Tahlilan adalah sebuah tradisi Islam yang telah diwariskan secara turun-menurun dari Ulama kita yang didapat dari Salafusshalih, yang memiliki sandaran yang kokoh dari al qur’an, sunnah sebagai sarana Ibadah, dimana didalamnya terdapat Pelaksanaan Sunnah2 dan Ibadah baik yang mahdloh dan Ghoir mahdoh.
Hanya saja nama acaranya yang merupakan Istilah Baru, sedangkan Isi dan Esensinya merupakan Amaliyah yang Syar’i. Adapun dinamakan acara Tahlilan dikarenakan dalam Acara tersebut banyak diucapkan Kaimat Tahlil “La Ilaaha Illalloh”.
Adapun Istilah “Selamatan Kematian” istilah ini tidak dikenal baik dalam Nash maupun Masyarakat seluruh dunia , namun istilah ini hanyalah Istilah buat-buatan kaum yang tidak menyukai dzikrulloh pada acara tersebut, dan ini mereka gunakan sebagai sindiran pedas yang tak ada dasarnya.
Jika Menghukumi Nama Tahlilan itu dengan Bid’ah (secara bahasa) , “iya” itu memang Benar.
Tapi jika bicara tentang kajian Syara’ yang Khitobnya adalah Al Qur’an dan As Sunnah dan Objeknya Adalah “Af’alul Mukallafuun” (Perbuatan Orang yang dibebani Syari’at) , Maka sebuah nama/cover bukanah hal yang masuk kedalam kajian Syara’.
Sebagaimana Difinisi Syari’at Menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun memberikan pengertian syari’ah :
واصطلاحاً: ما اقْتضاه خطاب الشرع المتعلق بأفعال المكلفين من طلب، أو تخيير، أو وضع
"Adapun makna Syariah/Ahkam secara istilahi adalah : Apa-apa yang ditetapkan oleh Khitob Syar’I (al qur'an dan as sunnah) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau pilihan atau peletakan."
dari keterangan ini maka jelas , bahwa hal-hal dalam Tahlilan yang masuk dalam Kajian Syara’ adalah hal-hal yang berkaitan dengan amal perbuatan yang dilakukan para Mukallaf.
Baiklah sekarang kita masuk kedalam pendapat para ulama terhadap hal ini :
1. Imam Al-Suyuthi berkata:
أَنَّ سُنَّةَ اْلإِطْعَامِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ بَلَغَنِي أَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ إِلَى اءلآنَ بِمَكَّةَ وَاْلمَدِيْنَةَ فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا
لمَ ْتَتْرُكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى اْلآنَ وَأَنَّهُمْ أَخَذُوْهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إِلَى الصَّدْرِ اْلأَوَّلِ (الحاوي للفتاوي,ج:۲,ص:۱۹۴)
“Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan kebiasaan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam Suyuthi, sekitar abad IX Hijriah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi SAW sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat SAW)” (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal 194)
Pendapat Imam As Suyuthi ini didasarkan pada sebuah hadis riwayat Imam Ahmad bin Hanbal berkata dalam kitab al zuhd, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al Hawi Li Al Fatawi :
قال الإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه في كتاب الزهد له حدثنا هاشم بن القاسم قال حدثنا اللأ شجعي عن سفيان قَالَ طَاوُسَ: إنَّ الْمَوْتَى يُفْتِنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تَلْكَ اْلأيّاَمِ إلَى أنْ قَالَ عَنْ عُبَيْدِ ابْنِ عُمَيْرِ قَالَ: يُفْتِنُ رَجُلانِ مُؤمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأمَّا الْمُؤمِنُ فَيُفْتِنُ سَبْعًا وَأمَّا الْمُناَفِقُ فَيُفْتِنُ
أرْبَعِيْنَ صَبَاحًا
““Imam Ahmad bin Hanbal radliyallahu ‘anh berkata : “Menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, ia berkata, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy dari Sufyan, ia berkata : Thawus berkata, “sesungguhnya orang mati terfitnah (ditanya malaikat) didalam kubur mereka selama 7 hari, maka mereka mengajurkan supaya memberikan makanan (yang pahala) untuk mereka pada hari-hari tersebut” (selama tujuh hari itu) Sahabat Ubaid ibn Umair berkata: “Seorang mukmin dan seorang munafiq sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selam 7 hari, sedang seorang munafiq selama 40 hari di waktu pagi.” ” (Al Hawi Li Al Fatawi, juz II, hal 178)
Dalil diatas adalah sebuah atsar yang menurut Imam As-Syuyuty derajatnya sama dengan hadis marfu’ Mursal maka dapat dijadikan hujjah makna penjelasannya:
اِنَّ أَثَرَ طَاوُسَ حُكْمُهُ حُكْمُ اْلحَدِيْثِ الْمَرْفُوْعِ اْلمُرْسَلِ وَاِسْنَادُهُ اِلَى التَّابِعِى صَحِيْحٌ كَانَ حُجَّةً عِنْدَ اْلاَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ اَبِي حَنِيْفَةَ وَمَالِكٍ وَاَحْمَدَ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ وَاَمَّا عِنْدَ الشَّافِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَاِنَّهُ يَحْتَجُ بِاْلمُرْسَلِ اِذَا اعْتَضَدَ بِاَحَدِ أُمُوْرٍ مُقَرَّرَةٍ فِى مَحَلِهَا فِيْهَا مَجِيْئِ آخَرَ اَوْ صَحَابِيِّ يُوَافِقُهُ وَالْاِعْتِضَادِ هَهُنَا مَوْجُوْدٌ فَاِنَّهُ رُوِيَ مِثْلُهُ عَنْ مُجَاهْدِ وَعَْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرِ وَهُمَا تَابِعِيَانِ اِنْ لَمْ يَكُنْ عُبَيْدٌ صَحَابِيًا.
Jka sudah jadi keputusan, atsar (amal sahabat Thawus) diatas hukumnya sama dengan hadist Marfu’ Mursal dan sanadnya sampai pada tabi’in itu shahih dan telah dijadikan hujjah yang mutlak(tanpa syarat) bagi tiga Imam (Maliki, Hanafi, Hambali). Untuk Imam as-Syafi’i ia mau berhujjah dengan hadis mursal jika dibantu atau dilengkapi dengan salah satu ketetapan yang terkait dengannya, seperti adanya hadis yang lain atau kesepakatan Shahabat. Dan, kelengkapan yang dikehendaki Imam as-Syafi’i itu ada, yaitu hadis serupa riwayat dari Mujahid dan dari ubaid bin Umair yang keduanya dari golongan tabi’in, meski mereka berdua bukan sahabat.
2. Dari Al Imam Muhammad bin Muhammad Asy Syaukani mengatakan :
“Kebiasaan di sebagian negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di masjid, rumah di atas kubur, untuk membaca al qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh (jaiz) jika di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun ia tidak ada penjelasan (secara dzahir) dari syari’at. Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang haram (muharram fi nafsih), apalagi jika didalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah, seperti membaca al qur’an atau lainnya. Dan tidaklah tercela menghadiahkan pahala membaca al qur’an datau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih seperti (bacalah Surat Yasin kepada orang mati di antara kamu). Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau di atas kuburnya, dan membaca al qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah” (Al Rasa’i Al Salafiyah, 46)
* Dan hal tersebut tidaklan termasuk perbuatan bid’ah. Lebih lanjut Imam Asy Syaukani berkata :
“Para shahabat juga mengadakan perkumpulan di rumah-rumah mereka atau di di dalam masjid, melagukan syair’syair, mendiskusikan hadits-hadits dan kemudian mereka makan dan minum, padahal di tengah-tengah mereka ada Nabi SAW. Orang yang berpendapat bahwa melaksanakan perkumpulan yang didalamnya tidak terdapat perbuatan-perbuatan haram adalah bid’ah, maka ia adalah salah, karena sesungguhya bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam masalah agama, sedangkan perkumpulan ini (yakni semacam tahlilan), tidak termasuk bid’ah (membuat ibadah baru)”. (Al Rasa’i Al Salafiyah, 46).
3. Imam Nawawi Dalam kitab Nihayah al-Zain, Juz I, halaman 281 juga disebutkan:
وَالتَّصَدُّقُ عَنِ اْلمَيِّتِ بِوَجْهٍ شَرْعِيٍّ مَطْلُوْبٌ وَلَا يُتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ فِيْ سَبْعَةِ اَيَّامٍ اَوْ اَكْثَرَ اَوْ اَقَلَّ وَتَقْيِيْدُهُ بِبَعْضِ اْلاَيَّامِ مِنَ اْلعَوَائِدِ فَقَطْ كَمَا اَفْتَى بِذَلِكَ السَّيِّدِ اَحْمَدء دَحْلَانِ وَقَدْ جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِالتَّصَدُّقِ عَنِ اْلمَيِّتِ فِي ثَالِثٍ مِنْ مَوْتِهِ وَفِي سَابِعٍ وَفِيْ تَمَامِ اْلعِشْرِيْنَ وَفِي اْلاَرْبَعِيْنَ وَفِي الِمأَةِ وَبِذَلِكَ يُفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلًا فِي اْلمَوْتِ كَمَا اَفَادَهُ شَيْخَنَا يُوْسُفُ السُنْبُلَاوِيْنِيْ.
Di anjurkan oleh syara’ shodaqoh bagi mayit,dan shodaqoh itu tidak di tentukan pada hari ke tujuh sebelumnya maupun sesudahnya.sesungguhnya pelaksanaan shodaqoh pada hari-hari tertentu itu cuma sebagai kebiasaan (adat) saja,sebagaimana fatwa Sayid Akhmad Dahlan yang mengatakan ”Sungguh telah berlaku dimasyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ketiga dari kematian, hari ketujuh, dua puluh, dan ketika genap empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Yusuf Al-Sumbulawini.
* Adapun Pendapat Imam Syafi’i yang sering di jadikan hujjah pelarangan dalil oleh segolongan kaum rahimahullah yang terdapat dalam kitab al-Umm berikut ini :
وأكره المأتم، وهي الجماعة، وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن، ويكلف المؤنة مع ما مضى فيه من الأثر
“aku membenci Ma’tam, yakni sebuah Perkumpulan/jamaah, walaupun tidak ada tangisan bagi mereka sebab sesungguhnya itu memperbaharui kesedihan dan membebani biaya beserta apa yang pernah terjadi”. (al Umm (I/318)
perkataan ini bukanlah pelarangan atas acara tahlilan yang dimana didalamnya terdapat dzikrulloh , namun qoul ini berfokus kepada larangan berniyahah/meratap dengan kaimat Al-Ma’tam.
al-Ma’tam berasal dari kata “atama – ya’timu” yang bermakna ‘apabila dikumpulkan antara dua perkara”. Ma’tam asalnya adalah setiap perkumpulan (perhimpunan) dari laki-laki atau perempuan baik dalam hal kesedihan maupun kegembiraan.
Imam asy-Syafi’i menghukumi makruh atas illat yang beliau sebutkan sendiri yakni “yujaddidul huzn wa yukalliful mu’nah (memperbaharui kesedihan dan membebani biaya)", apabila tidak ada illat maka hukum makruh itu juga tidak ada, sebab kaidah ushul fiqh mengatakan : “al-‘Illatu tadillu ‘alaal Hukmi yakni illat itu menunjukkan atas hukum”.
Jadi, sekali lagi tidak ada pengharaman Tahlilan oleh Imam asy-Syafifi rahimahullah. Tapi jika perkataan Imam Syafi’I tersebut tetap dipaksakan untuk dijadikan Pelarangan berkumpul dirumah Mayit (Tahlilan) dimana didalamnya terdapat dzikruloh, maka yang terjadi akan bertentangan dengan Sabda Rasululloh Saw, tentang penyelenggaraan pertemuan/perkumpulan yang didalamnya ada pembacan al qur’an dan dzikir :
عن عبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسو ل الله صلى الله عليه و سلم وما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتب الله ويتدارسون بينهم الا نزلت عليهم السكينة و غشيتهم الرحمة وحفتهم
الملائكت وذكرهم الله فيمن عنده
Dari Abi Hurairah ra, ia berkata,”Rasulullah saw bersabda : “Tidaklah berkumpul suatu kaum di dalam suatu rumah dari rumah2 Allah swt, sambil membaca al qur’an bersama-sama, kecuali Allah swt akan menurunkan kepada mereka ketenangan hati meliputi mereka dengan rahmat, dikelilingi para malaikat dan Allahswt memujinya di hadapan makhluq yang ada di sisi-Nya.” (Sunan Ibn Majah : 221)
Dari hadits lain yang diriwayatkan dari Abi Sa’id Al Khudri, Rasulullah saw bersabda :
عن عبى سعيد الخدري قال قال قال رسو ل الله صلى الله عليه و سلم لا يقعد قوم يقعد قوم يذكرون الله عز وجل الاحفتهم الملائكة وشيتهم الرحمة ونزلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده
“Dari Abi Sa’id Al Khudri ia berkata,”Rasulullah saw bersabda,”Dan tidaklah berkumpul suatu kaum sambil menyebut asma Allah swt kecuali mereka akan dikelilingi para malaikat, Allah swt akan melimpahkan rahmat kepada mereka, memberikan ketenangan hati, dan memujinya di hadapan makhluq yang ada disisi-Nya.” (Shahih Muslim : 4868).
* Adapun Hadis Ibnu Majah berikut :
عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
Dari Jabir bin Abdillah Al Bajaliy, ia berkata:”Kami (yakni para Sahabat semuanya) memandang/menganggap bahwa berkumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah dikuburnya mayit termasuk dari bagian meratap.”(HR. Imam Ibnu Majah (no 1612) dengan derajat yang shahih.
hadis ini adalah larangan Meratap yang merupakan hal yang dienci didalam Agama, bukan larangan Tahlilan yang didalamnya beisikan dzikir dan Do’a kepada mayit , namun soal membuat makanan dalam hadis ini sifatnya masih sangat umum,
Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan :
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
“mereka yang keluarga duka yang membuat makanan DENGAN TUJUAN mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yang makruh” (bukan haram).
Maksudnya ialah Makruh membuat makanan dengan NIAT/TUJUAN agar Orang2 beramai-ramai berkumpul.
begitu juga yang dijelaskan didalam Kitab I’anatuth Thalibin (إعانة الطالبين) yakni kitab Fiqh karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyatiy Asy-Syafi’i, yang merupakan syarah dari kitab Fathul Mu’in
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
“Dan kebiasaaan dari ahlul (keluarga) mayyit membuat makanan untuk tujuan mengundang (mengajak) menusia kepadanya, ini adalah bid’ah makruhah(bid’ah yang dibenci).
sebagaimana juga dijelaskan didalam Kitab al-Mughniy ;
فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية
“Maka adapun bila ahlul (keluarga) mayyit membuat makanan untuk orang, maka itu Makruh, karena bisa menambah atas mushibah mereka, menambah kesibukan mereka (merepotkan) dan meniru-niru perbuatan Jahiliyah” [Al-Mughniy Juz II/215]
Makruh bukanlah haram, dan status hukum Makruh bisa berubah menjadi Mubah (Jaiz/boleh) jika keadaannya sebagaimana digambarkan dalam kitab yang sama, berikut ini ;
وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
“Dan jika melakukannya karena ada (sebab) hajat, maka itu diperbolehkan (Jaiz), karena barangkali diantara yang datang ada yang berasal dari pedesaan, dan tempat-tempat yang jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tidak bisa (tidak mungkin) kecuali mereka mesti di jamu (diberi hidangan)” [” [Al-Mughniy Juz II/215].
SAMPAINYA PAHALA SHODAQOH DAN BACAAN KEPADA MAYYIT
Banyak hadist-hadist dari Rasulullah saw. dan riwayat sahabat r.a. yang nyata dan kuat membolehkan mengirim pahala bagi mayit khususnya lewat bacaan Al‐Qur’an, doa dan sedeqah adalah dari hadist‐hadist berikut ini :
• Abu Muhammad As Samarkandy, Ar Rafi’iy dan Ad Darquthniy, masing‐masing menunjuk sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib k.w. bahwa Rasul saw bersabda: “Barangsiapa lewat melalui kuburan, kemudian ia membaca “Qul Huwallahu Ahad” sebelas kali dengan niat menghadiahkan pahalanya pada para penghuni kubur, ia sendiri akan memperoleh sebanyak yang diperoleh semua penghuni kubur”.
• Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda: “Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca ‘Al Fatihah’, ‘Qul Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhakumut takatsur’, lalu ia berdoa Ya Allah, kuhadiahkan pahala pembacaan firmanMu pada kaum Mu’minin dan Mu’minat penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolong baginya(pemberi syafaat) pada hari kiamat”.
• Diriwayatkan oleh Daruquthni bahwa seorang laki‐laki bertanya, “Ya Rasulullah SAW, saya mempunyai ibu bapak yang selagi mereka hidup, saya berbakti kepadanya. Maka bagaimana caranya saya berbakti kepada mereka, setelah mereka meninggal dunia?” Ujar Nabi SAW, “Berbakti setelah mereka meninggal, caranya ialah dengan melakukan shalat untuk mereka disamping shalatmu, dan berpuasa untuk mereka disamping puasamu!”
• Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar‐benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benar‐benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!ʺ
• “Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia berkata; Nabi SAW telah menunaikan shalat jenazah, aku mendengar Nabi SAW berdoa; Ya Allah!! ampunilah dia, rahmatilah dia, maafkan dia.”
• Dalam riwayat lainnya dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Apabila seorang mukmin membaca ayat Kursi dan menghadiahkan pahalanya kepada para penghuni kubur, maka Allah akan memasukkan empat puluh cahaya ke setiap kubur orang mukmin mulai dari ujung dunia bagian timur sampai barat, Allah akan melapangkan liang kubur mereka, memberi pahala enam puluh orang nabi kepada yang membaca, mengangkat satu derajat bagi setiap mayit, dan menuliskan sepuluh kebajikan bagi setiap mayit.”
• Al‐Baihaqiy di dalam Sya’bul‐Iman mengetengahkan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Mi’qal bin Yassar r.a., dan dalam Al‐Jami’ush‐Shaghir dan Misykatul‐Mashabih bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa membaca Yasin semata‐mata demi keridhoan Allah, ia memperoleh ampunan atas dosa‐dosanya yang telah lalu. Karena itu hendaknya kalian membacakan Yasin bagi orang – orang yang telah meninggal dunia di antara kalian.”
• Diriwayatkan pula bahwa Siti Aisyah pernah beritikaf atas nama adiknya Abdurrahman bin Abu Bakar yang telah meninggal dunia. Bahkan Siti Aisyah juga memerdekakan budak atas namanya (adiknya). (Al Imam Qurthubi di dalam kitab At‐Tadzkirat Bi Ahwali al‐Mauta wa Umur al‐Akhirat.
Hadits‐hadits di atas dijadikan dalil oleh para ulama salaf dan kalaf untuk menfatwakan kebolehan mengirim / menghadiahkan pahala baik sedeqah, bacaan Al Qur’an dan mendoakan bagi mayit.
Adapun pendapat Ulama dalam Hal ini :
1. Ucapan Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi Ala shahih Muslim Juz 1 hal 90 menjelaskan :
من أراد بر والديه فليتصدق عنهما فان الصدقة تصل الى الميت وينتفع بها بلا خلاف بين المسلمين وهذا هو الصواب وأما ما حكاه أقضى القضاة أبو الحسن الماوردى البصرى الفقيه
الشافعى فى كتابه الحاوى عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه بعد موته ثواب فهو مذهب باطل قطعيا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة واجماع الامة فلا التفات اليه ولا تعريج عليه وأما الصلاة والصوم فمذهب الشافعى وجماهير العلماء أنه لا يصل ثوابها الى الميت الا اذا كان الصوم واجبا على الميت فقضاه عنه وليه أو من أذن له الولي فان فيه قولين للشافعى أشهرهما عنه أنه لا يصلح وأصحهما ثم محققى متأخرى أصحابه أنه يصح وستأتى المسألة فى كتاب الصيام ان شاء الله تعالى وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها الى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها الى الميت وذهب جماعات من العلماء الى أنه يصل الى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى صحيح البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن ابن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد الله بن محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا المتأخرين فى كتابه الانتصار الى اختيار هذا وقال الامام أبو محمد البغوى من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن يطعم عن كل صلاة مد من طعام وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج فانها تصل بالاجماع ودليل الشافعى وموافقيه قول الله تعالى وأن ليس للانسان الا ما سعى وقول النبى صلى الله عليه وسلم اذا مات ابن آدم انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
“Barangsiapa yg ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada ikhtilaf diantara muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa apa yg diceritakan pimpinan Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi Assyafii mengenai ucapan beberapa Ahli Bicara (semacam orang –orang yg hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini Batil secara jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yg mengingkari nash nash dari Alqur’an dan Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan.
2. Ucapan Imam Ibn katsir :
وأن ليس للإنسان إلا ما سعى أي كما لا يحمل عليه وزر غيره كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه ومن هذه الآية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماءة ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة رضي الله عنه ولو كان خيرا لسبقونا إليه وباب القربات يقتصر فيه على النصوص ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما ومنصوص من الشارع عليهما
“ Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalanya sendiri, dan dari ayat yang mulia ini (ayat 39,Surah An-Najm) Imam Syaf’i dan Ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rosulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala melalui bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan baik dengan nash maupun isyarat, dan tidak ada seorangpun (shahabat) yang mengamalkan perbuatan tersebut, jika amalan itu baik, tentu mereka lebih dahulu mengamalkanya, padalah amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala hanya terbatas yang ada nash-nashnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat”
MEREKA (wahhabi) MEMUTUSNYA SAMPAI DISINI, demikian kelicikan mereka, padahal kelanjutannya adalah :
“Namun mengenai doa dan sedekah maka hal itu sudah sepakat seluruh ulama atas sampainya, dan telah ada Nashash yg jelas dari syariah yg menjelaskan keduanya” (Tafsir Imam Ibn Katsir juz 4 hal 259).
“ Dari Abu Dzar radliallahu 'anhu, dari Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda: "Bahwasanya pada setiap tulang sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan TAHLIL itu adalah sedekah, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar ma’ruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan seseorang dari sholat Dluha.” (Hadits riwayat: Muslim).
3. Shohibul Almughniy Menjelaskan :
ولا بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر اقرؤوا آية الكرسي وثلاث مرار قل هو الله أحد الإخلاص ثم قال اللهم إن فضله لأهل المقابر وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن القراءة ثم القبر بدعة فقال له محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن أبيه أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل للرجل يقرأ
“Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalu katakanlah : Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”.
Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya), maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya bahwa bila wafat agar DIBACAKAN AWAL SURAT BAQARAH DAN PENUTUPNYA, dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad : :”katakan pada orang yg tadi kularang membaca AL qur’an dikuburan agar ia terus membacanya lagi..”. (Al Mughniy Juz 2 hal : 225)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْقَارِيُّ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :
" لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ ." روه مسلم .
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Abdurrahman Al Qariy dari Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, sesungguhnya syetan itu akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al Baqarah."(HR. Muslim)
4. Lalu berkata pula Imam Nawawi :
أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا على أجمعوا وصول وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ويصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا اذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا واختلف العلماء في الصوم اذا مات عليه صوم قال راجح جوازه عنه للأحاديت الصحيحة فيه والمشهور في مذهبنا ان قراءة القرآن لا يصله توابها وقال جماعة من اصحابنا يصله توابها وبه قال أحمد بن حنبل
“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa doa, dan pembayaran hutang (untuk mayyit) dengan nash2 yg teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit bila haji muslim,
demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yg sunnah, demikian pendapat yg lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yg lebih benar adalah yg membolehkannya sebagaimana hadits hadits shahih yg menjelaskannya, dan yg masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yg membolehkannya” (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 7 hal 90)
Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma
Beliau adalah seorang sahabat Nabi, ayahnya adalah Amr bin Al ‘Ash, Gubernur Mesir pada masa Khalifah Umar. Dalam kitab SyarhMuntaha Al Iradat, disebutkan demikian:
وَعَنْ ابْنِ عَمْرٍو أَنَّهُ كَانَ يُسْتَحَبُّ إذَا دُفِنَ الْمَيِّتُ أَنْ يَقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا ، رَوَاهُ اللَّالَكَائِيّ ُ ، وَيُؤَيِّدُهُ عُمُومُ { اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ} .
Dari Abdullah bin Amru, bahwa dia menganjurkan jika mayit dikuburkan hendaknya dibacakanpembuka surat Al Baqarah, dan akhir surat Al Baqarah.
Ini diriwayatkan oleh Imam Al Lalika’i.
Hal ini dikuatkan oleh keumuman hadits: Bacalah Yasin kepada orang yang maut di antaramu.
(Imam Al Bahuti, SyarhMuntaha Al Iradat, 3/16. Mawqi’ Al Islam)
Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu dan Imam IbnuQudamah Rahimahullah,,, Ini telah masyhur dari Imam Ahmad, bahwa dalam kitabnya, Syarhul Kabir:
وقال أحمد ويقرءون عند الميت إذا حضر ليخفف عنه بالقرآن يقرأ (يس) وأمر بقراءة فاتحة الكتاب.
Berkata Ahmad: bahwa mereka membacakan Al Quran (surat Yasin) pada sisi mayit untuk meringankannya, dan juga diperintahkan membaca surat Al Fatihah.
(Imam Ibnu Qudamah,Syarh Al Kabir, 2/305. Darul Kitab Al ‘Arabi).
Imam Al Bahuti juga mengatakan:
قَالَ أَحْمَدُ : الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ لِلْأَخْبَارِ .
Imam Ahmad mengatakan, bahwa semua bentuk amal shalih sampai kepada mayit baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu. (Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16).
* Adapun masalah pendapat Imam Syafi’I bahwa pahala Bacaan tidak sampai kepada mayyit , maka Ulama2 Syafi’iyah angkat bicara :
1. قال شيخ الاسلام الامام زكريا الانصاري : إن مشهور المذهب أي في تلاوة القرأن محمول على ما إذا قرأ لابحضرة الميت ولم ينو الثواب له أو نواه ولم يدع (حكم الشر يعة الاسلامية في مأتم الاربعين ص ٤٣)
syaikhul islam Imam Zakariya Al Anshori : Sesungguhnya pendapat masyhur madzhab (Asyafi’i) di dalam masalah bacan alqur’an itu di kondisikan apabila membacanya itu tidak di hadapan mayit (kuburnya) dan tidak niat memberikan pahala bacaan alquran itu kepada mayit atau berniat memberikan pahala bacaan tetapi tidak mendoakan (Hukmussyari’ah al islamiyyah fi ma’tamil arba’in hal 43).
2. والقول المذكور مبني على عمل الامام الشافعي فإنه كان يزور قبر الامام الليث بن سعد ثم يتلو الاذكار والقران الكريم : وقد تواتر أن الشافعي زار الليث بن سعد و أثنى وقرأ عنده ختمة و قال أرجو أن تدوم فكان الامر كذالك (الذخيرة الثمنية ص ٦٤
perkataan tersebut (Pendapatnya Imam Zakaria Al Anshori, itu di dasarkan atas perilaku Imam Syafi’i, bahwasanya Imam Syafi’i menziarahi Makam Imam Allayts bin Sa’ad kemudian melantunkan dzikir-dzikir dan Alqur’an, dan sungguh telah berkali-kali, bahwasanya Imam Syafii menziarahi Allayts bin Sa’ad, memujinya dan membaca (alquran) dengan sekali khataman, dan beliau berkata : Aku berharap ini di langgengkan, dan perkara itu demikian adanya (adzakhiroh atsamaniyyah hal 64)
3. وفى مناسبة أخرى قال الامام الشافعي : ويستحب أن يقرأ عنده شيئ من القرأن ، وإن ختموا القرأن كله كان حسنا (دليل الفالحين ج ٦ ص ١٠٣)
di kesempatan lain, Imam Syafi’i berkata : dan di anjurkan di sisinya (qubur) di bacakan bacaan dari Alquran, maka apabila mereka mengkhatamkan alquran semuanya maka hal itu lebih bagus (dalilul falihin juz 6 hal 103)
4. قال الامام النواوي : فالاختيار أن يقول القارئ بعد فرغه : اللهم اوصل ثواب ماقرأته إلى فلان (الأذكار ص ١٥)
berkata Imam Annawawi : Maka pendapat yang di pilih, orang yang membaca Alquran setelah selesai membacanya dia berdoa : Ya Allah sampaikanlah pahala dari apa-apa yang ku baca kepada si fulan (Al Adzkar hal 156)
قال الشوكان وقال في شرح الكنز : إن الأنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان او صوما او حجا او صدقة اوقرأة قرأن او غير ذلك من جميع أنواع البر،ويصل ذلك إلى الميت ينفعه عند أهل السنة. نيل الاوطار ٤/١٤٢
Imam Asyaukani berkata menuqil dari Syrah kitab alkanzu : bahwasanya manusia itu bisa menjadikan pahala amalnya itu untuk orang lain, baik berupa sholat, puasa, haji, sodakoh atau bacaan alqur’an atau selain dari itu semua yang berupa berbagai macam amal kebaikan, dan pahalanya itu semua bisa sampai kepada mayit dan bisa bermanfaat bagi mayit, demikian ini menurut ahlissunnah (naylul author juz 4 hal 142)
FATWA ULAMA WAHHABY , SAMPAINYA PAHALA KEPADA MAYIT
1. Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri sekte wahabi dalam kitabnya “AHKAM TAMANNIL AL MAUT” Halaman 75 , mengatakan: apa yang memberi pengertian bahwa bisa sampainya pahala amal ibadah dari orang hidup untuk orang-orang mati termasuk dengan bacaan al-qur’an, ketika ia mengatakan dalam kitab tersebut:
[ محمد بن عبدالوهاب ]
ذكر محمد بن عبد الوهاب في كتابه أحكام تمني الموت [ ص75 ] مايفيد وصول ثواب الأعمال من الأحياء إلى الأموات ومن ضمنها قراءة القران للأموات حيث ذكر:
وأخرج سعد الزنجاني عن أبي هريرة مرفوعا من دخل المقابر ثم قرأ فاتحة الكتاب وقل هو الله أحد والهاكم التكاثر ثم قال أني جعلت ثواب ما قرأت من كلامك لأهل المقابر من المؤمنين والمؤمنات كانوا شفعاء له إلى الله تعالى
وأخرج عبد العزيز صاحب الخلال بسنده عن أنس مرفوعا من دخل المقابر فقرأ يس خفف الله عنهم وكان له بعدد من فيها حسنات
انتهى
Sa’ad Azzanjani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah RA dengan hadits marfu’:
BARANG SIAPA MEMASUKI PEKUBURAN KEMUDIAN MEMBACA FATIHAH,QUL HUWALLOHU AHAD,ALHA KUM ATTAKATSUR KEMUDIAN DIA BERKATA: YA ALLAH AKU MENJADIKAN PAHALA BACAAN KALAMMU INI UNTUK AHLI KUBUR DARI ORANG-ORANG MU’MIN,MAKA AHLI KUBUR ITU AKAN MENJADI PENOLONGNYA NANTI DI HADAPAN ALLAH SWT…..
Abdul Azizi Shahib Al-kholllal meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas dalam hadits marfu’:
NABI SAW BERSABDA:
BARANGSIAPA YANG MEMASUKI PEKUBURAN KEMUDIAN DIA MEMBACA YASIN, MAKA ALLAH AKAN MERINGANKAN SIKSAAN MEREKA,DAN DIA AKAN MENDAPATKAN PAHALA AHLI KUBUR TERSEBUT…...
2. Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Tertulis dalam Majmu’ Fatawanya:
سُئِلَ: عَنْ قَوْله تَعَالَى: {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إلَّا مَا سَعَى} وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ} فَهَلْ يَقْتَضِي ذَلِكَ إذَا مَاتَ لَا يَصِلُ إلَيْهِ شَيْءٌ مِنْ أَفْعَالِ الْبِرِّ¿
الْجَوَابُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لَيْسَ فِي الْآيَةِ، وَلَا فِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَنْتَفِعُ بِدُعَاءِ الْخَلْقِ لَهُ، وَبِمَا يُعْمَلُ عَنْهُ مِنْ الْبِرِّ بَلْ أَئِمَّةُ الْإِسْلَامِ مُتَّفِقُونَ عَلَى انْتِفَاعِ الْمَيِّتِ بِذَلِكَ، وَهَذَا مِمَّا يُعْلَمُ بِالِاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ الْإِسْلَامِ، وَقَدْ دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ، فَمَنْ خَالَفَ ذَلِكَ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ.
Ibnu Taimiyah ditanya tentang Ayat Alloh (“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya” Qs. An NaJM (53): 39) dan Sabda Rasulullah Saw : (Apabila anak keturunan Adam wafat maka akan terputus AMALnya kecuali tiga, Sodaqoh jariyah, Ilmu yang bermanfaat , Anak yang Shalih yang berdo’a kepadanya) maka apakah benar jika telah meninggal seseorang tidak akan sampai kepadanya sesuatu apapun dari perbuatan yang baik.?
Ibnu Taimiyyah menjawab : “Segala puji bagi Alloh penguasa Alam semesta, tidak ada dalam Ayat Alloh dan tidak pula dalam Hadis , bahwasanya tidak bermanfaat Do’a makhluk bagi mayyit, begitu juga dengan amalan yang baik, tetapi seluruh Imam bersepakat terhadap manfaat bagi mayit dengan hal tersebut, dan ini merupakan suatu yang harus dikerjakan dalam Agama Islam, dan telah jelas Keterangan/Alasan tentang itu baik dalam Al Kitab(Al Qur’an), As Sunnah maupun Ijma’ , Maka Barang Siapa Yang Yang Menyalahi Hal Tersebut MAKA DIA TERMASUK AHLI BID’AH (Fatawa , Ibnu Taimiyyah :22/382)
وسئل عن قراءة أهل البيت : تصل إليه ؟ والتسبيح والتحميد، والتهليل والتكبير، إذا أهداه إلى الميتيصل إليه ثوابها أم لا ؟
فأجاب :
يصل إلى الميت قراءةأهله، وتسبيحهم، وتكبيرهم، وسائر ذكرهم لله تعالى، إذا أهدوه إلى الميت، وصل إليه . والله أعلم .
وسئل : هل القراءة تصل إلى الميت من الولد أو لا على مذهب الشافعي ؟
فأجاب :
أما وصول ثواب العبادات البدنية كالقراءة، والصلاة، والصوم فمذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك، والشافعي، إلى أنها تصل،... والله أعلم .
Beliau ditanya tentang membaca Al Quran yang dilakukan keluarga; apakah sampai kepada mayit? Begitu juga tasbih, tahmid, takbir, jika dihadiahkan untuk mayit , sampaikah pahala kepadanya atau tidak?
Beliau menjawab:
“Pahala bacaan Al Quran keluarganya itu sampai kepada mayit, dan tasbih mereka, takbir,serta semua bentuk dzikir mereka kepada Allah Ta’ala jika dia hadiahkan kepada mayit, maka sampai kepadanya. WallahuA’lam”
Beliau ditanya: menurut madzhab Syafi’I apakah pahala membaca AlQuran akan sampai kepada mayit dari anak atau tidak?
Beliau menjawab:
“Ada pun sampainya pahala ibadah-ibadah badaniah seperti membaca Al Quran, shalat, dan puasa, maka madzhab Ahmad, Abu Hanifah, segolongan sahabatMalik, Syafi’i, mengatakan bahwa hal itu sampai pahalanya.” Wallahu A’lam
(Majmu' Fatawa, 34/324. Darul Maktabah Al Hayah)
Syekh Utsaimin
وأما القراءة للميت بمعنى أن الإنسان يقرأ و ينوي أن يكون ثوابها للميت، فقد اختلف العلماء رحمهم الله هل ينتفع بذلك أو لا ينتفع؟ على قولين مشهورين الصحيح أنه ينتفع، ولكن الدعاء له أفضل
“Pembacaan al-Qur’an untuk orang mati dengan pengertian bahwa manusia membaca al-Qur’an serta meniatkan untuk menjadikan pahalanya bagi orang mati, maka sungguh ulama telah berselisih pendapat mengenai apakah yang demikian itu bermanfaat ataukah tidak ? atas hal ini terdapat dua qaul yang sama-sama masyhur dimana yang shahih adalah bahwa membaca al-Qur’an untuk orang mati memberikan manfaat, akan tetapi do’a adalah yang lebih utama (afdlal).”
Sumber : Majmu Fatawa wa Rasaail [17/220-221] karya Muhammad bin Shalih al-Utsaimin [w. 1421 H]
IBNU QOYYIM
Kitab ar-ruh :
Teks Arab Kitab Arruh Ibnu qayyim pada halaman 5 (kitab digital) :
وقد ذكر عن جماعة من السلف أنهم أوصوا أن يقرأ عند قبورهم وقت الدفن قال عبد الحق يروى أن عبد الله بن عمر أمر أن يقرأ عند قبره سورة البقرة وممن رأى ذلك المعلى بن عبد الرحمن وكان الامام أحمد ينكر ذلك أولا حيث لم يبلغه فيه أثر ثم رجع عن ذلك وقال الخلال في الجامع كتاب القراءة عند القبور اخبرنا العباس بن محمد الدورى حدثنا يحيى بن معين حدثنا مبشر الحلبى حدثني عبد الرحمن بن العلاء بن اللجلاج عن أبيه قال قال أبى إذا أنامت فضعنى في اللحد وقل بسم الله وعلى سنة رسول الله وسن على التراب سنا واقرأ عند رأسى بفاتحة البقرة فإنى سمعت عبد الله بن عمر يقول ذلك قال عباس الدورى سألت أحمد بن حنبل قلت تحفظ في القراءة على القبر شيئا فقال لا وسألت يحيى ابن معين فحدثنى بهذا الحديث قال الخلال وأخبرني الحسن بن أحمد الوراق حدثنى على بن موسى الحداد وكان صدوقا قال كنت مع أحمد بن حنبل ومحمد بن قدامة الجوهرى في جنازة فلما دفن الميت جلس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا من المقابر قال محمد بن قدامة لأحمد بن حنبل يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر الحلبي قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم فأخبرني مبشر عن عبد الرحمن بن العلاء اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرأ عند رأسه بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك فقال له أحمد فارجع وقل للرجل يقرأ
وقال الحسن بن الصباح الزعفراني سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال لا بأس بها وذكر الخلال عن الشعبي قال كانت الأنصار إذا مات لهم الميت اختلفوا إلى قبره يقرءون عنده القرآن قال وأخبرني أبو يحيى الناقد قال سمعت الحسن بن الجروى يقول مررت على قبر أخت لي فقرأت عندها تبارك لما يذكر فيها فجاءني رجل فقال إنى رأيت أختك في المنام تقول جزى الله أبا على خيرا فقد انتفعت بما قرأ أخبرني الحسن بن الهيثم قال سمعت أبا بكر بن الأطروش ابن بنت أبي نصر بن التمار يقول كان رجل يجيء إلى قبر أمه يوم الجمعة فيقرأ سورة يس فجاء في بعض أيامه فقرأ سورة يس ثم قال اللهم إن كنت قسمت لهذه السورة ثوابا فاجعله في أهل هذه المقابر فلما كان يوم الجمعة التي تليها جاءت امرأة فقالت أنت فلان ابن فلانة قال نعم قالت إن بنتا لي ماتت فرأيتها في النوم جالسة على شفير قبرها فقلت ما أجلسك ها هنا فقالت إن فلان ابن فلانة جاء إلى قبر أمه فقرأ سورة يس وجعل ثوابها لأهل المقابر فأصابنا من روح ذلك أو غفر لنا أو نحو ذلك
Membaca Al-qur’an Diatas Kubur Dan Mengadiahkan Pahalanya bagi Mayyit (Muslim)
Tarjamahannnya :
Pernah disebutkan daripada setengah para salaf, bahwa mereka mewasiatkan supaya dibacakan diatas kubur mereka di waktu penguburannya. Telah berkata abdul haq, diriwayatkan bahwa Abdullah bin umar pernah menyuruh supaya diabacakan diatas kuburnya surah al-baqarah. Pendapat ini dikuatkan oleh mu’alla bin hanbal, pada mulanya mengingkari pendapat ini kerana masih belum menemui sesuatu dalil mengenainya, kemudian menarik balik pengingkarannya itu setelah jelas kepadanya bahwa pendapat itu betul.
Berkata Khallal di dalam kitabnya ‘Al-jami’ : Telah berkata kepadaku Al-Abbas bin Muhammad Ad-dauri, berbicara kepadaku Abdul Rahman bin Al-Ala’ bin Lajlaj, daripada ayahnya, katanya : Ayahku telah berpesan kepadaku, kalau dia mati, maka kuburkanlah dia di dalam lahad, kemudian sebutkanlah : Dengan Nama Allah, dan atas agama Rasulullah !, Kemudian ratakanlah kubur itu dengan tanah, kemudian bacakanlah dikepalaku dengan pembukaan surat albaqarah, kerana aku telah mendengar Abdullah bin Umar ra. Menyuruh membuat demikian. Berkata Al-Abbas Ad-Dauri kemudian : Aku pergi bertanya Ahmad bin Hanbal, kalau dia ada menghafal sesuatu tentang membaca diatas kubur. Maka katanya : Tidak ada ! kemudian aku bertanya pula Yahya bin Mu’in, maka dia telah menerangkan kepadaku bicara yang menganjurkan yang demikian.
Berkata Khallal, telah memberitahuku Al-Hasan bin Ahmad Al-Warraq, berbicara kepadaku Ali bin Muwaffa Al-Haddad, dan dia adalah seorang yang berkata benar, katanya :Sekalai peristiwa saya bersama-sama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari menghadiri suatu jenazah. Setelah selesai mayit itu dikuburkan, maka telah duduk seorang yang buta membaca sesuatu diatas kubur itu. Maka ia disangkal oleh Imam Ahmad, katanya : Wahai fulan ! Membaca sesuatu diatas kubur adalah bid’ah !. Apa bila kita keluar dari pekuburan itu, berkata Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari kepada Imam Ahmad bin Hanbal : Wahai Abu Abdullah ! Apa pendapatmu tentang si Mubasysyir Al-Halabi ? Jawab Imam Ahmad : Dia seorang yang dipercayai. Berkata Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari seterusnya : Aku menghafal sesuatu daripadanya ! Sangkal Imam Ahmad bin Hanbal : Yakah, apa dia ? Berkata Muhammad bin Qudamah : Telah memberitahuku Mubasysyir, daribada Abdul Rahman Bin Al-Ala’ bin Lajlaj, daripada ayahnya, bahwasanya ia berpesan, kalau dia dikuburkan nanti, hendaklah dibacakan dikepalanya ayat-ayat permulaan surat Al-Baqarah, dan ayat-ayat penghabisannya, sambil katanya : Aku mendengar Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mewasiatkan orang yang membaca demikian itu.
Mendengar itu, maka Imam Ahmad bin Hanbal berkata kepada Muhammad bin Qudamah : Kalau begitu aku tarik tegahanku (Bhs Ind : penolakanku ) itu. Dan suruhlah orang buta itu membacakannya.
Berkata Al- Hasan bin As-sabbah Az-za’farani pula : Saya pernah menanyakan hal itu kepada Imam Syafi’i, kalau boleh dibacakan sesuatu diatas kubur orang, maka Jawabnya : Boleh, Tidak mengapa !
Khalal pun telah menyebutkan lagi dari As-sya’bi, katanya : Adalah Kaum Anshor, apabila mati seseorang diantara mereka, senantiasalah mereka mendatangi kuburnya untuk membacakan sesuatu daripada Al-Qur’an.
Asy-sya’bi berkata, telah memberitahuku Abu Yahya An-Naqid, katanya aku telah mendengar Al-Hasan bin Al-Haruri berkata : Saya telah mendatangi kubur saudara perempuanku, lalu aku membacakan disitu Surat Tabarak (Al-Mulk), sebagaimana yang dianjurkan. Kemudian datang kepadaku seorang lelaki danmemberitahuku, katanya : Aku mimpikan saudara perempuanmu, dia berkata : Moga-moga Allah memberi balasan kepada Abu Ali (yakni si pembaca tadi) dengan segala yang baik. Sungguh aku mendapat manfaat yang banyak dari bacaannya itu.
Telah memberitahuku Al-Hasan bin Haitsam, katanya aku mendengar Abu Bakar atrusy berkata : Ada seorang lelaki datang ke kubur ibunya pada hari jum’at, kemudian ia membaca surat Yasin disitu. Bercerita Abu Bakar seterusnya : Maka aku pun datang kekubur ibuku dan membaca surah Yasiin, kemudian aku mengangkat tangan : Ya Allah ! Ya Tuhanku ! Kalau memang Engkau memberi pahala lagi bagi orang yang membaca surat ini, maka jadikanlah pahala itu bagi sekalian ahli kubur ini !
Apabila tiba hari jum’at yang berikutnya, dia ditemui seorang wanita. Wanita itu bertanya : Apakah kau fulan anak si fulanah itu ? Jawab Abu Bakar : Ya ! Berkata wanita itu lagi : Puteriku telah meninggal dunia, lalu aku bermimpikan dia datang duduk diatas kuburnya. Maka aku bertanya : Mengapa kau duduk disini ? Jawabnya : Si fulan anak fulanah itu telah datang ke kubur ibunya seraya membacakan Surat Yasin, dan dijadikan pahalanya untuk ahli kuburan sekaliannya. Maka aku pun telah mendapat bahagian daripadanya, dan dosaku pun telah diampunkan karenanya.
(Kitab Ar-ruh Hafidz Ibnuqayyim jauziyah, ‘Roh’ , , halaman 17 – 19)
Sumber lain:
http://nahdlatululama.id/blog/2017/12/19/inilah-dalil-tahlilan-372540100-1000-hari-yang-perlu-anda-tahu/
Sumber lain:
http://nahdlatululama.id/blog/2017/12/19/inilah-dalil-tahlilan-372540100-1000-hari-yang-perlu-anda-tahu/
Hukum Tahlilan Membaca Tahlil lengkap dengan Dalilnya
Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi
on
August 07, 2018
Rating:
No comments:
Komentar