Imam Abu Hanifah 80-150 H

Imam Abu Hanifah adalah Nu’man bin Tsabit, seorang alim yang memiliki kelebihan, pakar fikih dan, dan seorang peneliti.

Selama ini, mungkin kita hanya pernah mendengar namanya disebutkan dalam sebuah hadis . di sini kita akan mengetahui lebih dalam tentang sosok Imam Abu Hanifah.

Abu Hanfiah dilahirkan pada tahun 80 Hijriah. Dengan demikian beliau adalah imam pertama dari Imam Imam ahlu sunnah. Beliau bekecimpung dalam aktivitas menuntu ilmu sejak kecil. Beliau bisa membagi waktunya untuk menuntut ilmu dan bekerja mencari rezeki sekaligus.

Abu Hanifah bekerja sebagai penjual kain, dan barangkali inilah yang menyebabkan beliau dikemudian hari menjadi pakar dalam fiqih Muamala. Tidak lama setelah memiliki ilmu yang cukup mumpuni, beliau duduk mengajarkan ilmunya dan memberikan fatwa.

Sumber sumber yang membeberkan kehidupan Imam Abu Hanifah sepakat bahwa beliau adalah seorang alim yang mengamalkan ilmunya, bersikap zuhud terhadap dunia, ahli ibadah, wara’, bertakwa, khusyu’ dan senantiasa tunduk kepada Allah swt.
Imam Malik ketika ditanya mengenai Imam Abu Hanifah, ia mengatakan, “Ya, Aku telah melihat seorang laki-laki yang seandainya Anda meminta beliau untuk menjelaskan bahwa tiang kayu ini adalah emas, niscaya beliau dapat menegakkan alasan-alasannya bahwa tiang ini adalah emas”

Dikisahkan dari Imam Syafi’I bahwa beliau berkata,
“Semua orang ditanggung oleh lima orang. Siapa saja yang ingin mahir dalam bidang fiqih. Maka dia ditanggung oleh Abu Hanifah. Siapa saja yang ingin mahir dalam bidang syair, maka dia ditanggung oleh Zuhair bin Abi Salma. Siapa saja yang ingin mahir dalam bidang maghazi (sejarah perang) maka dia ditanggung oleh Muhammad bin Ishaq. Siapa saja yang ingin mahir dalam bidang nahwu (tata bahasa) maka dia tanggung oleh Al-Kisa’i. Siapa saja orang yang ingin mahir dalam bidang tafsir, maka dia ditanggung oleh Muqatil bin Sulaiman”

Yahya bin Ma’in menegaskan, ilmu qira’ah Al Quran menurut saya hanyalah yang diajarkan oleh Hamzah, sedangkan ilmu fiqih menurut saya hanyalah yang dibawakan oleh Abu Hanifah

Jika demikian, sikap memiliki ilmu yang deras telah diraih oleh Abu Hanifah. Namun, ilmu saja dianggap tidak cukup. Adapun ikatan Abu Hanifah dengan Rabbnya sudah sangat kuat. Oleh karena itu, dikisahkan bahwa beliau selama 40 tahun selalu melakukan shalat shubu dengan wudu salat Isya’ (artinya beliau tidak pernah tidur malam karena menyibukkan diri dengan ibadah).

Tatkala Abu Hanifah wafat, Hasan bin Umarah setelah memandikannya berkata “Semoga Allah swt merahmati dan mengampuni Anda. Anda dulu tidak pernah buka (tidak puasa) selama 30 tahun, dan Anda tidak pernah berbantalkan tangan kanan Anda di waktu malam selama 40 tahun. Anda telah melelahkan orang-orang sepeninggal Anda dan membuat malu para ahli qira’ah”

Fiqih Abu Hanifah

Jika hendak menyimpulkan dasar-dasar paling penting yang menjadi asas mazhab Abu Hanifah, kita mendapatkan bahwa beliau berpegangan pada Al Quran, sunnah Rasulullah saw, dan Ra’yi.

Abu Hanifah juga berpegangan pada kias, dan inilah yang menyebabkan orang-orang belum matang tingkat pemikiran mereka menganggap rusak pemikiran Abu Hanifah, sebagaimana mereka juga menganggap demikian karena belia berpegang pada istihsan dan ‘urf. Padahal, sikap itu menunjukkan bahwa laki laki yang mulia ini sangat luas cakrawalanya hingga mencapai derajat yang dituntut oleh Islam dari para ulama muslimin.

Islam adalah agama yang toleran, di dalamnya diperbolehkan menyesuaikan diri dengan keadaan yang di hadapi, menyesuaikan dengan logika, dan terbuka terhadap hal-hal yang baru muncul.

Setiap fatwa dan pendapat AbuHanifah tidak pernah mendahulukan sesuatu pun daripada Al Quran dan sunnah Rasulullah saw. Beliau membanta para seturunya dengan mengatakan, “Demi Allah, telah berdusta atas nama saya orang yang mengatakan bahwa saya mendahulukan kias daripada nash. Apakah dibutuhkan kias ketika ada nash?” beliau juga mengatakan, “Kami tidak memakai kias kecuali di saat sangat terpaksa saja. Ketika kami tidak mendapatkan dalil, barulah saat itu kami mengiaskan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya” beliau juga berkata pada kasus yang sama, “Pertama-tama, kami berpegang kepada Kitabullah lalu sunnah Rasulullah saw kemudian keputusan para sahabat-sahabat. Kami mengerjakan apa saja yang mereka sepakati, namun jika mereka berselisi pendapat, kami mengiaskan sebuah hukum pada hukum lainnya dengan adanya illat (alasan) yang sama antara dua masalah tersebut sehingga perkaranya menjadi jelas”

Para ulama sepeninggal Abu Hanifah terutama Imam Syafi’I telah memutuskan kias sama persis dengan metode yang dipakai Abu Hanifah. Mereka mengatakan, “Kias adalah menjelaskan hukum bagi suatu perkara yang tidak ada nashnya dengan suatu perkara lain yang ada nash hukumnya, baik dengan Kitabullah, sunnah Rasulullah saw maupuan dengan ijma (keputusan sahabat) karena kesamaan dua perkara tersebut dari segi illatnya”

Dasar mazhab Abu Hanifah senantiasa bertumpukan untuk memberikan kemudahan kepada umat islam, bukan mempersulit mereka, sebab agama islam memang berupa kemudahan. Islam senantias memudahkan umat islam dalam hal ibadah dan muamalah hingga mencapai tingkat yang  menarik perhatian.

Tatkala hukum syar’i menetapkan bahwa untuk menghilangkan najis boleh digunakan setiap benda cair yang suci, maka beliau memperbolehkan penghilangan dengan air mawar misalnya. Jika seorang tidak dapat memastikan arah kiblat ketika melakukan shalat di suatu malam gelap gulita, lalu dia menetapkan arah kiblat semampunya, kemudian melakukan salat, dan pada pagi harinya terbukti bahwa arah kiblatnya semalam keliru, maka salatnya tetaplah sah. Demikianlah kemudahan Islam.

Mengenai permasalahan zakat, Abu Hanifah berada di barisan kaum fakir miskin, dengan memfatwakan bahwa emas atau perak yang dipakai sebagai perhiasan wajib dikeluarkan zakatnya. Beliau memberi semangat untuk mengeluarkan zakat dengan tujuan memberikan kelonggaran hidup kepada kaum fakir, bahkan beliau memfatwakan bahwa zakat tidak wajib bagi orang yang menanggung utang, jika utang tersebut dapat menghabiskan seluruh hartanya.

Abu Hanifah menetapkan bahwa seorang perempuan dewasa yang berakal memiliki hak dalam menikah dengan orang yang dipilihnya. Jadi, tidak ada kekuasaan bagi siapa pun, baik bapak maupun saudara dalam masalah ini.

Beliau juga menetapkan adanya hak bagi perempuan tersebut untuk melangsungkan sendiri akad perkawinannya, sebagai mana beliau berpendapat bahwa saksi dan dua tokoh perempuan. Beliau juga berpendapat jika seorang bapak menikahkan putrinya yang telah dewasa secara paksa, tanpa persetujuan putrinya, maka pernikahan itu tidak sah.

Termasuk keunikan hukum yang ditetapkan oleh Abu Hanifah adalah beliau memang memiliki kecerdasan akal yang bersifat ekonomis dan istimewah. Fatwa beliau bahwa seorang pemimpin umat Islam berhak memberikan hak kepemilkan tanah yang nganggur kepada orang yang menggarapnya dan menjadikannya layak tanam, sebagaimana beliau memfatwakan bahwa menjadi buah sebelum masak juga dibolehkan, sebagaimana beliau juga memfatwakan bolehnya memfatwakan bolehnya mengembangkan harta anak yatim.

Jika demikian, kepribadian Abu Hanifah dan mazhabnya, bukanlah merupakan suatu hal yang aneh bahwa para penganut mazhab beliau membentuk suatu kumpulan terbesar dalam tubuh ahlu sunah dari kalangan umat islam.


Tersisa satu hal yang akan kami sebutkan, yaitu Abu Hanifah wafat pada tahun 150 hijriah, pada hari dilahirkannya Imam Syafi’i. seolah olah seorang tokoh Islam telah meninggalkan perannya agar tokoh Islam lainnya memainkan peran berikutnya. Akan tetapi, antara wafatnya imam besar ini dan kematangan ilmiahnya, telah muncul seorang imam besar lainnya yang sangat mulia kedudukannya, terhormat, dan berwibawa, yaitu Imam Malik bin Anas.
Imam Abu Hanifah 80-150 H Imam Abu Hanifah 80-150 H Reviewed by As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi on August 02, 2015 Rating: 5

No comments:

Komentar