Al-Ghazali

Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan. Bertambah masa, bertambah berkembanglah pemikiran manusia. Begitu pula dengan perkembangan filsafat Islam. Pada abad ke-5, filsafat Islam mengalami perkembangan yang dapat dikatakan merubah pola filsafat Islam yang banyak dipertentangkan. Ini dibuktikan dengan pemikiran-pemikiran Imam Al Ghazali sebagai pionir filsafatnya yang dominan relevan dengan konsep Islam. Dalam makalah ini, pemakalah hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak,  mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim lainnya.
Biografi Imam Al-Ghazali
Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan belajar Imam Ghazali. Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun. Pribadi al-Ghazali sangatlah terkenal dikalangan ilmuan Islam. Tidak hanya dikenal ahli dalam satu cabang ilmu melainkan meliputi sederetan cabang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali dikenal sebagai ahli Fikih, ahli Ushul, ahli dalam Ilmu Akhlak, ahli dalam ilmu Tarbiyah dan ilmu Jiwa, ahli ilmu  Ekonomi, bahkan juga dikenal Imam yang Salafi, dan Sufi.
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Naishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah ia mulai menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu matiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam Al-Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi...”.
Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naishabur untuk menuju ke Mu’askar, ia pergi ke Mu’askar untuk melakukan kunjungan kepada Perdana Mentri Nizam al Muluk dari pemerintahan Bani Saljuk. Sesampai di sana, ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali. Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M. Sebagai guru besar (profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4 (empat) tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari keramaian.
Di samping ia menjadi guru besar di perguruan tinggi Nizamiyah ia juga diangkat sebagai konsultan (mufti) oleh para ahli hukum Islam dan oleh pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat. Akan tetapi kedudukan yang diperoleh di Baghdad tidak berlangsung lama akibat adanya berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa, baik pemerintahan pusat (Baghdad) maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk, di antara musibah itu ialah: pertama, pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah pertemuan al-Ghazali dengan permaisuri raja Bani Saljuk, suaminya, Raja Malik Syah yang terkenal adil dan bijaksana meninggal dunia. Kedua, pada tahun yang sama (485 H/1092 M), perdana Menteri Nidham Al-Muluk yang menjadi sahabat karib al-Ghazali mati dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran di daerah dekat Nahawand, Persi. Ketiga, dua tahun kemudian, pada tahun 487 H/1094 M, wafat pula Khalifah Abbasiyah, Muqtadi bi Amrillah.
Ketiga orang tersebut di atas, bagi al-Ghazali, merupakan orang-orang yang selama ini dianggapnya banyak memberi peran kepada al-Ghazali, bahkan sampai menjadikannya sebagai ulama yang terkenal. Dalam hal ini, karena mengingat ketiga orang ini mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pemerintahan bani Abbas yang pada saat itu dikendalikan oleh daulah Bani Saljuk, meninggalnya ketiga orang ini sangat mengguncangkan kestabilan pemerintahan bergelar Mustadhhir Billah (dilantik tahun 487 H/1094 M). Pemerintahan menjadi sangat lemah untuk menangani kemelut yang terjadi di mana-mana terutama dalam menghadapi teror aliran Bathiniyah yang menjadi penggerak dalam pembunuhan secara gelap terhadap Perdana Menteri Nidham Al-Muluk.
Dalam suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah Mustadhir Bilah (Masa Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik dengan menggunakan penanya. Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali memenuhi permintaan Khalifah tersebut. Ia kemudian tampil dengan karangannya yang berjudul Fadha’il Al-Bathiniyah wa Fadha’il Al-Mustadhhiriyah (tercelanya aliran Bathiniyah dan baiknya pemerintahan Khalifah Mustadhhir) yang disingkat dengan judul Mustadhhiry. Buku itupun disebarluaskan di tengah masyarakat umum, shingga simapti masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat direbut kembali. Kemudian timbullah gerakan menentang aliran Bathiniyah, tetapi sebaliknya pula, gerakan Bathiniyah ini tidak berhenti untuk menjalankan pengaruhnya untuk membuat kekacauan. Al-Ghazali merupakan seorang yang berjiwa besar dalam memberikan pencerahan-pencarahan dalam Islam. Ia selalu hidup berpindah-pindah untuk mencari suasana baru, tetapi khususnya untuk mendalami pengetahuan. Dalam kehidupannya, ia sering menerima jabatan di pemerintahan, mengenai daerah yang pernah ia singgahi  dan terobosan yang ia lakukan antara lain :

1.        Ketika ia di Baghdad, ia pernah menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah selama 4 (empat) tahun.
2.     Ia meninggalkan kota Baghdad untuk berangkat ke Syam, di Syam ia menetap hampir 2 (dua) tahun untuk berkhalwat melatih dan berjuang keras membersihkan diri, akhlak, dan menyucikan hati hati dengan mengingat Tuhan dan beri’tikaf di mesjid Damaskus.
3.        Kemudian ia menuju ke Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan Jerussalem, tempat di mana para Nabi sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat wahyu pertama dari Allah.
4.    Tidak lama kemudian ia meninggalkan Palestina dikarenakan kota tersebut di kuasai Tentara Salib, terutama ketika jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492 H/1099 M, lalu iapun berangkat ke Mesir, yang merupakan pusat kedua bagi kemajuan dan kebesaran Islam sesudah Baghdad.
5.       Dari Palestina (Kairo), iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari sana ia hendak berangkat ke Maroko untuk memenuhi undangan muridnya yang beranama Muhammad bin Taumart (1087-1130 M), yang telah merebut kekuasaanya  dari tangan kaum Murabithun, dan mendirikan pemerintahan baru yang bernama Daulah Muwahhidun. Ia mengurungkan niatnya untuk pergi memenuhi undangan ke Maroko, ia tetap tinggal di Mekkah, ia  berasalan untuk melaksanakan kewajiban yang ke lima dalam rukun Islam, yakni melaksanakan ibadah haji, kemudian ia menziarahi kuburan Nabi Ibrahim.
6.     Selanjutnya ia kembali ke Naisabur, di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh, madrasah ini khusus untuk mempelajari ilmu hukum, dan membangun asrama (khanqah) untuk melatih Mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di tempat kelahirannya.

Karya-Karya Al-Ghazali
Menurut Musthafa Galab, Al-Ghazali telah meninggalkan tulisannya berupa buku dan karyanya sebanyak 228 kitab yang terdiri dari berbagai macam ilmu pengetahuan yang terkenal pada masanya. Kitab-kitab tersebut diantaranya :
Di Bidang Filsafat
1.   Maqashid al-Falasifat (The tendencies of the Philosophers: Tujuan Ilmu Filsafat). Berisi mengenai ringkasan ilmu-ilmu filsafat, dijelaskan juga ilmu-ilmu mantiq, fisika dan ilmu alam.
2.   Tahafut al-falasifat (The distruction of the Philosophers: Kerancuan pemikiran para filosof). Berisi pertentangan (kontradiksi) yang ada dalam ajaran filsafat , serta dijelaskannya juga ketidaksesuaiannya dengan akal.
3.      Al-Ma’riful ‘Aqliyah (Ilmu Pengetahuan yang Rasional). Kitab ini mengungkap asal muasal ilmu-ilmu yang rasional dan kemudianhakikat apa yang dihasilkan serta ke arah mana tujuan pastinya.
Di bidang Agama
1.        Ihya’ Ulumuddin (Revival of the Relegios Sceinces: Menghidup-hidupkan Ilmu Agama).
2.        Al-munqiz min al-Dhalal ( Terlepas dari kesesatan).
3.        Minhaj ul’Abidin (the Path of the Devout: Jalan Mengabdi Tuhan).
Di bidang akhlak tasawuf
1.        Miezan ul ‘Amal (neraca amal).
2.        Kitab pendamping Ihya’ yang juga berisi akhlak dan tasawuf.
3.      Kimiya us Da’adah (kimianya kebahagiaan). Berisi masalah etika yang dibicarakan dari sudut pandang kepraktisannya dan hukum.
4.      Kitabul Arba’ien (empat puluh prinsip agama). Berisi tentang soal-soal yang berhubungan dengan akhlak tasawuf.
5.     At-Tibrul Masbuk fi nashiehat el muluk(emas yang sudah ditatah untuk menasehati para penguasa). Berisi tata karma yang berhubungan dengan pemerintahan.
6.        Al-Mustashfa fil ushul (keterangan yang sudaah dipilih mengenai soal pokok-pokok ilmu hukum).
7.        Mishkat ul Anwar (lampu yang bersinar banyak). Berisi tentang kaitan akhlak dengan ilmu aqidah dan teologi.
8.   Ayyuhal Walad (wahai anakku !). Berisi nasehat kepada penguasa yang berhubungan dengan amal perbuatan dan tingkah polah mereka dalam kehidupan sehari-hari.
9.     Al-adab fi Dien(adab sopan keagamaan). Berisi perilaku manusia di dalam hubungannya dengan etika hidup manusia.
10.  Ar-Risalah al-Laduniyah (risalah tentang soal-soal batin). Berisi hubungan akhlak dengan masalah-masalah kerohanian termasuk didalamnya soal wahyu, kata hati dan sebagainya.

Di bidang kenegaraan
1.    Mustazh hiri.
2.    Sir ul Alamain (rahasia dua dunia yang berbeda).
3.    Suluk us Sulthanah (cara menjalankan pemerintahan). Buku ini memberi tahu  pimpinan bagaimana seorang kepala Negara harus menjalankan pemerintahannya demi kesejahteraan rakyatnya.
4.    Nashihat et Muluk (nasehat untuk kepala-kepala negara).

Di bidang Fiqh dan Ushul Fiqh
1.    Asrar al-Hajj, dalam Fiqh al-Syafi’I, terbit di Mesir.
2.    Al-Mustasfa fi Ilmi al-Ushul, terbit berulang kali di Kairo.
3.    Al-Wajiz fi al-Furu’.

Pemikiran Filsafat Imam Al-Ghazali

Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan. Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.
Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini. Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut.
Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.
Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali. Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Hakikat ilmu menurut Al-Ghazali adalah dihasilkannya salinan objek pada mental subjek sebagaimana realitas objek itu sendiri, dinyatakan dalam bentuk proposisi berdasarkan metode ilmiah tertentu untuk kemajuan dan kebahagiaan manusia. Imam al-Ghazali dikenal sebagai ahli Fikih, ahli Ushul, ahli dalam Ilmu Akhlak, ahli dalam ilmu Tarbiyah dan ilmu Jiwa, ahli ilmu  Ekonomi, bahkan juga dikenal Imam yang Salafi, dan Sufi.
Menurut Musthafa Galab, Al-Ghazali telah meninggalkan tulisannya berupa buku dan karyanya sebanyak 228 kitab yang terdiri dari berbagai macam ilmu pengetahuan yang terkenal pada masanya. Diantaranya dalam bidang filsafat, agama, kenegaraan, fiqih dan ushul fiqih.
Pemikiran filsafat Al-ghazali dapat dibagi 3 yaitu:
1. Metafisika yang berarti mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
2.   Iradat tuhan yang berarti  Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan.
3. Etika yang berarti Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya, Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.


Al-Ghazali Al-Ghazali Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi on August 04, 2015 Rating: 5

No comments:

Komentar