Sejarah Masuknya Islam di Kamboja

Kamboja adalah Negara dengan luas wilayah sebesar 181.055 Km2 dan memiliki jumlah penduduk 11.400.000 jiwa, 6% beragama Islam dan mayoritas beragama Budha serta sebagian kecil lainnya beragama Katholik.

Sejarah Masuknya Islam di Kamboja
Beberapa ahli sejarah beranggapan bahwa Islam sampai di Kamboja pada abad ke-11 Masehi. Nenek moyang Kaum Muslim Kamboja merupakan orang Cham, penduduk asli kerajaan Champa di Vietnam yang menguasai semenanjung Indochina. Ketika kerajaan Campa hancur pada tahun 1470 M, banyak penduduknya hijrah ke negara tetangga termasuk Kamboja, kemudian mereka membuat komunitas dan beranak pinak di Kamboja hingga saat ini.

Muslim Champa diterima dengan baik di Kamboja, beberapa sumber bahkan menyebutkan beberapa petinggi kerajaan Champa yang turut mengungsi kemudian juga mendapatkan jabatan terhormat di kerajaan Kamboja. Selain muslim Champa, Muslim Melayu dari kepulauan Indonesia dan semenanjung Malaysia juga memasuki Kamboja sejak masa kejayaan Champa disekitar abad ke 15 masehi.  Muslim Arab imigran dan Anak Benua India, serta pribumi yang masuk Islam juga menjadi bagian dari komunitas Muslim di Kamboja saat ini.

Mereka membentuk komunitas muslim Kamboja di bawah kendali empat jabatan tokoh masyarakat muslim yang terdiri dari mupti, tuk kalih, raja kalik, dan tvan pake. Sementara tokoh di tiap kampung muslim di kepalai oleh hakim dan beberapa khatib, bilal, dan labi. Keempat jabatan tokoh masyarakat tersebut termasuk Hakim turut menjadi bagian kerajaan Kamboja dan senantiasa turut serta sebagai undangan Negara dalam setiap perhelatan resmi kerajaan.

Sepanjang sejarah Kamboja, kaum Muslim tetap teguh menjaga pola hidup mereka yang khas, karena secara agama dan peradaban mereka berbeda dengan orang-orang Khmer yang beragama Budha. Mereka memiliki adat istiadat, bahasa, makanan dan identitas sendiri.
Populasi Muslim Kamboja

Penduduk muslim di Kamboja pada awal 1970-an berjumlah sekitar 700.000 jiwa. Tetapi pada akhir 1975 muslim di Kamboja jumlahnya menipis. Menurut Po Dharma, jumlah muslim tersisa 150.000 hingga 200.000 jiwa pada tahun tersebut. Penganiayaan di bawah Khmer Merah mengakibatkan jumlah mereka terkikis.

Merujuk kepada situs CIA World Fact Book, tahun 1999 penduduk muslim di Kambojamencapai 2.1% dari total penduduk Negara tersebut. Dan di tahun 2008, diperkirakan Muslim di Kamboja mencapai 321.000 jiwa. Mayoritas Muslim di Kamboja adalah muslim Sunni bermadzhab Syafi’i yang kebanyakan tinggal di provinsi Kampong Cham, provinsi seluas 9.799 km2 dan didiami 1.680.694 jiwa (data tahun 2008). Ada juga tumbuh komunitas muslim Ahmadiyah di Kamboja.

Menurut data Pew Research Center tahun 2009, jumlah Muslim di Kamboja mencapai 236.000 atau 1,6% dari populasi Negara itu. Namun, menurut Ketua Senat Mahasiswa Muslim Kamboja, Sles Alfin (Saleh Arifin), populasi Muslim di negaranya diperkirakan mencapai 5%. Kebanyakan dari mereka ber-etnis Champa dan Melayu yang merupakan etnis minoritas di Kamboja. Sedangkan situs internet voa-islam menyebut angka yang jauh lebih tinggi, menurut mereka muslim Kamboja mencapai 6% dari total 11,4 juta jiwa penduduk Kamboja atau setara dengan 680.000 jiwa.
Masa Kelam (1975-1979)

Ketika kelompok ultra komunis Khmer Merah mengukuhkan kekuasaannya di tahun 1975 mereka mencoret agama dari undang-undang dan melakukan diskriminasi terhadap populasi umat beragama termasuk Muslim. Perang saudara dan kekacauan politik yang terjadi di negara itu, memaksa sebagaian dari kaum muslimin hijrah ke negara tetangga yang lebih aman.
Bagi mereka yang  bertahan di Kamboja, penganiayaan, pembunuhan, dan pengusiran merupakan makanan sehari-hari yang mereka rasakan, saat pemerintahan Khmer Merah berkuasa. Pemerintah Khmer Merah juga menghancurkan masjid, madrasah, mushaf serta melarang kegiatan-kegaiatan keagamaan. Termasuk pelarangan menggunakan bahasa Champa, bahasa kaum muslimin di Kamboja.

Pemerintah Khmer merah melakukan aksi brutalnya, karena paham yang mereka anut berkiblat pada paham komunis garis keras. Paham yang sangat membenci dan tidak mengakui keberadaan agama. Mereka menyiksa siapa saja yang mengadakan kegiatan keagamaan termasuk Islam. Khmer merah telah merusak seluruh instruktur Kamboja, mulai dari  oarng terpelajar dan intelektual  kemudian menyerang bangunan-bangunan serta semua instansi lainya yang di butuhkan bagi kehidupan negeri ini.

Hingga kejatuhannya pada tahun 1979 (yang berarti dalam tempo 4 tahun) Khmer Merah telah membunuh lebih dari 2 juta penduduk Kamboja termasuk di dalamnya kaum Muslimin, sebanyak 500 ribu atau sekitar 70 % dari populasi Muslim di Kamboja mati terbunuh. Lebih dari 300 Guru terlibat dalam pengajaran agama dalam anggota komunitas. Ada beberapa syekh yang terkenal yaitu 9 pemegang Diplomat Al;-Azhar, 5 dari Universitas Islam Madinah yang lainya mendapat pendidikan Universitas Al-Muhammadiyah di Klaten, Malaysia dan ada juga beberapa orang yang dididik, dari kesemuanya ini hanya tersisa 38 orang, yang lainnya telah dibunuh oleh Khmer merah, dan dari lulusan Al-Azhar hanya dua orang yang selamat.

Dalam keadaan yang tertekan  dan tertindas, mulai muncul pemimpin yang sadar akan perlunya pembebasan kaum muslimin di Kamboja salah seorang komunitas muslim yakni, Dr. Abdul Kayun yang memiliki kaum minoritas ini duduk di badan tertinggi, yaitu, Front Persatuan Nasional. Teman seperjuangan al-Taman Ibrahim, Alumni Universitas Al-Azhar Cairo serta Muhammad Wan-wan, yang bertanggung jawab atas urusan agama dan Front Persatuan Nasional itu terus berjuang untuk membebaskan kaum muslimin di sana.

Perkembangan Islam di Kamboja

Kamboja pernah mengalami satu fase yang memainkan sejarah umat Islam, baik menyangkut politik ekonomi dominasi kaum muslim dan perdagangan serta upaya penyiaran Islam yang sangat gencar yang memfasilitasi naiknya pamor kelompok muslim di kerajaan Kamboja. Di Kamboja peranan dan pengaruh kaum muslimin lebih besar karena pada abad sebelumnya, Champa bergabung dengan kerajaan Kamboja dan pernah mendapatkan kesultanan muslim. Penduduk Muslim di Kamboja sebagaimana kaum muslim lainya bersifat kosmopolitan mungkin karena faktor ilmiah yang kemudian menjadikan penguasa Kamboja  masuk Islam di awal abad ke-17.

Setiap tahun beberapa muslim Champa ini berangkat ke Kelantan di Malaysia untuk melanjutkan pendidikan Al-Qur’an. Beberapa diantara mereka setiap tahun juga melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Mekah. Hingga penghujung tahun 1950-an diperkirakan 7 persen dari Muslim Champa di Kamboja ini telah menunaikan ibadah Haji. Dan dalam kehidupan kesehariannya mereka biasa menggunakan sorban ataupun semacam kopiah berwarna putih sebagai penanda bahwa mereka telah ber-haji.

Masuk Islamnya penguasa Kamboja lebih memperkuat posisi dominasi masyarkata muslim di Kamboja. Namun seperti pengalaman Ayutthaya. Ketidakstabilan hubungan internasional di wilayah ini memperngaruhi posisi masyarakat muslim di Kamboja. Mereka tidak mampu mencapai posisi sebelumnya dan Islam tidak bisa memasuki elite penguasa sebagaimana kerajaan lain di Asia Tenggara. Aspirasi di kalangan Islam Tenggara mengakhiri kekuasaan Islam yang sangat singkat di Kamboja. Nasib umat muslim yang berubah dengan cepat itu merupakan akibat dari serangan gencar yang dilakukan eropa yang kemudian mengakhiri dominasi Islam Asia Tenggara.

Ketika Kamboja Merdeka dari Prancis di tahun 1953, komunitas muslim berada dibawah kendali lima anggota majelis yang berisikan perwakilan dari masing masing komunitas muslim dengan fungsi yang resmi serta keterikatan dengan komunitas muslim yang lain. Masing masing komunitas muslim memiliki seorang Hakim yang memimpin Masjid masing masing komunitas, beliau juga bertindak sebagai Imam di masjid komunitasnya masing masing. Kegiatan ke-Islaman muslim Kamboja berpusat di semenanjung Chrouy Changvar di dekat kota Phnom Penh yang sekaligus menjadi tempat tinggal beberapa petinggi muslim Kamboja.

Sekitar tahun 1962 mereka telah memiliki 100 masjid di Kamboja dan meningkat di tahun 1970-an terdapat 120 masjid, 200 musholla dan 300 madrasah serta satu sekolah penhafal Al’qur’an serta ratusan guru agama dan 300 khatib. Banyak di antara guru-guru tersebut yang belajar di Malaysia dan universitas-universitas Islam di Kairo, India atau Madinah.

Namun karena berkali-kali terjadi peperangan dan kekacauan perpolitikan di Kamboja dalam dekade 1970-an dan 1980-an lalu, banyak masjid, madrasah dan mushaf yang hancur serta banyak umat muslim yang terbunuh. Dalam penghancuran ini umat muslim yang paling menderita.

Setelah runtuhnya pemerintahan Khmer merah tahun 1979, secara umum keadaan penduduk di Kamboja membaik, termasuk kaum muslim. Mereka kembali menata kehidupan dan melaksanakan pembangunan, setelah porak poranda menghadapi kebrutalan pemerintah Khmer merah.

UNICEF pada tahun 1979 telah mengkoordinasikan semua kegiatan PBB yang di tugaskan dengan menugaskan 8 orang pakar. Membantu menghidupkan kembali kegiatan pertanian. Komisi tinggi untuk pengungsi mengarahkan tiga pakar yang bertanggung jawab untuk menerima mendapatkan kembali para pengungsi yang kembali ke negeri tersebut. Dan pemerintah juga berupaya untuk memberikan mereka perwakilan di semua tingkatan.

Saat ini telah di bangun kembali 268 masjid, 200 mushalla, 300 madrasah Islamiyyah dan sebuah aula sebagai tempat penghafalan Al-Qur’an al-Karim. Selain itu mulai bermunculan organisasi-organisasi keislaman, seperti Ikatan Kaum Muslimin Kamboja, Ikatan Pemuda Islam Kamboja, Yayasan Pengembangan Kaum Muslimin Kamboja dan Lembaga Islam Kamboja untuk Pengembangan. Di antara mereka juga ada yang menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan. Tidak kurang dari 600 ulama dan guru agama telah terlibat dalam kegiatan keislaman di kalangan masyarakat muslim di Kamboja.

Akan tetapi, program-program mereka ini mengalami kendala finansial yang cukup besar, mereka sangat miskin. Gaji para tenaga pengajar tidak mencukupi kebutuhan keluarga mereka. Di samping itu sebagian kurikulum pendidikan di beberapa sekolah agama sangat kurang dan tidak baku.

Kaum Muslim Kamboja masih membutuhkan pembangunan beberapa sekolah dan pembuatan kurikulum Islam yang baku, karena selama ini sekolah-sekolah yang berdiri saat ini berjalan berdasarkan ijtihad masing-masing. Setiap sekolah ditangani oleh seorang guru yang membuat kurikulum sendiri yang umumnya masih lemah dan kurang, bahkan ada beberapa sekolah diliburkan lantaran guru-gurunya berpaling mencari pekerjaan lain yang dapat menolong kehidupan mereka. Mereka juga sangat membutuhkan adanya terjemah Al Qur’anul karim dan buku-buku Islami, khususnya yang berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum Islam.

Kaum Muslimin Kamboja juga belum memiliki media informasi sebagai ungkapan dari identitas mereka, hal ini dikarenakan kondisi perekonomian mereka yang sulit. Selama ini sebagian besar dari mereka bergantung dari pertanian dan mencari ikan, dua pekerjaan yang akhir-akhir ini sangat berbahaya, karena sering terjadi banjir dan angin topan yang menyebabkan kerugian besar bagi kaum Muslimin dan membawa mereka sampai ke bawah garis kemiskinan.

Kaum Muslimin Kamboja lebih banyak berpusat di kawasan Free Campia bagian utara sekitar 40 % dari penduduknya, Free Ciyang sekitar 20 % dari penduduknya, Kambut sekitar 15 % dari penduduknya dan di Ibu Kota Pnom Penh hidup sekitar 30.000 Muslim.

Saat ini kehidupan beragama terasa sangat damai. Muslim dan non-Muslim hidup berdampingan dengan harmonis. Keberadaan mereka tidak terganggu oleh “racun”, seperti kekerasan terhadap pemerintah, gerakan separatis, dan tumbuhnya radikalisme ,seperti yang dialami di sejumlah negara tetangga. Hubungan mengakar dan sejarah toleransi kuat Kerajaan Budha Kamboja, membuat Muslim di negara kecil itu merasa menjadi bagian dari negara. Bagi kaum muslim, negara Kamboja adalah milik mereka. Meski menjadi minoritas, Muslim di Kamboja mengaku menikmati spirit harmoni dan kosistensi. Di desa dan kota di penjuru Kamboja, Muslim dan non-Muslim memang sudah lama dikenal hidup berdampingan. Itu tak lepas pula dari peranan pemerintah yang berinisiatif  memuluskan toleransi bagi muslim di Kamboja. Dari pihak pemerintah, Perdana Menteri Hun Sen memerintahkan pembangunan masjid dan memberi saluran udara gratis bagi Muslim untuk menyiarkan program-program khusus Islam. Kini, Kamboja mengabadikan kebebasan beragama dalam konstitusi negara mereka.

Selain itu, sejumlah Muslim diberikan kesempatan untuk bekerja di kantor pemerintahan. Hun Sen pun memiliki penasihat sendiri yang khusus mengurusi hubungan pemerintah dengan komunitas Muslim. Beberapa waktu lalu, pemerintah setempat mengijinkan siswa Muslim yang ingin mengenakan atribut Islam termasuk jilbab. Tak hanya itu, Muslim pun menikmati hak-hak politik mereka. Ada lebih dari selusin Muslim yang kini bertugas di lembaga-lembaga politik papan atas negara, mulai dari Senat, Dewan Perwakilan. Senator Premier (salah satu anggota senat) pun memiliki penasihat khusus urusan Muslim. Artinya, keberadaan umat Muslim di Kamboja telah diterima dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.

Sumber:
http://www.voa-islam.com/news/world-world/2009/12/28/2258/islam-kamboja-berkembang-setelah-ditekan/
http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Kamboja
http://muzakki.com/pengetahuan/dunia-islam/219-islam-kamboja-bertahan-meski-menjadi-minoritas.html
http://www.dakwatuna.com/2013/03/28/30101/kamboja-bangun-sekolah-ilmu-agama-islam/
http://bujangmasjid.blogspot.com/2012/10/islam-dan-masjid-di-kamboja-bagian-1.html
http://emasloemiyono.wordpress.com/tag/kondisi-islam-kamboja/

Sejarah Masuknya Islam di Kamboja Sejarah Masuknya Islam di Kamboja Reviewed by As'ad on November 29, 2017 Rating: 5

1 comment:

  1. Silahkan di kunjungi ya teman teman 100% Memuaskan
    > Hoki anda ada di sini <
    1 USER ID UNTUK SEMUA GAME
    Kami memberi bukti bukan Janji
    Daftar sekarang juga di www.dewalotto.club
    MIN DEPO & WD HANYA Rp.20.000,-
    UNTUK INFORMASI SELANJUTNYA BISA HUB KAMI DI :
    WHATSAPP : ( +855 69312579 ) 24 JAM ONLINE
    MELAYANI TRANSAKSI VIA BANK :
    BCA - MANDIRI - BRI - BNI - DANAMON-NIAGA
    Raihlah Mimpi Anda Setiap Hari & Jadilah Pemenang !!!

    ReplyDelete

Komentar