A.
Pendahuluan
1.
Latar
Belakang
Ilmu
pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dan mengalami kemajuan, sesuai
dengan perkembangan zaman dan perkembangan cara berpikir manusia. Bangsa
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang tidak akan bisa maju selama
belum memperbaiki kualitas sumber daya manusia bangsa kita. Kualitas hidup
bangsa dapat meningkat jika ditunjang dengan sistem pendidikan yang mapan.
Dengan sistem pendidikan yang mapan, memungkinkan kita berpikir kritis, kreatif,
dan produktif.
Dalam
UUD 1945 disebutkan bahwa negara kita ingin mewujudkan masyarakat yang cerdas.
Untuk mencapai bangsa yang cerdas, harus terbentuk masyarakat belajar.
Masyarakat belajar dapat terbentuk jika memiliki kemampuan dan keterampilan
mendengar dan minat baca yang besar. Apabila membaca sudah merupakan kebiasaan
dan membudaya dalam masyarakat, maka jelas buku tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan sehari-hari dan merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi.
Pendidikan di Indonesia adalah seluruh pendidikan
yang diselenggarakan di Indonesia, baik itu secara terstruktur maupun
tidak terstruktur. Secara terstruktur, pendidikan di Indonesia menjadi tanggung
jawab Kementerian
Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Kemdiknas), dahulu
bernama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Depdikbud). Di
Indonesia, semua penduduk wajib mengikuti program wajib belajar
pendidikan dasar selama sembilan tahun, enam tahun di sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah dan tiga tahun di sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah. Saat ini, pendidikan
di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
2.
Tujuan
Tujuan ditulisnya materi bab VIII ini
yaitu untuk :
a. Memahami
pengertian dari pendidikan, pendidikan nasional dan sistem pendidikan nasional.
b. Memahami
fungsi dan peranan guru sebagai tenaga pengajar.
c. Mempelajari
bagaimana caranya membuat kurikulum.
B.
Definisi
1.
Definisi
Pendidikan
Menurut Undang-undang No.20 Tahun 2003 Pasal
1 ayat 1 yang dimaksud dengan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
2.
Definisi
Pendidikan Nasional
Menurut Undang-undang No.20 Tahun 2003
Pasal 1 ayat 2 yang dimaksud dengan Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan
tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
3.
Definisi
Sistem Pendidikan Nasional
Kata sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu systema
yang berarti adalah “cara atau strategi”. Dalam bahasa Inggris sistem berarti “system,
jaringan, susunan, cara”. Sistem juga diartikan “suatu strategi atau cara
berpikir”.
Sedangkan kata pendidikan itu berasal dari kata “Pedagogi”, kata tersebut berasal dari bahasa yunani kuno, yang jika dieja menjadi 2 kata yaitu Paid yang artinya anak dan Agagos yang artinya membimbing. Dengan demikian Pendidikan bisa di artikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan proses pembelajaran dan suasana belajar agar para pelajar di didik secara aktif dalam mengembangkan potensi dirinya yang diperlukan untuk dirinya dan masyarakat.
Sedangkan kata pendidikan itu berasal dari kata “Pedagogi”, kata tersebut berasal dari bahasa yunani kuno, yang jika dieja menjadi 2 kata yaitu Paid yang artinya anak dan Agagos yang artinya membimbing. Dengan demikian Pendidikan bisa di artikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan proses pembelajaran dan suasana belajar agar para pelajar di didik secara aktif dalam mengembangkan potensi dirinya yang diperlukan untuk dirinya dan masyarakat.
Jadi, bisa di simpulkan bahwa sistem pendidikan
adalah suatu strategi atau cara yang akan di pakai untuk melakukan proses
belajar mengajar untuk mencapai tujuan agar para pelajar tersebut dapat secara
aktif
Menurut Undang-undang No.20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat
ke 3 yang dimaksud dengan Sistem Pendidikan Nasional adalah keseluruhan
komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional.
C.
Dasar,
Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional
Undang-undang No.20 Tahun 2003 pada Bab
II Pasal 2 dan Pasal 3 membicarakan mengenai Dasar, Fungsi dan Tujuan
Pendidikan Nasional
1.
Dasar
Pendidikan Nasional
Menurut Undang-undang no.20 tahun 2003
Pasal 2 Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.
Fungsi
dan Tujuan Pendidikan Nasional
Menurut Undang-undang no.20 tahun 2003
Pasal 3 Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Bertujaun untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
D.
Kelembagaan
Pendidikan
Menurut Undang-undang No.20 tahun 2003
pada BAB VI membahas mengenai Jalur,Jenjang dan Jenis Pendidikan.
1.
Jalur
Pendidikan
Jalur pendidikan adalah wahana yang
dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses
pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
a.
Pendidikan
Formal
Pendidikan formal adalah Jalur
pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
b.
Pendidikan
Non-formal
Pendidikan Non-formal di jelaskan pada
Undang-undang no.20 tahun 2003 pasal 26.
Pendidikan Non-formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang
dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Pendidikan nonformal diselenggarakan
bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai
pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka
mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan nonformal berfungsi
mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan
pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan
kepribadian profesional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan
hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan
pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan
pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan
untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas
lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar
masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Kursus
dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal
pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri,
mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi.
Hasil pendidikan nonformal dapat
dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses
penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
c.
Pendidikan
Informal
Pendidikan Non-formal di jelaskan pada
Undang-undang no.20 tahun 2003 pasal 27.
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan ingkungan. Kegiatan
pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk
kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan Informal dapat diakui sama
dengan peendidikan formal dan noformal.
2.
Jenjang
Pendidikan
Jenjang pendidikan adalah tahapan
pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik,
tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Jenjang pendidikan
terdiri atas Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi.
a.
Pendidikan
Dasar
Menurut Undang-undang No.20 tahun 2003
pada BAB VI pasal 17 menjelaskan mengenai Pendidikan dasar. Pendidikan dasar
merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar
(SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang
sederajat.
b.
Pendidikan
Menengah
Menurut Undang-undang No.20 tahun 2003
pada BAB VI pasal 18 menjelaskan mengenai Pendidikan menengah. Pendidikan menengah
merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas
pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah
berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang
sederajat.
c.
Pendidikan
Tinggi
Menurut Undang-undang No.20 tahun 2003
pada BAB VI pasal 19 menjelaskan mengenai Pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi
merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program
pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan
sistem terbuka.
E.
Program
dan Pengelolaan Pendidikan
1.
Jenis
Pendidikan
Jenis pendidikan adalah kelompok yang
didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.
a.
Pendidikan
Usia Dini
Pendidikan Usia Dini dijelaskan pada
Undang-undang no.20 tahun 2003 pada Bab VI pasal 28. Pendidikan anak usia dini
diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
Pendidikan anak usia dini dapat
diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman
Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok
Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan
keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
b.
Pendidikan
Kedinasan
Pendidikan Kedinasan dijelaskan pada
Undang-undang no.20 tahun 2003 pada Bab VI pasal 29. Pendidikan kedinasan
merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga
pemerintah nondepartemen.
Pendidikan kedinasan berfungsi
meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi
pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah
nondepartemen. Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan
formal dan nonformal.
c.
Pendidikan
Keagamaan
Pendidikan Kedinasan dijelaskan pada
Undang-undang no.20 tahun 2003 pada Bab VI pasal 30. Pendidikan keagamaan
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk
agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pendidikan keagamaan berfungsi
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan
mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah,
pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
d.
Pendidikan
Jarak Jauh
Pendidikan Jarak Jauh dijelaskan pada
Undang-undang no.20 tahun 2003 pada Bab VI pasal 31. Pendidikan jarak jauh
dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Pendidikan jarak jauh berfungsi
memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat
mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler. Pendidikan jarak jauh
diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana
dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai
dengan standar nasional pendidikan.
e.
Pendidikan
Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus
Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan
Khusus dijelaskan pada Undang-undang no.20 tahun 2003 pada Bab VI pasal 32.
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,
mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah
terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami
bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Permasalahan
Pendidikan Masa Kini
Betapapun
terdapat banyak kritik yang dilancarkan oleh berbagai kalangan terhadap pendidikan,
atau tepatnya terhadap praktek pendidikan, namun hampir semua pihak sepakat bahwa
nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di masa depan sangat bergantung pada kontibusinya
pendidikan. Shane (1984: 39), misalnya sangat yakin bahwa pendidikanlah yang
dapat
memberikan kontribusi pada kebudayaan di hari esok. Pendapat yang sama juga
bisa kita baca dalam penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 20
Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan Nasional (UU No. 20/2003), yang antara lain menyatakan:
“Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya.
Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya
melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh
masyarakat”.
Dengan demikian, sebagai
institusi, pendidikan pada prinsipnya memikul amanah “etika masa depan”. Etika
masa depan timbul dan dibentuk oleh kesadaran bahwa setiap
anak manusia akan menjalani sisa hidupnya di masa depan bersama-sama dengan
makhluk hidup lainnya yang ada di bumi. Hal ini berarti bahwa, di satu pihak,
etika masa depan menuntut manusia untuk tidak mengelakkan tanggung jawab atas
konsekuensi dari setiap perbautan yang dilakukannya sekarang ini. Sementara itu
pihak lain, manusia ditutut untuk mampu mengantisipasi, merunuskan nilai-nilai,
dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana yang tidak pasti agar generasi-generasi
mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang semakin tidak terkendali
dizaman mereka dikemudian hari (Joesoef, 2001: 198-199).
Dalam
konteks etika masa depan tersebut, karenanya visi pendidikan seharusnya lahir dari
kesadaran bahwa kita sebaiknya jangan menanti apapun dari masa depan, karena sesungguhnya
masa depan itulah mengaharap-harapkan dari kita, kita sendirilah yang
seharusnya menyiapkannya (Joesoef, 2001: 198).
Visi
ini tentu saja mensyaratkan bahwa, sebagai institusi, pendidikan harus solid.
Idealnya, pendidikan yang solid adalah pendidikan yang steril dari berbagai
permasalahan.Namun hal ini adalah suatu kemustahilan. Suka atau tidak suka,
permasalahan akan selalu ada dimanapun dan kapanpun, termasuk dalam institusi
pendidikan. Oleh karena itu, persoalannya bukanlah usaha menghindari
permasalahah, tetapi justru perlunya menghadapi permasalahan itu secara cerdas
dengan mengidentifikasi dan memahami substansinya untuk kemudian dicari
solusinya.
Makalah
ini berusaha mengidentifikasi dan memahami permasalahan-permasalahan pendidikan
kontemporer di Indonesia. Permasalahan-permasalahan pendidikan dimaksud
dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal dan
permasalahan internal. Perlu pula dikemukakan bahwa permasalah pendidikan yang
diuraikan dalam makalah ini terbatas pada permasalahan pendidikan formal. Namun
sebelum menguraikan permasalahan eksternal dan internal tersebut, terlebih
dahulu disajikan uraian singkat tentang fungsi pendidikan. Uraian yang disebut
terakhir ini dianggap penting, karena permasalahan pendidikan pada hakekatnya
terkait erat dengan realisasi fungsi pendidikan.
Fungsi
Pendidikan Pasal 3 UU No. 20/2003 menyatakan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rumusan
pasal 3 UU No. 20/2003 ini terkandung empat fungsi yang harus diaktualisasikan
olen pendidikan, yaitu: (1)
fungsi
mengembangkan kemampuan peserta didik, (2) fungsi membentuk watak bangsa yang
bermartabat, (3)
fungsi mengembangkan peradaban bangsa yang bermartabat, dan (4) fungsi
mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Noeng
Muhadjir (1987: 20-25) menyebutkan bahwa, sebagai institusi pendidikan
mengemban tiga fungsi. Pertama, pendidikan berfungsi menumbuhkan kreativitas
peserta didik. Kedua, pendidikan berfungsi mewariskan nilai-nilai kepada
peserta didik; dan Ketiga, pendidikan berfungsi meningkatkan kemampuan kerja
produktif peserta didik.
Kalau
dibandingkan dengan fungsi pendidikan yang termaktup dalam rumusan pasal 3 UU
No. 20/2003 di atas, fungsi pertama yang dikemukakan Noeng Muhadjir secara
substantive
sama
dengan fungsi keempat menurut UU No. 20/2003.
Sedangkan
fungsi pendidikan ketiga yang dikemukakan Noeng Muhadjir pada dasarnya sama
dengan fungsi pertama menurut UU No. 20/2003. Sementara itu, Vebrianto, seperti
dikutip M. Rusli Karim (1991: 28) menyebutkan empat fungsi pendidikan. Keempat
fungsi dimaksud
adalah:
(1) transmisi kultural, pengetahuan, sikap, nilai dan norma ; (2) memilih dan
menyiapkan peran sosial bagi peserta didik; (3) menjamin intergrasi nasional;
dan (4) mengadakan inovasiinovasi sosial.
Terlepas
dari adanya perbedaan rincian dalam perumusan fungsi pendidikan seperti
tersebut di atas, namun satu hal yang pasti ialah bahwa fungsi utama pendidikan
adalah membantu manusia untuk meningkatkan taraf hidup dan martabat
kemanusiaannya.
1. Permasalahan
Eksternal Pendidikan Masa Kini
Permasalahan
eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini sesungguhnya sangat komplek. Hal
ini dikarenakan oleh kenyataan kompleksnya dimensi-dimensei eksternal pendidikan
itu sendiri. Dimensi-dimensi eksternal pendidikan meliputi dimensi sosial,
politik, ekonomi, budaya, dan bahkan juga dimensi global. Dari berbagai
permasalahan pada dimensi eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini, makalah
ini hanya akan menyoroti dua permasalahan, yaitu permasalahan globalisasi dan
permasalahan perubahan sosial.
Permasalahan
globalisasi menjadi penting untuk disoroti, karena ia merupakan trend abad
ke-21 yang sangat kuat pengaruhnya pada segenap sector kehidupan, termasuk pada
sector pendidikan. Sedangakan
permasalah perubahan social adalah masalah “klasik” bagi pendidikan, dalam
arti ia selalu hadir sebagai permasalahan eksternal pendidikan, dan karenya
perlu dicermati. Kedua permasalahan tersebut merupakan tantangan yang harus
dijawab oleh dunia pendidikan, jika pendidikan ingin berhasil mengemban misi
(amanah) dan fungsinya berdasarkan paradigma etika masa depan.
1.1.
Permasalahan globalisasi
Globalisasi
mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam kehidupan global.
Dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi ekonomi berarti terintegrasinya
ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia atau global (Fakih, 2003: 182). Bila
dikaitkan dalam bidang pendidikan, globalisasi pendidikan berarti
terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia. Sebegitu jauh,
globalisasi memang belum merupakan kecenderungan umum dalam bidang pendidikan.
Namun gejala kearah itu sudah mulai Nampak. Sejumlah SMK dan SMA di beberapa
kota di Indonesia sudah menerapkan system Manajemen Mutu (Quality Management
Sistem) yang berlaku secara internasional dalam pengelolaan manajemen sekolah
mereka, yaitu SMM ISO 9001:2000; dan banyak diantaranya yang sudah menerima
sertifikat ISO.
Oleh
karena itu, dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan actual
pendidikan. Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama
menyangkut output pendidikan. Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini
telah terjadi pergeseran paradigma tentang keunggulan suatu Negara, dari
keunggulan komparatif (Comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif
(competitive advantage). Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber
daya alam, sementara keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas (Kuntowijoyo, 2001: 122).
Dalam
konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut, pendidikan nasional akan menghadapi
situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena harus berhadapan dengan kekuatan pendidikan
global. Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa globalisasi justru
melahirkan semangat cosmopolitantisme dimana anak-anak bangsa boleh jadi akan
memilih sekolah-sekolah di luar negeri sebagai tempat pendidikan mereka,
terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri secara kompetitif
under-quality (berkualitas rendah). Kecenderungan ini sudah mulai terlihat pada
tingkat perguruan tinggi dan bukan mustahil akan merambah pada tingkat sekolah menengah.
Bila
persoalannya hanya sebatas tantangan kompetitif, maka masalahnya tidak menjadi sangat krusial (gawat).
Tetapi salah satu ciri globalisasi ialah adanya “regulasi-regulasi”. Dalam bidang
pendidikan hal itu tampak pada batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan tentang
sekolah berstandar internasional. Pada jajaran SMK regulasi sekolah berstandar
internasional tersebut sudah lama disosialisasikan. Bila regulasi berstandar
internasional ini kemudian ditetapkan sebagai prasyarat bagi output pendidikan
untuk memperolah untuk memperoleh akses ke bursa tenaga kerja global, maka hal
ini pasti akan menjadi permasalah serius bagi pendidikan nasional.
Globalisasi
memang membuka peluang bagi pendidikan nasional, tetapi pada waktu yang sama ia
juga mengahadirkan tantangan dan permasalahan pada pendidikan nasional. Karena pendidikan
pada prinsipnya mengemban etika masa depan, maka dunia pendidikan harus mau menerima
dan menghadapi dinamika globalisasi sebagai bagian dari permasalahan pendidikan
masa kini.
1.2.
Permasalahan perubahan sosial
Ada
sebuah adegium yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi, semuanya
berubah; satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Itu artinya,
perubahan social merupakan peristiwa yang tidak bisa dielakkan, meskipun ada
perubahan social yang berjalan lambat dan ada pula yang berjalan cepat.
Bahkan
salah satu fungsi pendidikan, sebagaimana dikemukakan di atas, adalah melakukan
inovasi-inovasi social, yang maksudnya tidak lain adalah mendorong perubahan social.
Fungsi pendidikan sebagai agen perubahan sosial tersebut, dewasa ini ternyata
justru melahirkan paradoks.
Kenyataan
menunjukkan bahwa, sebagai konsekuansi dari perkembangan ilmu perkembangan dan
teknologi yang demikian pesat dewasa ini, perubahan social berjalan jauh lebih
cepat dibandingkan upaya pembaruan dan laju perubahan pendidikan. Sebagai
akibatnya, fungsi pendidikan sebagai konservasi budaya menjadi lebih menonjol,
tetapi tidak mampu mengantisipasi perubahan sosial secara akurat (Karim, 1991:
28).
Dalam
kaitan dengan paradoks dalam hubungan timbal balik antar pendidikan dan perubahan
sosial seperti dikemukakan di atas, patut kiranya dicatat peringatan Sudjatmoko
(1991:30) yang menyatakan bahwa Negara-negara yang tidak mampu mengikuti
revolusi industry mutakhir akan ketinggalan dan berangsur-angsur kehilangan
kemampuan untuk mempertahankan kedudukannya sebagai Negara merdeka. Dengan kata
lain, ketidakmampuan mengelola dan mengikuti dinamika perubahan sosial sama
artinya dengan menyiapkan keterbelakangan. Permasalahan perubahan sosial,
dengan demikian harus menjadi agenda penting dalam pemikiran dan praksis pendidikan
nasional.
2.
Permasalahan Internal Pendidikan Masa Kini
Seperti
halnya permasalahan eksternal, permasalahan internal pendidikan di Indonesia masa
kini adalah sangat kompleks. Daoed Joefoef (2001: 210-225) misalnya, mencatat permasalahan
internal pendidikan meliputi permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan
strategi pembelajaran, peran guru, dan kurikulum. Selain ketiga permasalahan
tersebut sebenarnya masih ada jumlah permasalahan lain, seperti permasalahan
yang berhubungan dengan sistem kelembagaan, sarana dan prasarana, manajemen,
anggaran operasional, dan peserta didik. Dari berbagai permasalahan internal
pendidikan dimaksud, makalah ini hanya akan membahas tiga permasalahan internal
yang di pandang cukup menonjol, yaitu permasalahan sistem kelembagaan,
profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran.
2.1.
Permasalahan Sistem Kelembagaan
Permasalahan
sistem kelembagaan pendidikan yang dimaksud dengan uraian ini ialah mengenai
adanya dualisme atau bahkan dikotomi antar pendidikan umum dan pendidikan
agama. Dualisme atau dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama ini
agaknya merupakan warisan dari pemikiran Islam klasik yang memilah antara ilmu
umum dan ilmu agama atau ilmu ghairuh syariah dan ilmu syariah, seperti yang
terlihat dalam konsepsi al-Ghazali (Otman, 1981:182).
Dualisme
dikotomi sistem kelembagaan pendidikan yang berlaku di negeri ini kita anggap
sebagai permasalahan serius, bukan saja karena hal itu belum bisa ditemukan
solusinya hingga sekarang, melainkan juga karena ia, menurut Ahmad Syafii
Maarif (1987:3) hanya mampu
melahirkan sosok manusia yang “pincang”. Jenis pendidikan yang pertama
melahirkan sosok manusia yang berpandangan sekuler, yang
melihat agama hanya sebagai urusan pribadi.
Sedangkan
sistem pendidikan yang kedua melahirkan sosok manusia yang taat, tetapi miskim
wawasan. Dengan kata lain, adanya dualisme dikotomi sistem kelembagaan
pendidikan tersebut merupakan kendala untuk dapat melahirkan sosok manusia
Indonesia “seutuhnya”. Oleh karena itu, Ahmad Syafii Maarif
(1996: 10-12) menyarankan perlunya modal pendidikan yang integrative, suatu
gagasan yang berada di luar ruang lingkup pembahasan makalah ini.
2.2.
Permasalahan Profesionalisme Guru
Salah
satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses pembelajaran adalah pendidik
atau guru. Betapapun kemajuan taknologi telah menyediakan berbagai ragam alat
bantu untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran, namun posisi guru
tidak sepenuhnya dapat tergantikan. Itu artinya guru merupakan variable penting
bagi keberhasilan pendidikan. Menurut
Suyanto (2007: 1), “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi
seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar
baca tulis alfabetikal maupun funfsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi
tokoh kebanggaan komunitas
dan bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan: “guru yang demikian tentu bukan guru
sembarang
guru. Ia pasti memiliki profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “digugu lan ditiru”.
Lebih
jauh Suyanto (2007: 3-4) menjelaskan bahwa guru yang profesional harus memiliki
kualifikasi dan ciri-ciri tertentu. Kualifikasi dan ciri-ciri dimaksud adalah:
(a) harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat, (b) harus berdasarkan atas
kompetensi individual, (c) memiliki sistem seleksi dan sertifikasi, (d) ada
kerja sama dan kompetisi yang sehat antar sejawat, (e) adanya kesadaran
profesional yang tinggi, (f) meliki prinsip-prinsip etik (kide etik), (g)
memiliki sistem seleksi profesi, (h) adanya militansi individual, dan (i) memiliki
organisasi profesi.
Dari
ciri-ciri atau karakteristik profesionalisme yang dikemukakan di atas jelaslah
bahwa guru tidak bisa datang dari mana saja tanpa melalui sistem pendidikan
profesi dan seleksi yang baik. Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa dijadikan
sekedar sebagai usaha sambilan, atau pekerjaan sebagai moon-lighter (usaha
objekan) Suyanto (2007: 4). Namun kenyataan dilapangan menunjukkan adanya guru
terlebih terlebih guru honorer, yang tidak berasal dari pendidikan guru, dan
mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui system seleksi profesi.
Singkatnya di dunia pendidikan nasional ada banyak, untuk tidak mengatakan
sangat banyak, guru yang tidak profesioanal. Inilah salah satu permasalahan
internal yang harus menjadi “pekerjaan
rumah” bagi pendidikan nasional masa kini.
2.3.
Permasalahan Strategi Pembelajaran
Menurut
Suyanto (2007: 15-16) era globalisasi dewasa ini mempunyai pengaruh yang sangat
signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu memberdayakan para peserta
didik. Tuntutan global telah mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma
pembelajaran tradisional ke paradigma pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan
paradigma pembelajaran sebagai berpusat pada guru, menggunakan media tunggal,
berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid berupa pemberian informasi
dan pengajaran berbasis factual atau pengetahuan. Paulo Freire (2002: 51-52)
menyebut strategi pembelajaran tradisional ini sebagai strategi pelajaran dalam “gaya bank”
(banking concept).
Di
pihak lain strategi pembelajaran baru digambarkan oleh Suyanto sebagai berikut:
berpusat pada murid, menggunakan banyak media, berlangsung dalam bentuk kerja
sama atau secara kolaboratif, interaksi guru-murid berupa pertukaran informasi
dan menekankan pada pemikiran kritis serta pembuatan keputusan yang didukung
dengan informasi yang kaya. Model pembelajaran baru ini disebut oleh Paulo Freire
(2000: 61) sebagai strategi pembelajaran “hadap masalah” (problem posing).
Meskipun
dalam aspirasinya, sebagaimana dikemukakan di atas, dewasa ini terdapat tuntutan
pergeseran paradigma pembelajaran dari model tradisional ke arah model baru,
namun kenyataannya menunjukkan praktek pembelajaran lebih banyak menerapkan
strategi pembelajaran tradisional dari pembelajaran baru (Idrus, 1997: 79). Hal
ini agaknya berkaitan erat dengan rendahnya professionalisme guru.
BAB.III
PENUTUP
Permasalahan
pendidikan di Indonesia masa kini sesungguhnya sangat kompleks. Makalah ini
dengan segala keterbatasannya, hanya sempat menyoroti beberapa diantaranya yang
dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal dan internal.
Dalam permasalahan eksternal di bahas masalah globalisasi dan masalah perubahan
social sebagai lingkungan pendidikan.
Sedangkan
menyangkut permasalahan internal disoroti masalah system kelemahan (dialisme
dikotomi), profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran. Dari pemahaman
terhadap sejumlah permasalahan dimaksud di atas dapat disimpulkan bahwa
berbagai permasalahan pendidikan yang komplek itu, baik eksternal maupun internal
adalah saling terkait. Hal ini tentu saja menyarankan bahwa pemecahan terhadap
permasalahan-permasalahan pendidikan tidak bisa dilakukan secara parsial; yang
merupakan pendekatan terpadu. Bagaimanapun, permasalahan-permasalahan di atas
yang belum merupakan daftar lengkap, harus kita hadapi dengan penuh tanggung
jawab. Sebab, jika kita gagal menemukan solusinya maka kita tidak bisa berharap
pendidikan nasional akan mampu bersaing secara terhormat di era globalisasi
dewasa ini.
Daftar Pustaka
Fakih, Mansour,
2000. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press dan
Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo,
2000. Pendidikan Kaum Tertindas, alih bahasa Oetomo Dananjaya dkk. Jakarta:
LP3ES.
Joesoef, Daoed, 2001. “Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran”,
dalam Sularto ( ed .). Masyarakat
Warga dan Pergulatan Demokrasi: Antara Cita dan Fakta. Jakarta: Kompas.
Karis, M. Rusli.
1991, “Pendidikan Islam sebai
Upaya Pembebasan Manusia”, dalam Muslih Usa (ed.). Pendidikan Islam di
Indonesia: Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo,
2001. Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai
Strukturalisme Transendental, Bandung: Mizan.
Maarif, Ahmad Syafii, 1987. “Masalah Pembaharuan
Pendidikan Islam”, dalam Ahmad Busyairi dan Azharudin Sahil ( ed .). Tantangan
Pendidikan Islam. Yogyakarta: LPM UII.
Maarif. Ahmad Syafii, 1996. “Pendidikan Islam dan
Proses Pemberdayaan Umat”. Jurnal Pendidikan Islam, No. 2 Th.I/Oktober
1996.
Muhadjir, Noeng,
1987. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Social: Suatu Teori Pendidikan. Yogyakarta:
Reka Sarasih
Othman, Ali
Issa, 1981. Manusia Menurut al-Ghazali, alih bahasa Johan Smit dkk. Bandung:
Pustaka.
Shane, Harlod
G., 1984. Arti Pendidikan bagi Masa Depan. Jakarta: Rajawali Pers.
Soedjatmoko,
1991. “Nasionalisme sebagai Prospek
Belajar”, Prisma, No. 2 Th. XX, Februari.
Suyanto, 2007, “Tantangan Profesionalisme Guru di Era
Global”, Pidato Dies Natalis ke-43 Universitas Negeri Yogyakarta, 21 Mei.
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi
on
February 23, 2015
Rating:
No comments:
Komentar