Pada era 70-an, Nurcholis Madjid (Cak Nur) menggulirkan gagasan-gagasan
terkait dengan pembaruan pemikiran Islam. Hal tersebut, tidak dapat dipungkiri,
berdampak pada kebebasan berpikir dan kemunculan sikap keterbukaan di kalangan
umat Islam Indonesia. Adapun alasan Cak Nur menekankan pentingnya diadakan
pembaharuan didasari pada ersoalan yang dihadapi kaum muslim Indonesia pada
konteks itu. Menurutnya, pembaharuan harus dimulai dengan dua tindakan, yaitu
melepaskan diri dari nilai tradisional dan mencari nilai baru yang berorientasi ke masa depan.
Dalam kaitan ini munculah ide “sekularisasi”
yang sangat kontroversial.
Cak Nur membedakan antara “sekulerisme” dengan
“sekularisasi”. Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekulerisme
dan mengubah kaum muslim menjadi sekularis. Sekularisasi yang dimaksudkan Cak
Nur adalah sebuah proses pembebasan, yaitu untuk menduniawikan nilai-nilai yang
semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan
untuk mengukhrowikannya. Proses pembebasan ini ditujukan untuk lebih
memantapkan tugas manusia sebagai “khalifah Tuhan di muka bumi” (h.259-261).
Tugas ini berimplikasi pada kebebasan manusia untuk memilih sendiri cara dan
tindakan dalam rangka perbaikan dalam hidupna, sekaligus memberikan pembenaran
bagi adanya tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatan itu di hadapan
Tuhan.
Pada umumnya gagasan tentang sekularisasi yang
dimaksudkan Cak Nur sebagai desakralisasi, ditolak atas dasar pengertian
literal dari sekularisasi yang dekat maknanya dengan sekularisme. Sebab antara
“sekularisasi” dan “sekularisme” berasal dari kata seaculum, bahasa
latin yang beararti abad. Sekuler berarti seabad. Selanjutnya sekuler
mengandung arti bersifat duniawi atau yang berkenaan dengan hidup dunia
sekarang (h.241). Tetapi Cak Nur bertahan dengan pengertian bahwa sekularisasi
bukanlah penerapan sekularisme.
Pada tulisan ini, saya ingin menanggapi pemikiran
Sekularisasi Cak Nur ---tanpa terjebak pada Sekularisme--- terutama terkait
dengan pemisahan antara hal yang profan dan transenden. Bab “Masalah Pembaruan Pemikiran dalam Islam”
termaktub bahwa sekularisasi merupakan proses penduniawian. Dalam pandangan
saya, bila sekularisasi diartikan secara harfiah, memang terkait erat dengan
hal-hal duniawi (proses pen-dunia-wian). Namun, agak naif bila manusia dianggap
sebagai makhluk duniawi an sich,
menafikkan dimensi ukhrowi.
Dalam filsafat Islam, filosof berpandangan bahwa manusia
terdiri dari ruh, jiwa, dan badan. Manusia adalah makhluk yang memiliki raga
(badan), maka manusia terikat pada dimensi materi dan hukum-hukum materi. Selain
itu, manusia juga memiliki jiwa, maka manusia terikat pada dimensi malakut (di antara dimensi materi dan
immateri). Kemudian, manusia ditiupkan ruh oleh Tuhan, sehingga manusia memiliki
sifat-sifat Ilahiah. Maka, konsekuensi logis dalam hal ini adalah keterikatan
manusia pada dimensi immateri. Di lain sisi, saya mengafirmasi pemikiran Cak
Nur bahwa manusia harus menyeimbangkan antara dunia dan akhirat.
Selain itu, saya juga mengafirmasi pandangan Cak Nur yang
menyatakan bahwa Islam datang menegakkan nilai-nilai Tauhid. Namun, menurut
saya Cak Nur mereduksi makna Tauhid, terutama dalam pembahasan Animisme dan
Tauhid. Beliau mendasari pandangannya dengan argumentasi “Negasi dan Afirmasi”
pada kalimat syahadat. Sehingga, ajaran Animisme adalah bentuk pengafirmasian
tuhan atau ilah selain Allah. Saya
mengamini bahwa tidak ada sesuatu apa pun yang patut disembah, selain Tuhan. Namun,
bila kita kaji mendalam sesungguhnya setiap elemen di alam semesta ini memiliki
dimensi Ilahiah karena berasal dari-Nya. Sehingga, ajaran animisme merupakan prototype manusia pada zaman dahulu kala
yang belum mengalami kedewasaan berpikir. Mereka berupaya menemukan Ilah dari entitas di sekitarnya. Selain
itu, animisme justru menunjukkan bahwa manusia sejalan dengan fitrahnya menuju The Supreme Reality. Saya termasuk orang
yang beranggapan bahwa setiap elemen di alam semesta ini memiliki dimensi Ilahiah
karena merupakan manifestasi-Nya (tajalli).
Jadi, sesungguhnya tidak ada korelasi antara keyakinan bahwa entitas di alam
memiliki dimensi Ilahiah dengan penafian kita terhadap eksistensi Tuhan, justru
malah mengafirmasi prinsip Tauhid.
Kemudian, sekularisasi Cak Nur bermaksud ingin memisahkan
atau tidak mencampuradukkan antara “Agama” dan “Negara”. Gagasan Cak Nur
tersebut merupakan hal yang logis sebagai respon dari fenomena upaya menjadikan
Islam sebagai agama Negara. Saya sepakat bahwa dalam konteks Indonesia memang
tidak tepat jika kita mendudukkan Islam sebagai agama Negara. Hal itu mengingat
Indonesia merupaka Negara majemuk (masyarakat madani) yang heterogen. Namun,
hal tersebut lantas menafikkan nilai-nilai agama dalam bernegara. Kita tidak bisa
menegasikan bahwa manusia merupakan makhluk Tuhan. Sehingga, Negara sebagai wadah
yang mengatur sistem bermasyarakat harus menegakkan hukum-hukum Tuhan. Menurut
saya, hukum-hukum Tuhan merupakan nilai universal beyond agama. Nah, Pancasila merupakan wujud hukum Tuhan yang
representatif bagi bangsa Indonesia. Sehingga, rakyat Indonesia layak
menjadikan Pancasila sebagai landasan hidup dan bernegara. Jadi, why not mengimplementasikan hukum Tuhan
dalam kehidupan bernegara. Hal ini juga didasarkan pada prinsip ketauhidan.
Oleh karena itu, kita harus melihat diskursus ini dalam kaca
mata tauhid---merujuk pada landasan pemikiran Cak Nur. Pemisahan antara hal
yang profane dan transcendent merupakan upaya gegabah merespon keinginan beberapa
kelompok menjadikan agama memiliki andil terhadap kehidupan bernegara. Solusi
yang ditawarkan seorang Cak Nur seyogyanya berlandaskan pada culture rakyat Nusantara yang dalam
perjalanan sejarah merupakan masyarakat yang menerapkan nilai-nilai
spiritualitas ajaran agama dan kepercayaan dalam kehidupan sehari-sehari. Selain
itu, dalam kaca mata tauhid, tajalli Tuhan
merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dari “Tuhan”. Jadi, sesungguhnya
prinsip Tauhid meniscayakan integrasi antara seluruh maujud. Dalam konteks ini,
sesungguhnya tidak ada dikotomi antara duniawi dan ukhrowi. Justru, kita harus
mencermati pemahaman kita terhadap Tuhan yang kita tempatkan pada singgasana
“transendental” an sich, tanpa
menggelar karpet merah bagi-Nya dalam wilayah “profan”. Bukankah ajaran Islam
yang diajarkan oleh Rasul menekankan
pada nilai-nilai Islam dalam sistem masyarakat? Hal tersebut dicontohkan
Rasulullah pada sistem politik di Madinah kala itu. Ada pertanyaan yang
menggelitik dalam benak saya, bukankan sebagai masyarakat Indonesia kita tidak
bisa melepaskan identitas sebagai “rakyat” sekaligus “pemeluk agama atau
kepercayaan” tertentu? Kemudian, bukankah eksistensi yang hakiki adalah Tuhan? Agaknya,
layak diketengahkan diskursus Wahdat
al-Wujud dalam merespon Sekularisasi. J
RESPON TERHADAP PANDANGAN SEKULARISASI CAK NUR
Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi
on
October 26, 2015
Rating:
No comments:
Komentar