Era posmodernisme berkembang seiring dengan
pertumbuhan media yang begitu pesat. Hal itulah yang membuat banyak kalangan
menyatakan bahwa media merupakan anak kandung dari posmodernisme. Media pada
dasarnya merupakan suatu wadah yang netral. Namun, begitu malangnya nasib
media, sehigga dijadikan alat oleh orang yang berkuasa untuk meng’gol’kan
kepentingannya.
Di era posmodernisme, kekuasaan jatuh pada Barat.
Jadi, merupakan konsekuensi logis apabila media dikuasai oleh mereka. Media
dijadikan alat untuk membuat citra negatif pada Islam, yang dianggap sebagai
pengancam kekuatan Barat. Mulailah konflik di antara keduanya dalam hegemoni
media; dalam hal ini hegemoni media Barat.
Dalam makalah ini, kami mencoba memetakan hegemoni
media yang bergulir di era posmodernisme. Diawali dengan pembahasan mengenai
“Konflik Islam dan Barat”. Dalam pembahasan ini, kami terlebih dahulu
mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ‘Islam’ dan ‘Barat’. Kemudian, kami
beranjak pada pembahasan “Media dan Karakteristiknya”. Setelah mengetahui apa
yang dimaksud dengan ‘media’, kami melanjutkan ke pembahasan “Hegemoni Media di
Era Postmodernisme”. Selanjutnya, kami berusaha menjawab pertanyaan berkenaan dengan
konflik di antara keduanya yakni “Mengapa Barat Memusuhi Islam? Kemudian,
diakhiri dengan pembahasan mengenai “relasi Islam-Barat”. Pada pembahasan
inilah terdapat analisa kami terhadap penyelesaian konflik antara Islam dengan
Barat dengan menggunakan media.
2. KONFLIK ISLAM DAN BARAT?
Konflik Islam
dan Barat merupakan isu hangat yang digulirkan oleh media. Hal tersebut masih
kontroversial karena belum diketahui secara pasti kebenarannya, “Apakah Islam
berkonflik dengan Barat? Akan tetapi, diakui atau tidak, konflik dan benturan
antara Islam dan Barat memang mewarnai sepanjang sejarah peradaban. Tak sedikit
pula para pakar membahas mengenai wacana konflik di antara keduanya, melalui
pemetaan dan sudut pandang yang berbeda-beda.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai
konflik Islam dan Barat yang terukir sepanjang perjalanan sejarah, nampaknya
penting bagi kita untuk menentukan terlebih dahulu siapa itu Islam dan siapa
itu Barat. Apa Islam adalah Negara Islam atau Muslim dan Barat itu Kristen atau
justru wilayah yang berada di sebelah barat bumi kita. Istilah keduanya perlu
diperjelas di awal pembahasan kita ini.
Banyak para intelektual yang
berusaha menelusuri apa yang dimaksud dengan “Islam” dan “Barat” dalam konteks
ini. Edward Said menuturkan pandangannya dalam Covering Islam (2002),
menurutnya Islam dan Barat tak lebih hanya sebagai label-label yang sudah
mengakar sejak lama dan tak terpisahkan dari sejarah kultural dari pada sebagai
klasifiasi yang objektif.
Sedangkan, Nurcholis Majid dalam
karyanyanya, “Islam Agama Peradaban” (1995), menyatakan bahwa Barat itu merujuk
pada Kristen barat. Dalam hal ini, dia melihat dari sisi budayanya. Hal ini
terlihat dari kutipan dalam bukunya:
“Jadi, konfrontasi
Islam dan Barat dapat ditafsirkan sebagai konfrontasi dua pola budaya. Maka
sementara hubungan Islam dengan “Kristen timur” sepanjang sejarah berjalan
cukup lancar dan penuh toleransi (karena berasal dari budaya yang relatif
sama), tidaklah demikian hubungan Islam dengan Kristen barat: penuh rasa permusuhan
dan kebencian”
Setidaknya kedua pandangan di atas
bisa memberikan gambaran singkat siapa Barat dan Islam itu sendiri. Islam dan
Barat memang mengalami konflik dan benturan-benturan yang didasarkan berbagai
macam motif, baik ideologi, politik maupun ekonomi. Dalam hal ini, Akbar S.
Ahmed dalam buku “Postmodernisme” memetakan benturan atau konflik Islam dan
Barat ke dalam tiga bagian.Benturan pertama diawali dengan munculnya Islam di
Sicilia dan Prancis yang pada mulanya mayoritas beragama Kristen. Hingga
kemudian Islam datang menguasai daerah tersebut. Benturan pertama juga
selanjutnya diwarnai dengan berlangsungnya perang Salib, di mana Kristen
menyerang agama Islam. Peristiwa ini kemudian berakhir pada abad ke-17 ketika
pasukan Islam dihentikan di Wina.
Selanjutnya benturan kedua diwarnai
dengan kolonialisme Barat terhadap dunia Islam. Negara-negara Islam menjadi
sasaran empuk kolonialisme Barat. Berbagai respon pun dilancarkan pada
kolonialisme seperti lahirnya semangat kebangkitan kesukuan untuk melawan
kolonialisme. Selain itu. perubahan tatanan sosial, budaya bahkan intelektual
umat muslim sangat terlihat akibat kolonialisme.
Setelah Barat menancapkan kolonialismenya di
Negara Muslim, Barat terus melesat menjadi peradaban yang maju dan Islam
menderita. Selanjutnya benturan tak lagi berupa serangan fisik, namun melalui
bentukan citra Islam di mata dunia, dengan adanya teknologi dengan mudahnya
membuat gambaran Islam seburuk mungkin, inilah yang dilakukan oleh media.
Hegemoni barat melalui media telah merasuk dalam sendi-sendi terdalam dari
kehidupan manusia era postmodernisme.
Dari ketiga benturan yang dikemukakan oleh Ahmed
tersebut, sangat jelas terlihat bahwa berbagai macam konflik antara Islam dan
Barat yang mewarnai sejarah panjang peradaban, hanyalah bermotif ekonomi dan
politik. Di mana bisa kita lihat dari mulai perang Salib, yang jika kita
menilik lebih dalam sejarahnya, itu sangat kental dengan motif ekonomi dan
kekuasaan_politik. Dan hanya berapa persen dari motif ideologi. Kemudian
imprealisme juga tak terlepas dari motif ekonomi dan politik.
Nah, konflik dan benturan antara
Islam dan Barat yang mewarnai sejarah peradaban tersebut, nampaknya menuai
berbagai fenomena postmodernisme. Salah satunya adalah fenomena bagaimana
hegemoni media barat terhadap dunia islam. Dan masalah inilah yang akan menjadi
sorotan utama dalam tulisan ini.
3. MEDIA DAN KARAKTERISTIKNYA
Media merupakan salah satu bagian
esensial yang tak dapat dipisahkan dari era postmodernisme. Pengaruh
postmodernisme yang hampir menjangkau seluruh lapisan, tidak dapat dilepaskan
dari peran media. Media memiliki kekuatan untuk menenggelamkan realitas,
menyederhanakan berbagai isu, dan mempengaruhi berbagai peristiwa. Sifat media
dan bahaya yang ditimbulkannya tidak dapat dimengerti di era paradoksal ini.
Media sewaktu-waktu dapat berganti rupa menjadi malaikat, kemudian secepat
kilat berubah wujud menjadi iblis. Media yang dimaksud di sini tidak hanya
media elektronik, seperti televisi, radio, internet, iklan, akan tetapi juga
surat kabar (koran), majalah, jurnal, seminar, diskusi, bahkan barang mewah
(bermerek) juga merupakan bagian dari media. Elemen-elemen tersebut memiliki
peran strategis dalam peradaban global. Hal itu dikarenakan di era
postmodernisme ini, dunia terus menyusut menjadi kampung teknologi global.
Sehingga, barangsiapa yang menguasai media, maka dia akan kuat dan mendominasi
dunia. Hal itu merupakan konsekuensi logis karena media mengindikasikan
kekuatan, penegasan superioritas kultural, dan perluasan filsafat politik.
Ada beberapa
karakteristik pokok media yang dipaparkan oleh Akbar S. Ahmed. Pertama,
media tidak setia dan tidak ingat teman. Kedua hal tersebut merupakan salah
satu karakteristik yang paling menonjol dari media. Oleh karena itu, media
membuat adanya perasaan mendua.
Kedua, media memperhatikan warna
kulit, dan pada lahirnya bersifat rasis.Media Barat didominasi
oleh WASPs (White Anglo-Saxon Protestans); ide-ide mereka terus dibentuk oleh
DWM (Dead White Male). Pahlawan media haruslah berkulit putih, mata biru dan
rambut pirang. Ras kulit putih selalu dicitrakan baik oleh media. Sementara
itu, ras kulit hitam, Asia dan Timur Tengah dicitrakan dalam posisi yang lebih
rendah dibandingkan dengan ras kulit putih.
Tiga, media adalah pengabdian diri dan
sangat bersifat sumbang.
Film-film dan cerita-cerita populer, yang memperkuat kesadaran akan warisan
kultural yang unik, terus dihidupkan dengan kebangkitan terus-menerus. Media
memperkuat ide, nilai, dan pendapatnya sendiri melalui karakternya yang sangat
sumbang.
Empat, media telah menaklukkan kematian. Untuk memahami fenomena ini,kita perlu memahami hal ini
secara sosiologis, bukannya secara eskatologis. Kematian seorang bintang tidak
berdampak pada karir di media. Kematian dipandang sebagai tindakan profesional
yang bijaksana. Dalam hal ini terlihat kekeringan spiritual yang telah melanda
dunia dalam era postmodern. Mereka mencoba mencari patung suci yang dapat
mereka kultuskan. Pilihan mereka jatuh pada sosok selebritis legendaris
seperti, Elvis Presly dan Michael Jackson.
Lima, pada dasarnya, media bersifat demokratis dan
mewakili masyarakat ’umum’. Prinsip
demokratis yang merupakan jantung media merefleksikan asal-usul media dalam
demokrasi Barat. Sesungguhnya, siapa pun bisa menuangkan pendapatnya dalam
media. Selama media tidak dimanipulasi oleh sang pemegang kekuasaan. Enam,
media telah membuat fakta menjadi lebih asing daripada fiksi, sehingga fiksi
lebih enak dilihat dan didengar. Berita televisi disajikan dengan cara yang
hampir menandingi drama dan fiksi terbaik. Media dapat mengubah situasi
sehari-hari yang biasa menjadi pertunjukan. Fakta ternyata jauh lebih menarik
daripada fiksi. Tujuh,
media dengan dingin bersifat netral terhadap posisi-posisi moral dan
pesan-pesan spiritual. Media bisa menayangkan gambar kemewahan pernikahan
artis ternama, dan pada menit berikutnya menampilkan gambar para pengungsi
bencana gempa yang kelaparan. Dengan demikian, hal ini menimbulkan problem.
Bagaimana kita dapat menghubungkan gambar-gambar ini satu sama lain, dan
bagaimana posisi kita dalam hubungannya dengan semua itu? Delapan, media kuat
karena teknologi tinggi, tetapi tetap lemah karena antropologi kultural. Perang
Teluk adalah contoh kasus. Sementara teknologi tinggi memaparkan kejadian dari
menit ke menit di Teluk dari segi militer. Komentarnya memperlihatkan jurang
yang besar dalam menginterpretasikan makna sosial dan kultural
peristiwa-peristiwa tersebut.
Terakhir, dalam dunia kita, media
memainkan peran kunci dalam masalah internasional dan akan meningkatkan peran
ini. Di sini ada sebuah
proposisi, sebuah tesis, yang perlu ditelaah: semakin tradisional suatu kultur
keagamaan dalam zaman kita, semakin besar tekanan terhadapnya, semakin besar
kesulitan yang dihadapinya. Semua agama tradisional pada dasarnya menganjurkan
kesalehan, perenungan dan mistisisme. Sebaliknya, serangan media adalah
tuntutan akan keributan, materialisme, konsumerisme, dan blague. Iklan
yang menggoda, bintang-bintang yang memikat, dan warna-warna membanjiri rumah
kita, menenggelamkan pemikiran-pemikiran tentang kesalehan dan kezuhudan. Lalu,
merampas mahkota manusia, yaitu martabat. Dalam ketidak sopanan dan pergolakan
akal postmodern, tidak ada martabat yang dibiarkan dimiliki oleh siapa pun.
Dari pemaparan Akbar S. Ahmed
tersebut, karakteristik media yang dimaksud lebih menitikberatkan pada media
Barat. Bahkan, dia sangat berani menyebut media sebagai iblis. Pemikiran
tersebut merupakan hal yang wajar mengingat media di era postmodernisme ini
dikuasai oleh Barat sebagai super power.
Media Barat telah membantu
mewujudkan ambisi Barat untuk menaklukkan Komunisme. Sekarang, Barat mencari
musuh baru yang memiliki kekuatan yang dapat mengancam eksistensi mereka.
Sasaran berikutnya adalah Islam. Media Barat pun terus berupaya mencitrakan
opini publik yang negatif terhadap Islam. Hal itu menyebabkan kaum Muslim tidak
mampu mempertahankan diri. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan ketidakmampuan
kaum Muslim untuk memahami maksud dan tujuan serangan itu.
4. HEGEMONI MEDIA DI ERA POSTMODERNISME
Hegemoni media Barat di era postmodernisme sangatlah
mencolok. Media di era ini mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dalam
hal ini, Azyumardi Azra pernah menunjukkan hegemoni media di era posmodernisme
ini, dalam ranah politik. Dia pernah
menulis berkenaan dengan hal tersebut dalam salah satu edisi Jurnal Ulumul
Quran (Pasca-Modernisme, Islam dan Politik: Kecenderungan dan Relevansi).
Pasca-modernisme politik anti
representatif mengambil dua bentuk; pertama pasca modernisme skeptis
yang bersifat pesimis dan, bahkan, anti demokrasi; kedua, pasca
modernisme afirmatif yang lebih optimistik dan pro-demokrasi. Pasca modernisme
skeptis memandang representasi politik sebagai simbol modernisme politik dan
demokrasi Barat yang harus ditolak karena mengacaukan aksi dan wacana politik,
sebab ia begitu mudah dimanipulasi, khususnya melalui penguasaan atas media
massa. Makanya, politik telah menjadi ”dagelan” populer dan image media
ketimbang merupakan diskusi masyarakat umum tentang kebijakan-kebijakan
politik. Sementara itu, pasca modernisme affirmatif menekankan kebebasan
memilih, keterbukaan, toleransi, personalisme dan beberapa bentuk individualisme.
Tak terkecuali pandangan media terhadap Islam dan
Barat. Islam digambarkan oleh media Barat begitu negatif, yang disoroti dari
Islam adalah sesuatu yang berbau kekerasan, terorisme, bahkan jauh dari
kemanusiaan. Begitulah citra Islam di media Barat. Banyak sekali contoh dari
citra negatif Islam yang menjadi sorotan media Barat.
Misalnya saja pada tahun 1979, ketika terjadi
Revolusi Islam Iran, sosok Khomaeni yang memperjuangkan revolusi Islam di Iran,
yang menumbangkan Syah yang terus mengekor pada Amerika, oleh media digambarkan
tak lebih dari seorang yang keras kepala, berkuasa dan sangat marah terhadap
Amerika. Terlebih lagi pasca tragedi 11 september 2001--pengeboman WTC-- di
Amerika, Islam menjadi sasaran empuk dari serangan media Barat dengan citraan
yang negatif.
Sejak hancurnya WTC tersebut, mulai maraklah isu
mengenai terorisme. Dan ironisnya pelaku terorisme tersebut di alamatkan kepada
golongan Islam radikalis dan fundamentalis. Tanpa adanya bukti-bukti yang jelas
dan hanya sekedar asumsi semata. Tak hanya pengebiman WTC, pengeboman yang
terjadi di berbagai daerah di tanah air juga di alamatkan pada Islam sehingga
mendapatkan citraan yang buruk. Apa benar yang melakukannya Islam? Pertanyaan
tersebut akan dijawab dalam pembahasan selanjutnya.
Sungguh berita-berita yang dialamatkan pada Islam
tidak objektif. Media tidak dalam posisi netral karena telah menjejali konsumen
dengan berita-berita yang menyesatkan. Selain itu, muncul fenomena orientalisme
yaitu semangat yang lahir dari dorongan
keingintahuan orang-orang barat tentang pola-pola budaya timur, para
ilmuan-ilmuan yang mengkaji masalah seputar ketimuran, termasuk mengkaji islam.
Para orientalis kebanyakan mempersepsi Islam dan umat Islam itu sendiri secara
negatif, dan mengkaji budaya timur termasuk Islam untuk mendapatkan cara yang
terbaik mengalahkannya atau mengkonversi penduduknya ke agama mereka
(kristenisasi), maka sulit sekali melepaskan orientalisme dari konotasinya yang
negatif dan berbau kolonial. (Nurkholis Madjid, Islam Agama Peradaban :1995)
5. MENGAPA BARAT MEMUSUHI ISLAM?
Begitu mengerikannya citraan media Barat terhadap
Islam, yang menggambarkan Islam sebagai agama yang berbau kekerasan yang tentu
saja jauh dari esensi Islam yang sebenarnya. Lantas apa motivasi dan latar belakang
mereka hingga begitu bencinya dan memusuhi Islam? Tentu saja dalam hal ini
banyak sekali latar belakang yang menyebabkan mereka demikian, dari mulai motif
politik, ekonomi bahkan ideologi.
Pada dasarnya segala macam tuduhan yang dialamatkan
pada Islam misalnya saja kasus pengeboman WTC yang dituduhkan pada
fundamentalis dan radikalisme Islam, pada hakikatnya bukanlah itu yang dituju,
yang dituju adalah Islam itu sendiri yang menolak modernitas, sekularitas,
konsumerisme bahkan hegemoni barat.
Nah, dengan demikian Islam memang benar-benar
menjadi momok yang cukup berbahaya dan pada akhirnya dimusuhi oleh Barat.
Bukanlah perbedaan teologis yang menjadi landasan utama kenapa Barat begitu
memusuhi Islam, namun ada bebarapa hal yang ada pada Islam dan itu benar-benar
mengganggu Barat dalam melebarkan hegemoninya di seluruh dunia. Beberapa hal
tersebut menurut Muhammad Imarah dalam bukunya, “Meluruskan Salah Faham Barat
atas Islam", diantaranya ialah:
a) Tauhid, prinsip ini yang membuat umat muslim
menolak untuk tunduk dan patuh pada imprealisme dan kolonialisme barat. Tentu
saja prinsip tersebut sangat dibenci leh barat karena menghalangi hegemoni
Barat.
b) Gagasan kebangkitan, yang ketika
diaplikasikan Islam bukan hanya berarti pembebasan hati dan akal pemikiran umat
Islam dari hegemoni kultural Barat, tetapi juga pembebasan atas tanah-tanah
dunia Islam dari sistem militerisme Barat, samudera dan laut-lautnya dari
armada laut Barat dan pembebasan berbagi kebijaksanaan pemerintahan dunia Islam
dari sikap mengekor pada sentralitas Barat. Dan dari sini menempatan kembali
umat Islam di tempat asalnya, di garda depan berbagai peradaban.
c) Islam, lebih dari itu semua, ialah seruan
pada pembebasan kekayaan-kekayaan dunia islam dari cengkraman kapitalisme yang
buas mengganas. Kerena pada kenyataannya dunia islam memang dianugerahi Tuhan
kekayaan yang sangat melimpah, misalnya saja minyaknya .
Dari ketiga hal yang
disebutkan diatas tadi, nampaknya islam cukup mengkhawatiran bagi barat. Maka
tidak heran jika islam dimusuhi oleh barat.
6. RELASI ISLAM-BARAT
Dari pemaparan di atas, terlihat adanya bentrokan antara Islam
dengan Barat yang didukung oleh hegemoni media di era postmodernisme ini.
Lantas, terdapat pertanyaan menggelitik, apakah “relasi” merupakan term yang
tidak bisa ditujukan pada keduanya? Pertanyaan besar inilah yang berusaha kami
temukan jawabannya dalam pembahasan terakhir dalam makalah ini.
Jika
media dapat digunakan sebagai alat dalam menyulut konflik antara Islam dengan
Barat, berarti media juga dapat digunakan sebagai alat untuk menciptakan
perdamaian di antara keduanya. Hal itu berkesesuaian dengan fungsi media yang
dapat menciptakan opini publik. Ditambah lagi di era postmodernisme yang
paradoksal ini. Tidak ada kebenaran mutlak, banyak hal yang terjadi saling
bertentangan. Namun, itulah keunikan postmodernisme. Inilah yang seharusnya
menjadi sorotan kita bersama.
Oleh
karena itu, penyelesaian konflik antara Islam-Barat menggunakan metode dialog
dalam media. Hal itu dimaksudkan, agar masing-masing pihak sama-sama
mengklarifikasi kekeliruan opini publik yang beredar. Kita sama-sama sepakat
bahwa karakteristik media yang sesungguhnya netral, bisa terwujud tanpa adanya
intervensi dari kubu yang kuat.
Ada beberapa hal yang seharusnya dilakukan oleh
media, sebagai alat untuk menciptakan relasi antara Islam dan Barat. Pertama, media harus mengungkapkan kebenaran; sesuai dengan
realita, tanpa mengurangkan atau menambahkan fakta. Kedua, media harus
loyal kepada keduanya; dalam artian tidak berpihak. Ketiga, media harus menjunjung disiplin verifikasi; dapat diuji
kevalidan dari berita (opini publik yang diangkat oleh media). Keempat, media harus bisa menjaga
independensi terhadap sumber berita. Kelima,
media harus bisa menjadi
pemantau kekuasaan; media dapat mengkritisi sang pemilik kekuasaan baik Barat,
maupun Islam. Keenam, media
harus menyediakan forum publik untuk menampung aspirasi bagi kedua belah pihak,
baik kritik maupun, dukungan warga.
Ketujuh, media harus menjaga agar berita tetap komprehensif dan proporsional.
Sebenarnya masih
banyak langkah yang harus dilakukan pihak media. Dialog antara Islam dan Barat
membutuhkan waktu yang panjang, demi terciptanya relasi di antara keduanya.
Akan tetapi, semuanya itu harus dilakukan sedini mungkin agar tidak menimbulkan
konflik yang lebih dahsyat lagi. Dalam
hal ini, media telah menjalankan fungsinya sebagai pengarah conflict resolution. Media menjadi
mediator dengan menampilkan isu dari berbagai perspektif serta mengarahkan
pihak yang bertikai, dalam hal ini Islam dan Barat, pada penyelesaian konflik.
Selain itu, Islam
seharusnya menyadari posisi tawarnya yang lemah terhadap Barat. Barat sebagai super power dunia di era posmodernisme
ini, telah mencitrakan Islam begitu negatif. Hal itu sebagai upaya menjadikan Islam
sebagai musuh bersama agar mereka semakin kuat. Poin itulah yang seharusnya
menjadi kunci, dimaksudkan agar Barat tidak menjadikan Islam sebagai musuh
karena dianggap kekuatan yang mengancam. Oleh karena itu, Islam jangan terlarut
dengan alur permainan Barat yang difasilitasi oleh media. Akan tetapi,
menjadikan Barat sebagai kawan, bukan lawan.
7. PENUTUP
Konflik yang
terjadi antara Islam dengan Barat merupakan fakta sejarah. Hal tersebut dimulai
tidak hanya pada era posmodernisme ini, akan tetapi jauh sebelum era modernisme
dengan berbagai motif. Konflik di antara keduanya semakin memanas di era
posmodernisme unu. Hal itu dikarenakan kehadiran media yang digunakan sebagai
alat penyubur konflik.
Dari
paparan di atas, diharapkan ada sedikit gambaran mengenai hegemoni media di era
posmodernisme ini. Namun, kami optimis bahwa media dapat dialihfungsikan
sebagai pencipta perdamaian di antara keduanya. Hal itu dikarenakan paradoksal
media. Kita harus jeli menggunakan media, karena media bisa menjadi malaikat
dan juga iblis. Dalam pembahasan ini, kami menekankan bahwa media dapat menjadi
malaikat.
Kami
mengakui bahwa pembahasan makalah kami masih banyak kekurangan. Tapi,
diharapkan tulisan yang singkat ini mampu menemukan “relasi antara Islam dan
Barat” dalam hegemoni media di era posmodernisme ini. Semoga tulisan ini dapat membuka cakrawala
kita dalam menatap masa depan yang cerah bagi penyelesaian konflik antara Islam
dan Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Akbar. Posmodernisme
Bahaya dan Harapan bagi Islam. Terj, M. Saroji. Bandung: Mizan. 1996
Azra, Azyumardi. Pasca-Modernisme,
Islam dan Politik: Kecenderungan dan Relevansi. Jurnal Ulumul Qur’an.
Gelner, Ernest. Menolak
Posmodernisme: Antara Fundamentalisme Rasionalis dan Fundamentalisme Religius. Bandung:
Mizan. 1994.
Huntington, Samuel P. Benturan
antarPeradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Qalam.2006.
Imarah, Muhammad. Meluruskan
Barat Atas Islam. Yogyakarta: Sajadah Press. 2007
Madjid, Nurkholis.
Islam Agama Peradaban. Jakarta: Paramadina. 1995
Said, Edward. Covering
Islam. Terj. A. Asnawi dan Supriyanto Abdullah. Yogyakarta: Ikon Teralitera. 2002
_______. Orientalisme.
Terj. Asep Hikmat. Bandung: Pustaka. 2001
Setiarti, Eni. Ragam
Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan: Strategi Wartawan
Menghadapi Tugas Jurnalistik. Yogyakarta: Andi. 2005.
Sugiharto, Bambang. Postmodernisme:
Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius. 2003.
Posmodernisme dan Hegemoni Media: Relasi Islam Barat
Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi
on
October 21, 2015
Rating:
No comments:
Komentar