Masalah khalifah sesudah Rasul wafat, merupakan fokus
perselisihan diantara tiga golongan besar, yaitu: Golongan Ansar, Muhajirin,
dan Bani Hasyim. Selain itu, sebenarnya masih ada kelompok terselubung yang
cukup potensial dalam mewujudkan ambisinya sebagai penguasan tunggal, ialah
golongan Bani Umayyah. Sikap golongan terakhir ini, tercermin pada sikap tokoh
utamanya yaitu Abu Sufyan yang enggan membai'at Khalifah Abu Bakr, sekembalinya
dari Saqifah menuju masjid Nabawi bersama-sama dengan ummat Islam lain, sebagai
yang dilakukan oleh kaum Bani Hasyim.
Prakarsa pemilihan khalifah di Saqifah yang dimotori oleh
Sa'ad ibn 'Ubbadah adalah benar-benar menggugah kembali bangkitnya semangat
fanatisme golongan dan permusuhan antar suku yang pernah terjadi sebelum Islam.
Kiranya dapat dipahami bahwa pemilihan khalifah tersebut, tanpa keikutsertaan
'Ali sebagai wakil Bani Hasyim, tampaknya membawa kekecewaan mereka yang
menginginkan hak legitimasi kekhilafahan di tangan 'Ali, yang saat itu sedang
mengurus jenazah Nabi. Mereka beralasan bahwa 'Ali adalah lebih berhak dan
lebih utama menggantikannya, karena dia adalah menantunya, dan selain itu ia
juga seorang yang mula-mula masuk Islam sesudah Khadijah, istri Rasulullah.
Selanjutnya tak seorang pun yang mengingkari perjuangan, keutamaan, dan ilmu
pengetahuan yang dimilikinya. Diantara mereka yang berpendapat demikian adalah
salah seorang dari golongan Ansar yaitu Munzir ibn Arqam, ia menyatakan dalam
suatu pertemuan di Saqifah: " ... Kami tidak menolak keutamaan orang-orang
yang kalian sebutkan (AbuBakr, Umar, dan'Ali), sebenarnya ada diantara mereka
itu, seorang yang seandainya ia menuntut (kekhilafahan), tak seorang pun yang
akan menentangnya ('Ali ibn Abi Talib) ...[8]
Peristiwa pembai'atan Abu Bakr pada tahun 12 H (634 M),
tanpa sepengetahuan 'Ali, tampaknya melahirkan berbagai pendapat yang
kontroversial tentang siapa diantara tokoh-tokoh sahabat itu yang lebih berhak
menduduki jabatan khalifah. Selain itu, juga merupakan awal terbentuknya
pemikiran golongan ketiga yakni Bani Hasyim, disamping golongan Muhajirin dan
Ansar. Oleh karenanya tidak mengherankan jika saat itu ada orang yang ingin
membai'at 'Ali ibn Abl Talib. Keinginan tersebut secara tegas ditolak 'Ali dan
sebagai akibatnya, para pendukung 'Ali menunda-nunda pembai'atan mereka pada
Khalifah Abu Bakr.
Memang benar, bahwa sesudah 'Ali membai'at Khalifah pertama
ini, isu politik tentang hak legitimasi Ahlul-Bait, sebagai pewaris
kekhilafahan sesudah Nabi, berangsur-angsur mereda sampai berakhirnya masa
pemerintahan Khalifah 'Umar ibn Khattab. Peredaan isu politik ini, mungkin
sekali disebabkan oleh keberhasilan kedua khalifah tersebut dalam mempersatukan
potensi ummat Islam untuk menghadapi musuh-musuh baru yang bermunculan saat
itu.
Munculnya Bani Umayyah dalam pemerintahan 'Usman, sebagai
kekuatan politik baru, telah mengundang reaksi keras ummat Islam, terhadap
kebijaksanaan Khalifah, terutama sesudah enam tahun yang terakhir
pemerintahannya. Kelemahan Khalifah ketiga ini terletak pada ketidakmampuannya
membendung ambisi kaum kerabatnya yang dikenal sebagai kaum aristokrat Mekkah
yang selama 20 tahun memusuhi Nabi. Sebagai akibatnya, isu politik tentang hak
legitimasi Ahlul-Bait memanas kembali.
Sebagaimana diketahui dalam sejarah, tindakan politik
Khalifah yang memberhentikan para gubernur yang diangkat oleh Khalifah 'Umar,
dan mengangkat gubernur-gubernur baru dari keluarga 'Usman sendiri, rupanya
membawa kekecewaan dan keresahan ummat secara luas. Seperti: Pengangkatan
Marwan ibn Hisyam sebagai sekretaris Khalifah, Mu'awiyah sebagai Gubernur
Syria,'Abdullah ibn Sa'ad ibn Surrah sebagai wali di Mesir, dan ia masih
saudara seibu dengan Khalifah, dan Walid sebagai Gubernur Kufah. Mereka dikenal
sebagai penguasa yang lebih berorientasi pada kepentingan pribadi dan
kelompoknya, daripada berorientasi pada kepentingan dan aspirasi rakyat. Sikap
politik seperti ini tampaknya merupakan faktor penyebab timbulnya protes-protes
sosial yang keras yang sangat kurang menguntungkan pada pemerintahannya
sendiri.
Setelah 'Usman wafat, 'Ali adalah calon utama untuk
menduduki jabatan khalifah. Pembai'atan khalifah kali ini, segera mendapat
tantangan dari dua orang tokoh sahabat yang berambisi menduduki jabatan penting
tersebut. Kedua tokoh itu adalah Talhah dan Zubair yang mendapat dukungan dari
'A'isyah, untuk mengadakan aksi militer yang dikenal dengan perang Jamal.
Akhirnya kedua tokoh tersebut terbunuh, sedangkan 'A'isyah, oleh Khalifah 'Ali
dikembalikan ke Madinah.
Aksi militer tersebut, tampaknya sebagai akibat kegagalan
kedua tokoh itu dalam memenuhi ambisinya. Disamping itu, keduanya merasa
dipaksa oleh sekelompok orang dari Kufah dan Basrah untuk membai'at 'Ali,
dibawah ancaman pedang terhunus. Alasan terakhir ini rupanya dijadikan alasan
baru untuk menuntut Khalifah, mereka berjanji akan taat dan patuh, jika
Khalifah menghukum semua orang yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan Usman ibn
'Affan. Tuntutan tersebut senada dengan tuntutan Mu'awiyah, yaitu agar Khalifah
'Ali mengadili Muhammad ibn Abu Bakr, anak angkatnya, yang mereka pandang
sebagai biang keladi peristiwa terbunuhnya 'Usman. Dengan demikian, Khalifah
'Ali dihadapkan pada posisi yang cukup sulit di awal pemerintahannya.
Tampaknya tuntutan Talhah dan Zubair tersebut,
dipolitisasikan oleh Muawiyah untuk memojokkan 'Ali, yang dipandang sebagai
saingan utamanya. Untuk membangkitkan semangat antipati dan permusuhan terhadap
Khalifah 'Ali, Mu'awiyah menggantungkan baju 'Usman yang berlumuran darah
beserta potongan jari istrinya, yang dibawa lari dari Madinah ke Syria oleh
Nu'man ibn Basyar.[9] Posisi 'Ali yang sulit ini, ditambah lagi dengan tindakan
pemecatannya terhadap Gubernur Damaskus, Mu'awiyah ibn Abi Sufyan, adalah
sebagai faktor yang mempercepat berkobamya perang Siffin. Perang ini
mengakibatkan munculnya golongan Khawarij, musuh 'Ali yang paling ekstrem,
sesudah terjadinya upaya perdamaian dari pihak Mu'awiyah dengan ber-tahkim pada
al-Qur-an, setelah pasukannya terdesak oleh pasukan 'Ali dibawah panglima Malik
al-Astar. Siasat licik Mu'awiyah yang dimotori oleh 'Amr ibn 'As ini,
sebenarnya telah diketahui oleh 'Ali. Sayang sekali usaha menghadapi siasat
licik ini terhalang oleh sebagian besar pasukannya sendiri yang memaksanya
menerima tawaran damai tersebut. Akhirnya, kedua belah pihak sepakat untuk
berdamai, dan masing-masing harus diwakili oleh seorang juru runding. Pihak
Mu'awiyah diwakili oleh 'Amr ibn 'As, sedangkan pihak 'Ali diwakili Abu Musa
al-Asy'ari.
Kekalahan diplomasi pihak 'Ali di Daumatul-Jandal,
sebagaimana dalam penuturan sejarah, adalah disebabkan oleh sikap Abu Musa yang
amat sederhana dan mudah percaya kepada siasat 'Amr. Bahkan menurut pendapat
Syed Amir 'Ali, Abu- Musa ini secara diam-diam memusuhi 'Ali. 'Amr ibn 'As
tampaknya dengan mudah meyakinkan Abu Musa, bahwa untuk kejayaan ummat Islam,
'Ali dan Mu'awiyah harus disingkirkan. Dengan perangkap 'Amr ini Abu Musa
sebagai wakil yang lebih tua, dipersilakan naik mimbar lebih dahulu guna
mengumumkan hasil perundingan mereka, dan secara sungguh-sungguh Abu Musa
menyatakan pemecatan 'Ali sedangkan 'Amr yang naik mimbar kemudian, menyatakan
kegembiraannya atas pemecatan 'Ali tersebut, kemudian ia mengangkat Mu'awiyah
sebagai penggantinya.[10] Sekalipun pihak 'Ali kalah total, namun 'Ali tetap
memegang jabatan khalifah sampai ia terbunuh di mesjid Kufah, oleh seorang
Khawarij bernama Ibn Muljam, tahun 41 H/661 M.
Pembelotan kaum Khawarij yang disebabkan oleh peristiwa
tahkim atau arbitrase antara 'Ali dengan Mu'awiyah, semakin mempersulit dan
memperlemah posisi Khalifah 'Ali terutama sekali sesudah penumpasan pasukan
'Ali terhadap kaum separatis ini di Nahrawan. Perang di Nahrawan, menyebabkan
dendam mereka semakin memuncak terhadap Khalifah. Dalam hubungan ini, Donaldson
menjelaskan bahwa kaum Khawarij membentuk pasukan berani mati yang terdiri:
'Abdur-Rahman ibn Muljam untuk membunuh 'Ali, Hajjaj ibn 'Abdullah as-Sarimi
untuk membunuh Mu'awiyah, dan Zadawaih untuk membunuh 'Amr ibn 'As. Akan
tetapi, dua petugas yang disebut belakangan ini gagal mencapai maksudnya.[11]
Dengan demikian, posisi Mu'awiyah semakin kuat.
Dalam menghadapi dilema politik. 'Ali lebih tampak sebagai
seorang panglima perang daripada sebagai seorang politikus. Ia lebih suka
menempuh jalan kekerasan, sekalipun harus banyak memakan korban, sedangkan
dengan jalan diplomasi yang pernah ditempuhnya, ia tampak lebih banyak didikte
oleh pihak lawan. Tipe perjuangan 'Ali ini rupanya dikembangkan oleh sekte
Syi'ah Zaidiyyah.
Para pendukung dan pengikut setia Khalifah 'Ali apabila
dilihat dari aspek akidah mereka, tidak jauh berbeda dengan akidah ummat Islam
pada umumnya saat itu. Sudah barang tentu, mereka belum mengenal sama sekali
apalagi memiliki doktrin-doktrin seperti yang dimiliki oleh kaum Syi'ah
sebagaimana yang kita kenal dalam sejarah, selain pendirian mereka bahwa 'Ali
lebih utama memangku jabatan Khalifah sesudah Nabi . Jumlah mereka relatif
lebih kecil. Dengan demikian, pengikut setia 'Ali dalam mencapai cita-cita
perjuangannya saat itu belum berorientasi pada suatu doktrin tertentu, maka
saat itu dapat dikatakan bahwa Syi'ah belum lahir. Ini berbeda dengan aliran
Khawarij, semboyan: "Tiada hukum yang wajib dipatuhi selain hukum Allah,"
sejak keberadaan sekte ini, telah dijadikan sebagai doktrin dan pengikutnya
selalu berorientasi pada ajaran itu. Oleh karenanya dipertanyakan, kapan
lahirnya Syi'ah itu?
Mengenai lahirnya Syi'ah, terdapat beberapa pendapat yang
kontroversial . Pendapat al-Jawad yang dikutip oleh Prof. H. Abu Bakar Atjeh
dalam bukunya Perbandingan Mazhab Syi'ah, menjelaskan bahwa lahirnya Syi'ah
adalah bersamaan dengan lahirnya nas (hadis) mengenai pengangkatan 'Ali ibn Abi
Talib oleh Nabi sebagai khalifah sesudahnya nas yang dimaksud antara lain,
mengenai kisah perjamuan makan dan minum yang diselenggarakan oleh Nabi di
rumah pamannya, Abu Talib, yang dihadiri oleh 40 orang sanak keluarganya. Dalam
perjamuan itu beliau menyatakan: "...Inilah dia ('Ali) saudaraku, penerima
wasiatku dan khalifahku untuk kalian, oleh karena itu, dengar dan taati
(perintahnya) ..." Pernyataan ini disampaikan oleh Nabi sesudah 'Ali
menerima tawaran beliau sebagai khalifahnya.
Nas seperti ini, jelas tidak terdapat dalam kitab Sahih
al-Bukhari dan Sahih Muslim, karena itu golongan Sunni menolak nas tersebut
bila dijadikan dalil untuk mengklaim kekhilafahan bagi 'Ali sebagaimana yang
dikehendaki oleh kaum Syi'ah. Sebaliknya, tidak dimuatnya nas-nas semacam itu,
demikian Syarafuddin al-Musawi, oleh kedua imam hadis tersebut dalam kitab
sahihnya merupakan manipulasi golongan Sunni terhadap hadis-hadis sahih yang
berkaitan dengan kekhilafahan 'Ali, karena nas itu dikhawatirkan akan menjadi
senjata kaum Syi'ah untuk menyerang paham mereka.[12] Abu Zahrah berpendapat
bahwa Syi'ah tumbuh di Mesir masa pemerintahan 'Usman, karena negeri ini
merupakan tanah subur untuk berkembangnya paham tersebut, kemudian menyebar ke
Irak dan di sinilah mereka menetap.[13]
Selain itu, adalah wajar apabila ada yang berpendapat, bahwa
lahirnya Syi'ah itu sewaktu Nabi sakit keras, pamannya, 'Abbas, menyarankan
kepada 'Ali dan mengajaknya menghadap Nabi untuk meminta wasiatnya, siapakah
orang yang akan menggantikan kepemimpinan beliau, namun maksud tersebut ditolak
'Ali dengan tegas, dan ia pun bersumpah tidak akan memintanya.[14] Selanjutnya
masih ada pendapat yang mengatakan bahwa lahirnya Syi'ah itu bersamaan dengan
terjadinya perang Jamal, perang Siffin, dan perang di Nahrawan, karena pada
saat itu, seorang tidak dapat dikatakan sebagai Syi'ah kecuali orang yang
mengunggulkan kekhilafahan 'Ali daripada 'Usman ibn 'Affan, sebagai yang telah
disinggung diatas.
Apabila dilihat ciri-ciri dari beberapa pendapat diatas,
maka pendapat pertama tampak sama sekali tidak realistis, sedangkan tiga
pendapat yang terakhir, rupanya lebih menitikberatkan pada adanya sikap dan
tindakan-tindakan nyata sebagai pendukung dan pengikut setia 'Ali semasa
hidupnya. Akan tetapi, apabila kelahiran Syi'ah dilihat sebagai suatu aliran
keagamaan yang bersifat politis secara utuh, maka ia harus dilihat pula dari
aspek ajaran atau doktrin politiknya, yaitu tentang hak legitimasi kekhilafahan
pada keturunan 'Ali dengan Fatimah, puteri Rasulullah, sebab dari segi doktrin
inilah identitas Syi'ah tampak lebih jelas, berbeda dengan identitas
sekte-sekte Islam lainnya. Dan munculnya doktrin Syi'ah seperti ini adalah
bermula sejak timbulnya tuntutan penduduk Kufah - pendukung 'Ali - agar masalah
kekhilafahan dikembalikan kepada keluarga Khalifah atau Ahlul-Bait dari tangan
orang-orang yang dianggap telah merampasnya. Dari penerapan doktrin ini,
penulis berpendapat bahwa lahirnya Syi'ah itu bersamaan waktunya dengan
pengangkatan Hasan ibn 'Ali ibn Abi Talib sebagai imam kaum Syi'ah. Adapun
aktivitas para pendukung dan pengikut setia 'Ali pada periode sebelumnya,
hanyalah merupakan faktor yang mempercepat proses tumbuhnya benih-benih Syi'ah
yang sudah siap tumbuh dan berkembang.
Pertumbuhan Dan Perkembangan Sekte-Sekte Syi'ah
Dalam kajian ini, penulis lebih menitikberatkan pada bahasan
yang berkaitan dengan perkembangan sekte-sekte Syi'ah secara garis besar, serta
hubungannya dengan paham Mahdiyyah.
Pada masa Hasan ibn 'Ali, posisi kaum Syiah semakin goyah
karena derasnya fitnah, perselisihan, dan perpecahan di kalangan mereka, yang
sengaja ditanamkan oleh golongan Saba'iyyah, pengikut Ibn Saba'.[15] Lemahnya
daya juang dan kurang wibawanya Hasan adalah menjadi faktor yang mempersulit
posisi golongan Syi'ah. Usaha Hasan dalam memerangi golongan Saba'iyyah,
terutama sesudah kegagalannya menumpas gerakan Mu'awiyah, sungguh hasilnya
sangat mengecewakan. Pada saat itulah Hasan mulai ditinggalkan oleh kaumnya,
demikian Ihsan Ilahi Zahir, sehingga sebagian pengikutnya bergabung dengan
golongan Saba'iyyah, sebagian lagi berpaling pada Mu'awiyah, dan golongan
Khawarij.[16] Oleh karena itu, Hasan pun kemudian memilih jalan damai dengan
pihak Mu'awiyah. Selanjutnya ia mundur dari jabatan khalifah secara formal pada
tahun 41 H/661 M, dengan demikian secara de jure, ia menjabat selama sepuluh
tahun, akan tetapi secara de facto, ia berkuasa hanya enam bulan tiga hari.
Sesudah Hasan wafat, diangkatlah saudaranya, Husain ibn 'Ali
sebagai Imam. Putera 'Ali kedua ini tampak memiliki semangat dan daya juang
sebagai yang dimiliki bapaknya, namun sayang, ia harus tewas di ujung pedang
tentara Yazid di padang Karbela secara memilukan, pada tanggal 1 Oktober 680 M.
Kematian Husain ini merupakan bencana bagi kaum Syi'ah,
sehingga makamnya dipandang sebagai tempat yang keramat serta memiliki
keistimewaan dan keluarbiasaan, lantaran kecintaan mereka terhadap Husain, dan
oleh karena itu, mereka mentradisikan ziarah umum ke makamnya setiap bulan
Muharam.
Kematian Husain tersebut bermula dari banyaknya surat
penduduk Kufah yang menyatakan janji setianya kepada putera 'Ali ini. Aksi
militer yang dilancarkan Husain, lantaran dia lebih mempercayai janji orang
Kufah daripada ia mempertimbangkan saran-saran para penasihatnya yang cukup
berpengalaman dan mengetahui benar tabiat orang Kufah yang telah mengkhianati
keluarganya. Dan karenanya, kematian Husain sebagai syahid, menimbulkan unsur baru
dalam moral agama di kalangan Syi'ah Kufah. Yaitu mereka merasa sangat berdosa
atas kematian Husain dan mereka berkeinginan untuk menebus dosa mereka dengan
mengangkat senjata menuntut bela atas kematiannya pada penguasa Umayyah.
Golongan tersebut menamakan dirinya at-Tawawabun (orang-orang bertobat).
Golongan terakhir ini berkeyakinan bahwa mati berperang
karena membela kepentingan Ahlul-Bait adalah mati syahid. Disinilah mereka
mengidentikkan loyalitasnya terhadap 'Ali dan keturunannya, sama dengan loyalitasnya
terhadap Nabi atau agama.
Ketidakpuasan kaum mawali dari Persia terhadap penguasa
Umayyah, mendorong mereka dan memberi arah yang sama sekali baru, kepada
kegiatan-kegiatan sosio-politik kaum Syi'ah, demikian Fazlur Rahman, sehingga
pimpinan Syi'ah, mungkin sekali ia orang Arab, tetapi para pengikutnya beralih
dari bangsa Arab ke bangsa Persia.[17] Sejak itulah kaum Syi'ah mengalami
perubahan besar dan mulai mengarahkan gerakannya, dari gerakan politik semata
kepada gerakan keagamaan yang bercorak kemazhaban. Selanjutnya Ihsan Ilahi
Zahir menjelaskan bahwa sesudah Syi'ah terikat oleh unsur-unsur asing yang
melindas, maka Syi'ah terlepas dari kebiasaan bangsa Arab yang terdidik secara
Islami, dan sekalipun mereka kaum Syi'ah masih berada dalam lingkaran Islam,
namun bukan-Islam yang ortodoks, akan tetapi, Islam dalam bentuknya yang
baru.[18]
Pada saat yang sama, Syi'ah mulai membawa pikiran-pikiran
asing secara terselubung, aliran ini juga merupakan wadah dari berbagai
aspirasi, dan tempat berlindungnya musuh-musuh Islam yang ingin merusak dari
dalam sehingga ia mudah terpecah belah menjadi sub-sub sekte yang banyak
sekali. Diantara kelompokkelompok yang memasukkan ajaran-ajaran nenek moyang
mereka kedalam ajaran Syi'ah ialah golongan Yahudi, Nasrani, Zoroaster, dan
Hindu. Mereka itu berkeinginan melepaskan negerinya dari kekuasaan Islam dengan
menyembunyikan niat jahat mereka dan menunjukkan sikap berpura-pura mencintai
Ahlul-Bait sebagai kedok.[19] Seperti ajaran Syi'ah tentang: 'Aqidah ar-Raj'ah,
ucapan sementara golongan ini bahwa api neraka tidak akan membakar mereka
kecuali sedikit saja. Demikian pula diantara mereka ada yang mengatakan bahwa
hubungan al-Masih dengan Tuhan, sifat ketuhanan yang menyatu dengan sifat
kemanusiaan seperti pada diri seorang imam, juga ada yang mengatakan bahwa
kenabian atau kerasulan itu tidak akan terhenti untuk selamanya. Selanjutnya
ada pula diantara mereka yang menjisimkan Tuhan, berbicara tentang Tanasukh
atau Reinkarnasi dan Hulul dan lain sebagainya.
Tampaknya figur Husain, bagi kaum Syi'ah mempunyai
keistimewaan tersendiri; terutama bagi Syi'ah Persia. Hal itu mungkin sekali
karena Husain adalah cucu rasul di satu pihak, sedangkan istrinya Syahr Banu
puteri Yazdajird III, mantan raja Persia di pihak lain. Sebelum Islam, di
Persia telah berkembang suatu tradisi yang bertolak dan pandangan tentang
"Hak Ketuhanan" atau Divine right yang berarti bahwa dalam diri raja
Persia telah mengalir darah ketuhanan. Dengan demikian, raja memiliki kebenaran
tindakan yang harus dipatuhi oleh rakyat. Raja ibarat pengayoman Allah di bumi
untuk menegakkan kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Pandangan seperti ini, demikian
Ahmad Syalabi, masih tetap ada sesudah orang Persia itu memeluk Islam, sehingga
karenanya mereka memandang Ahlul-Bait sebagai orang yang berhak memerintah dan
harus ditaati oleh manusia.[20] Rupanya pandangan seperti inilah yang membentuk
konsep pola keimaman dalam Syi'ah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor
sosio-religio-kultural yang membentuk Syi'ah seperti sekarang ini adalah akibat
penetrasi budaya dan kepercayaan non-Islam yang pernah berakar pada suatu
masyarakat di suatu negeri, dan pernah memiliki peradaban yang lebih maju
daripada bangsa penakluknya. Biasanya kaum Syi'ah membentuk pola kehidupan
keagamaan yang berbeda dan bahkan sering bertentangan serta menghilangkan corak
keagamaan aslinya. Kepercayaan hasil perpaduan antara dua tradisi keagamaan
yang berbeda, yaitu Islam dan non-Islam, yang melahirkan praktek keagamaan baru
dalam Islam merupakan bid'ah yang sangat dicela oleh Nabi, sebagaimana
sabdanya:
"... Maka sesungguhnya sebaik-baik ajaran adalah kitab
Allah (al-Quran) dan petunjuk yang terbaik adalah petunjuk Muhammad saw., dan
perkara yang terjahat ialah perkara baru yang dicipta dalam agama (bid'ah). Dan
setiap bid'ah adalah sesat". (Hadis riwayat Muslim).
Sebagaimana diketahui dalam sejarah, agama Nasrani setelah
memasuki kerajaan Romawi, juga mengalami distorsi yang jauh lebih mengarah pada
perombakan terhadap ajaran Nabi Isa a.s. Munculnya ajaran Paulus sebagai
perpaduan antara ajaran Nasrani dengan kepercayaan dan kebudayaan Romawi,
berakibat munculnya praktek-praktek keagamaan baru yang diikuti oleh lahirnya
berbagai sekte keagamaan. Demikian pula dengan sekte-sekte Syi'ah yang muncul
sesudah Husain wafat.
Adapun munculnya sekte-sekte Syi'ah, bermula dari masalah
imamah atau kepemimpinan. Yaitu siapakah yang berhak menjadi imam sesudah
terbunuhnya Husain, oleh karena pada saat itu belum ada diantara
putera-puteranya yang mencapai usia dewasa. Rupanya kaum Syi'ah sulit
menghindari perpecahan, karena timbulnya tiga kelompok yang berbeda paham.
Golongan pertama, memandang bahwa keimaman harus berada di
tangan keturunan Husain dan tidak boleh lepas dari mereka, dan keimaman harus
melalui nas dari imam baik yang dikenal maupun yang tersembunyi, golongan ini
terpaksa mengangkat putera Husain yang belum dewasa sebagai imam. Golongan ini
kemudian disebut golongan Imamiyyah.
Adapun golongan kedua, berpendapat bahwa mengangkat imam
yang belum dewasa adalah tidak sah. Mereka tidak yakin bahwa Husain telah
menjanjikan keimaman itu kepada salah seorang puteranya untuk dibai'at. Oleh
karena itu, mereka bersikap menunggu-nunggu sampai munculnya seorang putera
keturunan Husain atau Hasan yang memiliki ilmu pengetahuan, kezuhudan,
keberanian, kesalehan, keadilan, dan berani mengangkat senjata terhadap
penguasa yang zalim. Oleh karenanya golongan ini disebut dengan al-Waqifah.
Mereka menghentikan aktivitasnya selama 60 tahun sejak terbunuhnya Husain
sampai bangkitnya Zaid ibn 'Ali ibn Husain di Kufah yang memberontak kepada
Hisyam ibn 'Abd al-Malik dari dinasti Umayyah. Kemudian golongan ini dikenal
dengan nama Syi'ah Zaidiyyah.
Golongan ketiga berpendapat bahwa jabatan imam sesudah
Husain, jatuh pada Muhammad ibn al-Hanafiyyah yaitu saudara seayah dengan
Husain, sekalipun dia bukan dari garis Nabi. Golongan ketiga ini beralasan,
demikian al-Mahdi lidinillah Ahmad, bahwa 'Ali ibn Abi Talib meminta kehadiran
Muhammad, saat menjelang wafat dan saat berwasiat kepada putera-puteranya. 'Ali
meminta kepada Muhammad agar mentaati Hasan dan Husain, dan sebaliknya agar
keduanya berbuat baik dan menghormati Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Oleh karena
itu, kelompok ini memandang kehadiran Muhammad bersama kedua saudaranya menerima
wasiat 'Ali tersebut, menunjukkan bahwa dia juga memperoleh hak untuk diangkat
sebagai imam.[21] Golongan ketiga ini dikenal dengan nama Syi'ah Kaisaniyyah.
Pendirinya adalah Kaisan bekas budak 'Ali, ada pula yang mengatakan bahwa dia
adalah Mukhtar ibn Abi 'Ubaid, sehingga golongan ini disebut pula dengan nama
Mukhtariyyah.
Perpecahan Syi'ah tersebut, berakibat langsung terhadap
lahirnya sekte-sekte baru dengan corak pemikiran yang berbeda-beda. Jika
golongan Imamiyyah dalam masalah keimaman lebih menitikberatkan pada keturunan
Husain, maka golongan al-Waqifah yang kemudian dikenal dengan Syi'ah Zaidiyyah,
lebih memfokuskan perhatiannya pada persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki
oleh seorang imam. Mereka tidak perduli, apakah dia keturunan Hasan atau
keturunan Husain asalkan dia masih berada di jalur keturunan Nabi. Akan tetapi,
bagi golongan Kaisaniyyah tidak memandang penting jalur keturunan itu dari
Nabi, namun yang terpenting adalah jalur keturunan 'Ali ibn Abi Talib.
Syi'ah Kaisaniyyah
Dilihat dari eksistensi dan gerakannya, golongan ini dapat
dikatakan sebagai sekte Syi'ah yang tertua. Mereka mengadakan aksi militer
terhadap penguasa Bani Umayyah, dengan dalih membela hak-hak kaum tertindas.
Ide ini tampaknya didukung oleh kaum Mawali Irak dan Persia, yang diperlakukan
oleh pemerintah Umayyah sebagai masyarakat kelas dua. Sebagai akibatnya
penduduk kedua kota tersebut tidak simpati lagi pada Bani Umayyah.
Sekte ini mengangkat Muhammad ibn Hanafiyyah sebagai imam,
sedangkan ajarannya bersumber pada ajaran Ibn Saba' dan golongan Saba'iyyah,
seperti ajaran tentang: al-Gaibah, 'Aqidah ar-Raj'ah (keyakinan akan kembalinya
seorang imam yang telah wafat), dan Tanasukh. Al-Syahrasrani menyatakan, bahwa
sesudah Muhammad ibn al-Hanafiyyah yang dikenal sebagai orang yang
berpengetahuan luas dan berpikiran cemerlang mengerti bahwa sekte ini
mengajarkan ajaran bohong dan sesat, ia pun segera berlepas tangan dari
kesesatan dan kebid'ahan mereka, serta pengkultusan-pengkultusan pengikut
aliran ini terhadap dirinya. Mereka beranggapan bahwa dia memiliki berbagai
keluarbiasaan atau al-Makhariqul-Mumawwahah yakni keluarbiasaan yang mereka
buat-buat untuk Muhammad ibn al-Hanafiyyah.[22]
Sesudah ia wafat, jabatan imam beralih kepada puteranya, Abu
Hasyim, kemudian lahirlah subsekte baru yang dikenal dengan al-Hasyimiyyah.
Setelah Abu H-asyim wafat timbul masalah siapa pemegang jabatan imam
sesudahnya. Jabatan ini tampaknya menjadi rebutan diantara kelompok-kelompok
yang berambisi, sehingga timbul pendapat yang kontroversial. Dalam hubungan ini
asy-Syahrastani menjelaskan bahwa kelompok yang berselisih itu ada yang
mengatakan, sebenarnya Abu Hasyim telah mewasiatkan keimanan itu kepada
Muhammad ibn 'Ali ibn 'Abdullah ibn 'Abbas, saat ia hendak wafat dalam
perjalanan pulang dari Syria. Selanjutnya penerima wasiat ini terus mewasiatkan
keimaman ini kepada anak keturunannya, sehingga jadilah kekhilafahan itu jatuh
ke tangan Bani 'Abbas. Kelompok lain mengatakan bahwa jabatan imam itu jatuh
pada kemenakan Abu Hasyim, Hasan ibn 'Ali ibn Muhammad al-Hanafiyyah. Akan
tetapi, ada pula yang mengatakan, keimaman itu dilimpahkan kepada saudara Abu
Hasyim sendiri yaitu 'Ali, baru kemudian, 'Ali mewasiatkan pada puteranya,
Hasan. Adapun kelompok terakhir mengatakan, bahwa keimaman itu telah lepas dari
Abu Hasyim, karena ia telah mewasiatkannya kepada 'Abdullah al-Kindi,[23] oleh
karenanya menurut golongan ini, ruh Abu Hasyim telah berpindah ke dalam diri
'Abdull-ah al-Kindi, sehingga berkembanglah paham Reinkarnasi di kalangan
pengikutnya.
Syi'ah Zaidiyyah
Sekte ini berdiri sesudah berselang 60 tahun setelah Husain
wafat, di bawah pimpinan Imam Zaid ibn 'Ali. Sekte tersebut memiliki
persyaratan khusus dalam memilih seorang imam yaitu seorang yang 'Alim, Zahid
(sangat berhati-hati dengan masalah dunia), pemberani, pemurah, dan mau
berjihad di jalan Allah guna menegakkan keimaman taat pada agama baik dia dari
putera Hasan atau Husain.
Dalam masalah kekhilafahan atau keimaman, golongan ini
rupanya lebih moderat. Mereka bisa menerima Imam Mafdul yakni imam yang
dinominasikan, disamping adanya Imam al-Afdal atau imam yang lebih utama.
Pikiran seperti ini, tentunya karena pendiri sekte Zaidiyyah, pernah berguru
kepada Wasil ibn 'Ata, pendiri Mu'tazilah. Oleh sebab itu, aliran ini tidak
menyalahkan atau membenci khalifah-khalifah sebelum 'Ali ibn Abi Talib.
Pendirian tentang [kata-kata Arab] yaitu sahnya imam yang dinominasikan
disamping adanya seorang imam yang lebih utama, tampaknya mendapat reaksi keras
dari Syi'ah Kufah dan menolak pendirian tersebut. Itulah sebabnya mereka
disebut golongan Syi'ah Rafidah.
Sebagaimana diketahui, umumnya kaum Syi'ah berprinsip bahwa
'Ali ibn Abi Talib adalah satu-satunya orang yang lebih berhak menjadi Khalifah
sesudah Nabi, tetapi mereka berbeda paham tentang siapa yang berhak menjadi
imam sesudah Husain wafat. Perbedaan-perbedaan paham itu rupanya menjadi faktor
yang mewarnai identitas kelompok masing-masing. Sebagai contoh sekte Zaidiyyah,
karena doktrinnya yang keras dalam mencapai cita-cita perjuangannya, lebih suka
menempuh jalan kekerasan, sehingga pemimpinnya banyak yang mengalami nasib sama
dengan nasib Husain ibn 'Ali. Zaid juga menjadi korban kecurangan penduduk
Kufah karena kurang memperhatikan saran-saran dari Salman ibn Kuhail, 'Abdullah
ibn Hasan, dan saran dari saudaranya sendiri Muhammad al-Baqir. Selanjutnya
dijelaskan bahwa pada saat dia berada di ujung pedang Yusuf ibn 'Umar Gubernur
Irak, Zaid pun ditinggalkan oleh orang-orang Kufah.[24] Sesudah ia wafat pada
122H, jabatan imam beralih kepada puteranya, Yahya, yang menyingkir ke
Khurasan. Kemudian ia mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Walid ibn
Yazid dan mengalami nasib sama dengan nasib ayahnya. Sesudah itu keimaman
dipegang oleh Muhammad ibn 'Abdullah ibn Hasan yang dikenal dengan an-Nafsuz-Zakiyyah,
bersama-sama dengan Ibrahim, dan keduanya terbunuh sesudah mereka mengadakan
aksi militer di Madinah. Seandainya sekte ini tidak menempuh jalan kekerasan
dalam mengembangkan ide-ide doktrinalnya yaitu dengan menyebarkan karya-karya
ijtihad para imam mereka, tentu keberadaan sekte ini lebih berakar dan
berpengaruh dalam masyarakat.
Selanjutnya dijelaskan bahwa sesudah terbunuhnya Ibrahim di
Basrah, sekte Zaidiyyah ini sudah tidak terorganisasikan lagi sampai munculnya
Nasir al-Atrus yang menda'wahkan mazhab Zaidiyyah di daerah Dailam dan Jabal,
dua daerah yang kemudian menjadi basis Syi'ah Zaidiyyah.[25] Sebagaimana
sekte-sekte yang lain, golongan Zaidiyyah pun mengalarni perpecahan menjadi
beberapa subsekte. Diantara sektenya yang menyimpang jauh dari doktrin
Zaidiyyah adalah al-Jarudiyyah. Pengikutnya memandang Muhammad
an-Nafsuz-Zakiyyah sebagai al-Mahdi.
Syi'ah Imamiyyah
Aliran ini menjadikan semua urusan agama harus berpangkal
pada Imam, sebagaimana halnya kaum Sunni mengembalikan seluruh persoalan agama
pada al-Quran dan Sunnah atau ajaran Nabi. Menurut paham Imamiyyah, manusia
sepanjang masa tidak boleh sunyi dari imam, karena masalah keagamaan dan
keduniaan selalu membutuhkan bimbingan para imam. Bahkan mereka mengatakan,
tidak ada yang lebih penting dalam Islam, melainkan menentukan seorang imam.
Kebangkitannya adalah untuk melenyapkan perselisihan dan menetapkan
kesepakatan. Oleh karena itu, ummat ini tidak boleh mengikuti pendapatnya
sendiri dan menempuh jalannya sendiri yang berbeda-beda yang mengakibatkan
perpecahan.
Aliran ini berkeyakinan bahwa keimaman 'Ali ibn Abi Talib
sesudah wafat Nabi adalah dengan nas yang jelas dan benar. Ibn Khaldun
menjelaskan bahwa keimaman bagi mereka, tidak hanya merupakan kemaslahatan umum
yang harus diserahkan kepada ummat untuk menentukarrnya, bahkan imam merupakan
tiang agama dan tatanan Islam yang tidak mungkin dilupakan oleh Nabi untuk
menentukannya. Dan ia harus seorang yang ma'sum (suci dari segala dosa) dan nas
itu sendiri menurut mereka, ada yang secara tegas dan ada pula yang samar-samar.[26]
Konsep keimaman mereka, bagi sekte Zaidiyyah, sebagaimana
dijelaskan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya, pengangkatan seorang imam bukan
ditetapkan oleh nas, tetapi dengan pemilihan oleh Ahlul-Halli wal-'Aqd yaitu
semacam dewan yang diberi wewenang mengangkat dan menetapkan seorang imam. Jika
Syi'ah Imamiyyah menerima kekhilafahan Abu Bakr dan 'Umar, maka berarti mereka
harus menerima paham Sunni, dan secara tidak langsung mereka harus mengakui
pula kekhilafahan Bani Umayyah yang mereka kategorikan sebagai kelompok Sunni.
Oleh karena itu, kekhilafahan kedua tokoh diatas, harus mereka tolak
keabsahannya. Kecintaan kaum Syi'ah terhadap 'Ali dan Ahlul-Bait yang menjurus
ke arah kultus individu di satu pihak, dan kebencian mereka terhadap Bani Umayyah
karena penindasannya pada Ahlul-Bait di pihak lain, bermula dari dendam
permusuhan lama antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah sebelum Islam.
Di sisi lain, rupanya hubungan kaum Mawali Persia dengan
keturunan Ali ibn Abi Talib, dengan cara menunjukkan kecintaan serta pembelaan
mereka terhadap hak-hak Ahlul-Bait, tampaknya menjadi faktor penyebab retaknya
keluarga Bani Hasyim. Perpecahan itu ditandai dengan lahirnya kelompok
pendukung keturunan 'Ali ibn Abu Talib di satu pihak, yang dikenal dengan golongan
Syi'ah, dan munculnya Bani 'Abbas di pihak lain. Jika keturunan 'Ali selalu
gagal merebut kekuasaan politik pada masa pemerintahan dinasti Umayyah, maka
keturunan 'Abbas, lewat Syi'ah Kaisaniyyah, berhasil merebutnya dan mendirikan
dinasti 'Abbasiyyah. Sebagaimana diketahui dalam sejarah, untuk mempertahankan
eksistensi dan kekuasaannya kelompok terakhir ini, memandang kelompok pertama
sebagai saingan politiknya sebagaimana halnya orang-orang Umayyah, sehingga
penguasa baru tersebut tidak bisa terlepas dari sikap dan tindak kekerasan
terhadap saudara sesukunya (Bani Hasyim) seperti yang pernah dilakukan oleh
dinasti Umayyah terhadap lawan-lawan politiknya.
Sebagai yang telah disinggung diatas, perpecahan Syi'ah
Imamiyyah bermula dari masalah siapa yang berhak menjadi imam sesudah Husain
wafat? Menurut sekte ini karena saat itu dapat dikatakan dalam keadaan darurat,
maka mereka memandang sah pengangkatan 'Ali ibn Husain yang dijuluki dengan
Zainal-'Abidin,[27] sekalipun ia belum dewasa. Imam ini selamanya tinggal di
Madinah sampai wafatnya di tahun 94 H, dan ia pun tidak pernah mengadakan aksi
kekerasan terhadap penguasa Bani Umayyah. Sekte ini sesudah 'Ali ibn Husain
wafat, enggan mengakui Zaid ibn 'Ali sebagai Imam, tetapi mengangkat saudaranya
Muhammad al-Baqir. Dalam usia 19, ia menduduki jabatan imam tersebut di akhir
masa pemerintahan al-Walid, namun ia tetap tinggal di Madinah sebagaimana
ayahnya.[28] Sepeninggal al-Baqir, jabatan imam dipegang oleh puteranya, Ja'far
as-Sadiq. Silsilah imam ini, dari jalur ayahnya sampai kepada Nabi; sedangkan
dari jalur ibunya, Ummu Farwah, sampai kepada Abu Bakr as.-Siddiq. Ketenarannya
sebagai guru dan pemikir besar di zamannya, diakui oleh semua pihak yang
mengenal kemasyhurannya, terutama di bidang ilmu fiqh dan hadis.
Sejumlah muridnya telah memberikan andil besar dalam
memajukan Ilmu Fiqh dan Ilmu Kalam, sepeffi: Abu Hanifah dan Anas ibn Malik.
Menurut riwayat lain juga terdapat nama-nama seperti Wasil ibn 'Ata yang
dikenal sebagai tokoh dan pendiri Mu'tazilah, dan Jabir ibn Hayyan sebagai ahli
kimia yang masyhur. Karena kemasyhurannya itu, beberapa tokoh Syi'ah abad
modern seperti Syarafuddin al-Mu-sawi, 'Ali Syariati dan lain sebagainya ,
menunjukkan klaim terhadap ummat Islam non Syi 'ah supaya mereka mengakui dan
menerima pikiran-pikiran hasil ijtihad Imam Ja'far as-Sadiq sebagai mazhab ke-5
dalam Islam, namun demikian, karya-karya besar Imam ini, di perguruan tinggi
Timur Tengah, seperti Universitas al-Azhar di Mesir, telah dijadikan bidang
studi sendiri dalam Ilmu Fiqh.
'Ulama' besar dari kalangan Ahlul-Bait ini menyatakan
berlepas tangan dari segala kebohongan dan kebodohan ucapan serta tindakan kaum
Syi'ah Rafidah yang dihubungkan pada dirinya, seperti ucapan mereka tentang:
al-Gaibah, ar-Raj'ah, al-Bada', Tanasukh, Hulul, dan at-Tasybih atau
penyerupaan Tuhan dengan manusia. Penolakannya terhadap kebid'ahan-kebid'ahan
kaum Syi'ah dinyatakan dengan tegas sebagai berikut:
"Semoga Allah mengutuk mereka (kaum Syi'ah),
sesungguhnya kami tidak membiarkan para pendusta yang senantiasa membuat
kedustaan atas nama kami. Maka cukuplah bagi kami, Allah sebagai pengaman dari
semua para pendusta. Dan semoga Allah menyangatkan panasnya siksa pada diri
mereka."[29]
Dari uraian diatas, nyatalah bahwa tokoh-tokoh Ahlul-Bait yang
diangkat sebagai Imam oleh kaum Syi'ah, pada umumnya tinggal di Madinah dan
mereka jauh dari para pengikutnya yang bertebaran di berbagai negeri. Tampaknya
tidak seorang pun di antara para Imam itu yang menyimpang dari ajaran Islam,
dan bahkan mereka tidak suka menyerang pribadi Abu Bakr atau 'Umar, malahan
mereka menghormatinya. Oleh karena itu, sikap para Imam yang lurus dan tegas
terhadap segala penyelewengan para pengikutnya, dapat diduga sebagai salah satu
faktor yang menambah kejengkelan mereka dan sebagai reaksinya, kaum Syi'ah
tidak segan-segan mencatut nama baik imam-imam mereka untuk menguatkan
pendirian atau paham masing-masing. Tidak mustahil, jika kaum Syi'ah kemudian
mendirikan sub-sub sekte yang ekstrem dengan menyerap ajaran-ajaran non-Islam
dan kemudian mereka membuat cerita-cerita fiksi tentang kehebatan dan
keluarbiasaan imam-imam mereka.
Perpecahan Syi'ah Imamiyyah sesudah Ja'far as-Sadiq wafat,
semakin meluas dan perpecahan ini tampaknya berpangkal, siapa di antara enam
puteranya yang lebih berhak menggantikannya. Maka mulailah muncul sub-sub sekte
baru seperti: An-Nawusiyyah, yang memandang Ja'far as-Sadiq sebagai al-Qa'im
atau al-Mahdi demikian pula halnya dengan al-Musawiyah, pengikut Musa al-Kazim
yang berkeyakinan bahwa Musa tidak mati, ia hanya gaib saja dan akan kembali
lagi ke dunia, dan tidak akan ada lagi seorang imam sesudahnya. Oleh karena
itu, sekte yang terakhir ini disebut juga dengan al-Qat'iyyah. Dalam bahasan
ini akan dibicarakan dua subsekte yang terpenting, dan keduanya mempunyai corak
kemahdian yang berbeda satu sama lain.
Syi'ah Ismailliyyah
Aliran ini dikenal pula dengan Syi'ah Sab'iyyah atau Syi'ah
Batiniyyah. Disebut demikian, karena pengikut sekte berkeyakinan bahwa Imam
yang ketujuh bagi mereka adalah Isma'il atau karena pendirian mereka yang
menyatakan bahwa setiap yang lahir, pasti ada yang batin dan setiap ayat yang
turun pasfi ada Ta'wil atauTafsir Batiniyyah-nya.
Syi'ah Isma'iliyyah ini muncul sesudah tahun 200 H, menurut
penuturan al-Mahdi Lidinillah Ahmad yang mengutip pernyataan al-Hakim dan
kesepakatan para penulis Muslim, bahwa orang yang mula-mula membangun mazhab
ini ialah anak-anak orang Majusi dan sisa-sisa pengikut aliran Huramiyyah.[30]
Mereka dihimpun oleh suatu perkumpulan yang bekerja sama dengan orang-orang
yang ahli tentang Islam dan filsafat. Motif mereka tidak lain, karena mereka
ingin membuat tipu daya guna merusak Islam dengan menyusupkan para
propagandisnya kedalam masyarakat Syi'ah yang masih awam, karena mereka iri
terhadap kejayaan Islam.[31] Untuk pertama kalinya sekte ini lahir di Irak,
kemudian ia mengalihkan gerakannya ke Persia, Khurasan, India, dan Turkistan.
Di daerah-daerah tersebut, ajaran-ajarannya bercampur dengan kepercayaan versi
lama dan pemikiran Hindu. Dalam hubungan ini Fazlur Rahman menjelaskan bahwa
Syi'ah Isma'iliyyah ini giat berpropaganda di sekitar abad II H/IX M - V H/XI
M, sehingga ia pernah menjadi aliran terkuat di dunia Islam, sejak dari Afrika
sampai ke India dengan mengobarkan revolusi sosial, melalui asimilasi ide-ide
dari luar terutama ide platonisme dan gnostik. Dari sinilah sekte tersebut
menyusun sistem filsafat diatas mana dibangun suatu agama baru, setelah
merongrong struktur keagamaan ortodoks.[32]
Isma'il yang wafat mendahului ayahnya, diyakini keimamannya
melalui nas dari ayahnya, Ja'far as-Sadiq. Pengikut sekte ini mengingkari
kematiannya dan ia dipandang sebagai al-Qa'im (yang bangkit) sampai ia
menguasai bumi dan menegakkan urusan manusia. Sesudah Isma'il, jabatan imam
diteruskan oleh anaknya, Muhammad al-Maktum dan selanjutnya jabatan tersebut
diteruskan oleh puteranya, Muhammad al-Habib, kemudian oleh penggantinya,
'Abdullah al-Mahdi. Dalam propagandanya ia mendapat sukses karena jasa Abu
'Abdullah as-Syi'i, sesudah ia lolos dari tempat penahanannya di Sijilmasah, ia
dapat menguasai daerah Kairuwan dan Magrib (Afrika). Dalam perkembangan
selanjutnya, anak keturunan al-Mahdi ini akhirnya dapat menguasai Mesir dan
mendirikan dinasti Fatimiyyah.
Sesudah sekte ini merasa kuat posisinya, berakhirlah Imam
Mastur dan muncullah 'Abdullah ibn Muhammad al-Habib yang mengaku sebagai Imam
Mahdi yang dijanjikan. Diantara sub sektenya yang paling agresif adalah
golongan Qaramitah yang dipelopori oleh Hamdan ibn Qarmat dipenghujung abad
ke-3 H/9 M. Gerakannya bertujuan, di bidang politik, membantu berdirinya
dinasti Fatimiyyah di Mesir, sedangkan di bidang sosial, membangun masyarakat
yang didasarkan atas asas kebersamaan. Mereka hidup dalam suatu komune yang
hampir menyerupai sistem kehidupan masyarakat komunis. Kepercayaan aliran ini
terhadap al-Mahdi, tidak jauh berbeda dengan keyakinan Syi'ah Isna 'Asyariyyah.
Hanya saja pengikut sekte Qaramitah ini menganggap Muhammad ibn Isma'il sebagai
al-Mahdi atau al-Qa'im. Ia masih hidup dan tidak akan mati serta akan kembali
lagi ke dunia dan memenuhi bumi dengan keadilan. Menurut keyakinan mereka,
berita kemahdiannya telah disampaikan oleh imam-imam pendahulunya.[33]
Selain aliran Qaramitah, muncul pula golongan Druziyyah,
yang dipimpin dan didirikan oleh ad-Durzi. Tampaknya aliran ini rapat
hubungannya dengan Syi'ah al-Hakimiyyah yang lahir di masa al-Hakim bi Amrillah
al-Fatimi yang memerintah Mesir di tahun 386 H. Dialah yang didewa-dewakan
sebagai tuhan. Dalam hubungan ini, menurut salah satu riwayat, dia adalah Hamzah
ad-Durzi yang datang dari Persia ke Mesir, kemudian membujuk al-Hakim agar
dirinya diperbolehkan untuk mempropagandakan paham baru yaitu bahwa al-Hakim
adalah tuhan, sehingga manusia mau menyembahnya.[34] Sangat boleh jadi, ajaran
tentang Hulul dan Tanasukh versi aliran Druziyyah ini, dipengaruhi oleh ajaran
al-Hallaj (858 - 922 M), yang dalam konsep filsafat ketuhanannya, menjelaskan
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat kemanusiaan (an-Nasut), dan manusia pun
memiliki sifat-sifat ketuhanan (al-Lahut). Kemudian ajaran ini oleh ad-Durzi
diterapkan pada diri al-Hakim yang dipropagandakan sebagai tuhan.
Doktrin esoteris ciptaan Syi'ah Batiniyyah yang inovatif,
terutama dalam menginterpretasikan ayat-ayat al-Quran, adalah benar-benar jauh
dari ruh Islam dan mengingatkan kita pada aliran kebatinan Gatholoco di Jawa.
Sekte ini pada masa Aga Khan, sewaktu Inggris berkuasa di India, demikian Ahmad
Syalabi menjelaskan, dijadikan sebagai alat untuk menghancurkan Islam dan
menguasai ummat Islam dengan hak dan kewajiban yang saling menguntungkan kedua
belah pihak.[35] Taktik Inggris ini rupanya sama dengan yang dilakukannya
terhadap golongan Ahmadiyah, yaitu untuk membantu kepentingan Inggris di India.
Dalam kerjasamanya dengan Inggris, aliran Batiniyyah atau Isma'iliyyah ini,
mendapat kebebasan menyebarkan pahamnya di koloni-koloni Inggris, dan sebagai
imbalannya, aliran ini harus patuh pada Inggris.
Syi'ah Isna 'Asyariyyah
Aliran ini lebih luas pengaruhnya dan lebih kuat posisinya
sampai hari ini bila dibandingkan dengan pengaruh dan posisi aliran-aliran
Syi'ah lainnya. Mayoritas pengikut sekte ini tinggal di Iran dan Irak. Aliran
ini didirikan sesudah abad ke-3 H, akan tetapi ada pula yang berpendapat, bahwa
ia lahir sesudah hilangnya Muhammad al-Mahdi al-Muntazar secara misterius pada
tahun 260 H.
Keimaman pada sekte ini, sesudah Ja'far as-Sadiq, adalah
Musa al-Kazim, sesudah itu jabatan imam dipegang oleh puteranya, 'Ali Rida.
Dialah satu-satunya Imam Syi'ah dari Ahlul-Bait yang diangkat sebagai putera
mahkota oleh Khalifah al-Ma'mun dari dinasti 'Abbasiyyah. Kemudian keimaman
sesudahnya beralih kepada puteranya Muhammad at-Taqi, dan selanjutnya ia pun
digantikan oleh puteranya 'Ali an-Naqi atau al-Hadi. Ia tinggal di Madinah dan
memberi pengajaran di sana. Akibat kritik-kritiknya yang tajam terhadap
Khalifah al-Mu'tasim, ia dipenjarakan di Samarra sampai wafatnya tahun 254 H/
868 M dalam usia 40 tahun. Selanjutnya keimaman beralih kepada puteranya, Hasan
al-'Askari, yang dikenal sebagai Imam yang tekun dan menguasai beberapa bahasa.
Pada masa keimamannya, perpecahan Syi'ah Isna 'Asyariyyah
ini semakin meluas, dan banyak diantara para pengikutnya, terutama kaum
'Alawiyyun (pengikut 'Ali ibn Abi Talib) mendakwahkan dirinya sebagai imam.
Menurut asy-Syahrastani, Hasan al-'Askari wafat dalam usia 28 tahun (260 H/874
M) di Samarra.[36] Kemudian diangkatlah puteranya, Muhammad ibn Hasan al'Askari
sebagai imam yang ke-12, yang dimitoskan sebagai al-Mahdi al-Muntazar karena ia
dianggap hilang secara misterius, sejak ia dalam usia kanak-kanak. Dia akan
kembali lagi ke dunia dan memenuhinya dengan keadilan, sebagaimana bumi ini
dipenuhi oleh kecurangan. Demikian menurut keyakinan pengikut Syi'ah Isna
'Asyariyyah. Aliran ini sejak berdirinya sampai hilangnya Imam ke- 12,
tampaknya kurang terorganisasikan. Akan tetapi, demikian Gibb dan Kramers
menjelaskan bahwa dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini pernah mengalami
kemajuan pesat, terutama setelah berdirinya dinasti Safawiyah dimana para
penguasanya mengklaim bahwa diri mereka adalah masih keturunan Musa al-Kazim.
Mereka menjadikan ajaran sekte ini sebagai mazhab resmi pemerintahan Safawi di
Persia. Pada masa Syah Isma'il, ia memerintahkan kepada para Khatib dan
Mu'azzin mengubah formula khutbah dan azannya, yaitu dengan menyebutkan
nama-nama kedua belas Imam mereka dalam khutbah dan menambahkan kalimat
[kata-kata Arab] dalam azannya, formula semacam ini tentunya dimaksudkan untuk
menunjukkan ciri khas kesyi'ahan.[37]
Beberapa Ajaran Pokok Syi'ah Yang Berkaitan Dengan Paham
Mahdi Atau Mahdiisme
Bahasan ini penulis batasi pada ajaran pokok Syi'ah yang
berkaitan erat dengan doktrin Mahdiisme, yaitu pada masalah Imamah, al-Gaibah,
dan 'Aqidah ar-Raj'ah.
Masalah Keimaman
Masalah keimaman bagi kaum Syi'ah adalah sangat fundamental,
terutama bagi Syi'ah Isna 'Asyariyyah atau Syi'ah Dua belas. Masalah keimaman,
mereka jadikan sebagai rukun atau saka guru agama, dan nas-nas keimaman, mereka
pandang sebagai mutawatir. Oleh karena ia merupakan anugerah Tuhan yang harus
diberikan kepada hamba-Nya, maka yang demikian itu merupakan kewajiban Tuhan
baik secara rasional maupun tekstual.
Secara rasional, seorang Imam harus mengayomi ummat atau
memelihara kemaslahatannya serta melindunginya dari berbagai kezaliman dan
kemaksiatan. Selain itu seorang imam juga harus menjaga kelestarian Syari'at
Islam dari usaha-usaha pemalsuan, dan oleh sebab itu, perlu adanya seorang
Mufassir (Imam) dari sisi Tuhan guna menafsirkan dan mengambil hukum dari
ayat-ayat al-Quran.[38] Alasan kedua ini senada dengan argumen tentang
kehadiran al-Mahdi al-Ma'hud dalam Ahmadiyah, yang dipandang sebagai Mujaddid
atau penafsir al-Quran sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Secara tekstual, keimaman Syi'ah adalah didasarkan pada
hadis Gadir Khum, yang diyakini sebagai mutawatir. Di Gadir Khum inilah menurut
aliran ini, Nabi bersama-sama sahabatnya beristirahat sepulang mereka dari
menunaikan ibadah haji dan di tempat ini, Nabi di depan mereka, menunjuk 'Ali
ibn Abi Talib sebagai penggantinya. Salah satu di antara riwayatnya ialah apa
yang diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam al-Kabir:
" ... Ya Allah! Barangsiapa yang beriman padaku dan
membenarkan aku hendaknya ia menjadikan 'Ali ibn Abi Talib sebagai pemimpinnya,
maka sesungguhnya kepemimpinannya adalah kepemimpinanku, dan kepemimpinanku
adalah kepemimpinan Allah."
Dengan nas semacam ini, keimaman itu diberikan secara
berkesinambungan dari imam yang satu kepada imam yang lain, dan oleh karenanya
keimaman itu tidak akan keluar dari keturunan Ahlul-Bait.
Tradisi keimaman Syi'ah Isna 'Asyariyyah, tampaknya masih
berjalan terus sampai sekarang, terutama dalam melaksanakan tugas-tugas
keimaman yaitu perlu diangkatnya seorang Mandataris Imam, selama Imam Mahdi itu
belum muncul kembali. Jabatan ini dalam dekade terakhir dipegang oleh Ayatullah
Ruhullah Khumaini. Menurut pendapatnya, ajaran para imam adalah sejajar dengan
al-Quran yang wajib ditaati dan dilaksanakan. Selama Imam Mahdi belum muncul,
ia diwakili oleh seorang mandataris yang berhak. Kedudukan al-Mahdi dalam
pandangan Syi'ah disejajarkan dengan Rasulullah, sebagaimana dinyatakan dalam
riwayat Jafar: "Barangsiapa mengakui semua imam dan mengingkari Imam
Mahdi, dia seperti mengakui semua nabi tetapi ia mengingkari Nabi Muhammad.[39]
Masalah Kegaiban Imam
Masalah kegaiban imam dalam kepercayaan Syi'ah berkaitan
erat dengan kepercayaan tentang akan kembalinya imam-imam Syi'ah yang telah
wafat kedunia, yang diistilahkan dengan [kata-kata Arab].Kepercayaan ini
bermula dari suatu anggapan bahwa imam yang mereka cintai itu tidak mati,
tetapi hanya menghilang untuk sementara waktu. Hal ini mengingatkan kita pada
pernyataan Ibn Saba' sewaktu 'Ali ibn Abi Talib wafat, ia menyatakan:
"Seandainya kalian membawa otak 'Ali kepadaku seribu
kali, aku tidak akan membenarkan kematiannya"[40]
Imam itu mempunyai masa kegaiban. "Apabila telah sampai
kepadamu," demikian kata Abu Ja'far, "berita tentang kegaiban imam
dari seorang yang (mempercayai) hal itu, maka janganlah kalian
mengingkarinya."[41] Demikianlah kepercayaan kaum Syi'ah terhadap imam
mereka.
Teori tentang kegaiban imam, tampaknya dicipta untuk
mempertahunkan eksistensi suatu aliran tertentu yang terancam kehancuran,
akibat persaingan ketat diantara sekte-sekte yang ada saat itu. Dengan demikian
teori tersebut lebih bersifat politis daripada bersifat keagamaan, karena
aliran ini menghadapi masa kevakuman imam yang cukup serius. Semula kaum Syi'ah
hanya bersikap menunggu, akan tetapi kemudian muncul ide baru bagaimana cara
berkomunikasi dengan seorang imam yang sedang gaib. Ide tersebut muncul
bersamaan dengan timbulnya ambisi tokoh-tokoh non-Ahlul Bait yang ingin
memainkan peranan imam sesudah Imam Muhammad ibn Hasan al-'Askari. Kemudian
muncullah dua macam teori tentang al-Bab dan teori mengenai Mandataris Imam.
Teori tentang al-Bab, bermula dari aliran Syaikhiyyah yang
mengajarkan bahwa Imam Mahdi itu selalu mengejawantah dan muncul di setiap
tempat dalam wujud seorang laki-laki yang disebut sebagai al-Mu'minul-Kamil
atau al-Bab atau al-Wali. Teori ini kemudian dikembangkan oleh 'Ali Muhammad
asy-Syirazi bekas murid al-Kazim ar-Rasti penganut aliran tersebut. Muhammad
Abu Zahrah menjelaskan, bahwa asy-Syirazi mengaku dirinya adalah al-Bab (pintu
perantara) antara [kata-kata Arab] (Imam Mahdi yang sedang gaib) dengan kaum
Syi'ah yang ingin mendapat ilmu atau petunjuk darinya.[42] Akhimya lahirlah
aliran baru yang dikenal sebagai aliran al-Babiyyah.
Teori kedua adalah tentang Mandataris Imam, tampaknya teori
ini adalah pengembangan dari teori yang pertama diatas. Hanya saja teori kedua
ini berasal dari 'Ali ibn Muhammad as-Samin, ia mengaku telah menyodorkan
secarik kertas yang telah ditandatangani oleh al-Mahdi, kepada Muhammad
al-Hasan sewaktu as-Samiri akan meninggal, ia memberitahukan kepada Muhammad
al-Hasan, bahwa al-Mahdi tidak akan muncul kembali sampai datang saat yang
telah ditentukan oleh Tuhan, yaitu sesudah hati manusia menjadi beku dan
kecurangan telah merajalela di atas bumi.[43] Sehingga dalam kepercayaan
tersebut terdapat istilah al-Gaibah as-Sugra atau gaib sementara, dimana al
Mahdi mempunyai empat orang duta, dan duta yang terakhir adalah as-Samiri.
Kedua, al-Gaibah al-Kubra yaitu gaib untuk waktu yang lama. Selama al-Mahdi
absen, ia diwakili oleh seorang yang dikenal sebagai Mandataris Imam, dan
jabatan ini merupakan peringkat pertama dalam hirarki Syi'ah Dua belas.
Masalah 'Aqidah Ar-Raj'ah
Masalah 'Aqidah ar-Raj'ah yaitu kepercayaan Syi'ah, tentang
akan kembalinya seorang imam yang telah wafat, adalah bermula dari kepercayaan
orang-orang Yahudi terhadap kisah 'Uzair dan kisah Nabi Harun. Mereka
berkeyakinan, bahwa Nabi Harun dibunuh oleh Nabi Musa di padang Tih, karena
kedengkiannya kepada Nabi Harun. Sementara kaum Yahudi mengatakan bahwa Harun
akan kembali lagi ke dunia, sedangkan yang lain berkeyakinan bahwa ia tidak
wafat, dia hanya gaib dan akan kembali lagi.[44] Adanya kesamaan antara
kepercayaan kaum Yahudi dengan kepercayaan Syi'ah, sangat dimungkinkan sesudah
kedua belah pihak terjadi kontak langsung secara akrab. Diantara penulis Muslim
seperti: Muhammad Abu Zahrah, Ahmad Amin, Ihsan Ilahi Zahir, berpendapat bahwa
'Aqidah Raj'ah tersebut diterima kaum Syi'ah lewat Ibn Saba' dan ajaran
golongan Saba'iyyah.
Akan tetapi, Muhammad al-Bahi mengajukan argumen psikologis
tentang terbentuknya 'Aqidah Raj'ah di kalangan kaum Syi'ah. Menurut
pendapatnya, kepercayaan tersebut bermula dari keyakinan yang didasarkan pada
kecintaan kaum Syi'ah terhadap imam-imam mereka yang telah wafat. Akibat
kesedihan yang memuncak, kecintaan mereka semakin mendalam, dan mereka amat
mendambakan kehadiran imam-imam yang mereka cintai itu. Akhimya mereka
ragu-ragu akan kematiannya, dia hanya absen dan mereka tetap ingin menunggunya.
Karena kecintaan yang kuat, lahirlah perenungan yang kuat pula, sekalipun kadang-kadang
apa yang diyakininya itu bertolak belakang dengan kenyataan yang sebenarnya.
Selanjutnya dijelaskan bahwa perenungan yang mengasyikkan jiwa disertai dengan
keinginan kuat untuk menjumpai seorang (imam) yang dicintai itu, kemudian
beralihlah dari kegaiban kepada harapan akan kehadirannya kembali, dan akhirnya
terbentuklah 'Aqidah Raj'ah di kalangan kaum Syi'ah.[45]
Ketegangan jiwa akibat wafatnya seorang pemimpin yang
dicintai, sering menimbulkan perubahan sikap atau tingkah laku seseorang, apabila
ketegangan tersebut sulit diatasi. Keadaan semacam ini rupanya pernah dialami
oleh 'Umar ibn Khattab sewaktu mendengar berita Rasulullah wafat. Ia tidak
mengakui Nabi telah wafat, dengan pedang terhunus ia mengancam siapa saja yang
berani mengatakan bahwa Nabi telah tiada. Akan tetapi, perubahan sikap demikian
itu, tampaknya hanya bersifat sementara. Kasus seperti apa yang dialami 'Umar
tersebut, rupanya banyak pula dialami oleh manusia lainnya. Dan bahkan jauh
sebelum agama Yahudi lahir, bangsa Chaldea sudah pernah mengalami kasus seperti
itu, yaitu tidak mau mengakui kematian Qabil sewaktu dibunuh oleh saudaranya,
Habil. Malahan diyakini, ia akan kembali lagi ke dunia. Demikian pula halnya
dengan kaum Nasrani, mereka meyakini bahwa Yesus yang mati di tiang salib,
bangkit kembali dan terus naik ke langit dan duduk di sisi Tuhan, dia akan
datang kembali ke dunia untuk memenuhi bumi dengan kedamaian dan kesucian.
Dari keterangan diatas, dapatlah disimpulkan bahwa pendapat
al-Bahi tersebut memandang berpengaruhnya ajaran Yahudi di kalangan Syi'ah
hanyalah sebagai faktor yang mempercepat proses lahirnya 'aqidah Raj'ah saja,
sedangkan kepercayaan seperti itu merupakan gejala umum jiwa manusia dan tidak
terbatas pada sekelompok manusia tertentu. Adapun munculnya 'Aqidah Raj'ah
dalam suatu kelompok, terbatas pada para pencinta pimpinan atau imam, mereka
menderita kesedihan yang hebat sebagai akibat wafatnya pimpinan yang dicintai
tersebut.
Masalah al-Gaibah yang berkaitan erat dengan 'Aqidah
ar-Raj'ah tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan Syi'ah terhadap al-Mahdi.
Tokoh ini merupakan idola pemimpin Syi'ah yang ditunggu-tunggu kehadirannya
oleh penganut Syi'ah Duabelas. Rupanya sekte ini saja yang masih gigih
mempertahankan paham Mahdi, sedangkan sekte-sekte lainnya yang semula memiliki
kepercayaan yang serupa semakin lama semakin memudar bersama dengan memudarnya
pengaruh sekte-sekte tersebut. Tetapi tidak demikian halnya dengan sekte Syi'ah
Zaidiyyah. Sekte ini secara tegas menolak paham Mahdi, kecuali golongan
al-Jarudiyyah yang merupakan sub sekte Syi'ah Zaidiyyah yang telah menyimpang
jauh dari doktrin kezaidiyyahannya.
Dengan demikian, aliran Syi'ah dalam perjalanan sejarahnya,
banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran non-Islam dan hanya Syi'ah Zaidiyyah yang
masih menunjukkan keortodokannya, bila dibandingkan dengan sekte Syi'ah
lainnya. Keterbukaan sikap kaum Syi'ah dalam menghadapi penetrasi budaya dan
kepercayaan non-Islam yang pernah berakar dalam suatu masyarakat sebelum Islam
datang, agaknya merupakan salah satu faktor penyebab tergesemya ajaran Islam
ortodoks dalam kehidupan beragama di satu pihak, dan di pihak lain faktor
terbentuknya paham Mahdi dengan berbagai macam versinya.
Kemahdian Syi'ah Tujuh tampak lebih nyata daripada kemahdian
Syi'ah Dua belas, sehingga sekte yang disebut belakangan ini mencipta teori
tentang al-Bab dan teori tentang Mandataris Imam, dengan demikian ide
kemahdiannya lebih lama bertahan daripada yang lain.
Catatan kaki:
8. Donaldson,
op.cit., hlm. 32.[back]
9. Ibnul-Asir,
al-Kamil fit-Tarikh, vol II, (Darus-Sadir, 1965), hlm. 317.[back]
10. Syed Amir 'Ali,
Api Islam, terj. HB. Jassin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 471.[back]
11. Donaldson, op.
cit., hlm. 55.[back]
12. Syarafuddin
al-Musawi, Dialog Sunnah dan Syi'ah, terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan,
1983), hlm. 140.[back]
13. Muhammad Abu
Zahrah, Tarikhul-Mazahibul-Islamiyyah, vol. I, (Daril Fikril-'Arabi, tt), hlm.
36.[back]
14. Fajrul-Islam,
op. cit., hlm. 266-7.[back]
15. Pada prinsipnya
kaum Syi'ah tidak: mau mengakui golongan Saba'iyyah sebagai sektenya, tetapi
kaum Sunni pada umurnnya memandang golongan Saba'iyyah sebagai Syi'ah.[back]
16. Ihsan Ilahi
Zahir, asy-Syi'ah wat-Tasyayyu selanjutnya disebut asy-Syi'ah (Lahore: Iradah
Tarjumann as-Sunnah, 1984), hlm. 163.[back]
17. Fazlur Rahman,
Islam, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1977), hlm. 171.[back]
18. Asy-Syiah,
op.cit., hlm. 186.[back]
19. Ibid., hlm.
187.[back]
20. Ahmad Syalabi,
Mausu'atut-Tarikhul-Islami wal-Hadaratul-Islamiyyah, vol. II, (Qahirah:
Maktabah an-Nahdatul-Mõsriyyah, 1978), hlm. 147-8.[back]
21. Al-Mahdi
Lidinillah Ahmad, op. cit., hlm. 82.[back]
22. Abul-Fath
'Abdul-Karim asy-Syahrastani, selanjutnya disebut asy- Syahrastani, al-Milal
wan-Nihal, (Beirut: Darul-Fikr, tt.), hlm. 149.[back]
23. Ibid., hlm.
151.[back]
24. Duhal Islam
III, op. cit., hlm. 271-2.[back]
25. Abdur Rahman
ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, selanjutnya disebut Ibn Khaldun,
(Darul-Fikr, tt.), hlm. 200.[back]
26. Ibid., hlm.
162.[back]
27. 'Ali adalah
satu-satunya putera Husain yang selamat dari pembantaian tentara Yazid, sewaktu
Husain terbunuh di padang Karbela. Sikapnya yang pemurung dan sering menangis
karena teringat mendiang ayahnya, maka ia memusatkan aktivitasnya pada ibadah,
oleh karenanya ia dijuluki dengan [kata-kata Arab]. Pengikut aliran ini
kemudian membuat cerita fiksi bahwa 'Ali sewaktu remajanya pernah pergi ke
Hajar al-Aswat bersama Muhammad ibn al-Hanafiyyah, keduanya untuk meminta
petunjuk Tuhan, siapa diantara keduanya yang lebih berhak menjadi imam. Saat
'Ali ibn Husain berdoa, terguncanglah Hajar al-Aswad itu, sebagai pertanda
bahwa dirinyalah yang lebih berhak menjadi imam sesudah ayahnya.[back]
28. Donaldson, op.
cit., hlm. 123.[back]
29. Asy-Syi'ah, op.
cit., hlm. 216.[back]
30. Aliran
Huramiyah ini membolehkan pengikutnya hidup bergelimang dalam kesenangan dan
kemewahan serta membebaskan pengikutnya dari segala macam kewajiban. Aliran ini
juga dikenal dengan al-Babikiyyah, pemimpirmya terbunuh dalam pemberontakan
melawan pemerintahan al-Mu'tasim dari dinasti 'Abbasiyyah.[back]
31. Al-Mahdi
Lidinillah Ahmad, op. cit., hlm.96-7.[back]
32. Fazlur Rahman,
op. cit., hlm. 175-6.[back]
33. As-Syi'ah. op.
cit., hlm. 235.[back]
34. Muhammad Abu
Zahrah, op. Cit., hlm. 62-3.[back]
35. Ahmad Syalabi,
op. Cit., hlm. 190.[back]
36.
Asy-Syahrastani. op. cit., hlm. 170.[back]
37. Gibb dan
Kramers, eds., op. cit., hlm. 188.[back]
38. Donaldson, op.
Cit., hlm. 305-6.[back]
39. As-Syi'ah, op.
Cit., hlm. 362.[back]
40. Fajrul-Islam,
op. cit., hlm. 270.[back]
41. Duhal-Islam,
III, op. cit., hlm. 218.[back]
42. Muhammad Aba
Zahrah, op. cit., hlm. 239.[back]
43. Asy Syi'ah, op.
cit., hlm. 352.[back]
44. Muhammad
al-Bahi, al-Janibul-Ilahi min Tafkiril-Islami, (Qahirah: Daru
Ihya'il-Kutubil-'Arabiyyah, 'Isa al-Babi al-Halabi, 1948), hlm. 88.[back]
45. Ibid, hlm.
88-9.[back]
Sejarah Syi'ah
Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi
on
November 15, 2015
Rating:
No comments:
Komentar