Segala puji bagi Allah.Kami memuji-Nya, minta tolong kepada-Nya, dan minta ampun kepada-Nya.Kami mohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan nafsu dan kejelekan perbuatan kami.Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada yang dapat menyesatkannya.Barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka tiada yang dapat memberi petunjuk kepadanya.Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah."Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam."
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw, sebagai petunujuk umat manusia dari kegelapan dan menunjukkan kepada jalan yang lurus. “Al-Qur’an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari pada apa yang anda lihat”. Ilustrasi ini menggambarkan kepada kita bahwa Al-Qur’an sebagai sebuah teks telah memungkinkan banyak orang untuk melihat makna yang berbeda-beda di dalamnya.Dengan berbagai metodologi yang disuguhkan, para mufassir kerap terlihat mempunyai corak sendiri yang sangat menarik untuk ditelusuri.Dari mulai menafsirkan kata perkata dalam setiap ayat sampai menyambungkannya dengan masalah fikih, politik, ekonomi, tasawuf, sastra, kalam, dan lainnya.
Salah satu kitab tafsir yang sangat familier di Indonesia adalah kitab TafsirAL-Azhar. Pada makalah ini saya akan sedikit mengkaji tentang kitab Tafsir Al-Azhar, mulai dari biografi pengarang, latar belakang sejarah penulisan, corak, metode, bentuk dan karakteristiknya.
Salah satu kitab tafsir yang sangat familier di Indonesia adalah kitab TafsirAL-Azhar. Pada makalah ini saya akan sedikit mengkaji tentang kitab Tafsir Al-Azhar, mulai dari biografi pengarang, latar belakang sejarah penulisan, corak, metode, bentuk dan karakteristiknya.
A.
Biografi Mufassir
Tafsir ini ditulis oleh HajiAbdul Malik Karim Amrullah (atau lebi dikenal dengan julukan Hamka, yang
merupakan singkatan namanya).Beliau lahir pada 17 Februari 1908, di desa Molek,
Maninjau, Sumatera barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981.
Ibunya bernama Siti Safiyah.
Ayah dari ibunya bernama Gelanggang Gelar Bagindo Nan Batuah. Di kala mudanya
terkenal sebagai guru tari nyanian dan pencak silat.Dari gelanggang itulah, di
waktu masih kecil Hamka selalu mendengarkan pantun-pantun yang berarti dan
mendalam.
Beliau adalah sastrawan
Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik. Belakangan ia diberikan
sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata
abi, abuya dalam bahasa arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang
dihprmati. Ayah adalah syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai
Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau,
sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Hamka adalah seorang otodidak dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi
dan politik, baik Islam maupun Barat.Dengan kemahiran bahasa arabnya yang
tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga bsear di Timur Tengah
seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan
Husayn Haykal. Melalui bahasa arab juga, beliau meniliti karya sarjana Perancis,
Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee,
Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan
bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS
Tjokrominoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrufin, AR Sultan Mansur dan Ki
Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato
yang handal.
B.
Kondisi Kehidupan
Tafsir ini pada mulanya
merupakan rangkaian kajian yang disampaikan pada kuliah subuh oleh Hamka di
Masjid al-Azhar yang terletak di Kebayoran Baru sejak tahun 1959.
Nama al-Azhar bagi Masjid
tersebut telah diberikan oleh Syeikh Mahmud Shaltut, Rektor Universitas
al-Azhar semasa kunjungan beliau ke Indonesia pada Desember 1960 dengan harapan
supaya menjadi kampus al-Azhar di Jakarta. Penamaan tafsir Hamka dengan nama
Tafsir al-Azhar berkaitan erat dengan tempat lahirnya tafsir tersebut yaitu
Masjid Agung al-Azhar.
Terdapat beberapa factor
yang mendorong Hamka untuk menghasilkan karya tafsir tersebut.Hal ini
dinyatakan sendiri oleh Hamka dalam mukadimah kitab tafsirnya.Di antaranya
ialah keinginan beliau untuk menanam semangat dan kepercayaan Islam dalam jiwa
generasi muda Indonesia yang amat berminat untuk memahami al-Qur’an tetapi
terhalang akibat ketidakmampuan mereka menguasai ilmu Bahasa Arab.Kecenderungan
beliau terhadap penulis tafsir ini juga bertujuan untuk memudahkan pemahaman
para muballigh dan para pendakwah serta meningkatkan keberkesanan dalam
penyampaian khutbah-khutbah yang diambil daripada sumber-sumber Bahasa Arab
Hamka memulai Tafsir Al-Azharnya dari surah al-Mukminun karena beranggapan
kemungkinan beliau tidak sempat menyempurnakan ulasan lengkap terhadap tafsir
tersebut semasa hidupnya. Mulai tahun 1962, kajian tafsir yang disampaikan di
masjid al-Azhar ini, dimuat di majalah Panji Masyarakat.Kuliah tafsir ini trus
berlanjut sampai terjadi kekacauan politik di mana masjid serang “Neo Masyumi”
dan “Hamkaisme”.Pada tanggal 12 Rabi’al-awwal 1383H/27 Januari 1964, Hamka ditangkap
oleh penguasa orde lama dengan tuduhan berkhianat pada Negara. Penahanan selama
dua tahun ini tenyata membawa berkah bagi Hamka karena ia dapat menyelesaikan
penulisan tafsirnya.
C.
Sistematika Penulisan
Generasi Buya Hamka bersama
para mufassir yang sezaman dengannya adalah generasi kedua setelah Prof. Mahmud
Yunus bersama rombongannya.Dikatakan generasi kedua karena terjadi pebedaan
yang begitu jelas dari generasi yang lalu. Yaitu selain tafsir yang berbahasa
Indonesia, pada periode ini tafsir yang berbahasan daerah pun tetap beredar di
kalangan pemakai bahasa tersebut, seperti al-Kitabul Mubin karya K.H. Muhammad
Ramil dalam bahasa sunda (1974) dan kitab al-Ibriz oleh K.H. Musthafa Bisri
dalam bahasa Jawa (1950). Di dalamnya Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka, nuansa
Minangnya tampak sangat kental.
Sebagai contoh ketika Buya
Hamka menafsirkan surat “Abasa ayat 31-32, yaitu sebagai berikut:
Artinya:
dan buah-buaan serta rumput-rumputan, ( ) untuk kesenanganmu dan untuk
binatang-binatang ternakmu.
Buya Hamka menafsirkan ayat
di atas dengan: “berpuluh macam buah-buahan segar yang dapat dimakan oleh
manusia, sejak dari dilemma, anggur, apel, berjenis pisang, berjenis mangga,
dan berbagai buah-buahan yang tumbuh di daerah beriklim panas sebagai pepaya,
nanas, rambutan, durian, duku, langsat, buah sawo, dan lain-lain, dan berbagai
macam rumput-rumputan pula untuk makanan binatang ternak yang dipelihara oleh
manusia tadi”.
Dalam penafsirannya itu
terasa sekali nuansa Minangnya yang merupakan salah satu budaya Indonesia,
seperti contoh buah-buahan yang dikemukakannya, yaitu mangga, rambutan, durian,
duku dan langsat.Nama buah-buahan itu merupakan buah-buahan yang tidak tumbuh
di Timur Tengah, tetapi banyak tumbuh di Indonesia.
Jika dilihat dari segi
bentuk, metode dan corak penafsirannya, ditemukan hal-hal sebagai berikut:
1. Bentuk Tafsir
Dari
aspek bentuk penafsirannya, Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka ini memakai bentuk
pemikiran (ar-ra’yu).
Hal
ini dapat dibuktikan dari hasil penafsiran Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar,
sebagai contoh dalam penafsiran surat ‘Abasa ayat 31-32, yaitu Beliau
menafsirkan buah-buahan sebagai mangga, rambutan, durian, duku, dan langsat.
2. Metode Tafsir
Dari
empat macam metode penafsiran yang berkembang sepanjang sejarah tafsir
Al-Qur’an, berdasarkan penelitian saya terhadap Tafsir Al-Azhar karya Buya
Hamka, ternyata metode yang digunakan dalam tafsir ini adalah metode analitis
(tahlil). Sebagai bukti bawa Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka menggunakan
metode tahlily adalah penafsiran beliau tentang surat At-Thariq ayat 11 sebagai
berikut:
Artinya: Demi langit yang mengandung hujan.
Buya
Hamka menafsirkan dengan: “sekali lagi Allah bersumpah dengan langit sebagai
makhluk-Nya:Demi langit yang mengandung hujan. Langit yang dimaksud di sini
tentulah yang di atas kita. Sedangkan di dalam mulut kita yang sebelah atas
kita namai “langit-langit”, atas singgasana raja atau diatas pelaminan tempat
mempelai dua sejoli bersanding dinamai langit-langit jua sebgai alamat bahwa
kata-kata langit itu pun dipakai untuk yang di atas. Kadang-kadang
diperlambangkan sebagai ketinggian dan kemulyaan Tuhan, lalu kita tadah ke
langit ketika berdoa.Maka dari langit itulah turunnya hujan.Langit yang
menyimpan air dan menyediakannya lalu menurunkannya menurut jandka
tertentu.Kalau dia tidak turun kekeringanlah kita di bumi ini dan matilah
kita.Mengapa raj’I artinya disini jadi “hujan”?sebab memang air hujan itu dari
bumi juga, mulanya nguap naik ke langit, jadi awan berkumpul dan turun kembali
ke bumi, setelah menguap lagi naik kembali ke langit dan turun kembali ke bumi.
Demikian terus menerus.Naik kembali turun kembali. Namun jika kita bandingkan
dengan Terjemah Departemen Agama R.I sangatlah singkat, yaitu: “Raj’I berarti
“kembali”. Hujan dinamakan raj’I dalam ayat ini karena hujan itu berasal dari
uap air yang naik dai bumi ke udara, kemudian turun ke bumi, kemudian kembali
ke atas, dan dari atas kembali lagi ke bumi, dan begitulah seterusnya.
Dengan membandingkan tafsir
Al-Azhar dan terjemahan Depag di atas, tanpa berfikir panjang tampak kepada
kita bahwa masing-masing menerapkan metode yang berbeda.Terjemahan Deperteman
Agama menggunakan metode global sehingga uraiannya sangat singkat dan jauh
sekali dari analisis.Sedangkan Hamka dalam tafsir al-Azhar menggunakan metode
analitis sehingga peluang untuk mengemukakan tafsir yang rinci dan memadahi
lebih besar.Hamka dalam menjelaskan kata “langit” saja membandingkannya dengan
langit-langit yang terdapat dalam rongga mulut, langit-langit pada pelaminan,
dan bahkan dengan langit-langit pada istana raja.
3. Corak Tafsir
Dalam
kutipan yang dikemukakan pada babmetode tafsir di atas, tampak jelas tafsiran
Departemen Agama bersifat netral, tidak memihak, dia hanya menjelaskan
pengertian raj’i. sementera Hamka dalam menjelaskan ayat itu, beliau
menggunakan contoh-contoh yang hidup di tengah masyarakat, baik masyarakat
kelas atas seperti raja, rakyat biasa, maupun secara individu.Berdasarkan fakta
yang demikian, tafsir Hamka dalam menjelaskan ayat itu bercorak social
kemasyrakatan (adabi Ijtima’i), sedangkan tafsir Departemen Agama bercorak
umum.
D.
Metodologi Tafsir
Tafsir al-Azhar merupakan
karya Hamka yang memperlihatkan keluasan pengrtahuan beliau, yang hamper
mencakup semua disiplin ilmu penuh berinformasi. Sumber penafsiran yang dipakai
oleh Hamka antara lain, al-Qur’an, hadits Nabi, pendapat tabi’in, riwayat dari
kitab tafsir mu’tabar seperti al-Manar, serta juga dari syair-syair seperti
syair Moh. Ikbal.Tafsir ini ditulis dalam bentuk pemikiran dengan metode
analitis atau tahlily.
Karakteristik yang tampak
dari tafsir al-Azhar ini adalah gaya
penulisannya yang ditampilkan oleh Hamka dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an.
E.
Perbedaan Dengan Tafsir Lain
Tafsir al-Azhar sangatlah
berbeda dengan tafsir-tafsir lainnya.Mulai dari sudut pandang yang digunakan
dalam menafsirkan pun sangatlah berbeda. Oleh karena itu, kami akan
membandingkan tafsir al-Azhar dengan tafsir Depag dan Tafsir al-Misbah. Yaitu
sebagai berikut:
1. Perbedaan dari sudut
pemikiran:
a. Tafsir Depag: sudut
pemikirannya datar (karena tafsir ini ditulis oleh banyak ulama atau dapat
dikatakan tulisan gotong royong).
b.Tafsir al-Misbah: sudut
pemikirannya mendalam dan dilengkapi oleh data-data kontemporer (modern).
c.Tafsir al-Azhar: sudut
pemikirannya selalu menggiring seseorang kepada tasawuf (karena berangkat dari
social politik pada saat tafsir ini ditulis dan untuk selamat dari kondisi
seperti itu, maka seseorang harus terjun ke dalam tasawuf.
2. Perbedaan dari sudut bahasa:
a. Tafsir Depag: sudut bahasa
yang digunakan sangatlah standart atau datar (dimaksudkan agar memudahkan
seseorang dalam memahaminya).
b. Tafsir al-Misbah: sudut
bahasa yang digunakan adalah bahasa yang modern dan kontemporer.
c. Tafsir al-Azhar: sudut
bahasa yang digunakan adalah bahasa sastra (nuansa sastranya sangat kental).
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, H. Abdul Malik Karim, Tafsir
al-Azhar, 1967. Jakarta: PT. Pembimbing Masa.
Adz-Dzahabi, Muhammad Husein, At-Tafsir
wa Al-Mufassirun Juz I,1961, Kairo: Dar al-Kutub.
Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir (peta
metodologi penafsiran al-Qur’an periode klasik hingga kontemporer),
2003, Yogyakarta: Nun Pustaka.
Al-Qatthan, Manna Khalil, studi
Ilmu-ilmu al-Qur’an, 2005, Jakarta: Citra Antar Nusa.
Tafsir Al-Azhar Buya Hamka
Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi
on
December 27, 2014
Rating:
tafsir al azhar salah satu buku referensi di bidang tafsir alquran..
ReplyDeleteBlm ketemu mna yg hrs di ok
ReplyDeleteBlm ketemu mna yg hrs di ok
ReplyDelete