NASIKH MANSUKH DAN URGENSINYA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nasikh dan Mansukh dalam ulumul quran adalah salah satu dari beberapa cabang ilmu yang perlu dipahami dalam menggali makna yang tersirat dalam ayat al-Quran yang setidaknya ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Quran ada yang ‘Aam (Umum/general), ada yang Khosh (special/khusus), ada yang Mutlaq (Absolut) ada yang Muqayyad (Terikat) dan sebagainya. Sehingga, selain mengetahui bentuk ayat, asbab an-Nuzul, Muhkamat dan Mutasabih, maka nasikh dan mansukh juga membantu seseorang dalam menggali makna ayat-ayat Al-Quran.
Secara umum Maqasid Al-Tasri’ adalah untuk kemaslahatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesiuai dengan tuntutan realitas Zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia. Proses serupa ini, disebut dengan nasikh mansukh.
Dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al-qur’an.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas berkaitan dengan nasikh mansukhadalah sebagai berikut
A. Pengertian nasikh dan mansukh
B. Dalil Tentang Nasikh Mansukh dalam Syari'at
C. Pendapat ulama tentang nasikh dan mansukh
D. Macam-Macam Nasikh Mansukh
E. Pengertian takhshish
F. Urgensi mempelajari konsep nasikh dan mansukh

BAB. II
NASIKH DAN MANSUKH

A. PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH

Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan; menghapuskan; memindahkan; menulis. Adapun secara istilah, maka ada dua macam:
Pertama. Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda.
Al-Baidhowi rahimahullah (wafat th 685 H) mendefinisikan dengan: “Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya”. [1]
Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan: “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya”. [2]
Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, yaitu: “menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah”. [3]
Kedua : Naskh menurut istilah Salafush Sholih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.
Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang: Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an; atau amir (pemimpin) yang harus (berfatwa); atau orang dungu yang memaksakan diri”. [4]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) naasikh dan mansukh terkadang adalah: menghapuskan hukum sekaligus, dan ini merupakan istilah muta-akhirin, dan terkadang adalah: menghapus penunjukkan dalil ‘am, [5] mutlaq, [6] zhahir, [7] dan lainnya, kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyiid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta tanbiih (mengingatkan). Sehingga mereka (Salaf) menamakan istitsna’ (pengecualian), syarath, dan sifat dengan naskh, karena hal itu menghapus penunjukkan zhahir dan menjelaskan yang dimaksudkan. Maka naskh, menurut mereka (Salaf) dan bahasa mereka adalah: menjelaskan yang dimaksudkan dengan bukan lafazh itu, tetapi dengan perkara yang di luarnya. Barangsiapa memperhatikan perkataan mereka, akan melihat padanya dari hal itu apa-apa yang tidak dapat dihitung, dan dengan sebab itu akan hilang darinya kesulitan-kesulitan yang diakibatkan karena membawa perkataan mereka pada istilah baru yang akhir”. [8]
Nasikh artinya : yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakekatnya naasikh (yang menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.

Mansukh artinya : yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan.

Secara etimologi Nasakh dapat diartikan menghapus, menghilangkan (izalah), yang memindahkan (naql), mengubah (tahwil) dan menggganti (tabdil). Sejalan dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali mengartikan Nasakh dengan 2 macam yaitu : pertama الازلة:yang berarti hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang sering berkata نسحت الشمس الظل(Cahaya Matahari menghilangkan bayang-bayang). Kedua نقل الشيئ الى موضع.yaitu memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya.
Sedangkan secara istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain:
a. Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (12) أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (13) [المجادلة/12، 13] 
12. Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
13. Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum Mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

b. Nasakh adalah Allah SWT. Artinya otoritas menghapus dan menggantikan hukum syara’ hakikatnya adalah Allah SWT. Definisi ini didasarkan pada Al-Baqoroh : 106
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
106. Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
[81] Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.

c. رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي شرحياعنهartinya mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah atau khitab Allah yang datang kemudian dari padanya.

Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya Nasakh tidak lain sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam al-Qur’an. Selain itu kedatangan ayat yang menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di hapus.
Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan denganالحكم المرتفع Hukum yang diangkat. Contoh QS. Al-Nisa : 11 Menasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang wasiat
Al-Nisa : 11
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا [النساء/11]
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[272] Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
[273] Lebih dari dua Maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.

Al- Baqarah : 180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ [البقرة/180] 
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
[112] Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.

Sedangkan secara istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
Sementara itu, Quraish Shihab menyatakan bahwa ulama-ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin tidak sepakat dalam memberikan pengertian nasikh secara terminologi. Hal ini terlihat dari kontroversi yang muncul diantara mereka dalam menetapkan adanya nasikh dalam Al-Qur’an. Ulama-ulama mutaqaddimin bahkan memperluas arti nasikh hingga mencakup :
1. Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
2. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian.
3. Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius.
4. Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum terdahulu.

Dengan demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa al-Mansukh di atas baik secara bahasa maupun istilah pada dasarnya secara eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh mensyaratkan beberapa hal antara lain :
a.  Hukum yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum akal atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah)
b. Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’: 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا [النساء/59]
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
c. Dalil/ayat yang di Mansukh harus datang setelah dalil yang di hapus.
d. Terdapat kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua sehingga tidak bisa dikompromikan

Setelah memahami pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh diatas pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya. Menjawab pertanyaan ini al-Qattan memberikan rumusan bahwa Al-Nasakh Wa al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat.
Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
b. Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan ayat yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.
c. Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.
B. DALIL TENTANG NASIKH DAN MANSUKH DALAM SYARI'AT
Perlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh (dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal, dan ijma’.
Dalil Naql
Firman Allah Azza wa Jalla.
مَا نَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ
Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)… [Al Baqarah:106]
Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran Salafush Sholih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir [Lihat Taffsir Ibnu Katsir, surat Al-Baqarah: 106]
Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mu’jizat”, sebagaimana dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A.Hassan rahimahullah, maka kami khawatir itu merupakan tafsir bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir sebagaimana di atas. Wallohu a’lam.
Firman Allah Azza wa Jalla.
وَإِذَا بَدَّلْنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍ
Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain. [An Nahl:101]
Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Alloh jadikan pengganti adalah naasikh, ayat yangdigantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Alloh. Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.
Dalil Akal.
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Naskh boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) miliknya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Maalik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hambanya apa yang dituntut oleh hikmahNya dan rahmatNya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki? Kemudian bahwa kandungan hikmah Allah dan rahmatNya terhadap hamba-hambaNya adalah Dia mensyari’atkan untuk mereka apa-apa yang Allah mengetahui bahwa padanya terdapat mashlahat-mashlahat agama dan dunia mereka. Sedangkan mashlahat-mashlahat berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan zaman. Terkadang suatu hukum lebih mashlahat bagi para hamba pada satu waktu atau satu keadaan. Dan terkadang hukum lainnya pada waktu dan keadaan yang lain lebih mashlahat. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. [Ushul Fiqih, hal: 45, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin]
Dalil Ijma’.
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Baji rahimahullah berkata: “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at menurut akal dan syara’”. [9]
Al-Kamal Ibnul Humam rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at)”. [10]
Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa tiga bentuk ini (yaitu naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; naskh Sunnah Mutawatir dengan Sunnah Mutawatir; dan naskh Sunnah Ahad dengan Ahad) tidak ada perselisihan padanya di antara ulama yang dipercaya, sebagaimana banyak ulama telah menukilkan adanya ijma’ padanya. Maka penyelisihan orang yang menyelisihi dalam hal ini tidak dihitung dan tidak ada dalil untuknya”. [hal: 148]
Dr. Ali berkata: “Mereka (para ulama) mengatakan: Sesungguhnya para sahabat Radhiyallahu ‘anhum dan seluruh Salaf telah ijma’ (sepakat) bahwa syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghapus seluruh syari’at yang telah lalu. Sebagaimana mereka juga telah ijma’ bahwa naskh telah terjadi pada banyak hukum-hukum syari’at Islam. Dan terjadinya hal itu cukup sebagai dalil untuk menetapkan bolehnya/mungkinnya (naskh menurut akal-red)”. [Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 425, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi]

Syaikh Tsanaulloh Az-Zahidi berkata: “Ahli fiqih dan ushul telah sepakat atas kebolehan/kemungkinan adanya naskh menurut akal, dan atas terjadinya menurut syara’. Kecuali apa yang dinukilkan dari Abu Muslim Muhammad bin Bahr Al-Ashfahani seorang Mu’tazilah yang mati tahun 322 H”. [11]
C. PENDAPAT ULAMA TENTANG NASIKH DAN MANSUKH
Keberadaan Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai mana yang telah diungkap dalam awal pembicaraan di atas, menunjukkan bahwa Nasakh dan Mansukh sangat penting dalam kajian hukum Islam, sebab ia bukan hanya terkait dengan aspek hukum syara’ melainkan juga tak jarang berkaitan dengan teologi. Oleh karena itu Al-Nasakh Wa al-Mansukh dalam pandangan para ulama tentunya beraneka ragam. Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah
1. Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara sam’I telah terjadi. Pendapat pertama ini merupakan pendapat dari kalangan Jumhur ulama’. Dasar hukum yang mereka pakai adalah : Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak prerogativeNya untuk menghapus ataupun tidak. Adanya Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :

a. Dalam Qur’an surat an-Nahl : 101
وَإِذَا بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ [النحل/101] 
101. Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
b. QS. Al-Baqarah:106
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
106. Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
[81] Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.
2. Nasakh secara akal mungkin terjadi namun secara syara’ tidak. Pendapat ini di motori oleh abu Muslim al-Asfihani. Ia berpendapat Nasakh mungkin terjadi secara logika namun secara syara’ tidak. Sebab ia berpedoman pada QS. Fushilat:42
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ [فصلت/42] 
42. Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Menurut al-Asfihani, bertolak dari ayat di atas, Al-Qur’an tidak mungkin disentuh oleh pembatalan. Sudah tentu mayoritas ulama keberatan terhadap pandangan Al-Asfihani tersebut., sebab menurut mereka ayat di atas tidak bicara tentang pembatalan, tetapi kebatilan yang berarti lawan dari kebenaran. Menurut mereka, hukum Tuhan yang dibatalkan tidak mengandung keharusan bahwa hukum itu batil. Hal ini karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya ketika terdapat perkembangan dan kemaslahatan pada suatu  waktu, bukan berarti hukum itu menjadi tidak benar.
3. Nasakh tidak mungkin terjadi baik secara akal maupun pandangan. Pendapat ini berasal dari kaum Nasrani. Menurut pandangan kaum Nasrani Nasakh mengandung konsep al-Ba’da yang hal itu mustahil bagi Allah SWT. Dengan demikian adalah mustahil Allah menghapus apa yang telah di FirmankanNya.
Ulama  mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'iyang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk  ketentuan/hukumyang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama  yang  dinyatakberakhirnya  masa  pemberlakuannya,  sejauh  hukum  tersebuttidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi  juga  mencakuppengertian  pembatasan  (qaid)  bagi  suatu pengertian bebas(muthlaq).  juga  dapat  mencakup  pengertian pengkhususan(makhasshish)  terhadap  suatu pengertian umum ('am). bahkanjuga  pengertian  pengecualian  (istitsna).  demikian   pulapengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya   ulama  mutaakhkhir  memperciut  batasan-batasanpengertian  tersebut  untuk  mempertajam  perbedaan   antaranasikh  dan  makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya,sehingga pengertian naskh  terbatas  hanya  untuk  ketentuanhukum  yang  datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakanberakhirnya   masa   pemberlakuan   ketentuan   hukum yangterdahulu,   sehingga   ketentuan  yang  diberlakukan  ialahketentuan  yang   ditetapkan terakhir dan   menggantikanketentuan  yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari  satu  pengertian, dan  di  lain  pihak  -dalam perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu pengertian. Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti,  sejauh  mana jangkauan  naskh  itu?  Apakah semua ketentuan hukum didalam syari'at ada kemungkinannya terjangkau naskh? Dalam hal  ini Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban  tugas  keagamaan)  sebagai  suatu  kebulatan   tidak mungkin  terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena mustahil  Allah  berdusta.  Sejalan  dengan  ini  Imam Thabari  mempertegas,  nasikh-mansukh  yang  terjadi  antara ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi haram,  atau sebaliknya,   itu   semua   hanya  menyangkut  perintah  dan larangan,   sedangkan    dalam    berita    tidak    terjadi nasikh-mansukh.
Ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir mengenai apa saja yang dinasakh dari ayat-ayat Al Qur’an, maupun ayat-ayat yang mansukh. Di dalam ilmu tafsir ada istilah Annasikh dan Almansukh. Annaasikh adalah ayat-ayat yang menghapus, sedangkan al Mansukh adalah ayat-ayat yang dihapus.

Kelompok pendapat pertama dari kalangan ahli tafsir (jumhur ulama) meyakini ada ayat-ayat yang menghapus (naasikh) dan ada ayat-ayat yang dihapus (mansukh), tetapi dari segi hukumnya saja, bukan  redaksi atau lafal ayat.  Jadi redaksi ayat masih tetap tidak dihapus.
Sebagai contoh pertama adalah ayat 219 Surat Al Baqarah :
Yas aluunaka ‘anil khomri wal maisir…Qul fiihima itsmun kabiirun wa maanaafi’u linnas wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa…
“ Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS Al Baqarah : 219)

Bagi kelompok yang meyakini ada nasikh mansukh dari segi hukum, ayat ini dinasikh atau dihapus hukumnya oleh S. Al Maidah ayat 90. Innamal khomru wal maisiru wal anshobu wal azlaamu rijsumin ‘amalisysyaithoon fajtanibuuhu…
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maidah : 90)
Begitu juga S. An Nisa’ ayat 43 juga di nasikh oleh ayat ini tadi.
Walaa taqrobushsholaata wa antum sukaaro. hattaa ta’lamu maa taquuluuna….
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”.(QS An Nisa’:43)

Sedangkan kelompok pendapat kedua dari kalangan ulama’meyakini ada juga ayat-ayat yang dihapus dari redaksi ayatnya. Contohnya adalah ayat tentang rajam (hukuman bagi pezina muhson). Di dalam surat AnNur tentang sangsi atau had (hukuman) bagi pezina itu Allah nyatakan AzZaaniyatu wazzaanii fajliduu kulla waahidin minhumaa mi-ata jaldah… (Pezina perempuan dan pezina laki-laki cambuklah tiap dari mereka itu seratus kali cambukan…)
Tetapi dalam hadits hukuman itu masih ada,  hanya saja redaksi ayat tentang rajam ini sudah tidak ada. Jadi sudah dihapus dengan Azzaaniyatu wazzaani fajliduu dan seterusnya. Jadi Allah menggunakan kata-kata yang umum. Jadi tidak dibedakan antara pezina muhson (yang sudah kawin) atau pezina yang ghoiru muhson (pezina yang belum kawin.)

Kemudian kelompok pendapat ulama yang ketiga adalah menolak faham tentang adanya ayat nasikh dan mansukh. Contohnya imam Abu Muslim Al Isfihani. Ia berpendapat tidak mungkin di dalam Al Qur’an ada nasikh dan mansukh. Apalagi nasikh mansukh yang berkaitan dengan redaksi. Jadi menurut beliau istilahnya bukan nasikh mansukh, tetapi hanya pengecualian atau ketentuan lain. Sedangkan redaksinya tetap.  Jadi (misalnya) kalau kita ingin membina atau mengingatkan orang-orang yang mabuk tadi ada istilah tadrij. Jadi redaksi maupun hukumnya tidak dimansukh, tetapi tetap dan memang harus demikian. Itu merupakan teknik atau sistim tadrij yang dipakai  Al Qur’an untuk mengingatkan manusia. . Baik itu hukumnya maupun redaksinya tidak dihapus, hanya itu merupakan pengecualian atau pengkhususan …Atau itu sebenarnya merupakan suatu teknik tadrij .
Sebagai contoh untuk mencegah orang yang minum minuman keras tidak mungkin dihentikan sekaligus, tetapi melalui tiga tahapan tadi. Istilahnya tadrij dari sedikit demi sedikit. Pertama penyadaran dulu dengan diajak berpikir : Yas aluunaka ‘anil khomri wal maisir…Qul fiihima itsmun kabiirun wa maanaafi’u linnas wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa… Dalam mengajak berpikir ini sudah diarahkan. Jadi ini obyektif: O, memang khomr itu minuman keras ada manfaatnya, juga ada madhorotnya. O, manfaatnya memanaskan badan, tetapi ada madhorotnya: merusak hati, pikiran, dan sebagainya. Dalam mengajak berpikir tersebut sudah diarahkan:    wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa… Dan dosa atau madhorotnya lebih besar dibandingkan manfaatnya.  Setelah itu tahap kedua:  Walaa taqrobushsholaata wa antum sukaaro hattaa ta’lamu maa taquuluuna…. janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,  Ketika ayat ini turun orang masih boleh minum khomr, tetapi diingatkan : jangan menjalankan sholat !  Kemudian baru tahap yang ketiga, secara tegas dinyatakan keharomannya dalam Surat Al Maidah ayat 90:  Innamal khomru wal maisiru wal anshoobu wal azlaamu rijsumin ‘amalisysyaithoon fajtanibuuhu… Jadi ini merupakan suatu teknik tadrij, sebagaimana dipahami Abu Muslim al Isfihani tadi bahwa tidak ada nasikh mansukh, apalagi redaksinya.       Kalau ada ayat yang turun dianggap sebagai nasikh, maka menurut al Isfihani itu adalah ayat yang berfungsi untuk memberi pengecualian atau pengkhususan atau sebagai teknik tadrij, yakni dalam menyelesaikan permasalahan tidak melarang sekaligus, tetapi melalui tahapan seperti contoh masalah khomr tadi.
Sedangkan pendapat yang keempat adalah sebagaimana pemahaman Imam al Alusi yang meyakini bahwa ayat yang dihapus atau Nabi dilupakan itu bukanlah ayat-ayat Qur’aniyah (Al Qur’an), melainkan ayat-ayat Qolbiyah atau Kauniyah.

a. Nasakh syarih yaitu ayat-ayat yang secara tegas menghapuskan hukum ang terdapat dalam ayat terdahulu. Misalnay surat Al-Anfal :65-66, Ayat tentang perang yang mengharuskanperbandingan antara muslim dan kafir adalah : 1:10 dinasakh dan ayat yang mengharuskan hanya 1:2 dalam masalah yang sama. Sebagai mana firman Allah yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ (65) الْآَنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (66) [الأنفال/65، 66] 
“Hai Nabi, kabarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang, jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaa mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu dari pada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti (65). Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui ada kelemahan pada dirimu. maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar niscaya mereka mengalahkan dua ratus orang dan jika ada diantaramu seribu (orang yang sabar), niscaa mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Qs. Al-Anfal : 65-66).
b. Nasakh dhimni yaitu bila ada ketentuan hukum ayat yang terdahulu tidak bisa dikompromikan dengan ketentuan hukum ayat yang datang kemudian, ia menasakh ayat yang terdahulu. Misalnya, ayat tentang wasiat kepada ahli waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris.
c. Nasakh kulli yaitu masalah hukum yang datang kemudian ia menasakh hukum yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Misalna ketentuan hukum iddah satu tahun bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang dinasakh dengan iddah 4 bulan 10 hari. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-baqarah : 240 dinusakh oleh surat Al-Baqoroh : 234
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [البقرة/240] 
240. Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ [البقرة/234]
234. Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
[147] Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan.
d. Nasakh juz’i yaitu menasakh hukum yang mencakup seluruh individu dengan hukum yang mencakup sebagian individu atau menasakh hukum yang bersifat mutlak dengan hukum yang bersifat muqayyad (terbatas). Contohnya hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya  saksi pada surat An-Nur : 4 dihapus oleh ketentuan li’an yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, bagi si penuduh pada ayat 6 dalam surat yang sama.
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [النور/4] 
4. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
[1029] Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil balig dan muslimah.
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ [النور/6] 
6. Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
D. MACAM-MACAM NASIKH
Pertama : Macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga bagian: [12]
1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap.
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap.
Hikmah naskh jenis ini adalah: tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan.
Contohnya firman Allah Azza wa Jalla.
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَّكُن مِّنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَفْقَهُونَ
Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. [Al Anfal :65]
Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1000 orang-orang kafir.
Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.
الْئَانَ خَفَّفَ اللهُ عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِن يَكُن مِّنكُم مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَكُنْ مِّنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. [Al Anfal :66]
Abdullah bin Abbas berkata:
لَمَّا نَزَلَتْ ( إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ) شَقَّ ذَلِكَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ حِينَ فُرِضَ عَلَيْهِمْ أَنْ لَا يَفِرَّ وَاحِدٌ مِنْ عَشَرَةٍ فَجَاءَ التَّخْفِيفُ فَقَالَ ( الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضُعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ) قَالَ فَلَمَّا خَفَّفَ اللَّهُ عَنْهُمْ مِنَ الْعِدَّةِ نَقَصَ مِنَ الصَّبْرِ بِقَدْرِ مَا خُفِّفَ عَنْهُمْ
Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh” (Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi 10 (musuh). Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman: “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (Al-Anfal: 66) Ketika Allah telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang wajib dihadapi-red), kesabaranpun berkurang seukuran apa yang Allah telah meringankan dari mereka”. [HR. Bukhari, no: 4653]
Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum dalam ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid, Atho’, ‘Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan lainnya. [13] Orang yang menolak adanya mansukh dalam Al-Qur’an telah menyelisihi penafsiran mereka.
2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap.
Al-Aamidi rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Mu’tazilah. [14]
Hikmah naskh jenis ini adalah: agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissallam bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Isma’il, dengan sumber mimpi, sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi. Wallahu a’lam. [15]
Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata: “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rajm di dalam Taurat”. [16]
Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajm [17] Umar bin Al-Khathab berkata:
لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ يَطُولَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ حَتَّى يَقُولَ قَائِلٌ لَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ أَلَا وَإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى وَقَدْ أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوِ الِاعْتِرَافُ قَالَ سُفْيَانُ كَذَا حَفِظْتُ أَلَا وَقَدْ رَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ
Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajm adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan”. Sufyan berkata: “Demikianalh yang aku ingat”. “Ingatlah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan rajm, dan kita telah melakukan rajm setelah beliau”. [HR. Bukhari, no: 6829; Muslim, no: 1691; dan lainnya]
Adapun lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. [Lihat Fathul Bari, 12/169, Darul Hadits, Kairo, cet: 1, th: 1419 H / 1998 M, syarh hadits no: 6829]
3. Nash Yang Mansukh Hukumnya Dan Lafazhnya.
Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata:
كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ
Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]
Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu : Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau : Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya. [18]
Kedua : Macam-macam naskh dilihat dari nash yang naasikh (menghapus) –secara ringkas- ada empat bagian:
1. Al-Qur’an Dimansukh Dengan Al-Qur’an.
Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama’, adapun orang yang beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. [19]
Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal, sebagaimana telah kami sampaikan di atas. Contoh lain: firman Allah Azza wa Jalla.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Mujadilah :12]
Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut. Lihat hal ini dalam Tafsir Ibnu Katsir. Allah Azza wa Jalla firmanNya:
ءَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Mujadilah:13]
2. Al-Qur’an Dimansukh Dengan As-Sunnah.
Pada jenis ini ada dua bagian:
a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir.
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau menyatakan: “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…”. Namun Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya”. [20]
b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad.
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih –wallohu a’lam- hal ini ada dan terjadi. Contohnya:
Firman Allah Azza wa Jalla.
قُل لآ أَجِدُ فِي مَآ أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَّكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ
Katakanlah:”Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang disembelih atas nama selain Allah. [Al An’am :145]
Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan -di saat ayat ini diturunkan- hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, di saat itu, daging keledai jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat Al-An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijroh, dengan kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah itu di Khoibar.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتِ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتِ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُفْنِيَتِ الْحُمُرُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى فِي النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ فَأُكْفِئَتِ الْقُدُورُ وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِاللَّحْمِ
Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian beliau memerintahkan seorang penyeru, lalu dia menyeru di kalangan orang banyak: “Sesungguhnya Alloh dan RasulNya melarang kamu dari daging keledai jinak, sesungguhnya ia kotor/najis”. Maka periuk-periuk dibalikkan, sedangkan periuk-periuk itu mendidih (berisi) daging (keledai jinak). [21]
Antara ayat di atas dengan hadits yang mengharamkan daging keledai jinak tidak bertentangan, karena waktu keduanya berbeda. Di saat ayat di atas turun, daging keledai jinak halal, karena yang diharamkan hanyalah empat jenis makanan. Kemudian setelah itu datang pengharaman daging keledai jinak. [Mudzakiroh, hal: 153-155]
3. As-Sunnah Dimansukh Dengan Al-Qur’an.
Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskannya dengan firman Allah Azza wa Jalla.
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. [Al Baqarah :144]
4. As-Sunnah Dimansukh Dengan As-Sunnah.
Contoh: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur). [HR. Muslim, no: 977]

Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya atau lafazhnya.
E. PENGERTIAN TAKHSHISH
Al-Asfihani menegaskan pendapatnya bahwa tidak ada nasikh dalam Al-Qur’an. Kalaupun di dalam Al-Qur’an itu terdapat cakupan hukum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pengkhususan (takhshish). Dengan demikian, takhshish menurutnya dapat diartikan sebagai “mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafazh ‘amm.”

Bertolak dari pengertian nasikh dan takhshish tersebut di atas, maka perbedaan prinsipil antara keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Satuan yang terdapat dalam nasikh bukan merupakan bagian satuan yang terdapat dalam mansukh.
2. Nasikh adalah menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
3. Nasikh hanya terjadi dengan dalil yang dating kemudian.

4. Nasikh menghapuskan hubungan mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas.

5. Setelah terjadi nasikh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hukum yang terdapat dalam mansukh. 6. Satuan yang terdapat dalam takhshish merupakan bagian dari satuan yang terdapat dalam lafazh ‘amm.
7. Takhshish merupakan hukum dari sebsgian satuan yang tercakup dalam dalil ‘amm.

8. Takhshish dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.
9. Takhshish tidak menghapuskan hukum ‘amm sama sekali. Hukum ‘amm tetap berlaku meskipun sudah dikhususkan.
10. Setelah terjadi takhshish, sisa satuan yang terdapat pada ‘amm tetap terikat oleh dalil ‘amm.

a. Tampaknya, nasakh itu seolah-olah sama seperti takhshis, karena sama-sama membatasi suatu ketentuan hukum dengan batasan waktu, sedang takhshis dengan batasan materi.
Misalnya, dalam cdontoh penghapusan kewajiban berdekah sebelum menghadap rasul. Seolah-olah masalah disitu hanya pembatasan ketentuan itu dengan waktu saja, sehingga sepertinya dapat diungkapkan sebagai berikut:
“kalau akan menghadapa rasul itu, harus memberikan sedekah lebih dahulu, kecuali setelah turun ayat yang meniadakan kewajiban itu”.
Ungkapan itu sepertinya hampir sama dengan kalimat:
“wanita yang ditalak suaminya itu wajib beribadah tiga kali suci, kecuali bagi wanita yang ditalak sebelum dikumpuli”. Oleh karana itu tampak adanya kesamaan antara keduanya itu sah, maka ada perbedaan paham diantara para ulama’. Ada sebagian ulama’ yang mengakui ada dan terjadinya nasakh itu, dan ada pula yan mengingkarinya, dan menganggap nasakh itu sama saja dengan takhshis itu.
b. Nasakh sama dengan takhshis dalam hal sama sama membatasi berlakunya suatu ketentuan hukum syara’. Nasakh mengahapus dan mengganti ketentuan hukum-hukum syara’ sedang takhshis membatasi keumuman jangkauan hukum syara’.
c. Dalil yang menasikh sama dengan dalil yang menakhshis, yaitu sama sama berupa dalil syara’.
F. URGENSI MEMPELAJARI KONSEP NASIKH MANSUKH
Adanya nasikh-mansukh  tidak  dapat  dipisahkan  dari  sifat turunnya   al-Qur'an  itu  sendiri  dan  tujuan  yang  ingin dicapainya. Turunnya  Kitab  Suci  al-Qur'an  tidak  terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu,  lalu  Qur'an sendiri  menjawab,  pentahapan  itu  untuk  pemantapan, [17] khususnya di bidang hukum. Dalam  hal  ini  Syekh  al-Qasimi berkata,  sesungguhnya  al-Khalik  Yang  Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama  23  tahun  dalam  proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu  mulanya bersifat  kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat  universal.
Demikianlah Sunnah   al-Khaliq   diberlakukan  terhadap  perorangan  dan bangsa-bangsa   dengan sama.   Jika   engkau   melayangkan pandanganmu  ke  alam  yang  hidup  ini,  engkau  pasti akan mengetahui bahwa naskh  (penghapusan)  adalah  undang-undang alami   yang   lazim,  baik  dalam  bidang  material  maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari  unsur-unsur sperma  dan  telur  kemudian  menjadi  janin,  lalu  berubah menjadi  anak,  kemudian  tumbuh  menjadi  remaja, dewasa, kemudian  orang  tua dan seterusnya. Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam  ini  selalu berjalan  proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari  terjadinya, mengapa  kita  mempersoalkan  adanya  penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke  yang  lebih tinggi?  Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung  membenahi  bangsa  Arab  yang masih  dalam  proses  permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah  mencapai  kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka  bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan  hukum,  memberikan  beban  kepada suatu  bangsa  yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan  melainkan  oleh  suatu bangsa  yang  telah  menaiki  jenjang  kedewasaannya?  Lalu, manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita  yang  menurut sunnah  Allah  ditentukan  hukum-hukumnya  sendiri, kemudian di-nasakh-kan  karena  dipandang  perlu  atau  disempurnakan hal-hal  yang  dipandang  tidak  mampu  dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan? Ataukah  syari'at-syari'at  agama lain  yang  diubah  sendiri  oleh  para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali?
Syari'at Allah adalah perwujudan  dari  rahmat-Nya.  Dia-lah yang  Maha  Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup  tertib  dan adil  untuk  mencapai  kehidupan  yang  aman,  sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.

Hikmah nasikh :
a. Untuk menunjukkan bahwa syariat islam adalah syariat yang paling sempurna.
b. Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan disepanjang zaman.
c. Untuk menjaga agar perkembangan hukum islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ketingkat yang sempurna.
d. Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamlkan hukum-hukm allah, atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang.
e. Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah kepada yang sukar.
f. Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi ummat islam, sebab dalam beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati kebijakansanaan dan kemurahan allah swt. Yang maha pengasih lagi maha penyayang.
BAB III
PENUTUP 
Naskh adalah hal yang diperbolehkan keberadaannya dalam agama Islam. Hal ini sesuai dengan dalil yang telah datang dari Alqur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
1.    Demi menjaga kemashlahatan hamba-Nya, Allah telah menghapus sebagian hukum dalam syari’at Islam. Bila ternyata hukum penggantinya itu lebih ringan, maka itu adalah kemudahan yang diberikan oleh Allah di dunia ini secara langsung, namun apabila ternyata penggantinya lebih berat, maka tidak lain hal ini akan melipat gandakan pahala pelaksananya sebagai balasan atas ketaatannya pada aturan Allah Ta’ala.
2.    Bahwa Allah Ta’ala adalah raja segala raja yang hanya Dia-lah yang berkuasa membuat peraturan bagi hamba-hamba-Nya. Maka dari itu hendaknya kita selalu tunduk pada aturan-aturan yang datang dari-Nya, yang berupa perintah maupun larangan.

.....................................................................
[1]. Lihat: Al-Minhaj Bi Syarhil Ibhaaj 2/247; dinukil dari Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 412-413, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi
[2]. Idem, hal: 413
[3]. Ushulul Fiqh, hal: 45, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
[4]. [I’lamul Muwaqqi’in 1/36, Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 M
[5]. ‘Am adalah: lafazh yang meliputi seluruh apa yang pantas baginya sekaligus dan sesuai dengan bentuknya dengan tanpa pembatasan”. Lihat: Taisirul Ushul, hal: 95, Syaikh Hafizh Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H
[6]. Muthlaq adalah: lafazh yang mengenai satu yang tidak tertentu dalam kedudukan hakekat yang mencakup terhadap jenisnya. Lihat: Taisirul Ushul, hal: 90
[7]. Zhahir adalah: lafazh yang mengandung dua makna atau lebih, namun lebih nampak pada salah satunya, mungkin dari sisi syara’ atau bahasa atau ‘urf (kebiasaan). Lihat: Taisirul Ushul, hal: 32
[8]. Idem
[9]. Ihkamul Fushul, hal: 391, dinukil dari 421
[10]. At-Tahrir bi Syarhit Taisir 3/181, dinukil dari Aroul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 421, karya Syaikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi
[11]. Taisirul Ushul, hal: 216
[12]. Lihat: Mudzakirah Ushulul Fiqh ‘Ala Raudhatun Nazhir, hal: 127, karya Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi, tahqiq: Abu Hafsh Sami Al-‘Arabi, Darul Yaqin,; Ushulul Fiqh, hal: 47-48, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin; Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170-173, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan; Taisirul Ushul, hal: 214-216, Syeikh Hafizh Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H
[13]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Anfal 65-66
[14]. Al-Ihkaam 3/154, karya Al-Amidi ; dinukil dari Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[15]. Lihat: Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 171, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[16]. Ushul Fiqh, hal: 48, karya Syeikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin
[17]. Yaitu had (hukuman) bagi pezina yang sudah menikah dengan dilempari batu sampai mati
[18]. Lihat: Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[19]. Lihat: Mudzakirah ‘Ala Ushul Fiqh, hal: 148, karya Syeikh Muhammad Al-Amin Syinqithi
[20]. Mudzakiroh Ushul Fiqih, hal: 150
[21]. HR. Bukhari, no: 5528; Muslim, no: 1940 (35)

NASIKH MANSUKH DAN URGENSINYA NASIKH MANSUKH DAN URGENSINYA Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi on March 09, 2018 Rating: 5

No comments:

Komentar