
 [8] Adeng Muhtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2003), hal. 101
[9] Ibid., hal. 101-102
 [10] Rozak, Ilmu Kalam, Op.cit., hal. 109
[11] Ibid, hal. 110
 [12] Ibid
 [13] Mustofa Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, (Jakarta: Gema Insani, 1994), hal. 390
 [14] Shalihun A. Natsir, pemikiran ilmu kalam (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hal 278-279
 [15] Ahmad Baso, NU Studies (Jakarta: PENERBIT ERLANGGA 2006) hal. 187-188
 [16] Rozak, Ilmu Kalam, Op.cit,. hal.111
 [17] Ibid,
 [18] Hafisz Dasuki, Ensiklopedi Islam, Jilid.V cet. 1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), hal. 82
 [19] Dalam sejarah Islam, mihnah dijalankan oleh pemerintahan Al-Ma’mun untuk menguji keyakinan para ulama Hadits mengenani hakikat Al-Qur’an, apakah diciptakan (makhluk), atau bukan. Menurut Watt, mihnah adalah kebijakan politis yang muncul dari ketegangan antara blok-blok otokratik dan konstitusionalis. Yang dimaksud dua kelompok yang bertetangan itu adalah tokoh-tokoh ortodoksi yang menyatakan keqadiman Al-Qur’an dan kelompok Mu’tazilah-dengan dukungan khalifah yang berkuasa- yang menyatakan terciptanya Al-Qur’an. Namun, Watt keliru karena hanya melihat kasus mihnah dari sisi politik saja, satu pennilaian yang menditkriditkan Mu’tazilah tanpa melihat sisi lain yang lebih penting, yaitu doorongan misi suci untuk melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Lihat W. Montgomerry Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Terj. Hartono Hadi Kusumo, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hal. 61-62
 [20] Rozak, Ilmu Kalam,Op.cit,. hal.112
[21] Depad RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Al-Hikmah, (Bandung: Diponegoro, 2007), hal. 312 [22] Rozak, Ilmu Kalam, Op.cit,. hal. 113
 [23] Sahilun A. Nasir. Pemikiran Kalam (Teology Islam ), (Jakarta: Rajawali Pers. 2010). hal. 126-127
 [24] Abdul Rozak, Rosihon Anwar. Ilmu Kalam, Op.cit,. hal. 114

[25] Ahmad fauzi, Ilmu Kalam (sebuah pengantar), (Cirebon: STAIN Press), hal. 99
 [26] Ibid
 [27] Shahilun A. Natsir, Pemikiran Ilmu Kalam, Op.cit., hal 279
 [28] Rozak, Ilmu Kalam, Op.cit,. hal. 116
[29] Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, (Bandung: Sinar Baru, 1993), hal. 58-60
 [30] Rozak, Ilmu Kalam, Op.cit,. hal. 115
 [31] Ibid,hal.117
 [32] Http://www.hunter.blogspot.com di akses tgl. 13 April 2014
 [33] http://id.wikipedia.org/wiki/Salafiyah#cite_note-KepelJihad-7, diakses pada tanggal 13 April 2014
 [34] http://id.wikipedia.org/wiki/Salaf, diakses pada tanggal 13 April 2014
Analisis kajian teologia : Salafiyyah doktrin dan historis Analisis kajian teologia : Salafiyyah doktrin dan historis Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi on December 30, 2015 Rating: 5

No comments:

Komentar