Ibnu ‘Arabi nama lengkap Ibnu ‘Arabi adalah Abu Bakar Ibnu
Ali Muhyiddin al-Hatimi al-tha’I al Andalusia. Ada pula yang menyebutkan bahwa
nama aslinya ialah Muhamad Bin Ali Ahmad Bin Abdullah. sedangkan nama Abu Bakar
Abnu Ali Muhyidin atau al-Hatimi hanyalah nama gelar baginya, selanjutnya, ia
populer dengan
nama
Ibnu ‘Arabi dan ada yang menulisnya Ibnu al-Arabi.1 Muhammad Ibn ‘Ali
Muhammad Ibnu ‘Arabi At-Tai Al-Hatimi, lahir di Murcia Spanyol bagian Utara
lahir pada tanggal 27 Ramadhan 560 H (17 Agustus 1165 M) pada pemerintahan
Muhammad Ibn Said Ibn’ Mardanisy. Ibnu ‘Arabi berasal dari keturunan Arab
berasal dari keluarga yang soleh. ayahnya, menteri utama Ibn’ Mardanisy, jelas
seorang tokoh terkenal dan berpengaruh di bidang politik dan pendidikan,
keluarganya juga sangat religius, karena ketiga pamannya menjadi pengikut jalan
sufi yang masyhur, dan ia sendiri digelari
Muhyi al-Din (penghidup agama) dan
al Syaikh al-Akbar (doktor maximus) karena
gagasan-gagasannya yang besar terutama
dalam bidang mistik. 2
2.
Pendidikan
1 Noer Iskandar Al-Barsani, Tasawuf ,
Tarekat & Para Sufi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001) hal
153
2 A.Khudori Soleh, Wacana
Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal 138
39
Pada usia delapan tahun yaitu tahun 568
H / 1172 M Ibnu ‘Arabi meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat menuju kota
Lisabon. Di kota ini ia menerima pendidikan agama Islam pertamanya, yang berupa
membaca al-Qur’an dan
mempelajari hukum-hukum Islam dari gurunya,
Syekh Abu Bakr Ibnu Khallaf.3
Kemudian
ia pindah kekota Sevilla yang waktu itu merupakan pusat para sufi Spanyol, ia
tinggal dan menetap disana selama 30 tahun.
Di kota di Sevilla inilah Pendidikan Ibnu ‘Arabi
dimulai ketika ayahnya menjabat di istana dengan pelajaran yang umum pada saat
itu al-Qur’an dan Hadits, Fiqh, Theologi, dan Filsafat Skolastik, Ilmu Kalam.
keberhasilan pendidikan dan kecerdasan otaknya juga kedudukan ayahnya
mengantarkanya sebagai sekretaris Gubenur sevilla diusia belasan. Yang perlu
dicatat bahwa kota Sevilla pada saat itu selain sebagi kota ilmu pengetahuan
juga merupakan kegiatan Tasawuf dengan banyak guru sufi terkenal yang tinggal
disana. Kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif dan kaya mempercepat
pembentukan Ibnu ‘Arabi sebagai tokoh sufi yang terpelajar, apalagi ia telah masuk Thariqat diusia
yang masih 20 tahun.4
Selama menetap di Sevilla Ibnu ‘Arabi muda sering melakukan
kunjungan berbagai kota di Spanyol, untuk berguru dan bertukar pikiran dengan
para tokoh sufi maupun sarjana terkemuka. salah satu kunjungan yang paling
mengesankan adalah ketika bertemu Ibn Rusyd (1126-1198 M) dimana saat itu Ibnu
‘Arabi mengalahkan tokoh filosuf peripatetik ini dalam perdebatan dan tukar
pikiran, sesuatu yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya
wawasan spiritual sufi muda ini. juga menunjukan adanya hubungan yang kuat
antara Mistisisme dan filsafat dalam
3 M.fudoli
Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh Dan Pemikirannya, (Surabaya :Risalah
Gusti, 2000), hal 101
4 A.Khudori
Soleh, Wacana Baru Filsafat…,hal 139
kesadaran
metafisis Ibnu ‘Arabi. Pengalaman pengalaman visioner mistiknya berhubungan dan
didukung oleh pemikiran filosofisnya yang ketat, Ibnu ‘Arabi adalah seorang
mistikus sekaligus filosuf paripatetik, sehingga bisa memfilsafatkan pengalaman
spiritualnya ke dalam suatu pandangan Dunia Metafisis yang maha besar
sebagaimana dilihat dari gagasan-gagasannya.5
Di kota Sevilla inilah Ibnu ‘Arabi Pendidikannya berhasil
karena dia kemudian memperoleh pekerjaan menjadi seorang sekretaris gubenur
Sevilla. Dan setelah itu Ia menikahi seorang gadis dari keluarga baik-baik
benama Maryam. secara beruntung istri barunya ini juga mengenal baik sejumplah
Manusia yang Soleh dan jelas
sama-sama mempunyai keinginan seperti suaminya
untuk menempuh jalan Sufi. 6
Ibnu ‘Arabi disamping terus belajar ia adalah seorang yang
sangat haus akan ilmu. ia tidak merasa puas dengan ulama’ yang ada di
daerahnya. oleh sebab itu, dalam rangka memperluas ilmu pengetahuanya, tatkala
menginjak usia 30 tahun ia mulai melakukan pengembaraan ke berbagai negeri
Islam, selain Andalusia ia juga ke Maroko dan Aljazair. Tahun 598H/1202M Ibnu
‘Arabi tiba di Mesir bersama murid dan pembantunya, Abdullah al-Habasyi. di
negeri ini ia tidak tinggal lama. kemudian dari Mesir ia terus berkelana ke
Timur, mengunjungi al-Quds dan Mekkah al- Mukarramah di mana ia juga mengajar
untuk waktu tertentu. Selain Hijaz yang dikunjunginya dua kali, ia juga ke
Aleppo dan asia kecil. di setiap tempat yang di kunjungi, ia selalu menerima
penghargaan besar dan diberi banyak hadiah yang kemudian selalu di
berikanya kepada para fakir miskin.7
5 Ibid…..,140
6 Ibn’arabi,
Fusus Al-Hikam:Mutiara Hikmah 27 Nabi, (Yogyakarta: Islamika, 2004), hal
2
7 M.
fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh….,hal 102
Ibnu’ Arabi selama proses spiritualnya,
Dia mengkaji banyak pelajaran tentang hakekat Mistik, diantaranya adalah
doktrin-doktrin metafisis kaum sufi, Kosmologi, penafsiran esoterik, dan barang
kali ilmu pengetahuan yang lebih ghoib bersifat astrologi dan al-kimia. Tentu
banyak bukti yang berkaitan dengan materi-materi semacam ini ditemukan dalam
karya-karyanya. Selain sisi jalan mistik yang lebih teoritis, Ibnu ‘Arabi dan
murid-muridnya tidak diragukan, didorong oleh para gurunya untuk menguatkan dan
mempraktekkan pelbagai ritus dan metode tarikat. Ini meliputi do’a, sholat,
puasa, tahajud, iktikaf malam, pengasingan diri, dan meditasi. Pembelajaran
semacam ini sering mengantarkan pada pengalaman diluar panca indra, banyak di
klaim Ibnu ‘Arabi telah dialaminya dalam kehidupannya. Untuk mendorong semacam
ini. Ibnu ‘Arabi ketika masih muda di Sevilla sering menghabiskan waktu
berjam-jam di kuburan untuk bercakap-cakapan dengan arwah orang yang sudah
meninggal.8
Ibnu ‘Arabi banyak berbicara tentang ajaran
Al-Qur’an dan Al-Hadist secara rinci berbagai peristiwa dalam kehidupan Nabi,
peran Syari’at prinsip-prinsip hukum Islam, nama-nama dan sifat Tuhan, hubungan
antara Tuhan dengan alam semesta, tata kosmos, takdir yang harus diterima oleh
Manusia, berbagai golongan Manusia, jalan yang harus ditempuh untuk mencapai
kesempurnaan, tahap-tahap pendakian menuju Tuhan, berbagai tingkatan serta
golongan Malaikat, hakekat Jin, ruang dan waktu, peran intuisi-intuisi politis,
simbolisme tulisan, kehidupan di alam barzah (antara alam kubur
dan hari kebangkitan), status ontologis Surga
dan Neraka dan sebagainya.9
8 Ibn’arabi,
Fusus Al-Hikam:Mutiara Hikmah…., hal 3
9 William
C. Chitick, The Sufi Path Of Knowledge Pengetahuan Spiritual Ibnu ‘Arabi
(Yogyakarta: Qalam, 2002) hal 7
Perjalanan spiritual
Ibnu ‘Arabi yang luar biasa ditandai oleh berbagai isyarat tidak kurang dari
kenyataan bahwa dia mencapai pembukaaan ketika masih berusia muda dalam waktu
dua jam. Muridnya Syam Al-Din Ismail Ibn Saudakin Al-Nuri (wafat 646 H/1248 M)
mengutip peryataanya sebagai berikut: aku mulai menarik diri pada saat cahaya
pertama (fajr) dan mencapai pembukaan sebelum matahari terbit. setelah
itu aku memasuki cahaya purnama dan maqam-maqam lain satu-persatu aku tidak
beranjak ditempatku selama 40 bulan selama itu aku banyak mengalami misteri
yang kemudian setelah pembukaan kutuangkan dalam bentuk tulisan. Pembukaan
begitu berkesan bagiku pada saat itu.
Ibnu
Arabi meninggal dengan tenang di Damaskus pada tanggal 28 Rabi’ulakhir 638 H.
(16 November 1240) pada usia 78 tahun dikelilingi oleh keluarga, para sahabat,
dan murid-murid sufinya. Ia dimakamkan di Utara Damaskus dipinggiran kota
Salihiyah, di kaki Gunung Qasiyun. Garis kehidupannya berakhir selaras dengan
berakhirnya norma imanennya, karena tempat dimana Ibnu ‘Arabi. dikubur dimana
jasadnya beristirahat bersama dua putranya, menjadi tempat ziarah yang dalam
pandangan kaum Muslim telah disucikan oleh semua Nabi, dan terutama oleh Nabi Khidr.
Pada abad ke 16 Salim II Sultan Kontantinopel membangun suatu Mausoleum dan
Madrasah diatas makam Ibnu
‘Arabi.10 Ibnu ‘Arabi waktu
hidup sezaman dengan para sufi besar lainnya seperti Suhrowardi, Najmuddin ar
Razi, Muslihuddin, Sa’di, Abu al-Hasan al-maghrib as-Syadzili, Jalaluddin Rumi
dan Ibnu Faridh, dan dari pemikiran Ibnu ‘Arabi banyak mempengaruhi para
filsuf dan sufi lainnya.11
10 Henry
Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn Arabi, (Yogyakarta:Lkis,2002), hal
80
11M. Fudoli Zaini, Sepintas
Sastra Sufi Tokoh…,hal 103
Ibnu ‘Arabi adalah penulis yang produktif,
menurut Browne ada 500 judul karya tulis dan 90 judul diantaranya asli tulisan
tangannya diperpustakaan negara
Mesir.12 karya Ibnu ‘Arabi
sangat beragam mulai dari artikel pendek yang hanya berupa tulisan beberapa
halaman, hingga buku tebal yang berjilid-jilid, seperti, al-futuhal makkiyyah
yang di anggap oleh pusat pengetahuan sebagai referensi utama kajian Tasawuf
Islam, yang terdiri dari 37 bagian dan setiap bagian terdiri dari 300 halaman.
Demikian juga dengan Al Tafsir Al- Kabir yang tidak kurang dari 64
jilid. Ada satu ciri khas dalam diri Ibnu ‘Arabi yang membedakan dengan penulis
buku ke-Islaman lainnya. Hal tersebut karena tema yang di usung Ibnu ‘Arabi
hanya satu: Tasawuf dan ilmu relung hati (ilm al-asrar) walaupun Ibnu
‘Arabi melakukan eksplorasi terhadap berbagai disiplin ilmu ke-Islaman lainnya,
semua dilakukan untuk memfungsikan dan mengarahkan demi sebuah tujuan awal
yaitu Tasawuf.13
Meski Ibnu ‘Arabi dikenal sebagai seorang yang
banyak beribadah dan melakukan pengembaraan keberbagai negeri Islam semasa
hayatnya, namun ia berhasil mengabadikan kehebatanya dengan mewariskan
karya-karya nya bagi umat Manusia dalam jumplah yang luar biasa banyak-nya.
Maka dari itu pengamat menggelarinya ia sebagai seorang penulis yang produktif
diperkirakan karyanya sekitar 500 buku, sebagaimana di sebutkan Abdurrahman
al-Jami dalam bukunya Nafahat al-Yawaqit
wal-Jawahir (batu dan permata)14
12Rivay Siregar, Tasawuf
dari Sufisme.....hal172
13Ibrahim
Muhamad Al-Fayumi, Ibnu ‘Arabi Menyingkap Kode Dan Menguak Simbol Dibalik
Paham Wihdah Al-Wujud, (Jakarta: Erlangga, 2007), hal 17
14M. fudoli Zaini, Sepintas
Sastra Sufi Tokoh….,hal 104
Pemikiran
Ibnu ‘Arabi sangat istimewa hingga mampu menarik perhatian para pemikir Arab
Persia dan kawasan Islam lainnya mereka tertarik untuk meneliti istilah-istilah
sastra nya secara lebih mendalam. Karya Ibnu ‘Arabi hingga mencapai 500 buku
dan artikel pendek konon ada yang mengatakan bahwa karyanya lebih dari 1000
buku dan artikel, Ustman Bin Yahya dan ahlinya mengumpulkan judul-judul itu
dalam satu buku tersendiri dan meringkas dan menyajikan sebagiannya sebagai
berikut:
1. Al-Kibrit Al-Ahmar 2. Al-Isra
Ila Maqom Al-Isra 3. Futuhat Al-Makkyyah 4. Fushush Al-Hikam
5. Asrar Umm Al Qur’an 6. Asrar Al-Qulub 7. Asrar Al-Wahy
Fi Al-Mi’roj 8.
Kitab Adab. 9. Al-Isyarat Ila
Syarh Al-Asma Wa Al-Shifat 10.Al-Alaq Fimakarim Al-Akhlaq 11.
Al-Insan Al-Khamil Fi Ma’rifah Al-Alam Al-Alawi Wa Al-Safali 12.
Al-Anwar Al-Qudsiyah Fi Bayan Qawaid Al-Shufiyyah 13. Suluk Thariq
Al-Haqq 14.
Tahqiq Al-Mahabbah 15. Tahqia Madzabib Al-Shufiyyah Wa
Taqrir Qawlihin Fiwujud Al-Wajib Li Dzatih Wa Tahqiq Asma’ih 16. Tafsir
Al-Qur’an Al-Adzim Alalisan Al-Shufiyyah 17. Tawhid Al-Qulb 18.
Al Jahwah Fima’rifah Al-Khawah 19. Al-Haq Al-Makhluq 20. Al-Asma
Al-Illahiyyah 21. Al-Asma Al-Husna 22. Al-Jala Fi Kasyf Al-Wana 23.
Al-Haqiqah Al-Illahiyyah 24. Al-Intishar 25. Al-Hukm Wa
Al-Syara’I 26. Ard Al Haqiqah 27. Tartib Al Rihlah 28. Al
Tawajjuhat Al-Ilahiyyah. 29. Tawhid Al-Tawhid
30. Al Nu’ut Al
Illahiyyah 31. Al-Dzakha Ir Wa Al-I’lan Fi Syarh Turjumah Al Asywaq
Dan masih banyak kitab yang lainnya karya Ibnu ‘Arabi yang
tidak di tulis dalam
skripsi ini. 15 Namun diantaranya sekian banyak karya
nya, teryata dua buah karya Ibnu ‘Arabi yang terkenal dan menggambarkan corak
ajaran Tasawuf yakni Futuhat Al-Makkiyah (penyingkapan ruhani di Mekkah)
dan Fusus Al-Hikam (permata-permata
15 Ibid…..hal 18-19
hikmah).
Yang keduanya sangat terkenal.16
Kitab Futuhat Al Makkiyah adalah salah satu bukunya yang di tulis pada
akhir-akhir masa hidupnya yang ditulisnya di Mekkah mulai tahun 598 H. sampai
635M, diakui sendiri oleh Ibnu ‘Arabi sebagai curahan ilmu yang didektikan oleh
Tuhan melalui malaikat Jibril pembawa wahyu. Yang diyakininya
sebagai ilmu ilham (ilmu batin)
atau ilmu hadirat dari al-Qur’an.17 Sedangkan kitab
Fusus
Al-Hikam yang
di tulisnya sejak 598H. serta di selesaikan pada tahun 628 H yang terdiri
dari 27 bab tentang kenabian, diakuinya sebagai ilham dari Nabi Muhammad
SAW sendiri. Yang isinya menjelaskan hubungan setiap Nabi dengan asal dan
sumber ilmunya yang tak lain adalah Insan kamil
atau al-haqiqah al- muhammadiyah.18
B. Pemikiran Tasawuf Ibnu ‘Arabi
Ibnu ‘Arabi adalah seorang pemikir filsuf yang paling
penting dan berpengaruh dalam sejarah pemikiran Islam serta tokoh sufi pada
abad 13. filsafat mistiknya, yang disebut wahdatul wujud (kesatuan
wujud), dan insan kamil (Manusia sempurna) sangat mendominasi pemikiran
tokoh berikutnya di Dunia Muslim seperti Hamzah Fansuri yang mempunyai
pemikiran sama tentang wahdatul wujud, begitu juga dengan muridnya al-Jilli
yang melanjutkan pemikiran nya tentang insan kamil, maka dari itu kita perlu
menguraikan kontribusi pemikiran-pemikiran Ibnu ‘Arabi tentang wahdatul wujud,
insan kamil, dan juga tajalli, konsep cinta, serta beberapa tingkatan maqam
untuk mencapai derajat ma’rifat.
1.
Pemikiran Tentang
Wahdatul Wujud
Dalam
kitabnya Al-Futuhat Al-Makkiyah Ibnu ‘Arabi menuturkan bahwa Allah
adalah “wujud mutlak“ yaitu zat yang mandiri, yang keberadaan-Nya tidak
disebabkan
16 Ahmadi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi Tauladan
Kehidupan Yang Soleh, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000)
hal, 204
17M. fudoli Zaini, Sepintas
Sastra Sufi Tokoh….,105
18Noer Iskandar
Al-Barsani, Tasawuf , Tarekat…..,156
oleh
sesuatu apa pun. di halaman lain dari kitab futuhat dia menulis “
pertama-tama yang harus diketahui bahwa Allah SWT adalah zat yang awal, yang
tidak ada sesuatu pun mendahului-Nya tidak ada sesuatupun yang awal
bersama-Nya, Dia ada dengan sendiri-Nya, tidak membutuhkan sesuatu selain Dia.
Dia adalah Tuhan yang maha Esa, yang tidak berhajat
pada alam semesta.19
Ibnu ‘Arabi
dikenal dengan pembawa ajaran wahdat al-wujud (kesatuan wujud ) yang
menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu yaitu hanya ada satu wujud
yang sejati, yakni Allah SWT (al-Haqq). Sedang alam ini tidak lain adalah
sekedar dari manifestasi (tajalliat) dari wujud yang sejati tersebut
yang pada dirinya (alam) tidak memilki wujud sejati tau mutlak seperti Tuhan.
Hubungan wujud sejati (Tuhan) dengan alam digambarkan lewat wajah dengan
gambar, wajah itu muncul dari sejumplah cermin. Ibnu ‘Arabi pernah berkata
wajah itu satu tetapi cermin seribu, sehingga wajah yang sejati itu terpantul
dalam ribuan cermin, dan karena kaulitas dan posisi cermin berbeda antara satu
cermin dengan cermin yang lain, maka pantulan wajah sama dan satu itu pun
tampak berbeda-beda. itulah sebabnya. maka sekalipun Tuhan itu esa tetapi pantulannya (yaitu
alam semesta) beraneka dan berjenis jenis. 20 Inti
ajaran Tasawuf wahdatul wujud diterangkan Ibnu Arabi dengan menekankan
pengertian kesatuan keberadaan hakikat (unity of existence).
Maksudnya, seluruh yang ada, walaupun
tampaknya, sebenarnya tidak ada dan keberadaannya bergantung pada Tuhan Sang
Pencipta. Yang tampak hanya bayang-bayang dari Yang Satu (Tuhan). Seandainya
Tuhan, yang merupakan sumber bayang-bayang, tidak ada, yang lain pun tidak ada
karena seluruh a lam ini tidak
19Ahmadi Isa, Tokoh-Tokoh
Sufi Tauladan…., 205
20 Mulyadi
Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar…hal,64
memiliki wujud. Yang sebenarnya memiliki wujud
hanya Tuhan. Dengan kata lain, yang ada hanya satu" wujud, yaitu wujud
Tuhan, sedangkan yang lainnya hanya merupakan bayang-bayang.21 Ibnu ‘Arabi menggambarkan bentuk tajalli
dengan simbol wajah dengan cermin, diibaratkan semisal kita ingin melihat wajah
kita, kita tidak dapat melihatnya kecuali dalam cermin, yang nantinya kelihatan
dalam cermin kelihatan gamblang dan jelas, tetapi kita tahu bahwa satu-satunya
wajah yang riel adalah yang ada pada diri kita, bukan yang terpantul dalam
cermin. Karena yang ada dalam cermin hanyalah sebuah bayangan.
Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa wujud menjadi nyata oleh
karena Tuhan sebagai yang zhahir memperlihatkan dirinya dalam suatu “wadah manifestasi”
yakni di dalam kosmos itu sendiri. Tuhan tidak dapat memperlihatkan dirinya
sebagai yang batin, karena menurut definisi, Tuhan sebagai yang batin tidak
dapat dijangkau dan
diketahui di dalam kosmos ini.22 Setiap makhluk merupakan wadah manifestasi bagi
wujud demikian juga masing-masing adalah bentuk (shurah) dari wujud.
tidak ada kosmos dapat memiliki wujud selain berasal dari al-Haqq, sebuah
hadits berbunyi “Bahwa Tuhan menciptakan Adam menurut bentuknya
sendiri. Ibnu ‘Arabi menunjukkan banyak sekali fakta bahwa hadits
menggunakan nama Tuhan-(Allah) yakni nama yang komprehensif yang menjadi
rujukan semua nama selain Tuhan. oleh karena itu Manusia diciptakan lengkap
dengan kemampuan potensialnya untuk menampilkan Tuhan sebagai Tuhan, yakni
Tuhan yang
21Solihin, Tasawuf
Tematik Membedah Tema-Tema …,hal 86
22Wiliam C. Chittick, Dunia
Imajinal Ibnu ‘Arabi Kreatifitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama,
(Surabaya, Risalah Gusti, 2001), hal 31
di
namai seluruh nama-nya, sementara makhluk lainnya di dalam kosmos hanya mampu menyuguhkan nama Tuhan
tertentu saja dan terbatas.23
Bagi
Ibnu ‘Arabi alam semesta adalah penampakan (tajalli) Tuhan, Tuhan dan
alam semesta tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara
kontradiksi-kontradiksi ontologis. kontradiksi ini tidak hanya bersifat
horisontal tetapi juga vertikal. hal ini tampak seperti dalam uraian al-Qur’an
bahwa Tuhan adalah yang tersembunyi (al Bathin) sekaligus yang tampak (al-Dzahir),
yang esa (al-Wahid) sekaligus yang banyak (al-Katsir), yang
terdaulu (al-Qadim) sekaligus yang baru (al-Hadits) yang ada (al-Wujud)
sekaligus yang tiada (al-Adam). Dalam pandangan Ibnu ‘Arabi realitas
adalah satu tetapi mempunyai sifat yang berbeda: sifat keTuhanan sekaligus
sifat kemakhlukkan, temporal sekaligus abadi, nisbi sekaligus permanen
eksistensi sekaligus non eksistensi. Dua sifat yang bertentangan tersebut hadir
secara bersamaan dalam segala sesuatu yang ada
di alam ini.24
Menurut Ibnu
‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya
adalah wujud Khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (Khalik
dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa
antara wujud Khalik dan makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat
dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam
menangkap hakikat yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang
segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibnu ‘Arabi
sebagai berikut:
23Ibid…, 39
24 A.Khudori
Soleh, Wacana Baru Filsafat…,148
hakikat segala sesuatu
itu”25
Menurut
Ibnu ‘Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah
hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut Khalik
dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara abid
(penyembah) dengan ma 'bud (yang disembah). Bahkan antara yang
penyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya pada rupa dan
ragam. Ibnu ‘Arabi mengemukakan nya Kalau antara Khalik dan makhluk bersatu
dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibnu ‘Arabi menjawab, sebabnya adalah
manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu. tetapi memandang keduanya
dengan pandangan bahwa keduanya adalah Khalik dari sisi yang satu dan makhluk
dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu, atau
keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti akan dapat
mengetahui hakikat
keduanya, yakni Dzatnya
satu yang tidak terbilang dan berpisah26
Paham wahdatul wujud timbul dari filsafat bahwa Tuhan
ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Kemudian diciptakanlah alam sebagai
cermin yang merefleksikan gambaran diri-Nya. Setiap kali ingin melihat
diri-Nya, Dia melihat alam karena pada setiap benda alam terdapat aspek al-Haqq.
Jadi, walaupun segala benda ini kelihatannya
banyak,
sebenarnya yang ada hanya satu wujud, yaitu al-Haqq.27
Untuk
menjelaskan ontologis Tuhan dan alam semesta, Ibnu ‘Arabi menggunakan simbol
cermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan. simbol ini pertama. untuk
menjelaskan sebab penciptaan alam yakni bahwa penciptaan alam ini
25Solihin, Tasawuf
Tematik Membedah Tema-Tema…,hal 90
26 Solihin,
Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hal
156
27Solihin, Tasawuf
Tematik Membedah Tema-Tema …,hal 88
adalah sarana
untuk memperlihatkan diri-Nya. Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia
adalah harta simpanan (kanz nahfi) yang tidak bisa dikenali kecuali
lewat alam, sesuai hadits Rasul yang menyatakan hal itu. Kedua untuk
menjelaskan hubungan yang satu dengan yang banyak dan beragam dalam semesta.
yakni Tuhan yang bercermin adalah satu tetapi gambar-nya banyak dan beragam.
Dan apa yang tampak dalam cermin adalah dia, sama sekali bukan selainya, tetapi
bukan Dia yang
sesungguhnya.28
Penggambaran
tersebut sejalan dengan penyatuan dua paradigma tasybih dan tanzih,
imanen dan transenden yang digunakan Ibnu ‘Arabi dari segi
tasybih Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lain adalah
perwujudan dan aktualisasi sifat-sifatnya. dari segi tanzih Tuhan berbeda
dengan alam, karena alam terikat ruang dan waktu sedang Tuhan adalah absolut
dan mutlak. Secara tegas Ibnu ‘Arabi menyatakan “huwa la huwa” (Dia
bukan Dia-yang kita bayangkan) sedekat dekat Manusia menyatu dengan Tuhan,
tetapi tidak akan pernah menyatu dengan Tuhan, ia hanya menyatu
dengan asma dan
sifat-sifatnya menyatu dengan bayangan-Nya bukan dengan zat-Nya.29
Ibnu
‘Arabi membuat keterkaitan yang sangat jelas manifestasi sempurna wujud dalam
peran Manusia di dalam kosmos. dengan doktrinya yang terkenal ”manusia
sempurna” yakni manusia yang mampu mengaktualisasikan semua potensialitas
batinnya sesuai sifat dan asma Tuhan secara lengkap dan total. Di satu pihak
dalam Manusia sempurna yang sangat berbeda dengan makluk lain. manusia yang
mampu mewujudkan kausalitas yang terpuji. Insan kamil ini menjadi
teladan bagi kebijaksanaan, kasih sayang dan segala kebaikan moral serta
spiritual manusia. Mereka
28 A.Khudori
Soleh, Wacana Baru Filsafat ...,hal 149
29Ibid..,150
membibing individu dan masyarakat ke tingkatan
tertinggi yakni Tuhan, dan insan kamil bertindak mencerminkan
tindakan al-Haqq, dan mengarahkan kepada kebahagiaan
tertinggi di alam akhirat, dalam manifastasi manuisawinya Ia seperti Nabi dan
para auliya’.
Manusia sempurna adalah tujuan Tuhan dalam menciptakan
kosmos tatkala disadari melalui insan kamil lah. Dia dapat menampakkan
sifat-sifat-Nya secara total, hanya di dalam diri insan kamil saja
terbentang kesempatan bagi wujud untuk menggapai kesempurnaan, tidak ada
makhluk selain Manusia yang memiliki kesiapan yang dibutuhkan dalam
menampilkan sifat Tuhan. jika wujud di dalam esensinya yang tidak tampak, maka
ia sepenuhnya bukan fenomenalnya, hanya di dalam diri manusia sempurna (insan
kamil) yang sanggup menampilkan setiap nama Tuhan dalam keselarasan dan keseimbangan secara
sempurna.30
2.
Pemikiran Tentang Insan
Kamil
Manusia adalah makhluk kecil bila dilihat dari segi
fisiologisnya, betapa tidak, Bumi yang kita pijak ini saja tak akan nampak dari
ujung Galaksi Bumi apalagi dilihat dari Galaksi lain justru karena kecilnya
ukuran Bumi ini, apalah kita manusia yang ia barat semut yang merayap
dipermukaan bola raksasa Bumi. manusia ibarat sebuah titik kecil yang
berlangsung hanya sedetik. Itulah kakekat manusia juka dilihat dari sudut ruang
dan waktu, Maka seharusnya kita menyadari betapa tidak berartinya kita (manusia) dalam kosmos yang luas ini
jika dilihat dari fisiologisnya.31
30Wiliam C. Chittick, Dunia
Imajinal Ibnu ‘Arabi …,hal 41
31 Mulyadi
Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta:
Lentera Hati, 2006)
hal 110
Namun
manusia yang bisa disebut sebagai mikrokosmos karena pada diri manusia
mengandung seluruh unsur kosmik, dari mulai tingkat mineral sampai tingkat
manusia, bahkan menurut beberapa tokoh, manusia juga mengandung unsur-unsur
rohani, karena manusia juga memilki roh yang berasal dari Tuhan. Maka apabila
masing-masing tingkat wujud tersebut memantulkan sifat-sifat tertentu dari
Tuhan, dan Manusia sebagai cermin yang sempurna yang mampu berpotensi
memantulkan seluruh sifat-sifat Illahi. disitulah manusia disebut insan
kamil, jika manusia dapat mengaktualkan seluruh potensinya yang ada dalam
dirinya dan mampu mencerminkan
sifat sifat Tuhan.32
Insan
kamil (manusia
sempurna) adalah istilah yang digunakan oleh kaum sufi untuk menamakan
seorang Muslim yang telah sampai pada keperingkat tinggi, yaitu peringkat
seorang yang telah sampai pada fana’ fillah (sirna di dalam Allah).
Manusia menurut Ibnu ‘Arabi adalah tempat tajalli (penampakan) diri
Tuhan yang paling sempurna, karena Dia adalah al-kaun al-jamil, atau
manusia merupakan sentral wujud, yakni alam kecil (mikrokosmos) yang tercermin
pada alam besar (makrokosmos), dan tergambar kepadanya sifat-sifat keTuhanan.
Oleh karena itulah manusia di angkat sebagai kholifah. pada diri manusia
terhimpun rupa Tuhan dan rupa alam, dimana subtansi Tuhan dengan segala sifat
dan asma-Nya tampak padanya. dia dalam sebuah
cermin yang
menyingkapkan wujud Allah SWT .33
Secara
umum, istilah "insan kamil" sering dimaknai orang sebagai manusia
sempurna. menurut Al-Jilli insan kamil adalah Roh Nabi Muhammad SAW. yang mengkristal dalam diri para Nabi sejak Nabi
Adam hingga Nabi Muhammad, lalu para
32Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk
Tasawuf…,hal 75
33 Ahmadi Isa, Tokoh-Tokoh
Sufi Tauladan .., hal 209
wali
dan orang-orang saleh, sebagai cermin Tuhan yang diciptakan atas nama-Nya dan
refleksi gambaran nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Al-Jilli melihat bahwa insan
kamil
(manusia sempurna) merupakan nuskhah
atau kopi Tuhan, seperti disebutkan dalam hadis (artinya), "Allah
menciptakan Adam dalam bentuk yang Maha rahman." Hadis
lain menyebutkan
(artinya), "Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya."34
Menurut
Arberry, konsep insan kamil Al-Jilli dekat dengan konsep hulul
Al-Hallaj dan konsep ittihad Ibn Arabi, yaitu integrasi sifat Lahut
dan Nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad.
Adapun Ibnu 'Arabi mentransfer konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad
ketika menggambarkan insan kamil sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi
oleh Nur Muhammad SAW. Meskipun Al-Jilli dianggap sebagai tokoh yang
memopuler-kan konsep insan kamil-nya, sesungguhnya konsep insan kamil
ini sudah disinggung sebelumnya oleh Ibnu 'Arabi. Menurut Ibnu 'Arabi, insan
kamil adalah mikrokosmos yang sesungguhnya, sebab Dia memanifestasikan
semua sifat dan kesempurnaan Illahi, dan manifestasi semacam ini
tidaklah sempurna tanpa perwujudan penuh kesatuan hakiki dengan Tuhan. Insan
kamil adalah miniatur dari kenyataan. 35
Dan
yang di maksud insan kamil menurut Ibnu ‘Arabi seperti yang di jelaskan dalam
kitabnya fusus al-hikam adalah:
-Ain Al-Haqq,
artinya manusia adalah perwujudan dalam bentuknya sendiri dengan segala
keesaanya berbeda dengan segala sesuatu yang lain, meskipun al-Haqq
(Tuhan) ain segala sesuatu, tetapi segala sesuatu itu bukan ain
(zat)-nya karena ia hanya perwujudan sebagian asma-Nya, bukan Tuhan
bertajalli (menampakkan diri) pada
34 Solihin,
Tasawuf Tematik Membedah Tema-Tema..,hal 100
35Ibid.., hal 103
sesuatu itu dalam bentuk zat-nya. Dan apabila
kamu berkata insan maka maksudnya adalah manusia sempurna dalam kemanusiaanya,
yaitu Tuhan bertajalli (menampakkan) diri dalam bentuk sifat dan asmanya
sendiri itulah yang di sebut dengan ain-Nya
-
al-insan al-kamil (Manusia sempurna) dalam pandangan Ibnu ‘Arabi tidak bisa
dilepaskan kaitannya dengan paham adanya Nur Muhammad seperti ditegaskan:
ketahuilah bukanlah yang dimaksudkan dengan al-insan kamil kecuali Nur
Muhammad, yaitu roh Illahi yang dia tiupkan kepada Adam. oleh karenaitu Adam
adalah esensi kehidupan dan awal kejadian manusia. katakanlah Nabi Muhammad SAW
adalah insan kamil yang paling sempurna. (Alhaqiqah al Muhammadiyah.)dan
dengn hakekat
Muhammad inilah orang bisa mencapai
derajat insan kamil.36
3.
Pemikirannya tentang
Tajalli
menurut Ibnu ‘Arabi wujud yang mutlak adalah
wujud Allah tapi wujud dzat yang mutlak belum belum bisa disebut sebagai Tuhan
karena untuk mengetahui dzat yang azali dan qodim sebagai Tuhan
hanya setelah ada wujud yang lain yaitu makhluk agar dzat yang mutlak dapat
diketahui dan dikenali maka dzat yang mutlak bertajalli, menampakkan dirinya
melalui makluknya.dengan bertajjali tidak mempengaruhi kemutlakkannya. Menurut
konsepsi ini wujud mutlak bertajjali melalui tahapan martabat.
1.
Martabat ahadiyyah yaitu dzat dalam keadaan
mutlak tunggal (ahad) atau kesatuan mutlak yang disebut martabat
dzatiyah dalam citranya yang demikian. Dzat tidak bernama dan tidak ada
atribut. Maka menurut Ibnu ‘Arabi dzat yang mutlak sebagai substansi merasa
perlu untuk memanifastasi ke dalam sifat atau atribut agar dapat di ketahui dan dikenalidalam gambaran yang demikian maka
ahadiah belum bisa di
36 Ahmadi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi Tauladan
..,111-112
sebut
tuhan karena dia berada di luar bukti. Dia sendiri adalah bukti bagi eksistensi
diri-Nya sendiri yang dimanifestasikan dalam a’yan dari wujud wujud
kontingen. Bagaimana dibuktikan eksistensi dirinya sebagai tuhan. Karena yang
ada cuma dia, tidak ada eksistensi apapun selain dia. Bahkan tidak ada istilah
ada di mana
keberadaan semua yang ada yakni satu
dzat yang tunggal. 37
2. Martabat wahdah juga di sebut martabat tajjali dzat atau
faydh aqdas yakni ketika dzat yang tunggal bertajalli melalui
sifat dan asma. Keadaan ini terjadi mana kala dzat yang mengada pada dirinya
sendiri, dan dari dirinya sendiri (wujud lidzatihi) yang berupa gagasan (qada
dan iradah) tentang segala sesuatu yang muncul di dunia kini dan nanti
semacam protetif ideal yang disebut a’yan sabit. Protetif realitas
segala sesuatu yang tersembunyi (mahiyah). Dalm sistem metafisika Ibnu
‘Arabi a’yan sabit terletak di tengah-tengah antara realitas absolut
(al-haqq) dan dunia fenomena (al-khalq). A’yan adalah ada yang pertama
melalui tajjali sehingga ia menyebutnya sebagai al-mafatih al-awal atau mafatih
al-ghoib penamaan ini di hubungkan dengan surat al-an’am 59 selanjutnya
Ibnu ‘Arabi menyatakan, bahwa sifat dan asam bukan dzat tetapi tidak di luar
dzat yang pada posisi lain ia adalah hakekat alam empiris.38
3. Martabat
wahidiyah yaitu ketika
dzat yang menentukan sendiri eksitensialitas dalam
obyek-obyek
berkenaan dengan protetif idealnya, yakni a’yan sabit pada dirinya tidak
muncul di dunia atau keluar meninggalkan pengetahuan dari pikiran dzat dan
tetap ada seperti sebelumnya, dalam keadaan substansi subut, yang apabila di
37 Rivay
Siregar, Tasawuf dari Sufisme..... hal 197
38Ibid..,hal 198
ketiadaan.
4.
Martabat ta’ayaun ruhi dan 5. Ta’ayun
jasadi, yaitu tajalli penentuan rohaniah yang juga di sebut ta’ayun
mistali, dan penetuan ragawi yang sudah eksitensial dan tertentu sebagai
kebalikan dari penentuan ideal yang tiada terbatas. Dua martabat terakhir ini
oleh Ahmad Daudi disatukan dalam satu tahapan yang di sebut tajalli syuhudi
yakni tuhan bertajalli melalui asma dan sifatnya dalam keadaan empiris. Kalau
tadi protetif ideal itu hanya wujud mutlak yang tunggal. Maka dalam tahap ini
menjadi aktual dalam citra alam empiris.39
Dengan demikian dapat di pahami bahwa alam yang
menampakkan fenomena empiris adalah mazdar atau wadah tajalli Tuhan dalam
berbagai wujud dan sebagai bentuk kontingensi
Menurut Ibnu ‘Arabi, ketika Allah menciptakan alam ini, la
juga memberikan sifat-sif'at ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti
cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah
menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain, alam
ini merupakan mazhar
(penampakan)
dari asma dan sifat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya
itu akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk zat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an
(kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapa pun. Dalam
fushus al-hikam ia menjelaskan: Wajah itu
sebenarnya hanya satu, tetapi jika Anda
perbanyak cermin, ia pun menjadi banyak.40 Dan untuk
memperkuat pendapatnya itu ia merujuk sebuah hadits” Aku pada mulanya
adalah pembedaharaan yang tersembunyi,
39Ibid…., 198
40 Solihin,
Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman… hal 159
Ibnu
‘Arabi memandang hanya ada satu realitas tunggal di alam fenomena ini yakni
Allah. adapun alam fenomena yang serba ganda ini hanyalah sebagai wadah
tajali-nya. Hubungan antara yang riel dengan yang fenomena disisni merupakan
hubungan antara yang potensial dan yang aktual, dimana peralihan antara yang
pertama dan berikutnya itu terjadi diluar patokan ruang dan waktu, karena
tajalinya Tuhan itu terjadi sebagai proses abadi yang tiada henti-hentinya.
Dikatakan
oleh Ibnu ‘Arabi bahwa sebab terjadinya tajalli Allah pada alam ialah
karena Dia ingin di kenal dan ingin melihat citra diri-Nya. Untuk itu ia
memanifestasikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada alam. dengan demikian, alam
fenomena ini merupakan perwujudan dari nama dan sifat-sifat Allah. Tanpa adanya
alam ini, nama-nama dan sifat-sifat itu akan kehilangan makna dan akan
senantiasa berada dalam bentuk potensialitasnya pada zat Tuhan. Demikian pula
zat mutlak itu sendiri akan tetap di dalam kesendiriannya tanpa dapat dikenal
oleh siapapun. Disinilah letak urgensi wujud alam sebagai wadah tajalli
Illahi, yang padanya Tuhan melihat citra
diri-Nya dalam wujud
yang terbatas.41
Akan
tetapi alam empiris yang serba ganda ini berada dalam wujud yang terpecah
pecah, sehingga tidak dapat menampung citra Tuhan secara sempurna dan utuh,
bagian-bagian alam ini merupakan wadah tajalli dari bagian tertentu pada
nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. jadi alam ini masih merupakan bentuk tanpa
ruh, atau laksana cermin buram, yang belum dapat memantulkan gambaran Tuhan
secara sempurna atau paripurna. Tuhan baru dapat melihat citra diri-Nya secara
sempurna dan
41 Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi: Pengembangan
Konsep…, 54
utuh pada Adam (Manusia) sebagai cermin yang
terang atau sebagai ruh dalam jasad. Akan tetapi tidak semua (manusia) termasuk
dalam kategori ini. Yang dimaksud dengan manusia disisni adalah insan kamil,
yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat-sifat Tuhan secara sempurna.
Dan manusia sempurna dijadikan Tuhan ruh alam,
segenap alam ini tunduk kepadanya karena
kesempurnaan insan kamil tersebut.42
4.
Pemikirannya tentang
Cinta
Timbulnya doktrin estetikal tentang Tuhan
bersumber dari keyakinan bahwa Tuhan adalah asal segala yang ada, sehingga
antara manusia dengan Tuhan ada jalur komunikasi timbal balik. Tuhan sebagai
zat yang maha Agung dan Mulia, juga zat yang maha Cantik Indah dan sumber dari
segala keindahan, sesuai dengan salah satu sifat dasar manusia yang menyukai
keindahan dan kecantikan, maka hasrat mencintai Tuhan adalah manusiawi, karena
Tuhan adalah puncak dari segala keindahan. Konsep teologi estetikal ini
dikaitkan dengan Robiah al-Adawiah melalui doktrin hubb dan mahabbah mencintai
Tuhan dengan berbuat apa saja untuknya, adalah motifasi kasih sufi, dalam jiwanya
tidak ada rasa takut akan siksa (Neraka), tidak ada hasrat untuk menikmati
Surga, yang ada hanyalah keinginan untuk memperoleh cinta dan keindahan dzat
Tuhan yang abadi.
Orang sufi mengabdikan diri kepada zat Tuhan adalah karena
cinta dan harapan sambutan cinta dari-Nya. Doktrin ini kemudian berlanjut
kepada keyakinan, bahwa penciptaan alam semesta bermotif cinta kasih Tuhan.
penciptaan alam semesta adalah peryataan kasih Tuhan yang di refleksikan dalam
bentuk empirik atau sebagai
mazdhohir dari asma Allah.43
42ibid…,hal 55.
43 A.Rifay
Siregar, Tasawuf Dari sufisme…,hal 142-143
Ibnu ‘Arabi menyatakan kesempurnaan ma’rifatilah
dengan melalui tujuh obyek pengetahuan yaitu 1. Mengetahui asma Illahi 2.
Mengetahui tajalli Illahi 3. Mengetahui ta’lif Tuhan terhadap
hamba-nya 4. Mengetahui kesempurnaan dan kekurangan wuju dalam semesta 5.
Mengetahui diri sendiri 6. Mengetahui alam akhirat 7. Mengetahui sebab dan obat
penyakit batin. Bila seorang sufi mengetahui tujuh obyek tersebut sampailah
sufi pada tahap ma’rifat yang sempurna.
Ma’rifat
meninbulkan Mahabbah (cinta). cinta merupakan puncak dari maqamad yang
ditempuh oleh sufi disini bertemu kehendak Tuhan dan kehendak insan. Kehendak
Tuhan adalah kerin duan-nya untuk bertajali pada alam, sedangkan kehendak insan
ialah kembali kepada esensinya yang sebenarnya, yakni wujud mutlak. Ibnu ’Arabi
dalam konsepnya tentang cinta, memandang bahwa cinta adalah sebab dari
penciptaan alam, karena atas dasar cintalah Tuhan bertajali pada alam. Demikian
pula cinta, cinta juga menjadi sebab kembalinya semua menifestasi kepada
esensinya yang semula dan hakiki, karena atas dorongan rasa cinta mereka ingin
kembali kepada asalnya, jadi cinta itu bersifat unifersal, ia melandasi
kehendak yang pencipta dan kehendak makhuk.44
Lebih jauh
Ibnu ’Arabi membagi cinta atas tiga bentuk: cinta kudus (al-hubbal-illahi),
cinta spiritual (al-hubbal-ruhani), dan cinta alami (al-hubb
al-thabi’i). cinta kudus ialah cinta esensial dan abadi dari yang
maha Esa, yang merupakan sumber dari segala cinta. cinta ini berasal dari Allah
terhadap diri-nya sendiri di dalam ke-mujarrad-an-nya, di luar batas
ruang dan waktu. Kemudian atas dasar itu Ia rindu untuk melihat citra
dirinya dan rindu agar dapat dikenal, maka diciptalakan-nya alam semesta. Jadi
44 Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi: Pengembangan
Konsep Insan Kamil Ibnu ‘Arabi Oleh al-Jilli, (Jakarta :Paramadina,1997),
hal 74
adanya
alam yang serba ganda ini adalah tidak lain sebagai akibat cinta kudus itu.
akan tetapi, kata Ibnu ‘Arabi justru cinta kudus yang primordial itu
pula yang telah melahirkan cinta pada Insan, yang bermula ketika (esensi
potensial) mereka mendengar kata ciptaan kun di dalam asma. Karena itu kata
afifi faktor yang mendasari semua menifestasi realitas tunggal adalah cinta
kudus. bahkan cinta kudus itulah yang menjadi prinsip primordial dalam tiap
yang terajadi pada alam.
Adapun
cinta spiritual adalah rasa cinta terhadap yang dicintai (mahbud)
disebabkan oleh yang dicintai dan diri si pencipta (muhib) sendiri. Akan
tetapi, karena yang dicintai itu (pada kakekatnya) adalah realitas dari segala
segala realitas yang ada maka cinta dari si pencinta tidak lain adalah bagian
dari cinta kudus yang akan kembali menemukan jati dirinya. jadi secara
esensi-nya, cinta dari si pencinta itu adalah cinta kudus. Hanya dari segi
lahir ia kelihatan sebagai milik si pencinta. inilah bentuk dari cinta sufi.
Cinta
alami adalah cinta yang di dasarkan atas kehendak kepuasan diri sendiri. kalau
cinta pada spiritual “diri’ pencinta berkorban demi yang dicintainya, maka pada
cinta alami, justru yang dicintai itu menjadi korban yang dicinta. didalam
cinta alami ini termasuk pula yang di sebut oleh Ibnu ‘Arabi dengan cinta
elemental hanya perbedaanya, cinta alami tidak terikat dengan yang bersifat
material sedangkan cinta elemental tidak bisa terlepas dari unsur-unsur
material.
Sekalipun
cinta spiritual dan cinta alam ia merupakan dua bentuk cinta yang mendominasi
Manusia, secara esensial keduanya tidak lain adalah serpihan dari cinta Illahi.
cinta alami merupakan yang terendah dan cinta spiritual berada diatasnya.
Dengan
demikian pada hakehatnya cinta itu adalah satu dan mencapai puncaknya pada insan
kamil yang pada dirinya bertemu yang asal.
Dari
maqam cinta muncul rasa syawq (rindu) Yakni perasan ingin bertemu dengan
yang di cintai. perasan demikian baru mereda dan berubah menjdi kegembiraan
ketika yang dicintai telah dapat ditemukan, perasaan yang sedang dimabuk cinta,
rindu pada pada yang dicintainya yakni Allah terus menerus sehingga pada suatu
waktu ia tenggelam dalam (fana) kepada yang dirinduinya itu. si situlah
puncak cinta sorang sufi
45
Jadi
menurut Ibnu ‘Arabi tepat bila dibedakan ada tiga macam cinta yang merupakan
tiga cara mewujud 1. cinta Illahiah, yang pada satusisi adalah cinta Khalik
kepada makhluk dimana Dia menciptakan diri-Nya, yakni menerbitkan bentuk tempat
dia mengungkapkan dirinya, dan disisi lain cinta makhluk kepada khaliknya, yang
tidak lain adalah hasrat Tuhan yang tersingkap dalam makhluk, rindu untuk
kembali kepada dia, setelah Dia merindukan sebagai Tuhan yang tersenbunyi,
untuk dikenal dalam diri makhluk inilah dialog adba diantara pasangan Illahi
Manusia 2.Cinta spiritual terletak pada makhluk yang senantiasa mencari wujud
dimana bayangannya dia cari di dalam dirinya, atau yang didapati olehnya bahwa
bayangan (citra image) itu adalah dia sendiri; inilah dalam diri
makhluk, cinta yang tidak memperdulikan, mengarah, menghendaki apapun selain
cukup sang kekasih, agar terpenuhi apa yang dia kehendaki. 3.cinta alami yang
berhasrat untuk memiliki dan mencari kepuasan hasratnya sendiri tanpa
memperdulikan kepuasan kekasih “dan sayangnya ” kata Ibnu ‘Arabi, seperti
inilah
kebanyakan orang
memahami cinta masa kini.46
45Ibid..,hal 75
46
Henry Corbin, Imajinasi
Kreatif Sufisme Ibn Arabi, (Yogyakarta:Lkis,2002), hal 187
Maqam adalah tingkat-tingkat kerohanian
jama’nya dari maqamat. dalam perjalanan melalui tingkat-tingkat kerohanian itu
seoarang sufi akan mengalami berbagai keadaan batin. Di dalam Futuhat
Al-Makkiyah Ibnu ’Arabi menyebutkan enam puluh maqam yang di tempuh seorang
sufi untuk bermujahadah kepada Allah, dan ia berusaha menjelasakan akan tetapi
Ibnu ’Arabi tidak menulisnya secara sistematis tahap- tahap tiap maqam yang
harus di lalui seorang sufi. Dalam menempuh maqamat itu seoarang sufi harus
senantiaa melakukan bermacam-macam ibadah (mujahadah) dan kontemplasi
yang sesuai dengan ajaran agama sehingga tiap maqam satu persatu dapat
dilaluinya
Maqam
pertama yang harus ditempuh oleh sufi adalah tawbah (tobat) setelah itu
menempuh beberapa jalan yang lain yaitu mujahadah (kesungguhan), khalwat
(bersunyi diri), uzlah (menghindar dari mayarakat), taqwa
(melaksanakan aturan syariah, baik yang fardu maupun yang sunnah), wara’
(mengekang dan menahan diri), zuhd (zuhud), sahr (bangun malam ),
Khawf (takut pada Allah), raja’ (mengharap ) huzn (sedih),
ju’
(lapar), tark-al-syahawat
(menahan keinginan), khusu’ (khusuk), mukhalafah al-nafs
(menentang
keinginan), tark al-hasad wa il-ghadalah wa I-ghibah (menghindar dari
dengki marah dan memfitnah), tawakkal (tawakal), syukr (syukur), yaqin
(yakin), shabr
(sabar),
muraqabah (sadar terhadap
pengawasan Allah), ridla
(rela), ubudiyah
(pengabdian),
istiqomah (teguh pandirian), ikhlas (iklas), shidq
(jujur), haya (malu), huraiyyah (kemerdekaan), zhikr, wa fikr,
wa tafakkur (zikir, fikir, dan tafakur), futuwah
(murah
hati disertai kesetiaan), firasah (firasat), khulq (beraklak), ghirah
(cemburu), walayah (kewalian), nubuwah (kenabian), risalah (kerasulan)
qurbah (kedekatan), faqr
(kefakiran),
tashawwuf (tasawuf), tahqiq (mengenal kebenaran), hikmah
(bijaksana), sa’adah (bahagia), adab (adab), shubbah (persahabatan),
tawhid safar (perjalanan) husnal-khatimah (akhir hayat yang baik),
ma’rifah (ma’rifat pengenalan hakiki), mahabbah (cinta), syawq(rindu),
ihtiramal-syuyukh, (memuliakan para pembimbing rohani) sama’
(mendengar) karamah (keramat), mu’jizat (mukjizat), dan ruya’
(mimpi).47
C. Latar Belakang Pemikiran Tasawuf Ibnu ‘Arabi
Ibnu Arabi tokoh filosuf dan sufi pada abad 12,
di dalam pemikirannya tentang tasawuf lewat pengalaman mistisnya ia menjelaskan
dengan pemahaman rasional atau filsafat, maka tasawuf Ibnu ‘Arabi dinamakan
tasawuf falsafi. Adapun sumber-sumber yang mempengaruhi pemikirannya dari hasil
yang telah diteliti terbagi menjadi dua kelompok besar yakni:
- Sumber Islam
Al-Qur’an
dan Hadits-Hadits Nabi
Sufi-sufi
terdaulu seperti Al Hallaj, Abu Yazid Al-Bustami, Junayd, Shibli, Tustari,
Abdul Qodir al-Jailani, dan lainnya
Asetik-asetik Muslim Theologia Skolastik:
Ash’ari dan Mu’tazilah Carmathian dan Isma’ilian (terutama ikhwanus-safa)
Aristotelian dan Neoplatonik Persia, terutama
Ibn Sina dan Ibn’ Rusyh Aliran Ishraqi
- Sumber non Islam
47 Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi: Pengembangan
Konsep Insan…., hal 71
Ibnu ’Arabi selalu mencari dari al-Qur an dan Hadits-hadits
Nabi yang berkaitan dengan perkataan-perkataannya. prosedur umumnya digambarkan
oleh Nicholson, Ibnu ‘Arabi seringkali mengambil suatu ayat Qur’an dan Hadits,
Ibnu ‘Arabi dapat memperoleh segala yang diinginkan dari al-Qur’an. ia dapat
juga menghasilkan kesimpulan yang sama dengan yang diambilnya apabila
diadopsilkan menjadi metode interpretasi yang sama.
Dia memahami beberapa ayat secara harfiah yang
maknanya cocok dengan Pantheisme, dan tidak diragukan lagi bahwa al-Qur’an
banyak berisi tentang ayat-ayat itu. Tuhan dari Qur’an digambarkannya sebagai
suatu Tuhan yang mutlak Transenden yang tidak ada bandingannya. dipihak lain
sebagimana layaknya orang mendengar, melihat punya tangan kaki dan wajah dia adalah
cahaya dari Langit dan Bumi, Dia bersama kita dimanapun kita berada, Dia lebih
dekat dari pada urat nadi kita sendiri. 49
Dari sekian banyak sufi yang telah memberi
inspirasi pada Ibnu ‘Arabi nampaknya al-Hallaj adalah yang terbesar Ibnu ‘Arabi
hafal ucapan-ucapan mistikal dari al-Hallaj dan bahkan ia telah menulis sebuah
tafsir tentang istilah-istilah al-Hallaj yang berjudul As-Siraj Al
Wahhaj Fi Sharh Kalamil Hallaj. Ia juga banyak menyebut al-Hallaj dalam
beberapa tempat di dalam kitab futuhatnya, mengutip beberapa
tulisannya, mendukung serta menafsirkan istilah-istilah itu menurut konsepsi
Pantheistiknya
Beberapa doktrin penting yang terinspirasikan
dari pemikiran pemikiran al-Hallaj
seperti
- Tentang masalah yang Esa dan yang banyak yang merupakan betuk modifikasi dari doktrin al-Hallaj tentang Lahut dan Nasut atau tul wa ard
48A.E. Afifi, Filsafat
Mistis Ibnu Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman (Jakarta: Gaya Media
pratama, 1995), hal257
49Ibid…..,hal 268
2.
Tentang doktrin logos dan pra eksistensi
Muhammad huwa-huwanya al-Hallaj dan Manusia sempurna Ibnu ‘Arabi
3.
Tentang teori cinta kudus
4.
Tentang tidak dapat diketahuinya Tuhan
5.
Tentang Dunia fenomena sebagai tabir
dari yang riel
6.
Tentang intreprestasi esoterik dari
al-Qur’an
Al-Hallaj
mengatakan bunuhlah dirimu itu berarti meninggalkan semua selain Tuhan sehingga
non eksistensi harus kembali pada non eksistensi dan yang riel saja yang tetap
bertahan atau abadi interpretasi Ibnu ‘Arabi sama dengan Hallaj, hanya ia lebih
bercorak pantheistik. 50
Pada
sisi formal dari doktrinnya Ibnu ‘Arabi nampak sangat jelas dipengaruhi oleh
dialektika Theologis-theologis Muslim yang telah sangat dikenal olehnya teori
tentang yang satu dan yang banyak nampaknya di dalam salah satu aspek dari
teori itu merupakan aplikasi dari doktrin Ash’ari tentang substansi dan
kejadian-kejadian (accident). pandangan terhadap atribut-atribut Tuhan
identik dengan yang dianut oleh kaum Mu’tazilah. Dalam masalah qadar (kehendak
bebas) dia lebih sependapat dengan Ash’ari yang mengatakan bahwa
Manusia mampu berbuat
tapi sebenarnya tidak melakukannya sendiri.51
50Ibid….265
51Ibid….hal267
Biografi Ibnu 'Arabi
Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi
on
December 19, 2015
Rating:
No comments:
Komentar