Dasar Hukum Melafalkan Niat Shalat

Ada beberapa permasalahan tentang melafalkan atau mengucapkan niat, misalnya membaca “Ushalli fardla dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala” (Saya berniat melakukan shalat fardlu dzuhur empat rakaat dengan menghadap kiblat dan tepat pada waktunya semata-mata karena Allah SWT) pada menjelang takbiratul ihram dalam shalat dzuhur adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di kalangan warga NU (nahdliyin). Tetapi sepertinya menjadi asing dan sesuatu yang dipermasalahkan oleh sebagian kalangan yang tidak sepemahaman dengan warga nahdliyin.

Hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.

Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.

Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-was.

Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”.” (HR. Muslim).
Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.

Memang tempatnya niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan tidak ada sesuatu yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid. Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar.

Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat adalah sunnah. Imam Ramli mengatakan:
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dank arena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437).

Jadi, fungsi melafalkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafalkan niat sebelum shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
Tapi hal ini tidak selesai disini saja. Pertentangan dan perbedaan pendapat terus terjadi. Semoga alasan berikut ini menjadi tambahan dasar hukum yang kita miliki. Rasulullah menerangkan bahwa segala perbuatan tergantung kepada niatnya, dan seseorang akan mendapatkan balasan menurut apa yang diniatkannya.
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب قال: سمعتُ رسول الله * يقول: إنَّما الأعمال بالنيَّات، وإنَّما لكلِّ امرئ ما نوى، فمَن كانت هجرتُه إلى الله ورسوله فهجرتُه إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يُصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه

رواه إمامَا المحدِّثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبه البخاري، وأبو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصحُّ الكتب المصنَّفة




Dari Umar bin al-Khattab RA, ia berkata,” Rasulullah  bersabda,” Suatu perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Maka siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan RasulNya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya kembali kepada apa yang dia niatkan.” (Shahih Bukhari dalam Kitab an-Nikah no. 5126, Kitab al-Iman no. 54, & Kitab al-Iman wa an-Nudzur no. 6771; Shahih Muslim dalam Kitab al-Imarah no.1907; Sunan at-Tirmidzi dalam Kitab Fadhail al-Jihad no.1748; Sunan Abu Dawud dalam Kitab ath-Thalaq no.2203).
Niat itu di dalam hati dan tidak dilafazhkan karena memang tidak ada hadits yang menyebutkan shighat lafazh niat tersebut kecuali seperti hadits perintah Rasulullah  untuk melafazhkan basmalah ketika akan berwudhu. Berkata Imam Asy-Syafi’i  di dalam kitab Al-Umm :
وَلاَ يُجْزِئُ الْوُضُوءُ إلاَّ بِنِيَّةٍ وَيَكْفِيهِ مِنْ النِّيَّةِ فِيهِ أَنْ يَتَوَضَّأَ يَنْوِي طَهَارَةً مِنْ حَدَثٍ أَوْ طَهَارَةً لِصَلاَةِ فَرِيضَةٍ أَوْ نَافِلَةٍ أَوْ لِقِرَاءَةِ مُصْحَفٍ أَوْ صَلاَةٍ عَلَى جِنَازَةٍ أَوْ مِمَّا أَشْبَهَ هَذَا مِمَّا لاَ يَفْعَلُهُ إلا طَاهِرٌ . كتاب الطهارة باب قدر الماء الذي يتوضأ به
“Tidak sah seseorang berwudhu tanpa niat dan seseorang cukup dikatakan berniat bila ia melakukan wudhu’. Ia berniat bersuci dari hadats atau bersuci untuk shalat fardhu,atau nafilah, atau membaca al-Qur’an, atau shalat jenazah atau semisalnya yang tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang yang bersih.” (Al-Umm : Kitab Thaharah : Bab Kadar Air untuk Berwudhu’)
Maksud perkataan ini adalah ketika seseorang akan mengerjakan sesuatu, ia harus tanamkan niat di dalam dirinya dengan kesungguhan bersamaan dengan pelaksanaan pekerjaan itu. Hal serupa juga dikatakan Imam asy-Syafi’i  ketika membahas perkara niat shalat, juga di kitab Al-Umm :
قال الشافعي وَالنِّيَّةُ لاَ تَقُومُ مَقَامَ التَّكْبِيرِ وَلاَ تَجْزِيهِ النِّيَّةُ إلاَّ أَنْ تَكُونَ مَعَ التَّكْبِيرِ لاَ تَتَقَدَّمُ التَّكْبِيرَ وَلاَ تَكُونُ بَعْدَهُ – باب النية في الصلاة الأم كتاب الصلاة
”Dan niat itu tidak bisa menggantikan takbir dan tidak sah niat itu kecuali dilakukan bersamaan dengan takbir. Tidak mendahului takbir dan tidak pula setelah takbir.” (Al-Umm : Kitab Shalat : Bab Niat di dalam Shalat )
Maka dari itu dapat dipahami dari ucapan Imam asy-Syafi’i  ini bahwa niat itu adanya di dalam hati dan tidak dilafazhkan. Karena tidaklah mungkin melafazhkan niat tersebut jika harus bersamaan dengan ucapan takbir. Apalagi menurut beliau  niat itu juga tidak boleh mendahului takbir dan tidak pula setelah takbir.
Al-Imam Taqiyudin Abubakar bin Muhammad al-Husaini al-Hisni asy-Syafi’i, seorang ulama besar madzhab Syafi’i, di dalam Kifayatul Akhyar berkata,”
وَفَرَائِضُ الصَّوْمِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ: النِّيَةُ وَالإِمْسَاكُ عَنِ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ وَالجِْمَاع لا يصح الصوم إلا بالنية للخبر، ومحلها القلب، ولا يشترط النطق بها بلا خلاف
“Dan kewajiban-kewajiban orang yang akan berpuasa ada lima: niat, menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh. Dan tidak sah puasa kecuali dengan disertai niat, berdasarkan hadits-hadits yang shahih. Niat letaknya di dalam hati dan tidak disyaratkan untuk dilafazhkan dengan lisan, tanpa ada khilaf di kalangan para ulama.” ( Kifayatul Akhyar : Kitab Shiyam)
Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafii v, penulis Fathul Qarib berkata,”
وَاَرْكَانُ الصَّلاَةِ ثَمَانِيَةَ عَشْرَ رَكْنًا  أَحَدُهَا (النِّيَةُ) وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ وَ مُحَلُّهَا اْلقَلْبُ
“Rukun-rukun shalat itu ada 18 (delapan belas), yaitu : Niat, yaitu memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya. Sedangkan tempat niat itu berada di dalam hati.” (Fathul Qarib : Kitab Ahkamus Shalat)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah  berkata, “Menurut kesepakatan para imam kaum muslimin, tempat niat itu di hati bukan lisan di dalam semua masalah ibadah, baik bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, berjihad dan lainnya. Karena niat adalah kesengajaan dan kesungguhan di dalam hati.” (Majmu’atu ar-Rasaaili al-Kubra, I/243)
Demikianlah para ulama ahlussunnah yang masyhur tidak ada yang mengajarkan bentuk lafazh niat itu dan sekiranya lafazh niat itu ada dari Rasulullah  pastilah telah ada pada kitab-kitab mereka. Hal ini karena masalah niat adalah perkara yang penting dan menjadi syarat keabsahan suatu ibadah, jadi niscaya mereka tidak akan meluputkannya.

Wallahu a’lam bish-shawab.
Dasar Hukum Melafalkan Niat Shalat Dasar Hukum Melafalkan Niat Shalat Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi on January 11, 2012 Rating: 5

2 comments:

  1. http://abuhauramuafa.wordpress.com/2012/12/03/hukum-melafazkan-niat/

    Subhanallah..subhanallah..subhanallah..
    Inilah tulisan mendalam Ust. Muhammad Mu'afa yang kami tunggu2 ^_^ tentang HUKUM MELAFADZKAN NIAT...insyaAllah mencerahkan..

    Di dalamnya dijelaskan 11 argumentasi terpenting yang menunjukkan MUBAHNYA pelafalan niat...12 tanggapan beliau thd. sebagian kaum muslimin yang berpendapat bahwa melafalkan niat dalam ibadah adalah haram, bahkan bid’ah...tanggapan thd. pendapat yang mensunnahkan dan mewajibkan...DAFTAR NAMA PARA ULAMA YANG TIDAK MELARANG PELAFALAN NIAT..dan terakhir adalah pesan beliau ttg. penyikapan dalam adab/tata krama terhadap ikhtilaf ulama...

    ReplyDelete
  2. http://abuhauramuafa.wordpress.com/2012/12/03/hukum-melafazkan-niat/

    Berikut petikannya...

    "Melafalkan niat untuk melakukan ibadah hukumnya mubah bukan haram, wajib atau sunnah/mandub/mustahabb. Kemubahan ini tidak membedakan apakah ibadah tersebut ibadah Mahdhoh seperti shalat, puasa Wudhu, Mandi Junub, Tayamum, Zakat, Haji, Umroh, berkurban, Kaffaroh,I’tikaf dll ataukah Ghoiru Mahdhoh seperti berbakti kepada orangtua, shilaturrahim, membezuk orang sakit dll, juga tidak membedakan apakah ibadah tersebut manfaatnya juga dirasakan hamba yang lain seperti menghajikan orang lain ataukah tidak, juga tidak membedakan apakah ibadah tersebut dilakukan langsung setelah pelafalan ataukah ada jarak waktu. Semuanya mubah selama lafadz niatnya tidak bertentangan dengan syara’, baik untuk kepentingan mengajari, menguatkan niat, menghilangkan was-was, menegaskan maksud, dan semua kepentingan yang syar’i. Namun kemubahan ini adalah mubah dari segi pelafalan itu sendiri, bukan menjadi syarat sah, sifat wajib, apalagi rukun niat. Jika niat dilafalkan, hendaknya tidak dilakukan terus menerus, dan mengucapkannya juga harus pelan jika dimungkinkan mengganggu ibadah orang lain. Jika pelafalan niat itu untuk selain ibadah seperti jual beli, ijaroh, wakalah, syirkah, nikah, talak, rujuk, sumpah, nadzar dan yang semisal, maka lebih jelas lagi kemubahannya."

    ReplyDelete

Komentar