Imam Abu Hanifah adalah Nu’man bin Tsabit, seorang alim yang
memiliki kelebihan, pakar fikih dan, dan seorang peneliti.
Selama ini, mungkin kita hanya pernah mendengar namanya
disebutkan dalam sebuah hadis . di sini kita akan mengetahui lebih dalam
tentang sosok Imam Abu Hanifah.
Abu Hanfiah dilahirkan pada tahun 80 Hijriah. Dengan
demikian beliau adalah imam pertama dari Imam Imam ahlu sunnah. Beliau
bekecimpung dalam aktivitas menuntu ilmu sejak kecil. Beliau bisa membagi
waktunya untuk menuntut ilmu dan bekerja mencari rezeki sekaligus.
Abu Hanifah bekerja sebagai penjual kain, dan barangkali
inilah yang menyebabkan beliau dikemudian hari menjadi pakar dalam fiqih
Muamala. Tidak lama setelah memiliki ilmu yang cukup mumpuni, beliau duduk
mengajarkan ilmunya dan memberikan fatwa.
Sumber sumber yang membeberkan kehidupan Imam Abu Hanifah
sepakat bahwa beliau adalah seorang alim yang mengamalkan ilmunya, bersikap
zuhud terhadap dunia, ahli ibadah, wara’, bertakwa, khusyu’ dan senantiasa
tunduk kepada Allah swt.
Imam Malik ketika ditanya mengenai Imam Abu Hanifah, ia
mengatakan, “Ya, Aku telah melihat seorang laki-laki yang seandainya Anda
meminta beliau untuk menjelaskan bahwa tiang kayu ini adalah emas, niscaya
beliau dapat menegakkan alasan-alasannya bahwa tiang ini adalah emas”
Dikisahkan dari Imam Syafi’I bahwa beliau berkata,
“Semua orang ditanggung oleh lima orang. Siapa saja yang
ingin mahir dalam bidang fiqih. Maka dia ditanggung oleh Abu Hanifah. Siapa
saja yang ingin mahir dalam bidang syair, maka dia ditanggung oleh Zuhair bin
Abi Salma. Siapa saja yang ingin mahir dalam bidang maghazi (sejarah perang)
maka dia ditanggung oleh Muhammad bin Ishaq. Siapa saja yang ingin mahir dalam
bidang nahwu (tata bahasa) maka dia tanggung oleh Al-Kisa’i. Siapa saja orang
yang ingin mahir dalam bidang tafsir, maka dia ditanggung oleh Muqatil bin
Sulaiman”
Yahya bin Ma’in menegaskan, ilmu qira’ah Al Quran menurut
saya hanyalah yang diajarkan oleh Hamzah, sedangkan ilmu fiqih menurut saya
hanyalah yang dibawakan oleh Abu Hanifah
Jika demikian, sikap memiliki ilmu yang deras telah diraih
oleh Abu Hanifah. Namun, ilmu saja dianggap tidak cukup. Adapun ikatan Abu
Hanifah dengan Rabbnya sudah sangat kuat. Oleh karena itu, dikisahkan bahwa
beliau selama 40 tahun selalu melakukan shalat shubu dengan wudu salat Isya’
(artinya beliau tidak pernah tidur malam karena menyibukkan diri dengan
ibadah).
Tatkala Abu Hanifah wafat, Hasan bin Umarah setelah
memandikannya berkata “Semoga Allah swt merahmati dan mengampuni Anda. Anda
dulu tidak pernah buka (tidak puasa) selama 30 tahun, dan Anda tidak pernah
berbantalkan tangan kanan Anda di waktu malam selama 40 tahun. Anda telah
melelahkan orang-orang sepeninggal Anda dan membuat malu para ahli qira’ah”
Fiqih Abu Hanifah
Jika hendak menyimpulkan dasar-dasar paling penting yang
menjadi asas mazhab Abu Hanifah, kita mendapatkan bahwa beliau berpegangan pada
Al Quran, sunnah Rasulullah saw, dan Ra’yi.
Abu Hanifah juga berpegangan pada kias, dan inilah yang
menyebabkan orang-orang belum matang tingkat pemikiran mereka menganggap rusak
pemikiran Abu Hanifah, sebagaimana mereka juga menganggap demikian karena belia
berpegang pada istihsan dan ‘urf. Padahal, sikap itu menunjukkan bahwa laki
laki yang mulia ini sangat luas cakrawalanya hingga mencapai derajat yang dituntut
oleh Islam dari para ulama muslimin.
Islam adalah agama yang toleran, di dalamnya diperbolehkan
menyesuaikan diri dengan keadaan yang di hadapi, menyesuaikan dengan logika,
dan terbuka terhadap hal-hal yang baru muncul.
Setiap fatwa dan pendapat AbuHanifah tidak pernah
mendahulukan sesuatu pun daripada Al Quran dan sunnah Rasulullah saw. Beliau
membanta para seturunya dengan mengatakan, “Demi Allah, telah berdusta atas
nama saya orang yang mengatakan bahwa saya mendahulukan kias daripada nash. Apakah
dibutuhkan kias ketika ada nash?” beliau juga mengatakan, “Kami tidak memakai
kias kecuali di saat sangat terpaksa saja. Ketika kami tidak mendapatkan dalil,
barulah saat itu kami mengiaskan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya” beliau
juga berkata pada kasus yang sama, “Pertama-tama, kami berpegang kepada
Kitabullah lalu sunnah Rasulullah saw kemudian keputusan para sahabat-sahabat.
Kami mengerjakan apa saja yang mereka sepakati, namun jika mereka berselisi
pendapat, kami mengiaskan sebuah hukum pada hukum lainnya dengan adanya illat
(alasan) yang sama antara dua masalah tersebut sehingga perkaranya menjadi
jelas”
Para ulama sepeninggal Abu Hanifah terutama Imam Syafi’I
telah memutuskan kias sama persis dengan metode yang dipakai Abu Hanifah.
Mereka mengatakan, “Kias adalah menjelaskan hukum bagi suatu perkara yang tidak
ada nashnya dengan suatu perkara lain yang ada nash hukumnya, baik dengan
Kitabullah, sunnah Rasulullah saw maupuan dengan ijma (keputusan sahabat)
karena kesamaan dua perkara tersebut dari segi illatnya”
Dasar mazhab Abu Hanifah senantiasa bertumpukan untuk
memberikan kemudahan kepada umat islam, bukan mempersulit mereka, sebab agama
islam memang berupa kemudahan. Islam senantias memudahkan umat islam dalam hal
ibadah dan muamalah hingga mencapai tingkat yang menarik perhatian.
Tatkala hukum syar’i menetapkan bahwa untuk menghilangkan
najis boleh digunakan setiap benda cair yang suci, maka beliau memperbolehkan
penghilangan dengan air mawar misalnya. Jika seorang tidak dapat memastikan
arah kiblat ketika melakukan shalat di suatu malam gelap gulita, lalu dia
menetapkan arah kiblat semampunya, kemudian melakukan salat, dan pada pagi
harinya terbukti bahwa arah kiblatnya semalam keliru, maka salatnya tetaplah
sah. Demikianlah kemudahan Islam.
Mengenai permasalahan zakat, Abu Hanifah berada di barisan
kaum fakir miskin, dengan memfatwakan bahwa emas atau perak yang dipakai
sebagai perhiasan wajib dikeluarkan zakatnya. Beliau memberi semangat untuk
mengeluarkan zakat dengan tujuan memberikan kelonggaran hidup kepada kaum
fakir, bahkan beliau memfatwakan bahwa zakat tidak wajib bagi orang yang
menanggung utang, jika utang tersebut dapat menghabiskan seluruh hartanya.
Abu Hanifah menetapkan bahwa seorang perempuan dewasa yang
berakal memiliki hak dalam menikah dengan orang yang dipilihnya. Jadi, tidak
ada kekuasaan bagi siapa pun, baik bapak maupun saudara dalam masalah ini.
Beliau juga menetapkan adanya hak bagi perempuan tersebut
untuk melangsungkan sendiri akad perkawinannya, sebagai mana beliau berpendapat
bahwa saksi dan dua tokoh perempuan. Beliau juga berpendapat jika seorang bapak
menikahkan putrinya yang telah dewasa secara paksa, tanpa persetujuan putrinya,
maka pernikahan itu tidak sah.
Termasuk keunikan hukum yang ditetapkan oleh Abu Hanifah
adalah beliau memang memiliki kecerdasan akal yang bersifat ekonomis dan
istimewah. Fatwa beliau bahwa seorang pemimpin umat Islam berhak memberikan hak
kepemilkan tanah yang nganggur kepada orang yang menggarapnya dan menjadikannya
layak tanam, sebagaimana beliau memfatwakan bahwa menjadi buah sebelum masak
juga dibolehkan, sebagaimana beliau juga memfatwakan bolehnya memfatwakan
bolehnya mengembangkan harta anak yatim.
Jika demikian, kepribadian Abu Hanifah dan mazhabnya,
bukanlah merupakan suatu hal yang aneh bahwa para penganut mazhab beliau
membentuk suatu kumpulan terbesar dalam tubuh ahlu sunah dari kalangan umat
islam.
Tersisa satu hal yang akan kami sebutkan, yaitu Abu Hanifah
wafat pada tahun 150 hijriah, pada hari dilahirkannya Imam Syafi’i. seolah olah
seorang tokoh Islam telah meninggalkan perannya agar tokoh Islam lainnya
memainkan peran berikutnya. Akan tetapi, antara wafatnya imam besar ini dan
kematangan ilmiahnya, telah muncul seorang imam besar lainnya yang sangat mulia
kedudukannya, terhormat, dan berwibawa, yaitu Imam Malik bin Anas.
Imam Abu Hanifah 80-150 H
Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi
on
August 02, 2015
Rating:
No comments:
Komentar