HADIAH, WAKAF, SEDEKAH DALAM PANDANGAN ISLAM

Islam adalah agama yang memberikan perhatian khusus pada ibadah-ibadah yang bersifat sosial. Yang termasuk katagori ibadah social adalah semua ibadah yang bertujuan memberikan manfaat bagi manusia secara umum (Hablum minan nas), dan umat Islam secara khusus. Ada banyak jenis ibadah sosial dalam Islam antara lain: zakat, infaq, sedekah, wakaf, qurban, aqiqah, hibah, wasiat, hadiah, jihad dll. Sedangkan urgensi ibadah sosial dalam Islam, dapat dilihat dari banyaknya ayat-ayat dan hadits-hadits yang menganjurkan untuk berbuat baik kepada orang di sekitar kita. Allah berfirman dalam al Quran :
 وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (36) 
 Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. Annisaa’ : 36). 
 Dari sekian banyak perintah dalam ayat tersebut, mayoritas adalah perintah beribadah sosial, yaitu berbuat baik kepada orangtua, kerabat, anak yatim, orang-orang miskin dst. Dan dari sekian ibadah sosial yang dianjurkan dalam Islam, wakaf menjadi perhatian banyak kalangan. Hal ini mengingat wakaf memberi manfaat dalam waktu yang lama dan dapat dinikmati oleh masyarakat dalam skala yang lebih luas. Disamping itu, wakaf juga sangat dibutuhkan, sebagaimana dibutuhkan keberadaan masjid, musholla, sarana pendidikan, sarana umum, jalan raya, sumber mata air dll. 
 A. HADIAH PENGERTIAN HADIAH 
 Pada dasarnya hadiah tidak berbeda dari hibah. Hanya saja, hadiah itu lebih dimotivasi oleh rasa terima kasih dan kekaguman sesorang. Hadiah merupakan sesuatu pemberian kepada pihak lain, semata-mata karena untuk memuliakannya. Seorang pemimpin, umpamanya, biasa memberikan hadiah kepada bawahannya sebagai tanda penghargaan atas prestasinya dan untuk memacunya supaya lebih berprestasi. Demikian pula, bisa terjadi, seorang bawahan memberikan hadiah kepada atasan sebagai tanda ucapan terima kasih. Pemberian hadiah bisa pula terjadi antara orang setaraf, dan bahkan antara seorang muslim dan non muslim, atau sebaliknya. Dalam persoalan ini, hadiah haruslah dibedakan dengan risywah (sogok). Perbedaannya amat halus, yakni terletak pada motivasi yang melatabelakanginya. 
PERBEDAAN SADAQAH, HIBAH DAN HADIAH 
 Ibnu Utsaimin mengatakan, "Sedekah adalah pemberian yang orientasinya adalah akhirat alias pahala dan ganjaran di akhirat. Sedangkan hadiah adalah pemberian yang tujuannya adalah meraih simpati dan rasa suka pihak yang diberi kepada pihak yang memberi. Adapun hibah adalah pemberian yang tujuannya adalah memberi manfaat kepada pihak yang diberi dengan “menutup mata” apakah akan mendapatkan pahala di akhirat ataukah tidak dan apakah akan mendapatkan simpati dari pihak yang diberi ataukah tidak." (Ibnu Utsaimin dalam Ta'liq beliau untuk al-Qawaid wal Ushul al-Jamiah karya Ibnu Sa'di Hal. 92 terbitan Yayasan Sosial Ibnu Utsaimin cet pertama 1430 H). 
 RUKUN HADIAH
Rukun hadiah sama dengan sadaqah. Untuk terwujudnya suatu hadiah maka: 
 1. Ada pihak yang memberi hadiah 
 2. Ada pihak yang menerima hadaih 
 3. Ada materi yang dihadiahkan 
 4. Ada ijab kabul sebagai tanda adanya transaksi hadiah. 

HUKUM HADIAH 
Hadiah diperbolehkan dengan kesepakatan (ulama) umat ini. Apabila tidak terdapat di sana larangan syar’i. Terkadang disunnahkan untuk memberikan hadiah apabila dalam rangka menyambung silaturrahim, kasih sayang dan rasa cinta. Terkadang disyariatkan apabila dia termasuk di dalam bab membalas budi dan kebaikan orang lain dengan hal yang semisalnya. Dan terkadang pula, bisa menjadi haram atau perantara menuju perkara yang haram, dan ia merupakan hadiah yang berbentuk suatu yang haram, atau termasuk dalam kategori sogok-menyogok dan yang sehukum dengannya.

HUKUM MENERIMA HADIAH 
 Para ulama berselisih pendapat tentang orang yang diberikan bingkisan hadiah, apakah wajib menerimanya atau disunnahkan saja. Dan pendapat yang kuat bahwasanya orang yang diberikan hadiah yang mubah dan tidak ada penghalang syar’i yang mengharuskan menolaknya, maka wajib menerimanya, dikarenakan dalil-dalil berikut ini: 
 1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Penuhilah undangan, jangan menolak hadiah, dan janganlah menganiaya kaum muslimin.” (Telah lewat takhrijnya yaitu di dalam Shahihul Jami’ [158]) 
 2. Di dalam Ash Shahihain (Al Bukhari dan Muslim) dari Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberiku sebuah bingkisan, lalu aku katakan, ‘Berikan ia kepada orang yang lebih fakir dariku’, maka beliau menjawab, ‘Ambillah, apabila datang kepadamu sesuatu dari harta ini, sedangkan engkau tidak tamak dan tidak pula memintanya, maka ambillah dan simpan untuk dirimu, jikalau engkau menghendakinya, maka makanlah. Dan bila engkau tidak menginginkannya, bershadaqahlah dengannya’.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah menolak hadiah kecuali dikarenakan sebab yang syar’i. 
Oleh karena adanya dalil-dalil ini, maka wajib menerima hadiah apabila tidak dijumpai larangan syar’i. Demikian pula di antara dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya, adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Barangsiapa yang Allah datangkan kepadanya sesuatu dari harta ini, tanpa dia memintanya, maka hendaklah dia menerimanya, karena sesungguhnya itu adalah rezeki yang Allah kirimkan kepadanya.” (Shahih At Targhib [839])
Maka menjadi kuatlah (pendapat yang mengatakan) wajibnya menerima hadiah apabila tidak ada di sana larangan syar’i. 
HUKUM MENOLAK HADIAH 
Setelah jelas bagi kita wajibnya menerima hadiah, maka tidak boleh menolaknya kecuali dikarenakan udzur syar’i. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita untuk menolak hadiah dengan sabda beliau, “Jangan kalian menolak hadiah.” (Telah lewat takhrijnya) Dan terkadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak hadiah dikarenakan satu sebab dari sebab-sebab yang ada. Di antaranya: 
1. Di dalam Ash Shahihain dari hadits Ash Sha’bu bin Jutsamah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya beliau memberi hadiah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berupa seekor keledai liar, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menolaknya. Maka tatkala beliau melihat ada sesuatu di raut wajah Ash Sha’bu, beliau berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya kami tidak menolaknya, hanya saja kami dalam keadaan sedang berihram.” (HR. Al Bukhari [2573], Muslim [1193]) Ibnu Hajar berkata, “Di dalam hadits ini ada dalil bahwasanya tidak boleh menerima hadiah dan tidak halalnya hadiah (ketika ihram).”
2. Dalam Ash Shahihain dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Ummu Hafid, bibinya Ibnu Abbas pernah memberikan hadiah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa tepung aqith, minyak samin dan daging dhab (sejenis biawak -ed.). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam makan tepung aqith dan minyak samin, namun meninggalkan daging dhab dikarenakan merasa jijik.” (HR. Al Bukhari [2575], dan Muslim hal. 1544) Dan dalam hadits ini ada beberapa faidah:
a. Bolehnya menerima hadiah dari para wanita apabila aman dari fitnah.
b. Bolehnya menolak hadiah dikarenakan suatu sebab.
c. Seseorang yang memberi hadiah tidak boleh merasa sedih apabila hadiahnya ditolak, dan hendaknya dia memberi udzur bagi orang yang menolaknya. Atau tidak boleh merasa berduka, selama alasannya jelas.
3. Dan di dalam Abu Dawud, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi Allah, saya tidak akan menerima hadiah dari seorang pun setelah hari ini kecuali dia seorang Muhajir Quraisy, atau seorang Anshar, atau seorang dari suku Daus atau seorang dari suku Tsaqif.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Shahih Adabul Mufrad [464], Ash Shahihah [1684])
Dan demikian pula apabila hadiah tersebut diperuntukkan bagi para pemimpin, para menteri, dan para pejabat, agar mereka memberimu sesuatu yang bukan menjadi hakmu, atau mereka memaafkan kamu dari sesuatu yang tidak pantas untuk mereka maafkan, maka ketika itu haram bagimu memberikan hadiah dan haram bagi mereka menerima hadiah tersebut dikarenakan itu merupakan suap-menyuap, dan sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap di dalam hukum.” (Shahihul Jami’ [5093])
Dan demikian pula apabila hadiah tersebut berupa barang curian atau barang haram. Maka tidak boleh diterima karena yang demikian itu termasuk makan barang haram dan termasuk tolong-menolong di atas dosa dan permusuhan. Dan telah lewat di antara kita hadits Ash Sha’bu bin Jutsamah bahwasanya dia memberikan hadiah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa seekor keledai liar, sedangkan beliau dalam keadaan ihram, maka beliau menolaknya dikarenakan tidak boleh seorang yang ihram untuk berburu ketika dia beribadah. Begitu juga apabila yang memberi hadiah tersebut menganggap hadiahnya sebagai hutang bagimu dan kamu tidak menginginkan untuk menanggung hutang tersebut, baik secara syar’i maupun secara kebiasaan, maka boleh bagimu untuk menahan diri dari mengambilnya disertai dengan meminta udzur. Dan demikian pula bila sang pemberi hadiah tersebut adalah seorang yang suka mengungkit-ungkit pemberiannya dan menceritakannya, maka tidak boleh diterima hadiah itu darinya. Kesimpulannya, hukum asal adalah wajib menerima hadiah dan tidak boleh menolaknya kecuali apabila didapati larangan syar’i atau udzur maka boleh menolaknya.
MEMBALAS PEMBERIAN HADIAH (yaitu membalas kebaikan orang yang memberi hadiah dengan hadiah semisalnya) Disunnahkan membalas pemberian hadiah dengan yang semisalnya atau dengan sesuatu yang lebih afdhal dari hadiah tersebut, maka apabila dia tidak mampu untuk membalasnya, hendaknya dia menyanjung sang pemberi hadiah dan mendoakan kebaikan untuknya dengan ucapan, “Jazaakallahu khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan),” atau yang selainnya dari doa-doa yang ada.
1. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang meminta perlindungan kepada kalian dengan nama Allah, maka lindungilah dia. Dan barangsiapa yang meminta kepada kalian dengan nama Allah, maka berilah dia. Dan barangsiapa mengundang kalian, maka penuhilah undangan tersebut. Barangsiapa berbuat kebajikan pada kalian. Maka balaslah dengan semisalnya. Lalu jika kalian tidak mendapati sesuatu yang semisalnya yang bisa kalian berikan, maka doakanlah dia dengan kebaikan hingga kalian memandang bahwasanya kalian sungguh telah membalasnya dengan semisalnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, An Nasa’i, Shahihul Jami’ [6021])
2. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa diberikan sesuatu lalu dia mendapati (suatu untuk membalasnya), hendaknya dia membalas dengannya. Dan barangsiapa yang tidak mendapati (sesuatu untuk membalasnya) hendaknya ia menyanjungnya. Apabila dia telah menyanjungnya, sungguh ia telah berterima kasih kepadanya.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Shahih Al Bukhari, Al Adabul Mufrad lil Bukhari, Shahihul Jami’ [6065], dan Ash Shahihah [617])
3. Dan dari Usamah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang diberikan sesuatu kebaikan, lalu dia ucapkan ‘Jazakallahu khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan)’ kepada orang yang memberi kebaikan. Maka sungguh dia benar-benar telah berterimakasih kepadanya.” (HR. At Tirmidzi dan yang selainnya, Shahihut Targhib wat Tarhib [955]) Dari hadits-hadits ini nampak jelas bagi kita bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam membalas pemberian hadiah dengan semisalnya dan bahwasanya sudah sepantasnya berterimakasih kepada si pemberi hadiah, memujinya dan mendoakan kebaikan untuknya, dikarenakan tidaklah dikatakan bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterimakasih kepada manusia.
HUKUM MEMINTA KEMBALI HADIAH (yang telah diberikan), Tidak Boleh kecuali Orang Tua kepada Anaknya
1. Ibnu Hajar rahimahullah berkata di dalam Fathul Bari (5/235), “Jumhur ulama berpendapat haram meminta kembali suatu hibah (pemberian) setelah diserahterimakan, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.” Apabila yang menarik kembali akan hibahnya itu justru ayahnya sendiri maka hal itu diperkenankan. Hal ini didasarkan pada hadist: “Tidaklah halal bagi seorang muslim memberikan sesuatu pemberian, kemudian ia menariknya kembali terhadap hibahnya itu kecuali bapak yang menarik kembali barang yang diberikan kepada anaknya”. (HR. Ahmad dan Empat ahli Hadist dan disahkan oleh Tarmudzi, Ibnu Hibban dan Hakim dari Ibnu ‘Umar r.a.)
2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada menurut kami permisalan yang lebih jelek daripada seorang yang meminta kembali hibahnya diserupakan seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya.” (HR. Al Bukhari [2622])
Ibnu Hajar berkata, “Maksudnya ialah tidak pantas bagi kita -wahai segenap kaum mukminin- bersifat dengan sifat yang tercela yang kita diserupakan di dalamnya dengan hewan yang paling hina pada keadaan yang paling hina… Barangkali ini lebih mengena di dalam pelarangan terhadap hal yang demikian itu dan lebih menunjukkan pengharaman daripada seandainya beliau mengatakan semisal, “Janganlah kalian meminta kembali hibah yang telah diberikan.” (Shahih, 5/235)
Imam An Nawawi berkata, “Hadits ini jelas-jelas mengharamkan meminta kembali hibah (shadaqah) setelah diserahterimakan. Ini dibawa kepada hibah yang diperuntukkan kepada orang lain. Adapun apabila dia memberikan hibah tersebut kepada anaknya dan anak cucunya, maka boleh bagi dia meminta kembali hibah tersebut. Sebagaimana ditegaskan di dalam hadits Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu. Dan tidak boleh meminta kembali hibah yang telah diberikan kepada saudara, paman, dan selain mereka dari kalangan dzawil arham (orang-orang yang memiliki hubungan persaudaraan dengannya). Ini merupakan madzhab Imam Asy Syafi’i, pendapat ini diucapkan pula oleh Imam Malik dan Al Auza’i.” (Syarah Muslim, 11/71)
Saya katakan bahwa sungguh telah shahih hadits-hadits yang secara tegas mengharamkan meminta kembali hadiah yang telah diberikan, kecuali orang tua terhadap apa yang dia berikan kepada anaknya. Kemudian di sana ada beberapa keadaan diperbolehkan hadiah itu ditolak dan dimintakan kembali. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Imam Ath Thabari berkata, “Dikhususkan dari keumuman hadits ini beberapa hal: 
a. Seorang yang memberikan hibah dengan syarat meminta imbalan kembali.
b. Orang yang memberi tersebut adalah orang tua, sedangkan yang diberi itu adalah anaknya.
c. Hibah yang belum diserahterimakan.
d. Pemberian yang dikembalikan oleh ahli waris kepada orang yang menghibahinya, dikarenakan telah tetapnya hadits-hadits yang mengecualikan semua itu.
B. WAKAF PENGERTIAN WAKAF
Ditinjau dari segi bahasa, wakaf berarti menahan. Sedangkan menurut istilah syarak, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja. Jadi yang dimaksud dengan dengan istilah wakaf ialah “menyerahkan suatu benda atau sebangsanya yang kekal zatnya guna diambil manfaatnya bagi kepentingan umum dan atau khusus”.
HUKUM WAKAF
Wakaf dalam ajaran Islam sangat dianjurkan, mengingat manfaat yang didapatkan sangat besar arti dan nilainya bagi kemaslahatan umum. Hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf. Wakaf dalam jajaran Islam termasuk amal sadaqah yang berpahala tinggi, dan akan terus menerus mengalirkan pahala kepada orang yang berwakaf betapapun ia telah lama meninggal dunia. Pahala dari amalan wakaf akan berlangsung terus selama barang yang diwakafkan tersebut masih tetap bermanfaat bagi kepentingan umum.
Jadi, hukum wakaf adalah sunah.
Ditegaskan dalam hadits:
 اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم) 
 Artinya: “Apabila anak Adam telah meninggal dunia, putuslah segala amalnya kecuali tiga (perkara) yaitu sadaqah yang berjalan terus (jariyah) atau ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah r.a.) Harta yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum sebagaimana maksud orang yang mewakafkan.
Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.” (HR Bukhari dan Muslim) 
Persoalan wakaf sesungguhnya masih dalam kerangka shadaqah dalam arti yang luas. Sebab dalam persoalan wakaf ini bentuk amalan rielnya adalah mengerluarkan/melepaskan sebagian dari harta miliknya yang diserahkan kepada fihak lain, sebagaimana pula halnya dengan amalan shadaqah lainnya. Hanya saja perbedaan di sini adalah terletak pada segi kualitasnya, dari segi mutunya. Kalau wujud shadaqah pada umumnya mencakup segala bentuk penyerahan sesuatu barang kepada pihak lain tanpa dibedakan apakah barang tersebut akan segera habis terpakai, semacam sadaqah berupa makanan, minuman dan sebangsanya ataupun yang dapat bertahan lama.
Sedang kalau wakaf barang yang diserahkan tersebut sudah berupa benda ataupun barang lainnnya yang memiliki sifat relatif tahan lama (zatnya), sehingga dapat diambil manfaatnya dari barang tersebut. Contoh benda – benda yang dapat diwakafkan semacam bangunan gedung, tanah persawahan/ladang ataupun tanah untuk perumahan, mobil ataupun sepeda dan sebangsanya. Dengan demikian maka sesungguhnya wakaf adalah sadaqah yang berupa barang atau benda yang memiliki sifat tahan lama, yang diharapkan dari padanya dapat diambil kamanfaatannya atau kegunaanya.
RUKUN WAKAF
1. Orang yang berwakaf. Orang berwakaf haruslah orang yang sudah dewasa, dan menyerahkannya bukan karena terpaksa, melainkan benar – benar timbul dari perasaan dan kemauan yang ikhlas.
2. Barang yang diwakafkan. Barang yang diwakafkan bersifat kekal atau tahan lama, artinya sewaktu diambil manfaatnya barang tersebut tidak rusak seketika, serta barang tersebut benar – benar milik orang yang berwakaf.
3. Badan yang diserahi barang wakaf. Badan yang diserahi wakaf hendaknya benar – benar amanah atau dapat dipercaya dalam pengelolaannya. Badan ini dapat berbentuk yayasan, badan hukum lainnya ataupun lembaga semacam madrasah, masjid, dan sebangsanya.
4. Bentuk (sighat) pernyataan yang menunjukkan bukti serah terima barang wakaf. Bentuk pernyataan penyerahan wakaf ini dapat berupa lisan ataupun tertulis.
Dan untuk masa sekarang sebaiknya bentuk pernyataan serah terima itu dalam bentuk tertulis dengan memenuhi beberapa ketentuan yang berlaku di daerah itu, semacam di akte notaris atau di depan pejabat pemerintah yang diberi wewenang mengurus hal perwakafan.
SYARAT WAKAF
Dalam hal perwakafan ini ditentukan adanya beberapa syarat yang perlu diperhatikan dengan sebaik-baiknya oleh wakif (yang berwakaf) antara lain:
1. Barang yang diwakafkan tidak boleh dibatasi waktu pemanfaatannya akan tetapi harus bersifat selama – lamanya.
2. Barang yang diwakafkan bukan barang yang menjadi larangan Allah SWT, semacam gedung perjudian, atau bukan barang yang dapat menimbulkan fitnah.
Hal ini didasarkan pada sebuah hadist yang diriwayatkan HR. Bukhari dan Muslim dari Sa’ad bin Waqash r.a: “Dari Sa’ad bin Waqash r.a bahwa ia bertanya, wahai Rasulullah, saya seorang yang mempunyai harta benda, sedang warisku hanya seorang anak perempuan, maka bolehkah saya sedekahkan dua pertiga harta benda saya tersebut? Nabi SAW menjawab: “Jangan!”. Saya bertanya: “Bolehkan saya sedekahkan sepertiganya?” jawab Nabi SAW: “Sepertiga itu sudah cukup banyak, sesungguhnya jika engkau tinggalkan warismu menjadi orang yang berkecukupan itu lebih baik daripada engkau tinggalkan menjadi orang miskin yang meminta – minta kepada orang lain”.
3. Diserahkan kepada badan atau lembaga yang jelas, yang dipandang akan dapat mendatangkan kemaslahatan umum.
4. Barang yang diwakafkan apabila berdasar wasiat, maka besarnya wakaf tidak boleh lebih dari sepertiga dari harga yang ditinggalkan.
5. Tunai tanpa menggantungkan pada suatu peristiwa di masa yang akan datang. Misalnya, “Saya wakafkan bila dapat keuntungan yang lebih besar dari usaha yang akan datang”. Hal ini disebut tanji. 6. Jelas mauquf alaih nya (orang yang diberi wakaf) dan bisa dimiliki barang yang diwakafkan (mauquf) itu.
HARTA YANG DIWAKAFKAN
Wakaf meskipun tergolong pemberian sunah, namun tidak bisa dikatakan sebagai sedekah biasa. Sebab harta yang diserahkan haruslah harta yang tidak habis dipakai, tapi bermanfaat secara terus menerus dan tidak boleh pula dimiliki secara perseorangan sebagai hak milik penuh. Oleh karena itu, harta yang diwakafkan harus berwujud barang yang tahan lama dan bermanfaat untuk orang banyak, misalnya:
a. sebidang tanah,
b. pepohonan untuk diambil manfaat atau hasilnya, 
c. bangunan masjid, madrasah, atau jembatan
Dalam Islam, pemberian semacam ini termasuk sedekah jariyah atau amal jariyah, yaitu sedekah yang pahalanya akan terus menerus mengalir kepada orang yang bersedekah. Bahkan setelah meninggal sekalipun, selama harta yang diwakafkan itu tetap bermanfaat.
Berkembangnya agama Islam seperti yang kita lihatsekarang ini diantaranya adalah karena hasil wakaf dari kaum muslimin. Bangunan-bangunan masjid, mushala (surau), madrasah, pondok pesantren, panti asuhan dan sebaginya hampir semuanya berdiri diatas tanah wakaf. Bahkan banyak pula lembaga-lembaga pendidikan Islam, majelis taklim, madrasah, dan pondok-pondok pesantren yang kegiatan operasionalnya dibiayai dari hasil tanah wakaf.
Karena itulah, maka Islam sangat menganjurkan bagi orang-orang yang kaya agar mau mewariskan sebagian harta atau tanahnya guna kepentingan Islam. Hal ini dilakukan atas persetujuan bersama serta atas pertimbangan kemaslahatan umat dan dana yang lebih bermanfaat bagi perkembangan umat.
AKIBAT HUKUM SETELAH DIWAKAFKAN
Pada saat diserah terimakan barang yang diwakafkan dari wakif kepada lembaga atau badan yang diserahi wakaf (nadzir), pada saat itu juga wakif tidak lagi berhak terhadap barang tersebut sedikitpun, kecuali seperti halnya orang lain, yang hanya berhak menggunakannya semata – mata. Dengan demikian mereka tidak lagi boleh menjual belikan atau pun mewariskan kepada ahli warisnya dan tidak boleh pula menghibahkannya kepada siapa pun. Hal ini didasarkan pada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra: “Kemudian sahabat’ Umar mensedekahkannya, tidak dijual pokonya, tidak diwarisi dan tidak pula diberikan kepada orang lain”.
KEWAJIBAN DAN HAK PENGELOLA
Nadir adalah kelompok atau bandan hukum Indonesia yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh badan atau lembaga pengelola barang wakaf, antara lain: 
1. Merawat dan mempergunakannya dengan baik, serta berusaha memperbanyak kemanfaatan yang dapat diambil dari padanya.
2. Manakala sesuatu barang wakaf dipandang sudah rusak, atau sudah tidak dapat berfungsi lagi secara maksimal maka barang tersebut dapat dijual atau ditukarkan dengan barang yang lebih bermafaat guna menekan nilai wakaf, serta untuk tetap menjaga akan kemaslahatannya.
3. Apabila dalam merawat atau mengelola barang wakaf tersebut diperlukan anggaran pembiayaan, maka dapat diambilkan dari sebagian hasil wakaf secukupnya.

Hal ini didasarkan pada sebuah hadist dari Ibnu Umar r.a: “Dan tidak ada salahnya bagi orang atau lembaga yang menguasai atau mengelola tanah wakaf tersebut akan makan dari hasilnya dengan sepantasnya atau memberi makan kepada teman, dengan tidak ada maksud guna mengumpulkan dan menabung kekayaan”. Sedangkan hak nadzir antara lain sebagai berikut.
1. Nadir berhak menerima penghasilan dari hasil tanah wakaf yang biasanya ditentukan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya. Dengan ketentuan tidak melebihi dari 10 % dari hasil bersih tanah wakaf.
2. Nadir dalam menunaikan tugasnya dapat menggunakan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya.
WAKAF TUNAI
Masalah wakaf merupakan masalah muamalah duniawi, yang oleh karena itu ia dapat dicampurtangani oleh manusia dalam bentuk ijtihad. Komisi fatwa majelis Ulama Indonesia menetapkan diperbolehkannya pengembangan wakaf uang tunai pada tanggal 11 Mei 2012. Dengan demikian wakaf tidak harus berupa barang – barang secara fisik, seperti wakaf mushafal Al – Qur’an, wakaf sebidang tanah untuk masjid, madrasah atau rumah sakit, wakaf sumur dll. Kini umat islam dikenalkan dengan wakaf tunai. Wakaf tunai yaitu wakaf dalam bentuk uang tunai. Wakaf ini bersifat fleksibel dari pada wakaf tanah atau bangunan dan penditribusiannya tidak mengenal batas wilayah.
MEKANISME WAKAF TUNAI
Wakif (orang berwakaf) membeli sertikat wakaf tunai. Sertifikat ini dapat diatas namakan dirinya sendiri, anggota keluarga yang masih hidup ataupun yang telah meninggal dunia. Sewaktu wakif membeli sertifikat, ia mensyaratkan agar keuntungan pengelolaan dana wakaf tunai tersebut untuk tujuan yang telah ditunjuk, seperti untuk pendanaan pendidikan, kesehatan, pendirian fasilitas keagamaan atau rehabilitasi orang miskin. Nadzir kemudian menginvestasikan dana tersebut ke berbagai portofolio investasi. Seperti diinvestasikan pada:
1. Keuangan syari’ah semacam bank syari’ah.
2. Mendanai berbagai industry dan perusahaan atau mendirikan badan usaha.
Bilamana dana wakaf tunai yang diinvestasikan telah selesai satu tahapan, maka hasil keuntungannya kemudian diberikan kepada lembaga atau sesuatu yang telah ditunjuk oleh wakif sebagaimana diatas. Sedangkan uang pokoknya dikembalikan kepada nadzir (lembaga wakaf tunai) untuk terus diinvestasikan ke berbagai portofolio investasi yang menguntungkan.
PENGATURAN WAKAF
Tujuan wakaf dapat tercapai dengan baik, apabila faktor-faktor pendukungnya ada dan berjalan. Misalnya nadzir atau pemelihara barang wakaf. Wakaf yang diserahkan kepada badan hukum biasanya tidak mengalami kesulitan. Karena mekanisme kerja, susunan personalia, dan program kerja telah disiapkan secara matang oleh yayasan penanggung jawabnya. Pengaturan wakaf ini sudah barang tentu berbeda-beda antara masing-masing orang yang mewakafkannya meskipun tujuan utamanya sama, yaitu demi kemaslahatan umum. Penyerahan wakaf secara tertulis diatas materai atau denagn akta notaris adalah cara yang terbaik pengaturan wakaf.
Dengan cara demikian, kemungkinan penyimpangan dan penyelewengan dari tujuan wakaf semula mudah dikontrol dan diselesaikan. Apalagi jika wakaf itu diterima dan dikelola oleh yayasan-yayasan yang telah bonafit dan profesional, kemungkinan penyelewengan akan lebih kecil.
C. SEDEKAH
Sedekah secara umum adalah pemberian sebuah barang atau apapun kepada orang lain dengan benar-benar mengharap keridhoan Allah SWT. Dalam pengertian kamus Arab Indonesia mengenai sedekah H. Mahmud Yunus menulis sedekah berasal dari kata ”shadaqa-yashduqu-shadaqatan” yang artinya memberikan sedekah dengan sesuatu. Sedekah atau shadaqah berasal dari kata shadaqa yang berarti ’benar’. Orang yang suka bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya. Menurut terminologi syariat, pengertian sedekah sama dengan pengertian infak, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Infak hanya berkaitan dengan materi sedangkan sedekah memiliki arti luas, menyangkut hal yang bersifat nonmaterial.
SEDEKAH MENURUT AL-QUR’AN DAN HADITS
Sedekah dalam pengertian bukan zakat sangat dianjurkan dalam Islam dan sangat baik dilakukan tiap saat. Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang menganjurkan kaum muslimin untuk senantiasa memberikan sedekah.
Diantaranya adalah: ”Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah: 261)
Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an I, bahwa ayat ini tidak dimulai dengan mewajibkan ataupun menugaskan, namun hanya anjuran dan memberikan rangsangan atau pengaruh. Metode seperti ini sangat efektif untuk membangkitkan perasaan dan menimbulkan kesan-kesan yang hidup didalam jiwa manusia. Jadi harta yang disedekahkan akan berkembang dan memberikan keberkahan kepada pemiliknya. Adapun di ayat lain disebutkan: “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), Maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Baqarah: 271)
Dalam ayat ini, maksud kata menampakkan sedekah dengan tujuan supaya dicontoh orang lain. Menyembunyikan sedekah itu lebih baik dari menampakkannya, Karena menampakkan itu dapat menimbulkan riya pada diri si pemberi dan dapat pula menyakitkan hati orang yang diberi. Islam menganjurkan pengikutnya untuk bersedekah dalam berbagai bentuk, diantaranya: “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (Q.S Al-Baqarah: 263)
Menurut Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilalil-Qur’an I, bahwa perkataan yang baik ini adalah perkataan baik yang dapat membalut luka dihati dan mengisinya dengan kerelaan dan kesenangan. Sedangkan pemberian maaf yang baik adalah yang dapat mencuci dendam dan kebencian didalam jiwa, dan menggantinya dengan persaudaraan dan persahabatan. Jadi perkataan yang baik dan pemberian maaf yang baik dalam kondisi seperti itu akan dapat menunaikan fungsi sedekah, yaitu membersihkan hati dan menjinakkan jiwa. Ayat diatas menjelaskan bahwa perkataan yang baik dan pemberian maaf yang baik itu merupakan bentuk sedekah, dan keduanya lebih baik dari pada memberi sedekah berupa materi namun diiringi dengan perkataan yang dapat menyinggung ataupun menyakiti perasaan si penerima.
Rasulullah SAW bersabda: “kepada tiap muslim dianjurkan bershadaqah”, para Sahabat bertanya, “Hai Nabi, bagaimana orang-orang yang idak mendapatkan sesuatu yang akan dishadaqahkan?”, Rasulullah SAW menjawab, “hendaklah dia dengan tenaganya hingga memperoleh keuntungan bagi dirinya lalu dia bershadaqah (dengannya).” Mereka bertanya lagi, “jika dia tidak memperoleh sesuatu?” Rarulullah SWA menjawab lagi, “Hendaklah dia melakukan kebaikan dan menahan diri dari kejahatan, karena hal itu merupakan shadaqahnya.” (HR. Ahmad bin Hanbal).
Rasulullah saw. menjelaskan tentang cakupan sedekah yang begitu luas, sebagai jawaban atas kegundahan hati para sahabatnya yang tidak mampu secara maksimal bersedekah dengan hartanya, karena mereka bukanlah orang yang termasuk banyak hartanya. Dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah dibawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya, lalu ia menyebutkan hadits ini, dan didalamnya disebutkan, “....Dan seorang laki-laki yang bersedekah dengan sesuatu lalu ia merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya”. (Muttafaq Alaih)
Hadits ini menjelaskan keutamaan merahasiakan sedekah dari pada melakukannya secara terang-terangan, kecuali jika orang tersebut tahu bahwa ketika ia melakukannya secara terang-terangan maka perbuatan tersebut akan menjadi motivasi orang lain untuk mengikutinya, atau ia boleh melakukannya jika mampu menjaga rahasianya dari godaan-godaan riya’.
HUKUM SADAQAH
Para fukaha sepakat bahwa hukum sedekah pada dasarnya adalah sunah, berpahala bila dilakukan dan tidak berdosa bila ditinggalkan. Sebagaimana dalam kitab Kifayatul Akhyar, berkata Syaikh Abu Syujak: “Shadaqah hukumnya sunnah, terutama pada bulan Ramadhan lebih dikukuhkan kesunnahannya dan sangat disunnahkan berlapang dada (bermurah hati) dalam bulan Ramadhan itu”. Demikian pula sedekah disunnahkan ketika menghadapi suatu perkara atau masalah yang penting. Ketika sedang sakit atau sedang berpergian. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan walaupun shadaqah adalah sunnah, akan tetapi shadaqah at-tatawwu’ sangat dianjurkan oleh Allah maupun Rasul-Nya. Di samping sunah, ada pula hukum sedekah itu menjadi haram, yaitu dalam kasus seseorang yang bersedekah mengetahui pasti bahwa orang yang menerima sedekah akan menggunakan harta sedekah itu untuk kemaksiatan.
Kemudian bila seseorang yang bersedekah menyebut-nyebut pemberiannya yang dapat menyakiti hati orang yang menerima sedekah, ataupun bersifat riya’. Seperti yang diungkapkan pada ayat berikut: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya, dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia..…”. (Al-Baqarah: 264) Kemudian hukum shadaqah dapat berubah menjadi wajib, bila seseorang bertemu dengan orang lain yang sedang kelaparan hingga dapat mengancam keselamatan jiwanya, sementara dia mempunyai makanan yang lebih dari apa yang diperlukan saat itu. Hukum shadaqah tatawwu’ juga menjadi wajib jika seseorang bernazar ingin bershadaqah kepada seseorang atau lembaga.
BENTUK – BENTUK SADAQAH
Sedekah dalam konsep Islam mempunyai arti yang luas, tidak hanya terbatas pada pemberian sesuatu yang sifatnya materiil kepada orang-orang miskin tetapi sedekah juga mencakup semua perbuatan kebaikan, baik bersifat fisik maupun non fisik. Sedekah terbagi menjadi dua bentuk, yang bersifat tangible atau material atau fisik, dan yang bersifat intangible atau non fisik. Didalam sedekah yang bersifattangible terdapat dua jenis sedekah diantaranya yang bersifat wajib seperti zakat fitrah maupun maal, dan sedekah yang bersifat sunnah (shadaqah jariyah).
Sedangkan yang bersifat intangible meliputi lima macam, yaitu pertama: tasbih, tahlil, tahmid dan takbir. Kedua: berasal dari badan berupa senyum, tenaga untuk bekerja dan membuang duri dari jalan dan lain-lain. Ketiga: menolong atau membantu orang yang kesusahan yang memerlukan bantuan. Keempat menyuruh kepada kebaikan atau yang ma’ruf , sedangkan yang terakhir, menahan diri dari kejahatan atau merusak. Meskipun sedekah yang tangible bersifat sunnah, namun sedekah mempunyai kemampuan yang dahsyat dibandingkan dengan infak maupun zakat, terlihat dalam surat Al-Munafiqun (63): 10, “Ya Tuhanku, mengapa engkau tidak menangguhkan kematianku sampai waktu yang dekat yang menyebabkan aku dapat bersedekah, dan aku termasuk orang-orang yang shaleh”.
SIFAT-SIFAT HARTA YANG DISADAQAHKAN
Ajaran Islam menghimbau kepada umatnya agar dalam membelanjakan sebagian untuk sadaqah hendaknya tetap berpijak pada prinsip bahwa barang/harta tersebut adalah sesuatu yang halal, yang bernilai, sesuatu yang masih mengandung manfaat dan berharga menurut penilaian umum. Sebaliknya, barang yang sudah tidak berharga atau kadar uang yang sangat kecil nilainya, yang oleh pemberinya sendiri sudah tidak dihargai seyogyanya tidak lagi disadaqahkan kepada orang lain.
Beberapa ayat dalam Al-Qur’an menerangkan tentang sifat barang yang sepatutnya disadaqahkan kepada pihak lain, antara lain sebagai berikut.
“Dan kalian belum lagi mencapai kebajikan, sebelum kalian menafkahkan sebagian dari barang yang kalian senangi. Dan apapun juga yang kalian nafkahkan maka sungguh Allah Maha Mengetahui”. (Al-Qur’an – surat Ali ‘Imran ayat 92)
“Dan memberikan harta bendanya yang masih disenangi kepada sanak kerabat, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, kepada peminta-minta, dan kepada orang yang akan membebaskan dirinya dari perbudakan”. (Al-Qur’an – surat Al-Baqarah ayat 177)
“Wahai sekalian orang yang beriman, belanjakanlah dari sebaik-baiknya harta yang kalian peroleh dan dari sesuatu yang Kami keluarkan untuk kalian dari bumi ini. Janganlah kalian bersengaja memberikan dari yang jelek, yang sama sekali kalian tidak sudi mengambilnya (menggunakannya) kecuali dengan memejamkan (memicingkan) mata terhadapnya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa lagi Maha Terpuji”. (Al-Qur’an – surat Al-Baqarah 267)
RUKUN SADAQAH
Unsur-unsur yang harus ada dalam sadaqah adalah
1. Adanya pihak yang bersadaqah.
2. Adanya pihak yang menerima sadaqah.
3. Adanya benda yang disadaqahkan. 
. Adanya shighat ijab kabul.
HIKMAH HADIAH, WAKAF, DAN SADAQAH
1. Melaksanakan perintah Allah SWT untuk selalu berbuat baik. Firman Allah SWT: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS Al Hajj : 77)
2. Memanfaatkan harta atau barang tempo yang tidak terbatas. Kepentingan diri sendiri sebagai pahala sedekah jariah dan untuk kepentingan masyarakat Islam sebagai upaya dan tanggung jawab kaum muslimin. Mengenai hal ini, rasulullad SAW bersabda dalam salah satu haditsnya: مَنْ لاَ يَهْتَمَّ بِاَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مْنِّى (الحديث) Artinya: “Barangsiap yang tidak memperhatikan urusan dan kepentingan kaum muslimin maka tidaklah ia dari golonganku.” (Al Hadits)
3. Mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Wakaf biasanya diberikan kepada badan hukum yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan. Hal ini sesuai dengan kaidah usul fiqih berikut ini. مَصَالِحِ الْعَامِّ مُقَدَّمُ عَلى مَصَالِحِ الْجَاصِّ Artinya: “Kemaslahatan umum harus didahulukan daripada kemaslahatan yang khusus.”
HADIAH, WAKAF, SEDEKAH DALAM PANDANGAN ISLAM HADIAH, WAKAF, SEDEKAH DALAM PANDANGAN ISLAM Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi on March 24, 2018 Rating: 5

No comments:

Komentar