Mengeksplorasi
pemikiran al-Albāniy seputar jilbab muslimah tidak dapat lepas dari beberapa
pemikiran penting beliau dalam hal berikut:
Pengertian khimār, jilbāb dan hijāb menurut al-Albāniy, Hukum cadar atau menutup muka bagi muslimah, Bantahan al-Albāniy atas mereka yang mewajibkan cadar, dan Syarat pakaian (baca: jilbab) wanita muslimah menurut al-Qur'ān dan Sunnah
Pengertian khimār, jilbāb dan hijāb menurut al-Albāniy, Hukum cadar atau menutup muka bagi muslimah, Bantahan al-Albāniy atas mereka yang mewajibkan cadar, dan Syarat pakaian (baca: jilbab) wanita muslimah menurut al-Qur'ān dan Sunnah
1.
Pengertian khimār, jilbāb dan hijāb menurut
al-Albāniy
Telah
sabit (tetap) dari al-Qur'an maupun Sunnah, yakni jika seorang wanita
keluar dari rumahnya maka ia wajib menutup seluruh anggota badannya dan tidak
menampakkan sedikitpun dari perhiasannya -kecuali yang biasa tampak darinya. Para ulama telah meluangkan banyak waktu dan fikirannya
untuk memahami ayat-ayat serta hadi-hadis yang berbicara masalah jilbab ini,
tak terkecuali Muhammad bin Şālih al-'Usaimīn dan ulama ahli hadis abad ini
Muhammad Nāşiruddin al-Albāniy. al-Albāniy meneliti dan menafsirkan ayat-ayat
yang berkaitan dengan masalah ini, bahkan beliau juga melakukan takhrij dan
tahqiq atas hadis-hadis yang berbicara tentang jilbab atau pakaian wanita
muslimah.
Al-Albāniy
dalam mengkaji masalah ini menyajikan berbagai istilah yang erat kaitannya
dengan jilbab muslimah, di antaranya adalah beliau membuat definisi yang dapat
memberikan batasan antara jilbāb, hijāb, dan khimār. Ketiga
istilah tersebut mempunyai perbedaan makna yang sangat kecil, bahkan sebagian
ulama memberikan definisi yang sama; Sehingga jika disebutkan hijāb maka
yang dimaksud adalah jilbab, demikian pula sebaliknya.
Al-Khimār (الخمار) secara bahasa berarti "tutup kepala".1 Dan al-Albāniy mengatakan
bahwa makna inilah yang dimaksudkan setiap kali al-sunnah menyebutnya secara
mutlak; seperti hadis tentang mengusap sepatu (khuff) dan khimār.
Adapun Jilbāb menurut al-Albāniy adalah kain yang dipakai wanita (untuk
menyelimuti tubuhnya) di atas pakaiannya.2 Umumnya, jilbab ini
dikenakan kaum wanita di atas khimarnya ketika keluar rumah, karena jilbab itu
lebih menutupi serta sulit untuk diketahui bentuk kepala dan pundaknya. Adapun
hijab, al-Albāniy menyatakan bahwa terdapat perbedaan makna antara jilbab dan
hijab. Keduanya mempunyai keumuman serta kekhususan yakni setiap jilbab adalah
hijab, namun tidak semua hijab adalah jilbab.3 Dalam hal ini Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa ayat jilbab berkaitan dengan wanita ketika keluar dari tempat
tinggalnya, sedangkan ayat hijab berkaitan dengan wanita ketika berbicara
(dengan laki-laki yang bukan mahramnya) di tempat tinggalnya. 4
Al-Albāniy
memberikan porsi yang cukup banyak bagi dirinya untuk membahas masalah cadar
-bahkan beliau membuat risalah yang khusus berbicara tentang hukum cadar-[1]
karena masalah ini banyak diperbincangkan para ulama mengenai hukum
mengenakannya bagi wanita. Di antara mereka ada yang menyatakan wajib, sunnah,
bahkan ada yang menyatakan bahwa mengenakan cadar merupakan salah satu bentuk
bid'ah dan sikap berlebihan dalam agama.[2]
Dengan
diiringi dalil-dalil, al-Albāniy menyatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan
wanita bukanlah termasuk aurat dan boleh ditampakkan, karena yang dilarang
adalah menampakkan apa yang menjadi bagian dari
auratnya. Menurut al-Albāniy, mengenakan niqāb atau penutup wajah
bagi wanita merupakan akhlak yang mulia dan dengannya seseorang telah
meneladani wanita-wanita utama dari kalangan ummahāt al-mukminīn (istri-istri
Rasulullah saw). Adapun hukum mengenakannya adalah mustahab atau sunnah
yang dianjurkan dan tidak sampai pada suatu kewajiban yang bersifat mutlak.
Sunnah secara istilah tidak sama dengan sunnah dalam pengertian syar'i; sunnah
menurut istilah para fuqaha adalah suatu perbuatan selain perbuatan fardu dan
wajib. Sedangkan sunnah dalam syari'at maksudnya adalah syari'at secara
keseluruhan yang terdiri dari fardu, sunnah, adab, akhlak dan muamalah.[3]
Bagi
al-Albāniy, meskipun zaman semakin mengalami kerusakan dan degradasi moral
semakin meluas, tetapi hukum syar'i yang telah ditetapkan dalam al-Qur'ān dan
al-Sunnah tidak boleh disembunyikan dan ditutupi dari pengetahuan masyarakat.
ﺇنﱠ الذين يَكْتُمُونَ ﻣﺂﺃنزَلْنا من
البينت والهُدَى من بعد ما بَيّنّاهُ لِلنّاسِ في الكتب ﺃوﻟئك يَلْعَنُهُم اللهُ
ويَلْعَنُهُمُ اللّعِنُونَ (البقرة: 159)
"Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk,
setelah Kami menerangkannya kepada
manusia dalam al-Kitāb, mereka itu dilaknati
Allah dan dila'nati semua yang dapat
melaknati."
Demikian halnya dengan hukum
cadar, karena syari'at telah menetapkannya sebagai sebuah sunnah maka ia tidak
boleh disembunyikan dengan dalih menghindari kerusakan zaman. Namun menurut
al-Albāniy, setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan dalam menyikapi masalah
ini, yakni yang pertama, menjelaskan
kepada masyarakat tentang hukum cadar ini dengan menggunakan dalil-dalil dari
al-Kitāb maupun al-Sunnah, dan bukan berdasarkan taklid kepada mazhab atau
sekedar mengikuti tradisi. Yang kedua, melakukan tarbiyah kepada
para pemudi muslimah, dengan pendidikan yang islami, khususnya di
sekolah-sekolah, masjid-masjid, dan universitas-universitas dengan memberikan
wawasan ilmu-ilmu syari'ah yang bermanfaat bagi mereka.
Perbuatan sufūr
dan tabarruj yang dilakukan wanita belakangan ini memang semakin hari
semakin membawa dampak yang kurang positif bagi masyarakat khususnya bagi
wanita itu sendiri. Dekadensi moral semakin sulit untuk dihadapi dan berita
tentang praktek kekerasan terhadap wanita semakin banyak memenuhi harian surat kabar maupun
televise. Namun demikian, manusia tidak boleh mengantisipasinya dengan cara
mengharamkan apa yang dimubahkan oleh Allah bagi kaum wanita yakni membuka
wajah dan mewajibkan untuk menutupnya tanpa perintah dari Allah Ta'ala dan
Rasul-Nya. Menurut Al-Albāniy, satu hal yang harus diperhatikan oleh para
wanita mukminah adalah meskipun membuka wajah itu diperbolehkan, tetapi
menutupnya adalah lebih utama karena hal ini telah dicontohkan para wanita
mulia di zaman Nabi saw.
Meskipun
al-Albāniy membantah mereka yang menyatakan wajib mengenakan cadar atau tutup
muka bagi wanita, al-Albāniy juga membantah mereka yang mengatakan bahwa
menutup wajah merupakan perbuatan bid'ah dan berlebih-lebihan dalam agama.
Jadi, penutup muka bagi wanita (baca: cadar atau yang semakna dengannya)
bukanlah termasuk perbuatan bid'ah dan berlebihan dalam agama, karena perbuatan
ini telah dicontohkan sejak zaman Rasulullah saw masih hidup. Adapun mengatakan
bahwa mengenakan cadar adalah wajib, menurut al-Albāniy juga tidak dapat
dibenarkan karena tidak ada satu dalilpun yang secara jelas dan tegas
mengatakan demikian (wajib).
Menurut
al-Albaniy, untuk memperkuat pendapatnya setidaknya ada 13 dalil şahīh yang
menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan wanita tidak termasuk aurat; di
antaranya adalah:
a.
Hadis Jābir bin Abdullāh[4]
Jābir bin Abdullāh berkata: "Aku pernah
menghadiri şalat 'Ied bersama Rasulullah saw, lalu beliau mengawali şalat 'Ied
sebelum berkhutbah tanpa didahului ażan maupun iqamah. Selanjutnya beliau berdiri
dengan bersandar kepada Bilal. Beliau memerintahkan bertakwa kepada Allah dan
menyuruh untuk taat kepada-Nya, memberikan nasehat kepada manusia, serta
mengingatkan mereka. Beliau terus berlalu sampai akhirnya tiba di hadapan kaum
wanita, lalu beliaupun memberikan nasehat dan mengingatkan mereka. Di situ
beliau bersabda: 'Bersedekahlah, karena kebanyakan dari kalian adalah kayu
bakar api neraka.' Kemudian salah seorang perempuan yang duduk di tengah-tengah
kaum wanita itu, yang kedua pipinya kehitam-hitaman bertanya: 'Mengapa ya
Rasulullah?' Beliau menjawab: 'Karena kalian banyak mengadu dan ingkar kepada
suami.' Jābir bin Abdullāh kemudian menceritakan lagi: Kemudian kaum wanita
itupun bersedekah dengan mengambil sebagian dari perhiasan mereka yang mereka
letakkan di kain Bilal, yaitu berupa anting dan cincin.
Dalam hadis di atas disebutkan bahwa periwayat dapat
melihat wajah wanita tersebut, karena jika tidak demikian maka tentunya ia
tidak dapat mensifatinya sebagai wanita yang mempunyai pipi kehitam-hitaman.
Dengan demikian hadis ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa wajah bukanlah
termasuk aurat yang wajib untuk ditutupi.
b.
Hadis Ibnu Abbās (Al-Fadl bin
Abbās)[5]
Bahwa seorang wanita dari Khas'am meminta fatwa
kepada Nabi saw pada waktu Haji Wada' (di hari Nahar), sedangkan al-Fadl bin
Abbās berada di belakang Rasulullah saw, Ia (al-Fadl) adalah seorang laki-laki
yang cerdas … lalu Nabi pun berhenti di hadapan orang-orang untuk menyampaikan
fatwa kepada mereka. Selanjutnya di dalam hadis ini disebutkan bahwa al-Fadl
menoleh kepada wanita itu, dan ternyata ia adalah wanita yang cantik (dalam
riwayat lain: seorang wanita yang bersih), (dalam riwaayat lain disebutkan:
al-Fadl memandang wanita itu. Kecantikannya amat menarik hatinya, sementara
wanita itupun memandang al-Fadl). Akhirnya Rasulullah saw memegang dagu al-Fadl
dan memalingkan wajah laki-laki itu ke arah yang lain.
Dalam riwayat Ahmad (I/211)
disebutkan riwayat dari al-Fadl sendiri:
فكنتُ ﺃنظر ﺇليها فنظر ﺇليﱠ النبيﱡ صلّى
الله عليه وسلم فَقَلّبَ وَجْهِي عن وجْهِها, ثم ﺃعَدْتُ النّظْرَ فَقَلّبَ وجْهِي
عن وجهها, حتى فَعَلَ ذلك ثلاثا وﺃنا لا ﺃنْتَهِي
Rijal hadis ini siqah,
tetapi munqaţi' jika al-Hakam bin 'Utaibah tidak pernah mendengar
langsung dari Ibnu Abbas.
Hadis di atas menunjukkan bahwa wajah bukanlah aurat dan
tidak wajib bagi wanita untuk menutupnya, karena jika tidak demikian tentunya
al-Fadl tidak akan mengetahui wanita itu cantik atau tidak. Hadis ini juga
menjadi dalil bahwa wanita mukminah tidak diharuskan untuk berhijab sebagaimana
diharuskan bagi para istri Nabi saw. Sebab jika hal itu diharuskan bagi semua
wanita, tentunya Nabi saw menyuruh wanita khas'am tersebut untuk menutup
wajahnya, dan Nabi saw tidak perlu memalingkan wajah al-Fadl.
Ibnu Hajar menyatakan bahwa pengambilan dalil berdasar
kisah wanita khas'am di atas dapat dibantah karena wanita tersebut dalam
keadaan ihram (yang mengharuskan baginya untuk membuka wajah). Namun al-Albāniy
membantahnya dengan mengatakan bahwa permohonan nasehat oleh wanita khas'am
tersebut terjadi setelah melempar jumrah aqabah, yakni setelah tahallul
sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar sendiri dalam kitabnya (Fathul Bāri).
Seandainya wanita tersebut dalam keadaan ihram, hal itu tetap tidak
menghalanginya untuk melabuhkan sesuatu di depan wajahnya, karena yang dilarang
baginya adalah mengenakan cadar.
c.
Hadis Sahl bin Sa'd[6]
Seorang wanita datang menghadap Rasulullah saw
(saat itu beliau berada di masjid), katanya: "Wahai Rasulullah! Saya
datang untuk memberikan diriku kepadamu." (Nabi pun diam tak berkata, dan
aku lihat wanita itu berdiri beberapa lama). Baru kemudian Rasulullah saw
memperhatikannya seraya melihat dari atas sampai bawah serta membenarkannya.
Kemudian Nabi saw menundukkan kepalanya. Tatkala si wanita itu tahu bahwa
beliau tidak menginginkan sesuatu padanya, maka iapun duduk.
d.
Hadis 'Āisyah ra[7]
"Kami wanita-wanita mukminat menghadiri
şalat fajar (subuh) bersama Rasulullah saw dengan mengenakan kain tak berjahit,
kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka seusai menunaikan şalat
tanpa dapat mengenal satu sama lain karena masih gelap."
Wajhul Istidlal (penalaran)nya adalah perkataan: "لا يُعْرَفْنَ من الغَلَسِ" (tidak dapat mengenal satu sama lain karena gelap). Sebab mabhumnya
adalah jika tidak karena gelap, tentu mereka dapat saling mengenal. Dan
lazimnya seseorang dapat saling mengenal adalah dengan melihat wajah-wajah mereka yang terbuka atau
terlihat.[8]
Abū Ya'la dalam musnadnya
meriwayatkan dengan sanad yang şahih:
" وما يَعْرِفُ
بَعْضُنا وُجُوهَ بعضٍ "
e.
Hadis Fātimah binti Qais[9]
Bahwa (suaminya) Amru bin Hafsh mentalaknya
secara baţţah (dalam suatu riwayat: akhir dari talak tiga) sedangkan dia
tidak ada di tempat. Lalu Fātimah binti Qais datang menghadap Rasulullah saw
untuk menceritakan kejadian yang dialaminya. Kemudian Rasulullah saw
menyuruhnya untuk ber'iddah di rumah Ummu Syuraik. Selanjutnya beliau berkata:
'Perempuan itu tidak terlihat oleh sahabatku. Kalau begitu beriddahlah kamu di
rumah Ibnu Ummi Maktum saja, karena sesungguhnya ia seorang laki-laki yang
buta, di mana kamu dapat melepas pakaianmu.
Dalam riwayat lain disebutkan:
اِنْتَقِلِي ﺇلى ﺃمﱢ شُرَيْكٍ- وﺃمﱡ شُريكٍ
امْرَﺃةٌ غَنِيَةٌ من اﻷنصار, عَظِيْمَةُ النّفَقَةِ في سبيل اللهِ, يَنْزِلُ
عليها الضيْفَانُ- فقلتُ: ﺴَﺄفْعَلُ, فقال: لا تَفْعَلِي, ﺇنﱠ ﺃمﱠ شريكٍ امرﺃةٌ
كثيرةُ الضِيْفَانَ, ﻓﺈني ﺃكْرَهُ ﺃنْ يَسْقُطَ خِمارُكِ ﺃو يَنْكَشِفَ الثّوْبُ
عن ساقَيْكِ, فَيَرَى القَوْمُ مِنْكِ
بَعْضَ ما تَكْرَهِيْنَ, ولكن انْتَقِلِي ﺇلى ابْنِ عمك عبدِ اللهِ بنِ ﺃمﱢ مَكْتُوْمٍ
(اﻷعْمَى) ... وهو من البَطْنِ الذي هي منه (ﻓﺈنّكِ ﺇذا وَضَعْتِ خمارَكِ لمْ يَرَكِ)
فانْتَقَلْتُ ﺇليه
Berpindahlah ke rumah Ummu Syuraik! -Ummu
Syuraik adalah seorang wanita kaya dari kaum Anshar yang banyak berinfak di
jalan Allah dan banyak tamu yang mngunjunginya-. Aku (Fatimah binti Qais)
menjawab: "Ya, akan saya lakukan". Lalu Nabi saw berkata:
"jangan kau lakukan! Karena Ummu Syuraik adalah seorang wanita yang banyak
tamunya. Aku tidak suka jika khimarmu jatuh atau pakaianmu terbuka dari
kedua betismu sehingga orang-orang dapat melihat sebagian dari tubuhmu yang
tidak engkau inginkan. Akan tetapi berpindahlah ke rumah anak pamanmu, yaitu
Ibnu Ummi Maktum (yang buta). Dia itu berasal dari suku yang sama denganmu.
(Dan jika kamu menanggalkan khimarmu, ia tidak dapat melihatmu).' Lalu
akupun berpindah ke sana.
Kisah ini terjadi setelah ayat
jilbab diturunkan, yakni sekitar tahun 9 H (karena masa iddah Fātimah binti
Qais selesai bersamaan dengan masuk Islamnya Tamim al-Dāri). Menurut
al-Albāniy, Nabi saw mengakui bahwa Fātimah binti Qais terlihat oleh kaum
laki-laki, sedangkan ia mengenakan khimār (Ini menunjukkan bahwa wajah
wanita tidak wajib untuk ditutup). Kemudian Nabi saw menyuruhnya untuk tinggal
di rumah Ibnu Ummi Maktūm (yang buta) supaya jika ia menanggalkan khimārnya
maka Ibnu Ummi Maktūm tidak dapat melihatnya. Adapun hadis yang mengatakan " ﺃفعمياوان ﺃنتما" sanadnya daif, dan
matannya munkar.[10]
f.
Hadis Ibnu Abbās[11]
Ditanyakan kepada Ibnu Abbās: "Pernahkah
engkau menghadiri shalat 'Ied bersama Nabi saw?" Ia menjawab: 'Ya,
sekiranya bukan karena usiaku yang masih kecil, tentu aku tidak menghadirinya.
Sampai akhirnya beliau tiba di sebuah panji yang ada di sisi rumah Kasir bin
al-Şalt, lalu beliau şalat. (Ibnu Abbās berkata: "Lalu Nabi saw turun,
seakan aku melihat beliau ketika beliau memerintahkan orang-orang untuk duduk
dengan isyarat tangan beliau. Kemudian beliau menatap mereka). Selanjutnya
beliau bersama Bilal menemui kaum wanita (lalu membaca ayat: يايها االنبي ﺇذا جاء ك المؤمنتُ
ُيبايعْنَكَ على ﺃن لا يُشرِكْنَ بالله شيئا ... Beliau
membaca ayat ini hingga selesai, setelah itu beliau bersabda: "Kalian
semua demikian?" Kemudian salah seorang diantara mereka –disaat yang
lainnya diam- menjawab: "Betul, wahai Nabiyullah!" Maka Nabi pun
memberikan nasehat kepada mereka, mengingatkan mereka dan memerintahkan kepada
mereka untuk bersedekah. (Ibnu Abbās mengatakan: Lalu Bilal membentangkan
kainnya, dan berkata: 'Mana sedekah kalian. Tebusan kalian adalah ibu
bapakku!). Aku lihat mereka mengulurkan tangan untuk melempar sesuatu (dalam
sebuah riwayat: melemparkan cincin mereka) ke kain Bilal. Setelah itu beliau
bersama Bilal pergi menuju rumah beliau.
Hadis ini menunjukkan
bahwasanya Ibnu Abbās yang sedang berada di hadapan Rasulullah saw melihat
tangan dan wajah kaum wanita itu, yang mengindikasikan bahwa keduanya tidak
termasuk aurat (wajib ditutup). Adapun bai'at yang dilakukan kaum wanita
kepada Nabi saw ini terjadi pada tahun 6 H (setelah difadukannya jilbab, karena
jilbab difardukan pada tahun 3 H).
g.
Hadis Ibnu Abbās[12]
Adalah seorang wanita menunaikan shalat di
belakang Rasulullah saw. Dia seorang wanita yang sangat cantik, dan termasuk
secantik-cantik manusia. (Ibnu Abbās sampai mengatakan: Demi Allah, aku belum
pernah melihat seorang wanita secantik itu). Sebagian dari jama'ah shalat ada
yang memilih maju ke depan sehingga menempati shaf pertama agar tidak
melihat si wanita cantik itu. Dan sebagian lainnya memperlambat datangnya untuk
mendapatkan shaf yang terakhir. Ketika ruku', ia melihat si wanita cantik itu
dari celah bawah ketiaknya (dan ia merenggangkan kedua tangannya). Akhirnya
Allah menurunkan Firmannya (Surat
al-Hijr: 24).
3.
Bantahan al-Albāniy atas
mereka yang mewajibkan cadar
Pernyataan
al-Albāniy bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita tidak termasuk aurat
(boleh ditampakkan) bukanlah tanpa dasar. Bahkan menurutnya, mereka yang
menyatakan sebaliknya (wajib untuk menutupnya) terjadi kesalahan-kesalahan
penting dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hijāb dan jilbāb,
menyelisihi para ulama, dan bersikap keras (tasyaddud). Di antara
kesalahan-kesalahan tersebut adalah:
a.
Mereka yang mewajibkan cadar
kurang akurat dalam menafsirkan kalimat "
يدنين "
dalam ayat "jalābīb" (Surat
al-Ahzāb: 59); yakni mereka tafsirkan dengan "menutupi wajah".
Padahal menurut al-Albāniy, penafsiran ini berbeda dari makna asal kata
tersebut secara bahasa, yakni "mendekatkan". Imam al-Ragib
al-Aşbahani dalam kitabnya al-Mufradat sebagaimana dikutip al-Albaniy
mengartikan kata " دنا
" dengan
'dekat'.[13]
Bahkan Ibnu Abbas ra yang dikenal sebagai 'Turjuman al-Qur'ān' berkata
sebagaimana dikutip juga oleh al-Albāniy "wanita mendekatkan jilbabnya ke
wajahnya, tidak menutupkannya".
b.
Kata "
الجلباب " juga mereka
tafsirkan dengan 'kain yang menutup wajah'. Padahal makna ini menurut
al-Albāniy tidak ada rujukannnya ditinjau dari segi bahasa. Ibnu Manzur
mengatakan bahwa jilbab bermakana 'pakaian atau baju yang lebih luas dari pada khimār
yang dipakai wanita untuk menutup kepala dan dadanya. Dikatakan juga bahwa
jilbab adalah pakaian yang longgar yang dipakai wanita.[14]
Sedangkan para ulama menafsirkan kata "al-Jilbāb" dengan 'kain
yang dipakai wanita diatas khimārnya, dan para ulama tidak mengatakan
'menutup wajahnya'.
c.
Kata "
الخمار" mereka artikan dengan 'penutup kepala dan
wajah'. Al-Albāniy mengatakan bahwa penafsiran ini mereka buat supaya mereka
dapat menjadikan Surat
al-Nūr: 31 sebagai hujjah yang dapat menguatkan pendapat mereka, padahal
menurut al-Albāniy justru hal ini dapat melemahkannya. Karena secara bahasa, "al-Khimār"
berarti 'tutup kepala' (saja), dan bukan tutup kepala dan wajah.
Yang lebih keras lagi kesalahannya menurut al-Albāniy,
mereka menafsirkan kalimat " ﺃن
يضعن ثيابَهن " dengan makna 'jilbāb'; tafsiran ini baik tetapi kemudian mereka
mengatakan bahwa seorang wanita tua yang telah mengalami menopouse
diperbolehkan untuk menampakkan khimār mereka dengan membuka wajah
mereka di hadapan pria ajnabi. Padahal yang sebenarnya dimaksud pakaian
adalah jilbab itu sendiri.
d.
Salah satu dari mereka mengklaim
adanya ijma' bahwa wajah wanita adalah aurat. Al-Albāniy membantah klaim ini,
dan mengatakan bahwa tidak ada ulama sebelumnya yang mengatakan demikian (adanya
ijma' dalam hal ini). Sebagai contoh adalah perkataan ulama tentang hadis Jābir
ra yang berkata: "Aku bertanya kepada Rasulullah saw mengenai pandangan
tiba-tiba. Maka beliau memberitahukanku untuk memalingkan pandanganku."
(Diriwayatkan oleh Muslim)
Dalam hadis di atas terkandung penjelasan bahwa wanita
tidak berkewajiban untuk menutup wajahnya di jalan, namun menutupnya hanyalah
merupakan perbuatan sunnah yang dianjurkan dan bukan wajib. Adapun laki-laki
berkewajiban untuk menahan pandangan dari wanita dalam segala keadaan kecuali
untuk tujuan syar'i (misal khitbah).
e.
Mereka bersikeras mentakwilkan
hadis-hadis şahīh agar tidak bertentangan dengan pendapat mereka, sebagaimana
yang mereka lakukan terhadap hadis Khas'amiyah. Untuk menolak hadis ini
mereka membuat berbagai alasan bahwa wanita tersebut dalam keadaan ihram, dan
adakalanya mereka mengatakan bahwa wanita tersebut tidak membuka terus-menerus
wajahnya (bisa jadi terbuka karena tertiup angin). Padahal menurut al-Albāniy,
ibadah ihramnya tidak menghalanginya untuk menutupi wajahnya (berdasarkan hadis
'Aisyah),[15]
dan tidak ada naş yang menunjukkan bahwa wajah wanita itu terbuka karena
tertiup angin.
f.
Al-Albāniy mengatakan bahwa
dalil-dalil yang mereka gunakan adalah hadis dan asar lemah, seperti hadis Ibnu
Abbās ra mengenai membuka sebelah mata; Juga hadis tentang " ﺃفعمياوان ﺃنتما " (apakah
kamu berdua buta?), mereka menguatkan hadis ini dan tidak melemahkannya dengan
mengatakan isnad-nya şahīh. Padahal menurut para muhaqqiq,
seperti Imam Ahmad, al-Baihāqi dan Ibnu 'Abdil Barr, hadis ini daīf bahkan
hadis ini bertentangan dengan riwayat-riwayat yang dibawakan para ulama,
seperti hadis yang menyatakan bahwa Nabi saw mengizinkan Fāţimah binti Qais
untuk tinggal di rumah Ibnu Ummi Maktūm yang buta dengan alasan
"Sesungguhnya jika kamu menanggalkan khimarmu, ia tidak dapat
melihatmu."
Dalam riwayat al-Ţabrāniy dari Fātimah binti Qais ia berkata:
وﺃمرني ﺃن ﺃكون عِنْدَ ابنَ ﺃمﱢمكتومٍ, ﻓﺈنّه
مَكْفُوْفُ البَصَرِ, لا يَرَانِي حِيْنَ ﺃَخْلَعُ خِمارِي
g.
Kesalahan mereka dalam melemahkan
beberapa hadis şahīh atau asar yang sabit dari sahabat, sebagaimana mereka
melemahkan hadis 'Āisyah mengenai wanita yang telah mencapai usia balig:
"Tidak baik untuk dilihat tubuhnya, kecuali wajah dan dua telapak
tangannya." Mereka melemahkan hadis ini dan mereka menyelisihi para hāfiz
hadis yang menguatkannya, seperti al-Baihaqi, al-Zahabi, al-Munziri,
al-'Asqalāni, dan al-Syaukāni.
Di antara mereka ada juga yang mengatakan bahwa hadis di
atas tidak diriwayatkan kecuali dari 'Āisyah, padahal terdapat dua jalan
periwayatan yang lain; Salah satunya dari Asma' binti Umais dan satu lagi dari
Qatādah secara mursal dengan sanad yang sahih sampai padanya. Selain itu
terdapat penguat lain, yakni:[16]
1)
Hadis tersebut diriwayatkan dari
Qatādah dengan sanad dari 'Āisyah.
2)
Hadis tersebut diriwayatkan dari
jalan lain, dari Asma'.
3)
Hadis tersebut diamalkan ketiga
periwayat: yang pertama, Qatādah dalam menafsirkan ayat "al-idna"
dengan: "Allah telah mewajibkan mereka untuk mengenakan kain yang menutup
alis mereka, yang artinya tidak menutupi wajah."
Yang
kedua, 'Āisyah ra mengatakan tentang wanita yang
melakukan ihram: "Hendaklah ia menutupkan kain pada wajahnya, jika ia
mau." Ucapan ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang şahih.
Dari perkataan 'Āisyah ini, dapat ditemukan adanya pilihan bagi wanita untuk
menutup wajahnya atau tidak. Hal ini menunjukkan bahwa wajah bukanlah termasuk
aurat, karena jika tidak demikian pastilah mereka (para şahabiyah) telah
diwajibkan secara jelas dan tegas untuk menutup wajah mereka. Adapun asar
'Āisyah ini menguatkan hadisnya yang marfu'.
Yang
ketiga, Asma' telah meriwayatkan secara şahih bahwa
Qais bin Abī Hāzim pernah melihatnya sebagai seorang wanita yang berkulit putih
dan bertato pada kedua tangannya.
4)
Asar Ibnu Abbās ra yang mengatakan
"Wanita mendekatkan jilbabnya kewajahnya dan tidak menutupkannya".
Begitu juga dengan penafsiran Ibnu Abbas ra terhadap ayat "al-Zīnah":
"Kecuali yang (biasa) tampak darinya", beliau tafsirkan dengan
wajah dan dua telapak tangan.
h.
Kewajiban mengenakan cadar ini
mereka jadikan sebagai syari'at yang tetap dan mutlak, yang berlaku bagi semua
wanita tanpa mengenal waktu dan tempat. Hal ini tidak dapat dibenarkan, karena
menurut al-Albāniy sikap ini termasuk sikap berlebihan dalam agama, dan secara
tidak langsung telah membuat syari'at sendiri serta menjadikan tandingan bagi
Allah. Akan tetapi, mengenakan cadar atau penutup muka adalah perbuatan sunnah
yang dianjurkan, namun jika dikhawatirkan mendapat gangguan dari pria fasik
dikarenakan ia membuka wajahnya, maka dalam keadaan demikian ia wajib menutup
wajahnya untuk menghindari gangguan dan fitnah. Jadi hukum cadar tidak berada
dalam taraf sebagai syari'at yang tetap, artinya meskipun ia sunnah tapi dapat
berubah menjadi wajib.
4.
Syarat pakaian (baca: jilbāb)
muslimah menurut al-Qur'ān dan al-Sunnah
Al-Qur'ān
diturunkan kepada umat manusia agar menjadi petunjuk bagi mereka menuju
kebahagiaan di dunia maupun di akherat, sedangkan Nabi saw diutus salah satunya
adalah untuk menyempurnakan akhlak, meninggikan derajat manusia dengan suri
tauladan melalui sunnahnya. Di antara akhlak yang mulia adalah sikap zuhud
terhadap dunia dan tidak terpedaya oleh gemerlap tipu dayanya. Dunia ini adalah
penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.
Sebagaimana
yang termaktup dalam berbagai ayat al-Qur'ān maupun al-Sunnah, orang-orang
kafir tidak akan ridha dengan keimanan kaum muslimin, sehingga mereka (orang
kafir) melakukan banyak sekali makar supaya kaum muslimin semakin jauh dari
agamanya. Di antara makar kaum kafir adalah menghembuskan nafas kebimbangan
pada diri wanita muslimah dengan slogan-slogan emansipasi, mode atau trend,
atau dengan istilah lain yang dapat mendorong kaum wanita khususnya muslimah
menjadi tertarik olehnya dan semakin jauh dari perintah agamanya. Usaha kaum
kafir ini tidak banyak disadari oleh kaum muslimah sehingga mereka terjatuh di
dalamnya. Media massa
ataupun elektronik yang awalnya bermaksud untuk mempermudah komunikasi, kini
telah menjadi lahan perusakan moral. Televisi, internet, bahkan radio telah
banyak menghadirkan sosok wanita dengan pakaian yang sangat minim, suara yang
mendayu, dan sikap yang tidak lagi memperhatikan adab maupun kesopanan,
lebih-lebih syari'at agama (Islam). Bahkan di antara umat Islam sendiri ada
yang menjadikan jilbab sebagai trend dan mode, sehingga makna jilbab itu
sendiri telah hilang dari maksud awal disyari'atkannya.
Al-Albāniy
dalam menjawab tantangan ini membuat beberapa persyaratan (jilbab) yang dapat
dijadikan pegangan bagi muslimah. Dengan adanya persyaratan ini diharapkan para
wanita muslimah mempunyai pegangan pokok akan bentuk pakaian yang sesuai dengan
perintah syar'i. Persyaratan ini beliau tafsirkan dari ayat-ayat al-Qur'ān
maupun al-Sunnah, yaitu:
a.
Syarat pertama; Menutup seluruh badan selain yang dikecualikan
Syarat yang pertama ini merupakan interpretasi dari al-Qur'an:
1) Surat al-Nūr (24): 31
وقل للمؤمنت يغضضن من ﺃ بصرهنﱠ و َيحفَظْنَ
فروجَهُنﱠ ولا يبدين زينتَهنﱠ ﺇلا ماظهرمنها ولْيضْرِبْنَ بخمرهنﱠ على جيوبهنﱠ ولا
يبدين زينتهنﱠ ﺇلا لبعولتهنﱠ ﺃو ءابائهنﱠ ﺃو ءاباء بعولتهنﱠ ﺃو ﺃبنائهنﱠ ﺃو ﺃبناء
بعولتهنﱠ ﺃو ﺇخونهنﱠ ﺃو بنى ﺇخونهنﱠ ﺃو بنى ﺃخَوتِهنﱠ ﺃو نسآئهنﱠ ﺃو ما ملكت ﺃيمنُهُنﱠ
ﺃوِ التّبعين غيرِ ﺃولِى اﻹربَةِ من الرِجَالِ ﺃوالطفْلِ الذين لم يظهروا على عورت
النسآءِ ولا يضْرِبْنَ ﺒﺄرجلِهِنﱠ لِيُعْلَمَ ما يُخْفِيْنَ من زينتِهِنﱠ وتوبوا
ﺇلى الله جميعا ﺃيها المؤمنون لعلكم تفلحون(النور: 31)
Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putera-putera suami mereka,
atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-peelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau nak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Dalam memaknai kalimat "kecuali
yang biasa tampak darinya", terdapat perbedaan pendapat di kalangan
para ulama. Ayat ini, sebagaimana disebutkan Ibnu Kasīr dalam kitab tafsirnya
menegaskan tentang kewajiban menutup seluruh perhiasan dan tidak menampakkannya
sedikitpun kepada laki-laki ajnabi,[17]
kecuali perhiasan yang tampak tanpa
kesengajaan, karena sesuatu yang tidak disengaja tidaklah mendapat
hukuman. Ibnu Abbās ra mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan 'perhiasan yang biasa tampak' adalah wajah dan kedua
telapak tangan, dan inilah pendapat yang masyhur di kalangan jumhur ulama'.[18]
Demikian pula pendapat Ibnu Jarīr. Sedangkan Ibnu Mas'ūd ra berpendapat
sebagaimana dikutip al-Albāniy bahwa yang dimaksud dengan 'perhiasan yang biasa
tampak' adalah selendang maupun kain yang lainnya, yakni kain kerudung yang
biasa dikenakan wanita Arab di atas pakaiannya serta bagian bawah pakaiannya
yang tampak.[19]
Dari ayat ini, Ibnu 'Aţiyah memahami bahwa wanita
diperintah untuk tidak menampakkan perhiasannya serta bersungguh-sungguh
dalam menyembunyikannya. Sedangkan yang
dimaksud dengan "yang biasa tampak" adalah yang dituntut oleh
kebutuhan mendesak kaum wanita seperti
melakukan gerakan yang tidak mungkin dihindarkan untuk memenuhi
kebutuhan.
Menurut al-Albāniy, pendapat yang lebih mendekati
kebenaran adalah pendapat yang menafsirkan dengan wajah dan telapak tangan.
Sedangkan yang di sebut dengan telapak tangan adalah bagian dalam dari telapak
tangan hingga pergelangan; adapun wajah adalah mulai dari tempat tumbuhnya
rambut hingga bawah dagu dan mulai dari satu kuping hingga kuping telinga yang
lain. Sehingga yang meliputi wajah dan telapak tangan adalah celak, cincin,
gelang, dan inai. Pendapat ini juga didasarkan pada tradisi atau perbuatan
banyak wanita (yang diperbolehkan syari'at) di masa Nabi saw -dimana mereka
adalah orang-orang yang mengalami secara langsung turunnya al-Qur'an- serta
semua bersepakat bahwa setiap orang yang melaksanakan shalat berkewajiban untuk
menutup seluruh auratnya dan bahwa wanita diperbolehkan untuk membuka wajah dan
telapak tanganya di dalam şalat. Hal ini mengindikasikan wanita boleh
menampakkan bagian tubuhnya selama tidak termasuk aurat, karena bagian tubuh
yang tidak termasuk aurat itu tidak haram untuk ditampakkan selama tidak
bermaksud untuk bersolek dan menampakkan kecantikan.
Tafsiran ayat tersebut di atas (bagian tubuh yang
biasa tampak adalah wajah dan telapak
tangan) dikuatkan oleh firman Allah: "Hendaklah mereka menutupkan
khimarnya ke dadanya." Hal ini bisa dipahami bahwa ketika wajah
ditampakkan, (wanita) juga membiarkan anting mereka tidak tertutupi, dan
merupakan kebiasaan para wanita pada masa ayat ini turun, mereka biasa
menjuraikan khimar ke belakang punggung mereka serhingga dada dan leher mereka
terlihat. Lalu Allah memerintahkan agar menutupkan khimar mereka ke dada,
sehingga tidaklah tampak seluruh tubuh mereka kecuali wajah dan telapak tangan
mereka (kecuali sengaja ditutup meski terasa berat).
2)
Surat al-Ahzāb (33 ): 59
يايها النبى قل ﻷزوجك وبناتك ونسآء
المؤمنين يدنين عليهن من جلبيبهن ذلك ﺃدنى ﺃن يُعْرَفْنَ فلا يؤذين وكان الله
غفورا رحيما
Ayat ini menjadi penguat dari
ayat sebelumnya (Surat
al-Nūr: 31), dimana kata "idna" dalam ayat di atas bermakna
'hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka sehingga tidak tampak padanya
kalung maupun anting mereka'.
b.
Syarat kedua; Bukan berfungsi sebagai perhiasan
Syarat kedua ini dinukil al-Albāniy dari firman Allah
Ta'āla dalam surat
al-Nūr (24): 31 ولا يبدين زينتهنﱠ "Dan janganlah kaum wanita itu
menampakkan perhiasan mereka."
Ayat ini
menunjukkan adanya perintah bagi wanita untuk menyembunyikan perhiasannya, dan
sangat tidak masuk akal jika seorang wanita berpakaian (dengan maksud menutupi
perhiasannya) namun pakaian tersebut justru ia jadikan sebagai perhiasan. Secara umum, ayat ini juga mengandung makna
semua pakaian biasa (jika dihiasi) yang dengannya menyebabkan kaum laki-laki
melirik dan tertarik kepadanya.
Syarat kedua ini juga
diperkuat oleh firman Allah Ta'āla surat
al-Ahzāb (33): 33
وقرن في بيوتكنﱠ ولا تبرﱡجن تبرﱡج الجاهلية اﻷولى
"Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang
pertama."
Hadis Nabi saw yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Hākim, dari hadis Fadalah bin 'Ubaid dengan
sanad yang shahih juga memperkuat syarat kedua ini; yakni Nabi saw bersabda:
ثلاثةٌ لا ﺗُﺴْﺄلُ عنهم: رجلٌ فارَقَ
الجماعةَ وعَصَى ﺇمامَهُ وماتَ عاصِيًا, وﺃمَةٌ ﺃو عَبْدٌ ﺃبِقَ فَمَاتَ, وامْرَﺃةٌ
غابَ عنها زَوْجُهَا, قد كَفَاهَا مَؤُوْنَةَ الدﱡنْيَا, فَتَبَرﱠجَتْ بَعْدَهُ,
فلا ﺗُﺴْﺄلُ عنهم
"Tiga
golongan yang tidak akan ditanya (karena mereka sudah pasti termasuk
orang-orang yang binasa): Seorang laki-laki yang meninggalkan jama'ah dan
mendurhakai imamnya serta meninggal dalam keadaaan durhaka; Seorang budak
wanita atau laki-laki yang melarikan diri (dari tuannya) lalu mati; Serta
seorang wanita yang ditinggal pergi oleh suaminya padahal suaminya telah
mencukupi kebutuhan duaniawinya, namun setelah itu ia bertabarruj.
Ketiganya tidak akan ditanya."
Adapun tabarruj, menurut al-Albāniy adalah
perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala
sesuatu yang wajib ditutupnya karena dapat membangkitkan syahwat kaum
laki-laki.
Awal mula disyaria'atkannya
jilbab adalah untuk menutupi perhiasan wanita; Maka sangat tidak masuk akal
jika jilbab itu sendiri berfungsi sebagai perhiasan. Bahkan al-Zahabi dalam
kitabnya al-Kabāir sebagaimana dikutip al-Albāniy menyatakan bahwa Allah melaknat
wanita yang menampakkan perhiasannya, emas, dan mutiara yang ada dibawah niqāb
(tutup kepalanya), memakai wangi-wangian ketika kelur rumah, mamakai
berbagai kain celupan, pakaian sutera, dan memanjangkan lengannya hingga
melampaui batas.
Larangan tabarruj ini sedemikian tegasnya hingga
disetarakan dengan larangan berbuat syirik, zina, mencuri dan lainnya
sebagaimana terdapat dalam sabda Nabi saw tatkala beliau membai'at Umaimah
binti Ruqaiqah ketika masuk Islam. Nabi membai'atnya untuk tidak menyekutukan
Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anaknya, tidak membuat
dusta yang diada-adakan antara kaki dan tangan, tidak meratap, serta tidak bertabarruj
seperti tabarrujnya kaum jahiliyah pertama.
c.
Syarat ketiga; Kainnya harus tebal, dan tidak tipis
Nabi saw bersabda:
سيكونُ في ﺁخِرِ ﺃمّتِي ﻧِﺴﺂءٌ كَاسِيَاتٌ
عَارِيَاتٌ, على رُؤُوسِهِنّ ﮐَﺄسْنِمَةِ البُخْتِ, ﺇلْعَنُوهُنّ ﻓﺈنّهُنّ مَلْعُونَاتٌ
"Pada akhir umatku nanti akan ada
wanita-wanita yang berpakaian tetapi (hakekatnya) telanjang .
Di atas kepala mereka seperti terdapat bongkol (punuk) onta. Kutuklah mereka
karena sebenarnya mereka itu adalah kaum wanita terkutuk."
Dalam hadis yang lain terdapat tambahan yang menyatakan
bahwa mereka (para wanita itu) tidak akan masuk surga dan juga tidak akan
memperoleh baunya, padahal bau surga itu dapat dicium dari perjalanan (jarak)
sekian dan sekian. Yang dimaksud oleh hadis Nabi saw di atas adalah wanita yang
mengenakan pakaian tipis, yang dapat menggambarkan bentuk tubuhnya. Makna ini
telah banyak dinukil dari para şahabat dan şahabiyah Nabi saw, seperti Asma'
binti Abū Bakar, Umar bin Khaţţāb, dan lain sebagainya.
Lebih lanjut para ulama seperti Ibnu Hajar al-Haisami
mewajibkan untuk menutup aurat dengan pakaian yang tidak dapat mensifati warna
kulit, karena hakekat menutup (aurat) adalah supaya tidak diketahui apa yang
ada di balik penutup tersebut. 'Āisyah ra pernah berkata bahwa yang di sebut
khimar adalah yang dapat menyembunyikan kulit dan rambut.
d.
Syarat keempat; Harus longgar, tidak ketat, sehingga tidak dapat menggambarkan sesuatu
dari tubuhnya
Hakekat
mengenakan pakaian adalah untuk menghilangkan fitnah, di mana hal tersebut
tidak akan dapat terwujud kecuali pakaian yang dikenakan haruslah bersifat
longgar dan tidak sempit. Telah kita lihat fenomena yang memprihatinkan di
kalangan wanita muslimah saat ini, meskipun mereka berpakaian dengan pakaian
yang dapat menutupi warna kulitnya, namun tetap saja mereka mengenakan pakaian
yang dapat menggambarkan bentuk tubuhnya. Keadaan inilah yang dapat
mendatangkana kerusakan besar di kalangan umat manusia.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi saw
memerintahkan pada salah satu sahabat yang beliau beri baju Qubţiyah (jenis
pakaian dari Mesir yang tipis) -dimana pakaian tersebut dipakai oleh istri
sahabat tersebut- untuk mengenakan baju dalam di balik Qubţiyahnya
supaya tidak tergambarkan bentuk tubuhnya. Telah tetap dalam kaidah uşul fiqih
bahwasanya asal dari sebuah perintah adalah menunjukkan wajib. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa mengenakan baju yang longgar adalah syarat bagi penutup
aurat. Bahkan dalam shalat, seorang wanita harus mengenakan tiga pakaian: baju,
jilbab, dan khimār; Sebagaimana perkataan 'Āisyah:[20]
لا بُدﱠ للمرﺃةِ مِن ثلاثةِ ﺃثْوَابٍ تُصَلّي
فيهِنﱠ: دِرْعٌ وجِلْبَابٌ وخمارٌ, وكانتْ عائشةُ تَحِلﱡ ﺇزَارَهَا, فَتُجَلْبِبَ
بِ
"Seorang
wanita dalam mengerjakan shalat harus mengenakan tiga pakaian: baju, jilbab,
dan khimar." Adapun 'Āisyah ra pernah mengulurkan izar-nya (pakaian
sejenis jubah) dan berjilbab dengannya.
e.
Syarat kelima; Tidak diberi wewangian atau parfum
Terdapat
beberapa hadis yang menunjukkan larangan bagi perempuan memakai wewangian
ketika keluar rumah, di antaranya:
1)
Dari Abū Mūsa al-Asy'ariy
bahwasanya ia berkata: Rasūlullāh saw bersabda:[21]
ﺃيما امرﺃةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرﱠتْ
علىَ قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيْحِهَا فَهِيَ زَانِيَة
"Siapapun
perempuan yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka
mendapatkan baunya, maka ia adalah penzina".
2)
Dari Zainab al-Saqafiyah
bahwasanya Nabi saw bersabda:
ﺇذا خَرَجَتْ ﺇحْدَاكُنﱠ ﺇلى المسجدِ
فلا تَقْرَبَنﱠ طِيْبًا
"Jika
salah seorang di antara kalian (kaum wanita) keluar menuju masjid, maka
janganlah sekali-kali mendekatinya dengan (memakai) wewangian."
3)
Dari Abū Hurairah ra ia berkata:
Rasulullah saw bersabda:
ﺃيما امرﺃةٍ ﺃصَابَتْ بَخُورًا,
فلا تَشْهَدْ مَعَنَا العِشَاءَ اﻵخِرَةَ
"Siapapun
perempuan yang memakai bakhur, maka janganlah ia menyertai kami dalam shalat
Isya' yang akhir." (Dikeluarkan oleh Muslim (143), Abū Dāwud (4175),
al-Nasā'i (5143 dan 5278)
Bakhur yang dimaksud dalam hadis dia atas adalah wewangian yang dihasilkan
dari pengasapan, semacam dupa atau kemenyan, atau wewangian yang biasa
digunakan untuk pakaian. Alasan dari pelarangan ini adalah karena dapat
membangkitkan nafsu kaum laki-laki, dan pelarangan tersebut bersifat umum yang
meliputi setiap waktu.
4)
Dari Mūsa bin Yasar, dari Abū
Hurairah:
ﺃنﱠ امرﺃةً مَرﱠتْ بِهِ تَعَصّفَ رِيْحُهَا,
فقال: يا ﺃمَةَ الجَبّارِ! المسجدَ تُرِيْدِيْنَ؟ قالت: نعم, قال: وَلَهُ تَطَيّبْتِ؟
قالت: نعم, قال: فارْجِعِي فاغْسِلِي, ﻓﺈني سَمِعْتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه
وسلم يقول: ما مِنْ امرﺃةٍ تَخْرُجُ ﺇلى المسجدِ تَعَصّفَ رِيْحُها فلا يَقْبَلُ
اللهُ منها صلاةً حَتّى تَرْجِعَ ﺇلى بَيْتِهَا فَتَغْتَسِلَ
"Bahwa
seorang wanita berpapasan dan bau wewangiannya menerpanya. Maka Abu Hurairah
berkata: "Wahai hamba Allah! Apakah kamu hendak ke masjid?" Ia
menjawab: "Ya"! Abu Hurairah kemudian berkata lagi: "Pulanglah
saja, lalu mandilah! Karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah saw
bersabda: "Jika seorang wanita keluar menuju masjid sedangkan bau
wewangiannya menghembus maka Allah tidak menerima shalatnya, sehingga ia pulang
lagi menuju rumahnya lalu mandi."
f.
Syarat keenam; Tidak menyerupai pakaian laki-laki
Terdapat beberapa hadis şahīh yang menunjukkan tentang larangan
–bahkan Allah melaknat- seorang wanita menyerupai laki-laki, baik dalam hal
pakaian maupun yang lainnya. Perilaku ini termasuk dosa besar menurut pendapat
yang lebih kuat. Setidaknya ada empat hadis yang dijadikan landasan bagi
al-Albāniy dalam membuat syarat pakaian (baca: jilbab) wanita muslimah yang
keenam ini; yakni:
1)
Hadis yang diriwayatkan Abū
Hurairah ra[22]
لَعَنَ رسولُ الله صلى الله عليه وسلم
الرﱠجُلَ يَلْبَسُ لُبْسَةَ المَرْﺃةِ, والمَرْﺃةَ تَلْبَسُ لُبْسَةَ الرﱠجُلِ
"Rasulullah
saw melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian
pria."
2)
Hadis yang diriwayatkan dari
Abdullāh bin Amru[23]
ليس مِنّا مَنْ تَشَبّهَ بالرِجالِ مِنَ
النسَاءِ, ولا مَنْ تَشَبّهَ بالنساءِ مِن الرِجالِ
"Tidak termasuk golongan kami para wanita yang menyerupakan
diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum
wanita."
3)
Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu
'Abbās ra
لَعَنَ النّبِي صلى الله عليه وسلم
المُخَنّثِينَ مِنَ الرِجالِ, والمُتَرَجِّلاتِ مِنَ النساءِ وقال: ﺃخْرِجُوهُمْ مِنْ
بُيُوتِكُمْ. قال: ﻓﺄخْرَجَ النّبيُّ صلى الله عليه وسلم فُلانًا, وﺃخْرَجَ عُمَرُ
فُلانًا
"Nabi
saw melaknat kaum pria yang bertingkah seperti wanita, dan kaum wanita yang
bertingkah seperti pria. Beliau bersabda: 'Keluarkanlah mereka dari rumah
kalian.' Nabi pun mengeluarkan si fulan dan Umar mengeluarkan si fulan."
Dalam lafaz yang lain:[24]
لعن رسول الله صلى الله عليه
وسلم المُتَشَبِهين من الرجال بالنساء, والمتشبهاتِ من النساء بالرجال
4)
Hadis yang diriwayatkan dari
Abdullāh Ibnu Umar[25]
ثلاث لا يدخلون الجنة ولا ينظرُ اللهُ ﺇليهم
يومَ القيامة: العاقﱡ وَالِدَيْهِ, والمرﺃةُ المُترَجِلَةُ المتشبهة بالرجال, والدﱠيُوثُ
"Tiga
golongan yanag tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan memandang mereka
pada hari kiamat; Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang
bertingkah seperti pria dan menyerupakan diri dengan pria, dan dayus
(orang yang tidak memiliki rasa cemburu)."
5)
Dari Abdullāh bin Abī Mulaikah
yang berkata:[26]
Suatu ketika 'Aisyah ditanya: Bagaimana pendapatmu tentang wanita yang memakai
sandal? Ia mnejawab:
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الرﱠجُلةَ من النساء
"Raulullah
saw melaknat wanita-wanita yang bertingkah seperti laki-laki."
g.
Syarat ketujuh; Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir
Syari'at telah menetapkan bahwa kaum muslimin -baik
laki-laki maupun perempuan- dilarang menyerupai (bertasyabuh) kaum kafir
baik dalam ibadah, perayaan hari raya, maupun dalam hal berpakaian. Dalam
berbagai ayat al-Qur'ān (Surat
al-Jāsiyah: 16-18, al-Ra'd: 36-37, al-Hadīd: 16, al-Baqarah: 104) disebutkan
tentang perilaku orang-orang kafir yang banyak melakukan kemaksiatan kepada
Allah. Jika demikian keadaan orang-orang kafir, sungguh tidak pantas bagi kaum
muslimin mengikuti mereka dalam segala aspeknya.
Dalam masalah berpakaian, terdapat banyak asar sahabat
yang menunjukkan larangan menyerupai atau mengikuti orang-orang kafir;
diantaranya adalahi:
1)
Dari Abdullāh bin Amru bin al-'Aş
yang berkata:[27]
رﺃى رسول الله صلىالله عليه
وسلم ثوبين مُعَصفَرَين, فقال: ﺇنﱠ هذه من ثياب الكفار فلا تلبِسْها
"Rasulullah
saw melihatku mengenakan dua buah kain yang diwarnai dengan 'usfur, maka
beliau bersabda: "Sungguh, ini merupakan pakaian orang-orang kafir, maka
jangan memakainya."
2)
Dari 'Ali ra diriwayatkan secara marfu':
ﺇياكم ولبوس الرهبانِ, ﻓﺈنه مَن تَزَيّابهم ﺃو تشبه, فليس مني
"Janganlah
kalian memakai pakaian para pendeta, karena barangsiapa mengenakan pakaian
mereka atau menyerupakan diri dengan mereka, bukan dari golonganku."
3)
Dari Abū Umāmah yang berkata:[28]
"Suatu ketika
Rasūlullāh saw keluar di tengah-tengah para tokoh dari kalangan Anshar, jenggot
mereka berwarna putih. Beliau bersabda: "Wahai sekalian orang Anshar!
Semirlah dengan warna merah dan kuning, selisihilah ahli kitab!" Maka kami
berkata: "Wahai Rasulullah saw, Sesungguhnya ahli kitab memakai celana,
tetapi tidak memakai sarung!" Maka Rasulullah saw bersabda:
"Pakaialah celana dan sarung, selisihilah ahli kitab!" Kami berkata:
"Wahai Rasulullah saw, sesungguhnya ahli kitab berjalan dengan kaki
telanjang dan tidak mau memakai alas kaki." Beliau bersabda:
"Berjalanlah dengan kaki telanjang maupun dengan alas kaki, selisihilah
ahli kitab!" Kami berkata: "Wahai Rasulullah saw, sesungguhnya ahli
kitab memangkas jenggot mereka dan memanjangkan kumis mereka." Beliau
bersabda: "Pangkaslah kumis kalian dan panjangkanlah jenggot kalian,
selisihilah ahli kitab!"
4)
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata:
"Rasūlullāh saw bersabda:[29]
خالفوا المشركين, ﺃحْفُوا الشوَارِبَ, وﺃوفوا اللحْيَ
"Selisihilah
orang-orang musyrik, pangkaslah kumis dan biarkanlah jenggot tumbuh panjang."
h.
Syarat kedelapan; Bukan pakaian untuk mencari
popularitas
Syarat
kedelapan ini sesuai dengan hadis Ibnu Umar ra yang berkata: Rasūlullāh saw
bersabda:[30]
من لبس ثوبَ شُهْرَةٍ في الدنيا ﺃلبسُهُ
اللهُ ثوبَ مُذِلةٍ يومَ القيامة, ثم ﺃُلْهِبَ فيه نارا
"Barangsiapa mengenakan pakaian syuhrah (untuk
mencari popularitas) di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan
kepadanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka."
Pakaian syuhrah adalah
setiap pakaian yang dipakai dengan maksud mencari popularitas di tengah
manusia, baik pakaian itu mahal maupun bernilai rendah.
2 Muhammad Nāşiruddīn al-Albāniy, Jilbāb al-
Mar'ah al-Muslimah fī al-Kitāb wa al-Sunnah (Ammān: al-Maktabah al-Islāmiyyah, 1413), hlm.
83.
4 Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, Jilid XV,
hlm. 448.
5 Istilah cadar berasal dari bahasa Persi 'chador'
yang berarti 'tenda' (tent). Dalam
tradisi Iran,
cadar adalah pakaian yang menutup seluruh anggota badan wanita dari kepala
sampai ujung jari kakinya. Masyarakat India, Pakistan dan Bangladesh
menyebutnya purdah, adapun wanita Badui di Mesir dan kawasan Teluk
menyebutnya Burqu (yang mnutup wajah secara khusus). Lihat Nasaruddin
Umar, "Antropologi Jilbab", Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul
Qur'an, no.5, Vol.VI, 1996, hlm.36, sebagaimana dikutip Nurul Adha dalam
skripsinya.
[1] Lihat Muhammad
Nāşiruddīn al-Albāniy, Al-Radd al-Mufhim: Hukum Cadar, terj. Abū Şafiya
(Yogyakarta: Media Hidayah, 2002)
[2]Muhammad
Nāşiruddīn al-Albāniy, op.cit., hlm. 30.
[5] Dikeluarkan oleh
al-Bukhāri (III/295; IV/54; XI/8), Muslim (IV/101), Abū Dāwud (I/286),
al-Nasā'i (II/5), Ibnu Mājah (II/214). Lihat Ibid., hlm. 61.
[6] Dikeluarkan oleh
al-Bukhāri (IX/107), Muslim (IV/143), al-Nasā'i (II/87), Ahmad (V/330,334, dan
336)
[7] Dikeluarkan oleh
al-Syaikhāni dan lainnya dari jalur periwayatan seperti yang dikeluarkan dalam
Şahih Abū Dāwud (449)
[8] Muhammad Nāşiruddin
al-Albāniy, Jilbab Wanita Muslimah; terj. Hawin Murtada dan Abū Sayyid
Sayyaf (Solo: al-Tibyan, 2000), hlm. 72.
[9] Dikeluarkan oleh
Muslim dalam shahihnya (IV/195,196; VIII/203)
[11] Dikeluarkan okleh
al-Bukhari (II/273)
[19] Muhammad Nāşiruddīn
al-Albāniy, Jilbāb al- Mar'ah al-Muslimah…., hlm. 40.
[21] Dikeluarkan oleh
al-Nasā'iy, Abū Dāwud (4173), al-Tirmiżi (kitab al-Ādab/2786), al-Hākim, Ahmad,
Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibbān. Al-Tirmiżi menyatakan hasan şahīh,
al-Hākim menyatakan şahīhul isnad dan di sepakati oleh al-Żahabi.
al-Albāniy menyatakan isnadnya
hasan. Lihat Abu 'Isa Muhammad bin 'Isa bin Sūrah, Sunan al-Tirmiżi (Beirūt: Dār al-Fikr,
t.h.), hlm. 98-99.
[23] Dikeluarkan oleh Ahmad (II/199-200)
[24] Dikeluarkan oleh
al-Bukhāri (X/274), Abū Dāwud (II/305), al-Darimi (II/280-281), dan Ahmad (no.
1982, 2066, dan 2123)
[25] Dikeluarkan oleh al-Nasā'i (I/357), al-Hākim (I/72, dan IV/146-147),
al-Baihaqi (X/226), dan Ahmad (no. 6180). Al-Hākim berkata: "Sanadnya
şahīh."
[26] Dikeluarkan oleh Abū
Dāwud (II/184). Hadis ini şahīh berdasarkan syahid-syahid.
[27] Dikeluarkan oleh
Muslim (VI/144), al-Nasā'i (II/298), al-Hākim (IV/190), dan Ahmad (II/162, 164,
193, 207, dan 211).
[28] Dikeluarkan oleh
Ahmad (V/264). Isnad hadis ini hasan, seluruh periwayatnya siqah,
kecuali al-Qasim, Ia seorang periwayat yang hasan hadisnya.
[29] Dikeluarkan oleh al-Bukhāri (X/288), Muslim (I/153)
Jilbab Muslimah Menurut Muhammad Nasiruddin Al-Baniy
Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi
on
October 12, 2015
Rating:
No comments:
Komentar